KEBERADAAN PARMALIM DI KOTA MEDAN 1963-2006
4.1 Sejarah Punguan Parasian Parmalim Kota Medan
Dalam sebuah komunitas perkembangan migrant Parmalim yang mengalami terus mengalami peningatan di Kota Medan, membutuhkan wadah spiritual. Seperti yang
dikatakan Usman Pelly bahwa setiap kelompok migrant yang mendiami Kota Medan membutuhkan asosiasi-asosiasi, asosiasi ini memberikan sebuah forum untuk aspek-aspek
secular dari identitas seperti agama dan etnik. Asosiasi memberikan suatu “jembatan cultural” bagi perantau parmalim sebagai tempat perlindungan dari perubahan sosial
politis.
87
Jika kelompok agama-agama modern membutuhkan rumah ibadah seperti surau, langgar, mesjid, gereja, untuk jadi sarana pertemuan umat dan menjalankan upacara agama.
Parmalim sebagai sebuah kepercayaan memiliki sebutan khusus untuk penamaan tempat
ibadahanya, tempat ibadah parmalim disebut jabu parsattian bagi upacara yang dilaksanakan di dalam rumah, sedangkan rumah ibadah yang sudah berdiri sendiri sebagai tempat ibadah
disebut bale parsattian. Kepemilikan sebuah rumah ibadah sangat menentukan status bagi suatu punguan
88
87
Op Cit. Usman Pelly, 1998, Hal. 81.
88
Punguan adalah cabang-cabang dari pusat peribadatan Parmalim yang berada di tiap-tiap cabang
BPP Huta Tinggi, Punguan dipimpin oleh seorang pemimpin cabang yang disebut ulu punguan. Log Cit. Ibrahim Gulton, 2010, hal. 322.
dalam cabang parmalim. Bagi cabang parmalim yang sudah memiliki rumah ibadah disebut sebagai punguan nagok yang utuh dimana rumah ibadahnya di sebut
Bale Parsattian , sedangkan yang masih mengunakan rumah disebut punguan parasian
perkumpulan yang dikasihi artinya punguan parasian masih berstatus dibawah bimbingan langsung Bale Pasogit Partonggoan Huta Tinggi Parmalim maupun punguan yang menjadi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
induk punguan parasian.
89
Keberadaan rumah ibadah selain merupakan kebutuhan akan wadah beribadah, rumah ibadah juga merupakan salah satu dari bukti eksistensi dan
kemakmuran kelompok masyarakat tertentu di suatu daerah.
90
Keberadaan Parsattian adalah sebuah kebutuhan dan wujud kemandirian warga Parmalim
Kota Medan. Punguan Parmalim Kota Medan pada mulanya dirintis oleh R.M. Naipospos, Marnaek Butar-butar, Sabar Ninggolan, Mangandar Sinaga, Lesbar Sitorus dan
Op. Patiar Sirait pada Tahun 1963, dengan Ulu Punguan pertama yakni Marnaek Butar- butar.
91
Sebagai Ulu Punguan perintis bapak Marnaek Butar-butar berusaha melakukan sejumlah langkah untuk mengembangan punguan. Menentukan tempat rumah yang tepat
untuk difungsikan sebagai rumah ibadah adalah permasalahan yang sangat mendesak, sehingga atas dasar gerak hati keiklasan rumah Op. Patiar Sirait di Jalan Menteng Raya No.
135 Kelurahan Menteng, Medan Denai kemudian di fungsikan sebagai tempat ibadah.
92
89
Wawancara dengan Bapak R. Simajuntak, Medan, 5 Desember 2012.
90
Log Cit. Keberadaan sebuah bangunan tempat ibadah di Kota Medan menurut Hensellgren tidak
hanya merupakan sebuah kebutuhan atau simbol agama, tapi keberadaan tempat ibadah juga merupakan pertanda perkembangan tingkat ekonomi umatnya, membangun sebuah rumah ibadah membutuhkan dana yang
besar dimana dana tersebut berasal dari anggota. Johan Hensellgren, 2008, hal. 182.
