Pressure Effect of Temperature on Koi Herpes Virus Diseases (KHVD) at Koi Fish (Cyprinus carpio koi).

(1)

DEWI MURNI A.

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pengaruh Cekaman Suhu terhadap Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) pada Ikan Koi (Cyprinus carpio koi)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Dewi Murni A. NRP: B253090041


(3)

(KHVD) at Koi Fish (Cyprinus carpio koi). Under direction of FACHRIYAN HASMI PASARIBU and ABDUL GANI AMRI SIREGAR.

Koi fish are susceptible to Koi Herpes Virus Disease (KHVD). The disease is caused by the Koi herpesvirus, and mortality rate up to 80-95% within 2 weeks after infection. Koi herpesvirus is included in the virus that is hexagonal with a diameter of 100 nm. This study aims to determine the effect of temperature stress on the ability of Koi herpesvirus infects KHV free Koi fish and know the nature of transmission. Isolation and identification of Koi herpesvirus originate from the gills of Koi fish organs by the method of polymerase chain reaction (PCR) using PCR-KIT IQ2000TM. In this research, there were 8 fish groups of research, including the 6 fish group of test fish and two control test. The fish were injected with a virus suspension 10% as much as Koi herpesvirus 0.1 ml in intra peritoneal. For 14 days, seven of the first group as a fish's treatment of extreme temperatures at night 18-19 0C and 30-31 0C during the day. The 8th group of fish without control treatment temperature extremes. In a sequence group, the number of fish that were positive of KHVD were 5/5, 7/10, 5/5, 8/10, 0/5, 0/10, 4/5 and 0/5. KHV isolates with codes D143, D144 and M628 extremely virulent KHV isolates and not in the code D139. Stressed fish more susceptible to KHV- infection and KHV-infected fish easily transmit the koi herpesvirus in healthy fish or cohabitation by contamination of water in the aquarium and / or direct contact. Key word: Koi herpesvirus, KHVD, Koi fish, pressure effect of temperature


(4)

(KHV) pada Ikan Koi (Cyprinus carpio koi). Dibimbing oleh FACHRIYAN HASMI PASARIBU dan ABDUL GANI AMRI SIREGAR.

Ikan Koi mudah terserang penyakit Koi Herpes Virus (KHV). Penyakit ini disebabkan oleh Koi herpesvirus dengan angka mortalitas hingga 80-95% selama 2 minggu pasca infeksi. Bentuk morfologi dari Koi herpesvirus adalah ikosahedral dengan diameter 100 nm (Fenner et al. 1993). Koi herpesvirus dapat memperbanyak diri pada temperatur 18-30°C dan biasanya muncul pada pergantian musim yaitu musim kemarau ke musim hujan (Sunarto 2005). Penyakit KHV ini masuk ke Indonesia sejak 2002 (Rukyani et al. (2005) melalui perdagangan ikan lintas antar negara (Pasaribu, 2003). Penyakit KHV menyebabkan penurunan produksi ikan Koi secara drastis (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cekaman suhu terhadap kemampuan Koi herpesvirus menginfeksi ikan Koi bebas KHV dan mengetahui sifat penularannya. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi dalam penanganan dan pengendalian yang tepat bagi para petani ikan dan bagi pihak yang berkepentingan dalam memberantas penyakit KHV.

Penelitian ini dilakukan beberapa laboratorium, yaitu 1) Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta, 2) Laboratorium Kesehatan Satwa Akuatik FKH-IPB, 3) Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai Besar Karantina Ikan Makassar, dan 4) Laboratorium Kualitas Air FKIP Universitas Hasanuddin Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan sejak bulan November 2010 sampai dengan Oktober 2011.

Penelitian ini dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah Koi herpesvirus diisolasi dan diidentifikasi dari 12 sampel berupa insang ikan Koi yang diberi kode D138, D139, D140, D141, D142, D143, D144, D145, D146, D147, D148 dan D149 dengan metode nested Polymerase Chain Reaction (PCR) dan menggunakan PCR-KIT IQ2000TM KHV. Tahap kedua adalah ekstraksi organ dan pembuatan suspensi Koi herpesvirus dengan konsentrasi 10% yaitu 1 gram insang dalam 9 ml phosphate buffer saline (PBS) pH 7,1. Tahap ketiga adalah infeksi suspensi Koi herpesvirus pada ikan Koi bebas KHV yang telah diaklimatisasi selama 1 minggu dan dikelompokkan menjadi 8 yaitu 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 4A dan 4B dan secara berurutan terdiri dari 5, 10, 5, 10, 5, 10, 5 dan 5 ekor. Enam kelompok pertama merupakan kelompok ikan perlakuan dan 2 kelompok lainnya adalah kelompok kontrol. Lima ekor dari masing-masing kelompok diinjeksi dengan suspensi virus KHV 10% sebanyak 0,1 ml secara intra peritoneal. Bersamaan tersebut 5 ekor ikan tanpa injeksi dikohabitasikan pada kelompok 1B, 2B dan 3B. Tahap keempat adalah pemberian suhu secara ekstrim yaitu pemberian suhu dari 18-19 0C selama 14 jam pada malam hari dan 30-310C selama 10 jam pada siang hari. Pemberian suhu ekstrim ini dilakukan pada tujuh kelompok pertama, dan tidak pada kelompok ke-8. Tahap kelima adalah pengamatan ikan coba berdasarkan waktu, diagnosa penyakit dan kualitas air.


