Faktor-Faktor Penyebab Dilakukannya Delisting

B. Faktor-Faktor Penyebab Dilakukannya Delisting

Banyak faktor mengapa saham kurang diminati oleh pemodal, antara lain buruknya kinerja fundamental emiten sehingga secara signifikan mempengaruhi kelangsungan usaha. Misalnya emiten mengalami kerugian beberapa tahun secara berturut-turut. Hal tersebut tentu akan berdampak pada return yang akan diterima oleh pemodal, dalam hal ini dividen yang diterima oleh pemodal akan turun atau bahkan nol. Pada gilirannya daya tarik emiten tersebut tidak ada, sehingga para pemodal enggan menginvestasikan dana mereka pada saham tersebut, atau faktor keterbukaan informasi information disclosure. Faktor keterbukaan ini penting, sebab meskipun fundamental perusahaan baik, tetapi emiten kurang terbuka sehingga peminatnya tidak ada. Faktor lainnya yaitu apabila emiten melanggar peraturan-peraturan di bidang pasar modal. Apabila hal tersebut terjadi pada perusahaan go public emiten tersebut bisa dihapus dari pencatatan bursa, atau disebut dengan delisting. 153 Berbagai kemungkinan alasan perusahaan melakukan go private, baik secara sukarela maupun secara paksa. Contohnya Komatsu Ltd memutuskan untuk menarik sejumlah anak perusahaannya, termasuk Komatsu Indonesia dari pencatatan di berbagai bursa saham dunia. Sedangkan rencana keluarnya Aqua dari BEI sejalan dengan kebijakan Danone Asia meneruskan konsolidasi anak- anak perusahaannya. 154 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Foley Lardner LLP, alasan suatu perusahaan terbuka melakukan go private adalah karena merasa terbebani oleh biaya-biaya yang harus dikeluarkan dan kewajiban-kewajiban sebagai perusahaan terbuka. 155 Adapun biaya dan kewajiban tersebut antara lain adalah tingginya biaya konsultan hukum dan akuntansi, biaya penyelenggaraan RUPS, kewajiban 153 Dikutip dari www.indoexchange.com, diakses tanggal 12 Mei 2009. 154 Koran Media Indonesia, Langkah Go Private Masih Wajar, lihat www.mediaindo.com Edisi Cetak Tanggal 16 November 2005, diakses tanggal 21 Mei 2009, hal. 13. 155 Boby W. Hernawan I Made B. Tirthayatra, Go Private, http:www.bapepam.go.idpasar_modalpublikasi_pminfo_pmwarta2005_oktoberGo20Priva te.pdf. , diakses pada tanggal 2 April 2009. Universitas Sumatera Utara memenuhi peraturan pasar modal, kesibukan melayani analis surat berharga, dan keterbatasan untuk melakukan transaksi dengan pihak afiliasi. Beberapa dari alasan tersebut tentunya mengundang perdebatan karena justru hal-hal itulah yang merupakan penunjang pelaksanaan prinsip good corporate governance. 156 Secara umum kriteria dilakukannya delisting adalah sebagai berikut: Perubahan kondisi ekonomi bisa memicu peningkatan jumlah perusahaan yang merasa bahwa mereka lebih baik menjadi perusahaan tertutup dibandingkan menjadi perusahaan publik. 157 1. Selama 3 tahun berturut-turut menderita rugi atau terdapat saldo rugi sebesar 50 atau lebih dari modal disetor dalam neraca perusahaan pada tahun terakhir. 2. Selama 3 tahun berturut-turut tidak membayar dividen tunai untuk saham. Melakukan tiga kali cidera janji untuk obligasi. 3. Jumlah modal sendiri kurang dari Rp. 3 miliar. 4. Jumlah pemegang saham kurang dari 100 pemodal orangbadan selama 3 bulan berturut-turut berdasarkan laporan bulanan emitenBAE 1 pemodal sekurang-kurangnya memiliki 1 satuan perdagangan500saham. 5. Selama 6 bulan berturut-turut tidak terjadi transaksi. 6. Laporan keuangan disusun tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan ketentuan yang ditetapkan BAPEPAM. 156 Ibid. 157 Dikutip dari http:groups.yahoo.comgroupsahammessage2511, diakses pada tanggal 4 Pebruari 2009. Universitas Sumatera Utara 7. Melanggar ketentuan bursa pada khususnya dan ketentuan Pasar Modal pada umumnya. 8. Melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kepentingan umum berdasarkan keputusan instansi berwenang. 9. Emiten dilikuidasi baik karena merger, penggabungan, bangkrut, dibubarkan reksadana atau alasan lainnya. 10. Emiten dinyatakan pailit oleh pengadilan. 11. Emiten menghadapi gugatan perkara peristiwa yang secara material mempengaruhi kondisi dan kelangsungan hidup perusahaan. 