91
Wawancara dengan Bapak R. Simajuntak, Medan, 5 Desember 2012.
92
Wawancara dengan Mangandar Sinaga tanggal 31 Februari 2012.
Perkembangan ruas yang terus bertumbuh mendesak diperlukannya sebuah jabu parsattian yang mampu untuk menampung jumlah ruas. Atas dasar tersebut maka ulu punguan
Marnaek Butar-butar bersama ruas memindahkan jabu parsattian ke Jalan Seksama, Gang Jaya, No. 125 , Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai di tahun 1973. Rumah tersebut
merupakan rumah salah seorang jemaat yakni R.M Naipospos saat ini sebagai Ihutan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Rumah ini cukup luas dengan ukuran 17 x 24 m sehingga mampu menampung pertambahan jumlah ruas.
Tidak hanya terfokus pada kebutuhan materil ruas, Marnaek Butar-butar juga melakukan pembinaaan rohani kepada seluruh ruas termaksud kepada generasi muda.
Pembinaan ini berlangsung pada setiap minggu dalam upacara keagamaan mararisabtu, dalam ritual ibadah mararisabtu terdapat sebuah sesi dalam upacara yang di sebut marpoda
saga-saga. Dalam marpoda semua ruas diberi kesempatan untuk memberikan kesaksian
spiritual dan nasehat kepada ruas. Peran ulu punguan setelah sesi marpoda saga-saga selanjudnya adalah sebagai figur yang menyimpulkan maksud dari marpoda yang dilakukan
ruas, ulu punguan memberikan sejumlah penjelasan dengan murujuk pada ayat-ayat yang terkandung dalam tonggo-tonggo Ugamo Malim.
Dalam kehidupan beragama melalui ritual agama mararisabtu ruas Parmalim saling memberi masukan satu-sama lain melalui sesi marpoda, hal sangat membantu Ulu Punguan
untuk mengetahui setiap permasalahn yang ada dalam tubuh organisasi Punguan Parmalim Kota Medan. Dalam cabang Parmalim Ulu puguan adalah sosok figur yang tidak hanya
berfungsi sebagai pemimpin keagamaan, tapi dalam kasus parmalim Ulu Punguan juga merupakan seorang sosok yang berperan untuk mencari jalan keluar pada setiap masalah
yang dialami oleh ruasnya di dalam lingkungan tempat tinggal ruas.
93
Tidak hanya melalui ibadah Mingguan mararisabtu pembinaan ruas juga dilakukan dalam bentuk marguru
94
93
Wawancara dengan Bapak Rinsan Simajuntak Tanggal 5 Desember 2012.
94
Marguru merupakan aktivitas belajar Ugamo Malim yang dikelompokkan berdasarkan usia dimana
pemimpinnya adalah orang-orang yang dianggap memiliki pemahaman tentang Ugamo Malim yang memadai dan cakap. Aktivitas marguru biasanya dilakukan setelah Mararisabtu atau pada hari-hari tertentu yang
disepakati oleh seluruh anggota parmalim.
.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Marguru sangat efektif untuk mengajarkan Ugamo Malim bagi ruas terutama
generasi muda. Marnaek Butar-butar membentuk cabang perkumpulan generasi muda parmalim
yakni Tunas Naimbaru Parmalim Kota Medan yang berdiri sejak 1973. Tunas naimbaru
kemudian mengambil peran yang sentral dalam pembinaan generasi muda seperti anak-anak dan remaja dan sebagai tenaga yang membantu mempersiapkan upacara-upacara
agama baik di Punguan maupun di Bale Pasogit, Laguboti.