(5)

mempunyai perbedaan gen KHV satu sama lain baik kuantitas dan semikualitas. Secara berurutan sampel D139, D143, D144 dan M628 mempunyai kuantitas 20, 200, 2000 dan 2000 copies DNA dan semikualitas 229bp (+), 240bp (++), 630 bp (+++) dan 630 bp (+++). Stock virus dengan kode D144 digunakan untuk uji coba pada kelompok 1A dan 1B, stock virus kode D143 untuk kelompok 2A dan 2B, stock virus D139 untuk kelompok 3A dan 3B, stock virus M628 (milik BBKI Makassar) untuk kelompok 4A dan 4B. Setelah diberi perlakuan suhu ekstrim, ikan menunjukkan hasil positif KHV pada hari ke-7 sampai ke-11 pasca injeksi. Hasil positif KHV ini diketahui setelah dilakukan pemeriksaan berdasarkan gejala sakit, perubahan makroskopis dan pemeriksaan biologi molekuler metode nested PCR. Hasil positif KHV tersebut secara berurutan kelompok adalah 5/5, 7/10, 5/5, 8/10, 0/5, 0/10, 4/5 dan 0/5.

Walau ikan termasuk dalam hewan poikilotermal, ikan Koi mudah mengalami stres ketika terjadi perubahan suhu air hingga 5ºC dalam tempo singkat. Biasanya ikan Koi dapat bertahan hidup pada suhu 8-30ºC. ketika ikan Koi mengalami stres, tekanan darah dari tubuh ikan Koi akan turun sehingga syaraf simpatis dan medula adrenal menstimulasi jaringan hipotalamus untuk mensekresikan katekolamin, adenocorticosteroid (ACTH). Hal ini menyebabkan hipertropi kelenjar adrenal, atropi kelenjar limfe dan menekan produksi leukosit sehingga daya tahan tubuh turun. Selain itu, produksi interferon, antibodi dan Cell mediated immunity (CMI) turun akibat level corticosteroid dalam darah tinggi. Hal ini menyebabkan tubuh menjadi lebih peka terhadap infeksi virus KHV.

Pada penelitian ini ikan kohabitasi terinfeksi penyakit KHV. Hal ini akibat kontak langsung dengan ikan sakit dan tertular dengan air yang terkontaminasi virus KHV dari eksreta mukosa ikan sakit akibat injeksi virus KHV, disamping adanya faktor pemberian suhu secara ekstrim.


(6)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

DEWI MURNI A.

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi Medik

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

(9)

Judul Tesis : Pengaruh Cekaman Suhu terhadap Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) pada Ikan Koi (Cyprinus carpio koi)

Nama : Dewi Murni A. NRP : B253090041

Program Studi : Mikrobiologi Medik

Disetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu Ketua

drh. Abdul Gani Amri Siregar, MS. Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Mikrobiologi Medik

Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.


(10)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema dari penelitian ini adalah “Pengaruh Cekaman Suhu terhadap Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) pada ikan Koi (Cyprinus carpio koi)”.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan drh. Abdul Gani Amri Siregar, MS selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama penelitian dan penulisan tesis. Penulis ucapkan terima kasih pula kepada Laboratorium Kesehatan Satwa Akuatik FKH-IPB, Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta, Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai Besar Karantina Ikan Makassar dan Laboratorium Kualitas Air FKIP UNHAS Makassar atas bantuan dan kerjasamanya. Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada PEMDA Kabupaten POLMAN Provinsi SULBAR sebagai sponsor penelitian ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ayahanda Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu yang telah memberikan support moral dan dana studi penulis pada Program Magister “Mikrobiologi Medik” Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih pula kepada keluarga besar Roesdi dan To Nadi yang telah sabar memberikan doa malamnya demi kelancaran studi dan penelitian penulis. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerjasamanya.

Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012


(11)

Penulis dilahirkan di Bumiayu, Jawa Tengah pada tanggal 26 April 1977 dari pasangan Bapak Khamitt To Nadi dan Ibu Roesse Roesdi. Pendidikan Program Sarjana dan Profesi Kedokteran Hewan ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan UGM dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2009, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi pada Program Magister “Mikrobiologi Medik” Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana studi dari Ayahanda Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan dana penelitian dari PEMDA Kabupaten POLMAN Provinsi SULBAR.

Penulis bekerja sebagai staf honorer di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan, Provinsi Banten sejak 2007.


(12)

DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN………

xi xii xiii I. PENDAHULUAN……….

1.1 Latar Belakang………... 1.2 Tujuan Penelitian………... 1.3 Manfaat penelitian………. II. TINJAUAN PUSTAKA………...

2.1 Ikan Koi (Cyprinus carpio koi) ……… 2.1.1 Sistematika dan Ciri Morfologi Ikan Koi………... 2.1.2 Pakan dan Pola Makan…….……….. 2.1.3 Jenis Koi……… 2.2 Kualitas Air………... 2.2.1 Power of hydrogen (pH) ………... 2.2.2 Deplesi Oksigen (DO)………... 2.2.3 Amonia………... 2.2.4 Nitrit Nitrogen (NO2-N) ………... 2.2.5 Nitrat Nitrogen (NO3-N) ………... 2.3 Stres………... 2.4 Koi herpesvirus (KHV)...……….. 2.4.1 Klasifikasi Herpesviridae………... 2.4.2 Replikasi Virus Herpes………... 2.5 Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) ……….. 2.5.1 Cara Penularan…..………... 2.5.2 Gejala Klinis………... 2.5.3 Perubahan Makroskopis………... 2.5.4 Diagnosa………... 2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR) ………..