12. Khusus untuk emiten reksadana, NAV turun menjadi kurang dari 50 dari nilai perdana yang disebabkan kerugian operasi. Berikut ini ada beberapa hipotesa yang digunakan untuk menjelaskan fenomena dalam proses melakukan voluntary delisting atau go private. 158 1. Hipotesa keuntungan dari pajak Sebagian besar transaksi go private di dunia sering disertai dengan kenaikan yang signifikan dari leverage dari perusahaan tersebut, di mana kenaikan dari pengurangan interest interest deduction dapat menjadi sumber yang penting yang dapat memberikan kenaikan kekayaan wealth. Dalam hal ini, Interest Tax Deductibility dari pinjaman baru dapat memberikan suatu perusahaan untuk go private. Tentu saja pengaruh hal ini di suatu negara akan sangat bergantung pada kebijakan fiskal negara tersebut, juga amat tergantung pada marginal tax rate yang harus dibayar oleh suatu perusahaan. Kaplan 1989, 158 Dikutip dari http:www.hamline.eduapakabarbasisdata199704070038.html, diakses tanggal 21 April 2009. Universitas Sumatera Utara misalnya memperkirakan bahwa keuntungan pajak dari kegiatan melakukan voluntary delisting atau go private di Amerika Serikat dapat mencapai antara 21 dan 72 untuk tahun 80an dari premium yang dibayarkan ke pemegang saham untuk membawa perusahaan tersebut menjadi perusahaan private. Dalam hipotesa ini, perusahaan publik yang mempunyai kewajiban pajak yang besar akan diuntungkan bila perusahaan tersebut melakukan voluntary delisting atau go private terutama karena jumlah utang yang besar yang digunakan untuk membiayai transaksi menciptakan tambahan tax shield yang cukup besar, yang menambah nilai perusahaan sebelum di rekapitulasi. 159 Keuntungan dari pemegang saham dari perusahaan yang melakukan voluntary delisting atau go private berkolerasi positif dengan tingginya tingkat pajak yang harus dibayar, dan dengan leverage ratio yang rendah dari perusahaan tersebut sebelum melakukan voluntary delisting atau go private. 160 2. Hipotesa masalah biaya agen pengelola perusahaan Dalam hipotesis ini ada tiga alasan utama yang menjelaskan terjadinya proses melakukan voluntary delisting atau go private yaitu penyesuaian insentif incentive realignment kendali control dan uang menganggur free cash flow. Incentive realignment manajer dan pemilik saham sering mempunyai kepentingan yang berbeda. Manajer dapat saja meningkatkan keuntungan pribadi mereka dengan berupaya tidak maksimal dan mengurangi nilai dari perusahaannya. 161 159 Ibid. 160 Ibid. 161 Ibid. Universitas Sumatera Utara Kebutuhan untuk menyesuaikan lagi insentif dari manajemen dan pemegang saham sering pula disebut-sebut sebagai salah satu alasan untuk melakukan voluntary delisting atau go private. Di dalam hipotesis ini, penyatuan kembali kepemilikan dan kendali perusahaan akan memperbaiki struktur insentif dan diharapkan dapat meningkatkan usaha manajemen untuk memaksimalkan nilai dari perusahaan. Keuntungan dari pemegang saham perusahaan go private berkolerasi negatif dengan kepemilikan equity management di perusahaan sebelum go private. 162 Kendali control pada perusahaan publik terdapat masalah monitoring keputusan-keputusan manajemen perusahaan. Hal ini terjadi karena perusahaan publik itu dimiliki oleh banyak pemegang saham. Karena investasi dalam hal monitoring yang dilakukan oleh seorang pemegang saham menjadi public good untuk seluruh pemegang saham. Pemegang saham individu yang memiliki hanya sedikit saham akan cenderung underinvest di dalam aktivitas monitoring. Kehadiran kepemilikan dengan konsentrasi yang kecil akan menciptakan kegiatan monitoring yang ketat oleh pemilik saham sebelum proses melakukan voluntary delisting atau go private berlangsung dapat berarti keuntungan untuk melakukan go private tidak akan terlalu besar karena perusahaan tersebut sebelum go private kecil sekali kemungkinannya mengalami agency cost yang tinggi. 