BAB III MIGRASI PARMALIM KE KOTA MEDAN
3.1 Mikrokosmos Etnis dan Religious di Kota Medan
Secara geografis Kota Medan terletak pada 3° 30 – 3° 43 Lintang Utara dan 98° 35 - 98° 44 Bujur Timur. Untuk itu topografi Kota Medan cenderung miring ke utara dan berada
pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut. Medan dengan Pelabuhan Belawan, pada awalnya merupakan pusat pemerintahan ke Residenan Sumatera Timur bagi usaha-
usaha dagang perkebunan dan bagi pemerintahan Kolonial Belanda. Pada kedatangan bangsa Eropa yang pertama 1770, Medan hanyalah merupakan
sebuah desa kecil di Kesultanan Deli yang terletak di persimpangan Sungai Babura dan Deli. Menurut Tengku Lukman Sinar Kota Medan didirikan oleh Guru Patimpus, seorang Batak
Karo yang mendirikan Medan pada 1 Juni 1590.
48
Kota Medan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi perkebunan berawal dari usaha Jacobus Nienhuijs membuka perkebunan tembakau
Tabaks Plantations sejak 1863 setelah mendapat konsesi tanah selama 20 tahun dari Sultan Deli.
49
Sejak kedatangan Jacobus Nienhuijs Medan kemudian dengan cepat berubah secara menyeluruh menjadi Kota Kolonial. Pekembangan Kota Medan singnifikan di ikuti
oleh laju pertumbuhan penduduknya, tercatat sejak pergantian abad, penduduk Medan tumbuh terus menerus dari 14.000 pada tahun 1905 menjadi 75.000 pada tahun 1930.
50
Ketika Kota Medan semakin berkembang, Kota Medan meluas ke tanah perkebunan dengan ijin Sultan Deli, Sultan tidak memiliki kekuasaan formal atas Kota Medan karena
48
Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempoe Doeloe, Medan, tidak diketahui, 1994, hal. 11-13.
49
Lukman Sinar, Bangun dan runtuhnya kerajaan melayu di Sumatera Timur, Medan: Tanpa Penerbit, 2007, hal. 76.
50
Op Cit. Johan Hasselgren, 2008, hal.37.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
memiliki sistem hukum ganda dari koloni. Konsekuensinya Sultan tidak memiliki kekuasaan resmi atas penduduk yang hidup di dalam kota, apa pun latar belakang etnisnya. Dengan
demikian jelaslah bahwa di Medan ada tekanan kuat pada kelompok-kelompok etnis pribumi untuk menjadi Melayu selama dua atau tiga dekade pertama pada abad ke-20. Tampak bahwa
keberadaan Sultan di dekat Medan, dan kekuasaan komunitas Melayu berimplikasi bahwa mereka bisa menentukan kondisi-kondisi interaksi etnis.
51
Pada tahun 1920-an, tatanan etnis di Medan mulai berubah, perkembangan perkebunan sebagai faktor pendorong utama menarik sejumlah etnis untuk bermigrasi ke
Kota Medan. Statistik komposisi etnis penduduk di Medan pada tahun 1930 menunjukkan bahwa Medan adalah sebuah mikrokosmos dari masyarakat multikultural dan hal ini
merupakan karakteristik sebuah mikrokosmos dengan fitur-fiturnya sendiri. Medan merupakan kota yang terkotak-kotak dimana bangsa Eropa, Cina, India, dan pribumi
menempati daerah kediaman yang terpisah.
52
Sebelum tahun 1942, pemerintah kolonial mendaftar identitas-identitas etnis rakyatnya. Contoh yang paling terkenal adalah sensus 1930. Dalam Indonesia yang merdeka,
statistik etnis bagai warga Negara Indonesia belum secara umum dihimpun, karena komposisi etnis pada suatu daerah secara umum merupakan hal yang sensitive. Akan tetapi
setidaknya di Medan, para pejabat ditingkat administratif kelurahan dalam sensus tahun 1980-an masih mendata identitas etnis seseorang. Pada tahun 1980, antropolog dan
Kondisi demikian berlanjut sampai kejatuhan Hindia Belanda ke tangan Jepang tahun 1942.