2.6.1 Single PCR………... 2.6.2 Nested PCR………... III. BAHAN DAN METODE………..

3.1 Tempat dan Waktu………. 3.2 Materi dan Metode Penelitian………..……….. 3.2.1 Materi Penelitian……….……... 3.2.2 Metode Penelitian………..………... 3.2.2.1 Identifikasi Koi herpesvirus dari Organ Insang Ikan

Koi dengan Metode Nested PCR…….

3.2.2.2 Ekstraksi Organ dan Pembuatan Suspensi Koi herpesvirus 10%………... 3.2.2.3 Infeksi Suspensi Koi herpesvirus 10% pada Ikan

1 1 2 2 3 3 3 3 4 5 5 5 6 7 8 8 9 10 10 11 11 12 12 12 13 13 15 17 17 17 17 17 17 19


(13)

Diagnosa Penyakit dan Kualitas Air……… 3.3 Analisa Data………... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 4.1 Isolasi dan Identifikasi Koi herpesvirus …………..………. 4.2 Ekstraksi Organ dan Pembuatan Suspensi virus KHV 10%... 4.3 Injeksi Suspensi Virus KHV 10% pada Ikan Coba……….... 4.4 Diagnosa……….………... 4.4.1 Gejala Klinis………... 4.4.2 Perubahan Makroskopis………... 4.4.3 Pemeriksaan Sampel Insang dengan Metode Nested PCR…. 4.5 Patogenesa Penyakit KHV………...  4.6 Cara Penularan KHV………... 4.7 Kualitas Air dan Cekaman Suhu……..……….

4.7.1 Power of hydrogen (pH) ………... 4.7.2 Salinitas………... 4.7.3 Deplesi oksigen (DO) ………... 4.7.4 Amonia………... 4.7.5 Nitrit (NO2)………..………... 4.7.6 Nitrat (NO3) ………... 4.7.7 Cekaman Suhu dan Stres.………... V. KESIMPULAN DAN SARAN………...

5.1 Kesimpulan………... 5.2 Saran……….. DAFTAR PUSTAKA……….. 20 21 21 21 21 21 22 22 23 24 29 29 29 29 30 30 30 31 32 33 37 37 37 39


(14)

1. Master mix I dari nested PCR……… 2. Master mix I dari nested PCR……… 3. Siklus amplifikasi-nested PCR……….. 4. Disain cakaman suhu terhadap infeksi virus KHV ...…….………… 5. Gejala klinis ikan sakit pasca infeksi virus KHV 10% ... 6. Perubahan makroskopis ikan sakit pasca infeksi virus KHV 10% ... 7. Pemeriksaan sampel insang dengan metode nested PCR………. 8. Diagnosa Penyakit KHV ………...

16 16 16 20 23 24 28 28


(15)

1. Jenis-jenis ikan Koi……...……….……….. 2. Proses amplifikasi ekstrak DNA dalam thermocycler……… 3. Diagram amplifikasi pada nested PCR……….……….…. 4. Polastandar dan sampel positif dengan PCR-KIT IQ2000 TM ……. 5. Isolasi dan identifikasi Koi herpesvirus dengan metode nested PCR 6. Gejala klinis ikan Koi suspect KHV …………...……… 7. Perubahan makroskopis ikan Koi suspect KHV ……….………….. 8. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 1A……….……….… 9. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 1B……….……….… 10. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 2A…….……….…… 11. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 2B……….……….… 12. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 3A……….……….… 13. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 3B……….……….… 14. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 4A……….……….… 15. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 4B……….……….… 16. Uji kualitas air deplesi oksigen (DO) ..……….. 17. Uji kualitas air amonia (NH3)……….. 18. Uji kualitas air nitrit (NO2) ……….…… 19. Uji kualitas air nitrat (NO3)………

4 15 15 18 21 22 23 26 26 26 27 27 27 27 28 30 31 31 32


(16)

Halaman

1. PCR KIT IQ2000TM KHV………...

2. Metode Penelitian………..

3. Gejala klinis pasca injeksi suspensi virus KHV 10%... 4. Perubahan makroskopis pasca injeksi suspensi virus KHV 10%... 5. Pemeriksaan biologi molekuler metode Nested PCR……… 6. Diagnosa Penyakit KHV………...