163 Keuntungan yang dapat diharapkan oleh pemegang saham perusahaan publik dalam melakukan langkah go private akan berbanding terbalik dengan 162 Ibid. 163 Ibid. Universitas Sumatera Utara tingkat konsentrasi kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemegang saham dari luar. Uang menganggur yang disebut dengan free cash flow didefinisikan sebagai cash flow sisa setelah dikurangi kebutuhan dana untuk membiayai semua proyek yang memiliki net present value yang positif setelah di-discount dengan cost capital yang relevan. Murphy 1985 berargumen bahwa manajer mempunyai insentif untuk menahan dana resource dan untuk menumbuhkan perusahaan melebihi batas optimalnya sering disebut sebagai empire building, yang mana hal ini berlawanan dengan interest dari para pemegang saham. Masalah ini sering terjadi di industri yang memiliki banyak uang tunai, tetapi memiliki prospek pertumbuhan yang rendah. 164 Dengan menukarkan equity dengan hutang, manajer secara kredibel telah membuat komitmen untuk membayarkan cash flow di masa datang daripada menahan cash flow tersebut dan menginvestasikannya di dalam proyek yang memiliki NPV negatif. Meningkatnya resiko default yang timbul karena proses rekapitulasi tersebut akan menumbuhkan motivasi untuk membuat perusahaan tersebut menjadi lebih efisien. 165 Jensen 1986 menyebutkan bahwa banyak dari keuntungan menjadi perusahaan private berasal dari fungsi kontrol dari utang debt. Lowenstein 1985 mengemukakan teori carrot and stick untuk perusahaan yang melakukan voluntary delisting atau go private. Carrot-nya, dalam hal ini, adalah meningkatnya kepemilikan saham dari para manajer yang membuat para manajer 164 Ibid. 165 Mukhti, op.cit., hal. 59. Universitas Sumatera Utara dapat menikmati keuntungan yang lebih besar dari usahanya. Sedangkan stick- nya adalah utang yang besar yang diambil oleh perusahaan untuk perusahaan meminjam dalam jumlah yang besar akan memaksa manajer perusahaan untuk menjalankan perusahaan dengan efisien untuk mencegah terjadinya default. 166 Harapan keuntungan dari pemegang saham perusahaan publik dari suatu proses go private akan berkolerasi positif dengan level free cash flow dari perusahaan tersebut sebelum melakukan voluntary delisting atau go private. Dalam hipotesis ini, leverage yang tinggi karena proses melakukan voluntary delisting atau go private akan mencegah terjadinya pemborosan free cash flow karena proses go private tersebut akan mengikat manajer untuk membayar lebih banyak cash flow untuk membayar utang. 167 3. Hipotesa biaya transaksi Banyak kalangan yang menyebutkan salah satu alasan untuk melakukan voluntary delisting atau go private adalah karena biaya untuk menjadi perusahaan yang listed di bursa tidaklah murah. Untuk perusahaan di Inggris, misalnya, sebuah perusahaan yang memiliki market cap 100 juta Pound harus membayar sekitar 43,700 Pound di tahun 2003 untuk bisa listed di London Stock Exchange LSE, dengan listing fee tahunan sebesar 6,280 Pound. Biaya ini akan bervariasi sesuai dengan ukuran perusahaan dan jenis pasar di mana perusahaan tersebut terdaftar. Di samping itu, menurut Benoit 1999 perusahaan Inggris yang listed harus membayar ke pialang saham, registrar, pengacara, bank dan perusahaan PR 166 Ibid. 167 Dikutip dari http:www.hamline.eduapakabarbasisdata199704070038.html, diakses tanggal 21 April 2009. Universitas Sumatera Utara finansial, juga biaya jual-beli, auditing, pencetakan dan pendistribusian account, yang jumlahnya dapat mencapai 250,000 Poundsterling. 168 Pada dasarnya, hipotesa biaya transaksi menunjukkan bahwa keuntungan dari go private sebagian besar berasal dari penghapusan biaya-biaya langsung maupun tak langsung yang berhubungan dengan status listed saham perusahaan tersebut. Keuntungan pemilik saham perusahaan publik dari proses go private berkolerasi positif dengan penghematan yang dilakukan dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan listed. 169 4. Hipotesa perlindungan terhadap usaha pengambilalihan Sebagian perusahaan disinyalir menempuh langkah melakukan voluntary delisting atau go private sebagai pertahan terakhir terhadap pengambilalihan paksa hostile shareholder or tender offer. Para manajer merasa ketakutan kehilangan pekerjaan mereka bila pengambilalihan paksa tersebut dibiarkan terjadi. Karena itu, mereka merubah status perusahaannya menjadi perusahaan private. Secara singkat, menurut hipotesa ini premium dari suatu proses go private menggambarkan indikasi bahwa tim manajemen berniat untuk membeli saham dari pemegang saham lainnya untuk melindungi perusahaan tersebut dari pengambilalihan yang tidak dikehendaki. 