51
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi : Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: LP3ES, 1998
, hal. 77
52
Op Cit. Johan Hasselgren, 2008, hal. 47-48.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sejarawan, Usman Pelly memanfaatkan data ini untuk menyusun statistik etnis pertama tentang Kota Medan setelah perang. Berikut akan di paparkan
Meskipun survey menunjukkan populasi penduduk berdasarkan etnis, terjadi suatu perubahan yang signifikan terjadi pada penumpukan etnis dalam populasi yang terjadi setelah
tahun 1930. Orang Cina merupakan kelompok etnis terbesar dalam tahun 1930. Tetapi meskipun mereka bertambah secara signifikan dalam jumlah yang absolud, persentase
populasi mereka pada tahun 1980 adalah 14 , kurang dari separuh angka pada tahun 1930 lihat Tabel 1.
Orang Jawa kelompok terbesar kedua pada tahun 1930. Setelah menjadi satu-satunya kelompok etnis terbesar. Mereka mewakili sekitar duakali lipat jumlah kelompok lain atau
hampir mencapai 30 dari populasi total. Karena kebanyakan Orang Jawa adalah bekas pekerja perkebunan, maka mereka secara umum kurang berpendidikan, mereka tidak
mendapatkan pekerjaan yang bermutu. Seperti halnya pada masa kolonial mereka adalah para pekerja disektor informal. Kondisi mereka sangat berbeda dengan segelintir pejabat Jawa,
utamanya orang militer atau pengusaha, yang datang dari Jawa untuk bekerja di Medan.
53
Terlepas dari kenyataan bahwa Orang Jawa merupakan kelompok etnis terbesar di Kota Medan setelah tahun 1950, mereka tidak dapat mentransformasi ukuran jumlah mereka
menjadi kekuatan politik dan sosial yang setara.
54
53
Log Cit. Pelly, 1998, hal. 128-136 dan 162.
54
Op Cit. Johan Helsselgren, 2008, hal. 384.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 1. Perbandingan Komposisi Penduduk Kota Medan berdasarkan tahun dalam persen
55
Berdasarkan table 1 kelompok etnis Muslim Sumatera, suku Mandailing dan Minangkabau pada tahun 1950 telah meningkat persentase mereka dalam populasi menjadi
sekitar 10, sementara suku Melayu hanya meningkat sedikit, dari 7 menjadi 8. Akan tetapi dari semua kelompok etnis, orang Toba menunjukkan peningkatan yang paling
prestisius. Pada tahun 1930 Batak Toba hanya 1 dari populasi, tetapi pada tahun 1980-an dan tahun 2000 jumlahnya telah mencapai sekitar 14-15. Dalam angka absolud, Orang
Batak Toba telah bertambah 222 kali. Setelah tahun 1950, terdapat enam kelompok etnis utama di Kota Medan: Jawa, yang
jumlahnya banyak tetapi relative tidak berdaya, Batak Toba, China, Mandailing, Minangkabau, dan Melayu. Kelima kelompok terakhir ini mewakili 8-15 populasi.
Dibanding dengan kelompok-kelompok etnis ini, kelompok lain yang telah bermigrasi dari
55
Diolah dari data sensus penduduk Kolonial Belanda tahun 1930 dalam Jhon Henselgren, 2008, hal: 49., data Usman Pelly 1993 hal. 103., dan Sensus Penduduk Kota Medan Tahun 2000.