7. Uji Nitrogen-Amonia………

8. Uji Nitrogen –Nitrat……….. 9. Uji nitrogen Nitrit……….. 10.Data Pengamatan suhu………..

43 45 48 52 55 56 57 58 59 60


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Belakangan ini komoditas ikan koi (Cyprinus carpio koi) berkembang dengan pesat di pasaran nasional. Ikan koi merupakan ikan hias yang berhabitat pada air tawar dan diminati oleh para hobies. Ikan Koi mempunyai hubungan kekerabatan sangat erat dengan ikan Mas (Cyprinus carpio carpio) karena memiliki famili, genus, dan spesies yang sama (Susanto 2000). Ikan-ikan tersebut mudah terserang penyakit Koi Herpes Virus (KHV) yang disebabkan oleh Koi herpesvirus (Hendrick et al. 1997). Koi herpesvirus berbentuk ikosahedral dengan diameter 100 nm (Fenner et al. 1993). Virus KHV dapat memperbanyak diri pada temperatur antara 18-30°C (Sunarto 2005) dan tidak bersifat menular kepada manusia (Rukyani dan Sunarto 2003).

Di Indonesia, penyakit KHV pada tahun 2002 tercatat telah menyebabkan kematian hingga 80-95% selama masa inkubasi (Anonim 2005). Namun belakangan ini angka kematian akibat infeksi virus KHV tersebut telah turun. Hal ini diduga akibat virus KHV telah lama terpapar pada kawasan budidaya ikan Koi maupun ikan Mas.

KHV pertama kali diidentifikasi di Israel dan Amerika Serikat pada tahun 1998 dan diduga sebagai penyebab kematian massal ikan Koi baik stadia juvenil maupun dewasa (Hedrick et al. 1998). Kejadian wabah penyakit KHV pertama kali di Indonesia dilaporkan oleh Rukyani et al. (2005) ke Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties, OIE) yang ditandai dengan adanya kasus kematian massal pada ikan Koi dan ikan Mas pada bulan Juni 2002. Awalnya penyakit KHV menyerang ikan Koi di Blitar (Jawa Timur), kemudian menyerang ikan Mas di Jawa Barat. Setelah kejadian tersebut, KHV menyerang daerah lainnya yaitu Lubuklinggau (Sumsel), Danau Maninjau (Sumbar) dan Danau Toba (Sumut) (Departemen Kelautan dan Perikanan 2002). Penyakit ini masuk ke Indonesia melalui perdagangan ikan lintas antar negara (Pasaribu 2003). Penyakit ini menyebar sampai ke Eropa, Jepang, Rusia, Israel, Korea, Amerika Serikat, Malaysia dan Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010).


(18)

Sejak ada wabah penyakit KHV di Indonesia, produksi ikan Koi dan ikan Mas mengalami penurunan yang drastis (Departemen Kelautan dan Perikanan 2010). Wabah penyakit KHV ini biasanya muncul pada pergantian musim yaitu musim kemarau ke musim hujan. Penyakit ini telah menyebar di berbagai wilayah di Indonesia. Penyakit KHV berstatus endemik di beberapa provinsi di Indonesia yaitu Jawa, Bali, Sumatera, Lombok, Bima, Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sorong dan Timika. Sedang Sulawesi Barat, Gorontalo dan Maluku adalah daerah bebas KHV

(Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010). Hingga hari ini belum ada obat untuk penyakit tersebut (Pasaribu 2011). Namun telah dikembangkan penelitian vaksin (Nuryati 2010) dan imunostimulan terhadap penyakit KHV (Pasaribu 2011).

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh cekaman suhu terhadap kemampuan virus KHV menginfeksi ikan Koi yang bebas KHV serta menguji sifat penularannya.

1.3 Manfaat

Harapan dari penelitian ini adalah dapat memberikan solusi yang tepat dalam pengendalian, penanganan dan pemberantasan penyakit KHV pada budidaya ikan Koi.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Koi (Cyprinus carpio koi)

2.1.1 Sistematika dan Ciri Morfologi Ikan Koi

Ikan Koi berasal dari keturunan ikan karper hitam atau ikan Mas yang melalui proses perkawinan silang dan menghasilkan keturunan yang berwarna- warni. Ikan Koi memiliki klasifikasi yang sama dengan ikan Mas, seperti berikut:

Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Super Kelas : Pisces Kelas : Osteichtyes Sub Kelas : Actino Ptergll Ordo : Cypriniformei Sub Ordo : Cyprinidae Suku : Cyrinidae Genus : Cyprinus

Spesies : Cyprinus carpio (Saanin H 1984). Ikan Koi dan ikan Mas mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat erat karena memiliki famili, genus, dan spesies yang sama. Menurut Susanto (2000), badan ikan Koi berbentuk seperti torpedo dengan alat gerak berupa sirip. Ikan Koi jantan mempunyai bentuk tubuh langsing, sedangkan ikan Koi betina bentuk tubuhnya agak membulat. Ikan koi memiliki 5 sirip yaitu sirip dada, sirip perut, sirip anal, sirip ekor dan sirip punggung. Sirip dada dan sirip ekor ikan Koi tersusun atas jari-jari lunak. Sirip punggung tersusun atas 3 jari-jari keras dan 20 jari-jari lunak sedang sirip perut tersusun atas 9 jari-jari lunak. Sirip anus tersusun atas 3 jari-jari keras dan jari-jari lunak. Pada sisi badan dari pertengahan batang sampai batang ekor terdapat gurat sisi yang berguna untuk merasakan getaran suara. Garis ini terbentuk dari urat-urat yang ada di dalam sisik.