170 Keuntungan perusahaan yang berstatus publik adalah akses dana masyarakat melalui pasar modal. Selain itu, dengan merubah perusahaan menjadi berstatus publik, perusahaan dapat merubah pola insentif bagi manajemen, 168 Ibid. 169 Ibid. 170 Ibid. Universitas Sumatera Utara misalnya dengan memberikan atau memperbolehkan manajemen perusahaan untuk memiliki sebagian saham perusahaan. Dengan struktur kepemilikan yang demikian, manajemen perusahaan diperkirakan akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengoperasikan perusahaannya dengan lebih efisien. Rasa memiliki yang lebih tinggi dari sebelumnya akan memberikan insentif tambahan bagi para manajemen utnuk melakukan hal tersebut. 171 Bursa saham memberikan peluang kepada manajemen atau pemilik perusahaan tersebut untuk merealisasikan keuntungannya dengan go public. Tindakan ini akan mengurangi kepemilikan pemilik asli dari perusahaan tersebut. Tetapi sebagai kompensasinya mereka akan mendapatkan uang tunai dari hasil penjualan saham tersebut. Untuk perusahaan yang kinerjanya bagus hasil penjualan ini bisa amat menggiurkan. Jadi, bursa saham dapat menyediakan jalan keluar untuk merealisasikan keuntungan. Premium dari suatu proses melakukan voluntary delisting atau go private berkolerasi positif dengan tekanan pengambilalihan untuk mengendalikan perusahaan dari pasar. Keuntungan lain yang sering disebut adalah merealisasikan keuntungan yang telah dibuat. Suatu perusahaan private yang berhasil mengeksekusi proyek- proyek dengan berhasil akan mengalami kenaikan nilai yang signifikan. 172 5. Hipotesa undervalution Asimmetric information dapat terjadi antara manajemen dan pemegang saham dari luar tentang nilai maksimum suatu perusahaan. Hal ini terjadi karena 171 Ibid. 172 I Putu Gede Ary Suta, Menuju Pasar Modal Modern, Jakarta: Yayasan Sad Satria Bhakti, 2000, hal. 16. Universitas Sumatera Utara biasanya pihak manajemen mengetahui dengan lebih detail tentang prospek pasar atau proyek-proyek yang dikerjakan oleh perusahaan dibandingkan dengan orang di luar pihak manajemen. Jadi ada peluang terjadinya suatu keadaan di mana pihak manajemen menilai harga dari saham perusahaannya terlalu rendah dibandingkan dengan potensi sesungguhnya dari perusahaan tersebut. 173 Masalah ini menjadi semakin parah ketika perusahaan yang listed terutama yang kecil merasa kesulitan untuk menggunakan pasar ekuitas untuk membiayai rencana ekspansinya, karena dalam keadaan yang demikian, sulit untuk menarik perhatian investor institusional maupun para fund manager. Kurangnya minat akan saham-saham perusahaan tersebut membuat saham tersebut menjadi tidak likuid dan berimplikasi bahwa saham-saham perusahaan tersebut akan tetap dinilai lebih rendah dari potensi sesungguhnya. Keadaan yang demikian dapat memicu suatu perusahaan untuk melakukan voluntary delisting atau go private. Dan jika investor institusional berusaha untuk menjual saham perusahaan yang diperdagangkan secara tipis di pasar modal, kemungkinannya sangat besar bahwa penjualan saham tersebut akan berdampak negatif atau mengalami kebangkrutan yang cukup signifikan terutama terhadap harga saham perusahaan tersebut. Hal ini akan mengurangi nilai dari saham yang ada. 174 Bankruptcy is a method for sttling the debts of individuals or business entities that are unable to pay debts as they becomes due. Yang artinya adalah kebangkrutan adalah suatu metode untuk penyelesaian hutang individu atau kesatuan bisnis yang tidak mampu untuk membayar hutang ketika jatuh tempo. 173 Ibid. 174 Ibid. Universitas Sumatera Utara Business corporations are subjects to both voluntary and involuntary bankruptcy. Diartikan sebagai korporasi bisnis yaitu tunduk kepada kedua- duanya yang sukarela dan kebangkrutan tanpa disengaja. 175 Hipotesis undervaluation menyebutkan bahwa manajemen mampu membayar premium yang lebih tinggi pada suatu proses melakukan voluntary delisting atau go private ketika harga saham perusahaan tersebut di pasar modal under performing di bawah nilai potensialnya. Ekspektasi keuntungan dari pemegang saham perusahaan publik berkorelasi positif dengan tingkat undervaluation perusahaan tersebut sebelum melakukan voluntary delisting atau go private. 176

C. Prosedur Delisting