95
Tahun 1991 karena kondisi kesehatan yang tidak memungkin lagi bagi Marnaek Butar-butar memimpin Punguan Parmalim Kota Medan, maka ditunjuklah ulu punguan yang
baru yaitu Bapak Rinsan Butar-butar. Pemilihan Bapak rinsan Butar-butar sebagai ulu punguan
dilakukan oleh Ihutan Raja Marnakkok Naipospos. Penunjukan tersebut adalah mutlak hak seorang ulu punguan dengan memperhatikan rekam jejak pengamalan agama
seorang calon ulu punguan dan pendapat ruas punguan Kota Medan. Rinsan Butar-butar Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa ruas Parmalim dalam
lingkungannya terkadang mengalami diskriminasi karena identitasnya sebagai Parmalim. Seperti yang dialami oleh beberapa anggota Parmalim salah satunya Bapak Lisken Pakpahan
yang mengalami hambatan dalam mendapatkan surat akta nikah dari kelurahan di tahun 1975. Permasalahan tersebut membutuhkan waktu dua tahun untuk menyelesaikannya setelah
di tengahi oleh ulu punguan Marnaek Butar-butar. Selain masalah administratif masalah- masalah stigma parbegu pemelihara setanjampi-jampi juga masih menjadi masalah yang
sering dihadapi oleh ruas parmalim, beberapa ruas parmarmalim tidak dapat bergabung dalam STM maupun Punguan Marga di sekitarnya karena adanya gesekan-gesekan yang
diakibatkan stigma parbegu oleh lingkungannya.
95
Wawancara dengan Renta Butar-butar, 13 Oktober 2012.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
melanjudkan karya Marnaek Butar-butar dalam memimpin ruas Punguan Parmalim Kota Medan.
Ulu Punguan Rinsan Simanjuntak kemudian berusaha merintis pembangunan Bale
Parsattian melalui ugasan torop. Perkembangan ekonomi dan jumlah ruas yang cepat
bertambah mendorong dibutuhkannya sebuah rumah ibadah yang mampu menampung luapan anggota. Sehinngga tahun 1994 usaha pengumpulan dana dimulai untuk membangun
bale parsattian . Sampai tahun 1996 telah terkumpul dana sebesar Rp. 80.000.000 untuk
pendirian Parsattian. Pembelian sebahagian bahan-bahan bangunan Parsattian telah dimulai namun karena berbagai hambatan internal pembangunan tersebut terhenti di tahun 2000,
akibatnya banyak bahan bangunan yang rusak.
96
Pembangunan parsattian dimulai kembali pada tahun 2005 setelah adanya keinginan seorang mantan anggota Punguan Medan yakni
Bapak Sahat Sirait, Sahat Sirait adalah warga Parmalim Punguan Jakarta beliau pembangunan parsattian tersebut ditanggung oleh beliau. Pembangunan Bale parsattian
terletak di Jalan Air Bersih Ujung Lk. IV Kel. Binjai, Kecamatan Medan Denai. Tanah tersebut merupakan hibah dari Op. Patiar Sirait seluas 1.591
�
2
.
97
Setelah hambatan internal selesai, maka pembangunan Bale Parsattian dimulai, di tengah pembangunan muncul pula hambatan yang dari warga sekitar parsattian, warga
sekitar menolak keberadaan parsattian tersebut sehingga muncul ketegangan yang berakibat di hentikannya pembangunan rumah Ibadah terhitung sejak tanggal 12 Juli 2005.
Pembangunan rumah yang telah selesai 70 persen dengan luas 230 �
2
gagal di selesaikan.
96
Wawancara Bapak Berlin Sirait, 28 Desember 2012.
97
Untuk menghormati kedua warga Parmalim yakni Bapak Sahat Sirait dan Op. Patiar Sirat sebuah prasasti didirikan untuk mengenang jasa kedua anggota Parmalim tersebut. Jika kita masuk kedalam komplek
rumah peribadatan Parmalim komplek Parsattian di sebelah kiri dari lobi parsatian sebuah prasasti didirkan untuk kedua Anggota parmalim tersebut, Prasasti tersebut juga mencantumkan tanggal peresmian Bale
Parsattian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Bale Parsattian yang sudah hampir rampung tersebut menjadi terbengkalai, tembok yang
sempat dibangunan sebagian rubuh dan ditumbuhi rumput.