2.1.2 Pakan dan Pola Makan

Ikan Koi tergolong dalam hewan omnivora. Biasanya pakan ikan Koi berupa ikan kecil, kerang-kerangan atau jenis tumbuh-tumbuhan. Pakan utama anak Koi adalah udang-udang renik (Daphnia). Sejalan dengan pertumbuhan badannya, ikan Koi dapat memakan serangga air, jentik-jentik nyamuk atau lumut-lumut yang menempel pada tanaman.


(20)

Menurut Susanto (2000), ikan Koi di dalam air mampu mengenali pakannya dan bahkan mencarinya diantara lumpur di dasar kolam, karena ikan Koi mempunyai organ penciuman yang sangat tajam. Organ penciuman ini berupa dua pasang kumis yang terletak pada bagian kiri dan kanan mulutnya. Ikan Koi akan memburu sepotong pakan atau mengaduk-aduk lumpur untuk mendapatkan pakan yang dibutuhkan. Mulut ikan Koi berukuran cukup besar dan dapat disembulkan. Pakan berukuran kecil bersama-sama air memasuki rongga mulut langsung ditelan masuk ke dalam kerongkongan dan dicerna di usus. Sedang air melewati lamella insang setelah oksigen dalam air diserap.

2.1.3 Jenis Koi

Berbagai jenis ikan Koi, diantaranya adalah ikan Koi Kohaku, Koi Taisho Sanke, Koi Showa Sanshoku, Koi Utsurimono, Koi Asagi, Koi Ogon yang, Koi Kin Ginrin, Koi Bekko, Shiro Bekko Ki Bekko Aka Bekko, Koi Tancho dan Koi Koromo atau Goromo (Tiara dan Muhananto 2011).

Gambar 1 Jenis ikan Koi

Pertumbuhan ikan Koi tergantung pada suhu air, pakan dan jenis kelamin. Enam bulan pertama, ikan Koi tumbuh sangat cepat. Sampai umur 2 tahun, ikan Koi jantan tumbuh pesat dibandingkan ikan Koi betina. Namun setelah umur 2


(21)

tahun ikan Koi betina tumbuh pesat dibandingkan ikan Koi jantan (Tiara dan Muhananto 2011).

2.2 Kualitas Air

Air merupakan media hidup yang sangat mendukung dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme akuatik. Setiap jenis ikan memiliki batas toleran yang berbeda-beda dan dinyatakan dengan kisaran nilai tertentu. Ada beberapa parameter kelayakan perairan perikanan disebut kualitas air. Parameter kualitas air ini digolongkan menjadi 2 yaitu secara fisika dan kimia. Kualitas air tersebut diantaranya adalah suhu, salinitas, kekeruhan, oksigen terlarut, pH, amonia, nitrat dan nitrit (Effendy 2003).

Suhu merupakan salah satu parameter air yang berperan penting sebagai controlling factor. Metabolisme optimal akan terjadi pada suhu yang optimal. Setiap jenis ikan mempunyai batas toleran yang berbeda-beda. Effendy (2003)  mengatakan bahwa ikan Koi dapat hidup pada kisaran suhu 8-30ºC, oleh sebab itu ikan Koi dapat di pelihara di seluruh Indonesia, mulai dari pantai hingga daerah pegunungan. Suhu ideal untuk pertumbuhan ikan Koi adalah 15-25ºC.

2.2.1 Power of hydrogen (pH)

Kesuburan air juga ditentukan oleh pH dimana logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (pH) = -log [H]. Air murni pada suhu 25 C memiliki konsentrasi pH 7. Perairan dengan pH netral sampai alkalis dapat digunakan untuk budidaya ikan daripada perairan dengan pH asam. Ikan Koi bertahan hidup pada pH 6,5-8. Perubahan pH biasanya menimbulkan stres pada ikan. Kemampuan air menahan perubahan pH lebih penting daripada nilai pH itu sendiri. Namun Boyd (1982) mengatakan bahwa ikan akan mati pada pH < 4; ikan tidak dapat bereproduksi pada pH 4-5; laju pertumbuhan ikan menjadi lambat pada pH 5-6; layak untuk budidaya pada pH 6,5-9; pertumbuhan ikan menjadi lambat pada pH 9-11; dan bila pH >11 maka ikan akan mati.

2.2.2 Deplesi Oksigen (DO)

Kebutuhan ikan terhadap oksigen tergantung pada jenis, ukuran, aktivitas, suhu dan kualitas pakan. Ikan kecil masih bertahan hidup untuk beberapa saat pada DO 0,0-0,3 mg/liter, namun akan mati pada DO 0,3-1,0 mg/liter. Bila DO air berada pada kisaran 1,0-5,0 mg/liter, ikan akan mengalami pertumbuhan yang


(22)

lambat tetapi pada DO > 5 mg/liter maka ikan akan tumbuh secara optimal (Effendy 2003).

2.2.3 Amonia

Amonia dihasilkan akibat dari proses pemupukan, ekskresi ikan, dekomposisi mikroba dari komponen nitrogen. Ketika amonia memasuki perairan, ion hidrogen langsung bereaksi dan mengubah amonia ke dalam suatu kondisi keseimbangan antara ion amonium yang tidak beracun (NH4+) dan amonia tak terionisasi (NH3) yang beracun (Boyd 1982).