Suku Bangsa Tahun
1930 n
=76.584 1980
n = 1.294.132
2000 n
= 1.904.273 Jawa
25.5 31.3
33.03 Batak Toba
1.1 14.1
19.21 Cina
35.6 12.8
10.65 Mandailing dan Angkola
6.4 11.9
9.36 Minang
7.3 10.9
8.6 Melayu
7.1 8.6
6.69 Karo
0.2 4.0
4.1 Aceh
- 1.9
2.78 Simalungun
0.7 1.8
0.69 Pakpak
2.3 0.2
0.34 Nias
- 0.2
0.69 Lainnya
14.3 3.0
3.95
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bagian pulau Sumatera dan Indonesia masih secara signifikan lebih kecil jumlahnya. Orang Batak Karo adalah yang terbesar jumlahnya hanya 4-5 dari seluruh populasi.
Apa yang ditunjukkan oleh statistik ini adalah bahwa Kota Medan setelah tahun 1950, telah menjadi sebuah kota yang lebih plural dibandingkan dengan zaman kolonial. Berkenaan
dengan struktur kekuatan etnis, tidak satu kelompokpun bisa berhasil mengklaim hak untuk mendominasi kelompok lain. Priode Melayu-muslim sebagai sebuah budaya lokal dominan
sebelum tahun 1920 telah berlalu. Setelah tahun 1950 Kota Medan menurut E.burner adalah sebuah “kota para minoritas”, sebuah tempat yang sangat kompetitif di mana ketegangan dan
konflik etnis sering muncul, dan indentitas memainkan peranan yang penting dalam kehidupan sehari-hari.
56
Agama
Berkenaan dengan agama Data Statistik Kota Medan Tahun 2000 menunjukkan bahwa 67 dari populasi Kota Medan merupakan pemeluk Agama Islam, 20 orang
Kristen, dan 10 orang Buddis. Dua kelompok terakhir ini hampir terdiri dari orang China dan Orang Batak serta suku lain Indonesia yang bermigrasi ke Kota Medan.
Tabel 2. Persentase Penduduk Kota Medan Menurut Agama Tahun 2000
Jumlah dalam persent n= 1.904.273
Islam Khatolik
Protestan Hindu
Buhda Lainnya
67,83 2,89
18,13 0,68
10,40 0,07
56
Ibid Burner dalam Johan Hensselgren, 2008. hal. 108.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Masuknya para migrant ke Kota Medan secara umum orang-orang dari berbagai kelompok etnis, penting untuk dicatat bahwa mereka tidak tersebar secara homogeny di
seluruh kota. Dibandingkan dengan zaman Kolonial, Kota Medan tidak lagi terbagi secara formal diantara kelompok etnis yang berlainan. Setiap orang pada prinsipnya boleh
bermukim dimana ia suka.
57
Pelly menunjukkan bahwa penghidupan utama kelompok etnis memainkan peranan dalam menentukan di mana mereka memilih untuk bermukim. Misalnya, orang Batak Karo,
yang pada tahun 1980 hanya mencapai 5 dari populasi total, tersebar dibagian selatan distrik Kecamatan Medan Baru, sebelah barat Bandara Polonia. Dalam tiga kelurahan,
Beringin, Titi Rante dan Padang Bulan, populasi pada tahun 1980 mencapai 65 Orang Karo. Mengikuti tradisi dari masa Kolonial, banyak Orang Karo mengeluti usaha suplai
makanan, utamanya sayuran dan buah-buahan, ke Kota Medan. Akan tetapi kelompok-kelompok etnis cenderung menyukai
wilayah tertentu dan membentuk kampung-kampung etnis, dimana sebuah proporsi signifikan dari tetangga mereka merupakan bagian dari kelompok etnis yang sama. Dinamika
etnis ini pada umumnya merupakan fakta yang sudah dikenal di Kota Medan tetapi yang dibuktikan oleh data sensus penduduk Kota Medan Tahun 2000 lihat lampiran 1.
58
57
Ibid, hal. 385.
58
Op Cit. Pelly, 1998, hal. 42 dan 310.
Sesuai musim mereka berpindah-pindah antara dataran tinggi Karo dan Kota Medan. Oleh karenannya mereka
bermukim dibagian tenggara Kota Medan, dimana jalan menuju dataran tinggi karo terbentang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Orang China masih mendominasi bagian timur kota, para anggota komunitas Cina bergerak menuju wilayah ini. Mereka diikuti oleh Orang Minangkabau, yang berpencaharian
sebagai seniman dan pemilik toko-toko kecil.