Gambar: Eksekusi Bale Parsattian oleh Pemko Medan tanggal 17 juni 2006
Sumber: Harian Global online, dikutip 29 September 2012, Jam 23.55 Wib.
Penolakan pendirian ini tentu saja menjadi perhatian banyak pihak terutama Orang Batak Toba, Orang Kristen, Islam, di Kota Medan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Ditengah minusnya tenggangrasa terhadap kelompok dan agama tertentu di Indonesia sejak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tumbangnya kekuasaan Orde Baru tahun 1998. Serangkaian konflik horizontal seperti penolakan pendirian rumah ibadah bermunculan di kota-kota di Indonesia.
Orang Batak Toba yang pada umumnya adalah Kristen mengalami hal yang sama di beberapa kota-kota Indonesia, terutama di Jawa. Sehingga penolakan warga sekitar yang
mayoritas Orang Batak Toba mendapat sanggahan dari seluruh komunitas agama di Medan seperti PGI, FKAUB dan Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Sentara Institut, Aliansi
Sumut Bersatu ABS dan lain-lain. Sehingga Konflik yang awalnya bermula dari dua orang warga sekitar yang keberatan diselesaikan dengan kekeluargaan.
98
Kesulitan mendapat izin dari penduduk di sekitar Jalan Air Bersih, Ujung Medan yang juga adalah Orang Batak Toba yang telah menganut agama modern yaitu agama
Namun pembangunan Jabu Parsattian
tetap tidak dapat dilanjutkan karena terhalang oleh Izin Mendirikan Bangunan IMB dari pihak pemerintahan Kota Medan. Sehingga praktis sampai akhir
penelitian ini yakni tahun 2006 Bale Parsattian yang diidamkan Punguan Parmalim Kota Medan tidak dapat terwujud.
Gagalnya pembangunan rumah Parsanttian, bagi Parmalim di Kota Medan bukanlah suatu penghalang atau penghambat dalam menjalankan Ugamo Malim. Rumah Ihutan R.M
Naipospos yang disebut Jabu Parsattian tetap menjadi tumpuan Parmalim Kota Medan bagi pelaksanaan upacara keagamaan. Rumah ini jika di lihat dari fisik bangunan dari luar yang
membedakannya dengan rumah penduduk lainnya adalah terdapat gorga pada bagian depan rumah disertai dengan teras dan halaman rumah yang cukup luas. Rumah tersebut dapat
menampung secara keseluruhan Parmalim yang merayakan upacara mangan na paet sebagai acara penghapusan dosa tahunan, yang diikuti seluruh Parmalim se-kota Medan.
98
Wawancara dengan Lambok Manurung 23 Desember 20012.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kristen. Keadaan demikian bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap menjalankan aktivitas keagamaannya. Dengan harapan suatu saat akan dibukakan jalan terhadap maksud
dan niat baik penganut Ugamo Malim untuk mendirikan tempat ibadat Parsantian di Kota Medan seperti di daerah lainnya.
Dalam pengenguatan pengamalan keagamaan Ulu Punguan Rinsan Simajuntak memberikan amanah-amanah yang menguatkan iman parmalim untuk terus berkarya di kota
Medan. Keberadaan Raja Marnakkok Naipospos yang bertempat tinggal di Kota Medan memberikan kontribusi yang cukup banyak dalam pengembangan Punguan Parmalim Kota
Medan. Sejak di tetapkan sebagai Ihutan Raja Marnakkok Naipospos sering menjadi pemimpin upacara mararisabtu, sehingga hal ini sangat membantu posisi Rinsan Simajuntak
dalam memimpin ruas dalam usaha pembangunan bale parsattian dan membina parmalim Kota Medan.
4.2 Aktivitas Keagamaan Parmalim Di Kota Medan