NH3 + H+ + OH- NH4+ + OH-

Penguraian amonia di dalam air bergantung pada pH dan suhu. Selain itu juga dipengaruhi faktor lain seperti kekuatan ion dalam larutan dan salinitas. Toksisitas amonia dapat meningkat pada kondisi DO yang rendah. Amonia tak terionisasi (NH3) akan menurun secara relatif menjadi amonia yang terionisasi (NH4+) pada air sadah dan bersalinitas.

Total amonia dalam bentuk NH4+ dan NH3 tergantung pada peningkatan pH dan temperatur. Pengaruh pH terhadap amonia lebih dominan dibandingkan temperatur. Air dengan pH yang rendah memiliki ion hidrogen lebih banyak sehingga bentuk NH4+ lebih dominan, yang mana NH4+ tidak beracun bila jauh lebih banyak dibandingkan NH3. Peningkatan suhu air juga dapat meningkatkan NH3 jauh lebih banyak dibandingkan NH4+,sehingga dapat membahayakan ikan yang berada dalam sistem tersebut.

Keberadaan amonia mempengaruhi pertumbuhan karena mereduksi masukan oksigen yang disebabkan oleh rusaknya insang, menambah energi untuk keperluan detoksifikasi, mengganggu osmoregulasi dan mengakibatkan kerusakan fisik pada jaringan.

Kadar amonia yang tinggi juga mempengaruhi permeabelitas tubuh ikan terhadap air dan mengurangi konsentrasi ion dalam tubuh, meningkatkan konsumsi oksigen pada jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan darah dalam melakukan transport oksigen. Ketika konsentrasi amonia dilingkungan meningkat, eksresi amonia pada ikan akan turun sehingga kadar amonia dalam darah dan jaringan akan meningkat. Ikan yang berada dalam


(23)

konsentrasi amonia lingkungan yang tinggi secara terus-menerus akan menurunkan pertumbuhan dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit.

Kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada air tawar sebaiknya tidak lebih 0,2 mg/liter, karena pada beberapa spesies ikan zat tersebut dapat bersifat toksik. Pada kadar amonia 0,52 mg/liter, pertumbuhan tubuh ikan akan turun hingga 50% dan tidak akan terjadi pertumbuhan pada konsentrasi 0,97 mg/liter. Kadar amonia yang tinggi merupakan salah satu parameter adanya pencemaran bahan organik. Kadar amonia yang tinggi dapat terjadi pula pada dasar danau yang mengalami deplesi oksigen (Effendy 2003). UNESCO/WHO/UNEP (1992) menyampaikan bahwa kadar maksimum kualitas air yang diperkenankan untuk kehidupan organisme akuatik adalah 1.37-2.2 mg/liter.

2.2.4 Nitrit Nitrogen (NO2-N)

Ion nitrit dibentuk dari nitrat (NO3-) atau ion amonium (NH4+) oleh mikroorganisme tertentu yang dapat ditemukan di tanah dan air. Nitrit dihasilkan dari dekomposisi feses dan sisa pakan oleh bakteri Nitrosomonas. Nitrit juga merupakan produk intermediet antara amonium dan nitrat. Toksisitas nitrit mungkin berhubungan dengan konsentrasi asam nitrit, yang tergantung pada suhu, pH dan salinitas. Rendahnya pH akan meningkatkan pembentukan asam nitrit. Selain itu toksisitas nitrit (atau asam nitrit) akan meningkat pada konsentrasi DO rendah dan suhu yang tinggi.

Kalium dan klorida dapat meningkatkan toleransi ikan terhadap nitrit karena ion-ion tersebut dapat bersaing dengan nitrit dalam transportasi melalui epitel insang, sehingga dapat menurunkan jumlah pengambilan nitrit di air. Penurunan pH akan meningkatkan toksisitas nitrit karena nitrit akan dikonversi menjadi asam nitrit. Selain itu, toksisitas nitrit juga dipengaruhi oleh ukuran ikan, oksigen terlarut, kandungan nitrit, status makanan dan infeksi (Effendy 2003).

Konsentrasi toksik nitrit berbeda-beda tergantung spesies, untuk salmoid sekitar 0.3 mg/l NO2-N, dan catfish 13 mg/l NO2-N. Namun secara umum konsentrasi nitrit yang aman bagi ikan adalah 0.6 mg/l NO2-N (UNESCO/WHO/UNEP 1992). Saat nitrit diabsorbsi oleh ikan, nitrit akan bereaksi dengan hemoglobin membentuk methemoglobin.


(24)

Hb+ NO2- Met-Hb

Nitrit akan mengoksidasi ferro (Fe2+) menjadi ferri (Fe3+). Hal ini meyebabkan darah tidak dapat mengikat oksigen, sehingga toksisitas nitrit akan menyebabkan aktivitas hemogloblin menurun. Toksisitas nitrit disebut methemoglobinaemia (Murray 2000).