59
Kecamatan-kecamatan yang ditambah pada tahun 1973 di dominasi oleh Orang Jawa dan Melayu.
60
Dalam angakatan bersenjata dan birokrasi sipil yang tengah berkembang loyalitas bersama tehadap negara dipupuk, meskipu faktor-faktor etnis masih memiliki arti penting
dalam perjungan mencapai kedudukan. Bahasa nasional Bahasa Indonesia, yang secara kuat dianjurkan dalam pendidikan dan media setelah tahun 1950, merupakan faktor yang lain. Di
Kota Medan transisi ini berlangsung secara lebih mudah dan menentukan ketimbang di bagian Indonesia lainnya. Hal ini dikarenakan oleh Bahasa Melayu yang secara umum
merupakan cikal-bakal Bahasa Indonesia telah merupakan Lilingua franca diantara orang- orang pribumi selama masa Kolonial di Kota Medan. Tidak adanya kelompok etnis yang
Salah satu contoh adalah Kecamatan Deli dan Labuhan, sekitar 70 dari populasinya adalah Orang Jawa dan Melayu.
Setelah Tahun 1950, batas-batas administrative secara prinsip ditarik tanpa memandang batas-batas kampung etnis. Kebijakan ini pada taraf tertentu diambil dalam upaya
menghilangkan arti penting kampung etnis. Oleh karena itu, orang bisa menjumpai wilayah- wilayah dengan konsentrasi kelompok etnis tertentu yang lebih tinggi, meskipun hal ini tidak
muncul dalam statistik yang ada. Meskipun keragaman dan komposisi etnis merupakan aspek yang penting dari
perkembangan Kota Medan setelah tahun 1950, akan tetapi terdapat juga beberapa tendesi sebaliknya yang menjembatani kesenjangan antar kelompok etnis.
59
Ibid hal. 23.
60
Kota Medan telah mengalami tiga kali diperluas untuk menampung laju perkembangan kota Medan dari luas awal 5.130 Ha menjadi 26.510 Ha dengan memasukkan beberapa bagian dari wilayah Kabupataen
Deli Serdang. Kantor Secretariat Kotamadya Medan 1992.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mendominasi setelah tahun 1950-an juga menyiratkan bahwa tidak ada bahasa etnis tertentu yang bisa mengkalaim kelebihan diatas yang lain. Bahasa Indonesia dipandang modern dan
netral dalam batasan etnis, sedangkan pengunaan bahasa etnis hanya terbatas di rumah atau di kampung etnis tertentu.
61
Agama juga dipandang sebagai pemersatu beberapa kelompok etnis. Orang Kristen sesekali berupaya untuk bekerja sama lintas etnis. Diatara kelompok muslim dalam populasi,
islam sering dianggap sebagai faktor yang mempersatukan. Bagi banyak orang muslim, orang Kristen lebih nampak menjaga jarak dibandingkan dengan kelompok etnis muslim lain.
Hasilnya dalah migrasi Orang Toba setelah tahun 1950 dipandang sebagai sebuah perkembangan yang spektakuler, karena mereka sebagai Orang Kristen menempatkan diri
dalam sebuah setting dengan mayoritas Orang Muslim.
62
Di lain pihak sebuah front Muslim bersatu hanya ada dalam situasi-situasi tertentu dan memunculkan ancaman di hadapan
konflik-konflik internal etnis. Sebuah kasus disini adalah relasi antara organisasi muslim Muhammadiyah dan Washliya, yang mayoritas pendukungnya adalah orang Batak
Mandailing. Kedua organisasi ini sesekali bekerja sama dalam mendukung partai-partai politik. Tetapi dilain pihak, konflik-konflik yang kuat bisa saja terjadi, misalnya ketika
organisasi-organisasi ini berselisih mengenai kepemilikan sebuah mesjid tua di Medan.