2.2.5 Nitrat Nitrogen (NO3-N)

Ion nitrat dibentuk oleh oksidasi lengkap dari ion amonium oleh mikroorganisme yang berada dalam tanah, air dan atau akibat proses nitrifikasi dari amonia. Bakteri yang berperan dalam nitrifikasi untuk mengubah nitrit menjadi nitrat menjadi nitrogen bebas (N2) yang dapat terlepas dari sistem gas. Reaksi ini dapat ditemukan pada biofilter dan lingkungan alamiah serta bertanggung jawab untuk mempertahankan konsentrasi amonia dalam kisaran yang layak. Nitrat (NO3-) umumnya tidak beracun bagi ikan, namun bila kadar nitrat lebih dari 0,2 mg/liter dapat menyebabkan peningkatan jumlah nutrient di dalam ekosistem air (eutrofikasi) dan selanjutnya menstimulasi pertumbuhan alga dan tumbuhan air (blooming) (Effendy 2003). Blooming dapat menyebabkan produksi destritus berlebihan sehingga menghabiskan suplai oksigen di perairan dan menyebabkan kematian bagi ekosistem perairan (Prasetyo 2011).

Ledakan populasi fitoplankton yang diikuti dengan keberadaan jenis fitoplankton beracun akan menimbulkan Ledakan Populasi Alga Berbahaya (Harmful Algae Blooms – HABs). Faktor yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton berbahaya antara lain karena adanya eutrofikasi upwelling yang mengangkat massa air kaya unsur-unsur hara (Aunurohim et al. 2009). Pencemaran antropogenik tergambarkan bila nitrat lebih dari 5 mg/liter. Hal ini dapat terjadi akibat kehadiran feses manusia atau hewan.

2.3 Stres

Stres adalah sejumlah respon fisiologis yang terjadi pada saat individu mempertahankan homeostasis. Berbagai faktor yang mempengaruhi stres, diantaranya adalah perubahan kebiasaan pola hidup secara draktis misal terhadap makan dan minum, transportasi jarak yang jauh, perpindahan kolam lama ke kolam baru, kehadiran predator, penanganan dan perlakuan yang kasar serta perubahan iklim dan cuaca lingkungan (Ross and Ross 2006).


(25)

Faktor lain yang menyebabkan stres adalah spesies ikan, kualitas dan kuantitas ikan, bentuk kontainer, kuantitas sisa pakan dalam akuarium/kolam, dan kecepatan laju kendaraan. Kondisi lingkungan turut menentukan tingkat stres, ini meliputi temperatur, kelembaban, suara gaduh, ventilasi dan cahaya serta perlakuan selama perjalanan.

Ikan mudah megalami stres. Hal ini biasanya akibat transportasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya misal dari kolam satu ke kolam lain, dari kolam satu ke kolam pemasaran, atau dari kolam ke plastik pengemasan baik melalui transportasi darat, udara maupun laut sering (Ross and Ross 1999). Selain itu, faktor penyebab stres lainya adalah perubahan jenis pakan, perlakuan dari karyawan atau petugas yang kasar, kepadatan ikan dalam kolam/akuarium/ kemasan plastik serta suara gaduh lingkungan.

Pada saat ikan mengalami stres, ikan akan mengeluarkan banyak tenaga secara ekstra untuk menghadapi perubahan lingkungan yang mendadak. Ketika terjadi perubahan suhu dalam air maka suhu tubuh ikan turut berubah-ubah. Ikan menggunakan energi berlebihan untuk mempertahankan diri dalam waktu tertentu sehingga energi untuk pertumbuhannya berkurang. Stres dapat mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun bahkan menyebabkan kematian.

2.4 Koi herpesvirus (KHV)

Virus herpes banyak terdapat di lingkungan, tipe virus ini mampu menyerang manusia dan hewan. Lebih dari 100 spesies virus herpes saat ini, delapan diantaranya menyerang manusia dan bersifat zoonosis. Virus herpes termasuk dalam tipe virus yang memiliki ukuran besar dibandingkan dengan virus yang lainnya. Secara morfologi, anggota virus herpes memiliki struktur yang serupa satu dengan yang lainnya.

Morfologi struktur dari virus herpes dari arah dalam keluar terdiri dari genom DNA utas ganda linier (double helix linear), berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegumen, dan selubung. Kapsid terdiri atas protein yang tersusun dalam simetri ikosahedral. Tegumen yang terdapat diantara kapsid dan selubung merupakan massa fibrous dengan ketebalan yang bervariasi.

Amplop virus bersifat sedikit pleomorphic (mampu berubah bentuk), berbentuk bola dengan diameter 120-200 nm. Pada permukaan amplop yang dapat


(26)

diproyeksikan dengan banyaknya duri (spike) yang menyebar merata di seluruh permukaan virus herpes. Nukleokapsid virus herpes dikelilingi oleh kulit yang terdiri dari bahan globular yang sering asimetris. Virus herpes memiliki total panjang genom 120.000-220.000 nm dengan rasio guanine dan cytosine 35-75 % (Fenner et al. 1993 ).

2.4. 1 Klasifikasi Herpesviridae

Herpesviridae diklasifikasikan menjadi 3 sub famili yaitu Alphaherpesvirus, Betaherpesvirus dan Gammaherpesvirus. Sub-famili Alphaherpesvirus memiliki 2 genus yaitu Simplexvirus dan Varicellovirus. Betaherpesvirus memiliki 3 genus yaitu sitomegalovirus, muromegalovirus dan roseolovirus, sedang Gammaherpesvirus memiliki 2 genus yaitu lymphocryptovirus dan rhadinovirus.