63
61
Op Cit. Johan Hensselgren, 2008, hal. 386.
62
Op Cit , Orang Batak Toba yang kristen tinggal di Medan bertetangga orang muslim. Mereka
mengembangkan ternak babi dan memanggang dagingnya dirumah, akibatnya tetangganya yang Muslim tidak betah bertetangga dengan mereka, sehingga menjual tanahnya kepada Orang Batak Toba. Ternak Babi sering
dianggap penduduk muslim Sumatera Timur sebagai strategi Batak Toba untuk mendapatkan lahan-lahan mereka. Fenomena ini telah menarik banyak peneliti seperti Edward Burner, Chunningham dan Langenberg.
Langenberg menyebut Batak Toba sebagai land hunter pemburu tanah dan Chunningham menyebut bahwa Batak Toba mengunakan ternak babi sebagai alat perjuangan instrument of Stunggel Pelly, 1998, hal. 99-105.
63
Op Cit. Pelly 1983, hal. 265-272 dan 307.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Orang Kristen yang di dominasi oleh Orang Batak Toba dan Orang Cina menjadi kelompok agama kedua terbesar di Kota Medan. Orang Batak Toba sejak awal migrasinya ke
Kota Medan di tahun 1920-an sejak awal telah menunjukkan identitasnya sebagai Orang Batak dan beragama Kristen. Orang Batak Toba membangun gereja di pemukiman Batak
seperti di daerah Sidorame, Amplas, Simpang Limun dan Padang Bulan. Di daerah ini dapat dilihat sejumlah gereja suku seperti HKBP berdiri megah sebagai wujud keberhasilan Orang
Batak Kristen di Kota Medan. Di jalan Pemuda dan jalan Diponegoro dapat kita temui gereja-gereja bergaya gothik yang merupakan warisan Orang Barat yang tinggal di Kota
Medan sebelum tahun 1942, umat jemaat di pusat kota ini terdiri dari Orang Batak dan Orang Cina, Orang India serta suku-suku lain Indonesia. Gereja di pusat kota di isi oleh jemaat yang
lebih heterogen berbeda dengan gereja-gereja lain yang berada di wilayah lain yang lebih dominan oleh satu suku tertentu dari sub-suku Batak.
Selain agama Islam dan Kristen terdapat agama lain seperti Buhda, Hindu, Konghucu dan aliran kepercayaan. Agama Budha menjadi agama ketiga terbesar di Kota Medan, agama
Buhda masuk bersamaan dengan masuknya buruh-buruh Cina ke Kota Medan sejak tahun 1864 begitu juga dengan agama Hindu yang dibaa oleh para buruh India ke Medan.
Pluralitas agama di Kota Medan semakin beragam dengan masuknya para migrant yang menganut aliran kepercayaan seperti Sik dan Ugamo Malim diluar enam agama yang
di tetapkan pemerintah sebagai agama nasional yang di anut oleh rakyat Indonesia salah satunya adalah Parmalim. Aliran kepercayan Sik merupakan agama yang diakui di negara
asalnya India, agama ini dibawa oleh migrant-migrant Tamil yang bermigrasi dari India. Berlainan dengan Ugamo Malim aliran ini dibawa oleh masyarakat Batak Toba yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menganut Ugamo Malim di daerah Tapanuli Utara. Bedasarkan sensus penduduk tahun 2000 persentase aliran kepercayaan di Kota Medan tidak kurang dari 0,07 persen di Kota Medan.
Heterogenistas yang tercipta sejak masa Kolonial di Kota Medan menciptakan sebuah kondisi kota yang plural. Dalam kerangka Indonesia modern Kota Medan dikenal sebagi kota
miniatur Indonesia dimana berbagai suku dan agama berdiam secara berdampingan. Tidak adanya satu kekuatan suku yang dominan yang disebabkan oleh faktor seperti politik, suku
dan sejarah di anggap sebagai faktor yang menciptakan mikrokosmos Kota Medan.
3.2 Proses Migrasi Parmalim ke Kota Medan