2.4.2Replikasi Virus Herpes

Virus herpes bereplikasi dalam metabolisme sel inang dengan menggunakan asam nukleat. Virus yang menempel pada induk semang akan masuk dalam metabolisme induk semang dan keluar dari sel induk semang dengan merusak membran plasma (Sugiri 1992).

Awalnya peplomer glikoprotein amplop berfusi dengan reseptor sel inang. Kemudian proteoglikan heparin sulfat (nukleokapsid) memasuki sitoplasma dengan cara virion amplop berfusi dengan membran sel atau melalui vakuola fagositis. Kompleks DNA-protein kemudian terbebaskan dari nukleokapsid dan memasuki nukleus, menghentikan sintesis makromolekul sel inang. mRNA, protein dan ß ditranskripsi oleh polymerase RNA II sel. RNA diubah menjadi mRNA dan ditranslasi menjadi protein, yang menstimulasi terjadinya translasi mRNA ß menjadi protein ß. Runutan replikasi, transkripsi dan translasi terjadi lagi. Replikasi DNA virus dengan menggunakan beberapa protein, ß dan protein sel inang. Transkripsi terjadi dengan terbentuknya mRNA dengan urutan terletak sepanjang genom, selanjutnya terjadi translasi menjadi protein. Selama siklus dihasilkan lebih dari 70 protein tersandi-virus. Replikasi DNA virus terjadi di nukleus (Fenner et al. 1993). Protein alfa dan beta merupakan enzim dari protein lain yang akan berikatan dengan DNA genom virus (Sugiri 1992).

Transkripsi DNA virus terjadi sepanjang siklus replikasi di dalam sel dengan bantuan enzim RNA polymerase sel dan protein virus lain. Transkripsi dalam bentuk


(27)

DNA virus selanjutnya dirakit menjadi virion pada membran inti sel. Pelepasan virion dari sitoplasma keluar inti sel terjadi melalui struktur tubuler atau melalui proses eksositosis vakuola yang berisi virion (Sugiri 1992).

2.5 Penyakit Koi Herpes Virus(KHV)

Penyakit KHV merupakan salah satu penyakit infeksius yang menyerang spesies ikan Koi dan ikan Mas yang disebabkan oleh golongan virus DNA. Di Indonesia, kasus penyakit KHV diawali di Blitar pada tahun 2002 yang mana telah terjadi kematian massal (80%-95%). Kira-kira akhir April 2002, kasus kematian ikan Mas terjadi di Subang serta kasus serupa pada bulan Mei 2002 terjadi di sentra budidaya ikan Mas di daerah Cirata, Jawa Barat. Wabah penyakit KHV kembali terjadi di daerah Lubuk Linggau, Sumatra Selatan pada bulan Februari 2003 dengan gejala yang ditimbulkan sama seperti yang ditemukan pada ikan Mas di pulau Jawa. Kemudian wabah terus menyebar di propinsi sekitarnya termasuk Bengkulu, dan Jambi. Wabah KHV di Indonesia telah menyebar sampai ke Denpasar (Bali), Banyuwangi, Tulungagung, Blitar, Malang, Kediri, dan Surabaya (Jawa Timur), Semarang dan Brebes (Jawa Tengah), Subang, Bogor, Bandung, Purwakarta, Cianjur, dan Bekasi (Jawa Barat), Banten, dan Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Selatan (Sumatra) (Pasaribu 2003).

Penyakit ini masuk ke Indonesia melalui perdagangan ikan lintas antar negara (Pasaribu 2003). Penyakit ini menyebar sampai ke Eropa, Jepang, Rusia, Israel, Korea, Amerika Serikat, Malaysia dan Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010). Sejak ada wabah penyakit KHV di Indonesia, produksi ikan Koi dan ikan Mas mengalami penurunan yang drastis (Departemen Kelautan dan Perikanan 2010).

2.5.1 Cara Penularan

Penyakit KHV ini menyebar melalui kontak langsung antara ikan sehat dan ikan yang sakit, kontaminasi air, transportasi dan penanganan yang tidak higienis seperti pergantian lingkungan. Secara morfologi KHV termasuk dalam golongan herpesvirusyaitu virus yang memiliki bentuk ikosahedral dengan diameter 100 nm. Koi herpesvirus pada umumnya dapat hidup dan memperbanyak diri pada temperatur antara 18-30°C (Sunarto 2005).


(28)

2.5.2 Gejala Klinis

Ikan yang terinfeksi penyakit KHV akan memperlihatkan gejala penurunan nafsu makan, lemah, penurunan permeabelitas mukosa kulit dan insang. Penurunan permeabelitas mukosa kulit ini menyebabkan kulit tampak kering, hemorrhagi pada sirip dan kulit, nekrosa sel insang atau menjadi nekrosis pada ujung lamela (OATA 2001; Departemen Kelautan dan Perikanan 2010). Ikan yang terserang penyakit ini akan sedikit banyak mengalami perubahan tingkah laku antara lain ikan berenang di permukaan air, berkumpul mendekati sumber aerasi, gerakan yang kurang terkontrol, dan terlihat dispnoe pada permukaan air.

2.5.3 Perubahan Makroskopis

Pada pemeriksaan perubahan makroskopis ditemukan adanya nekrosa pada insang, sisik, sirip, ekor, ginjal, limpa, dan hati (Sunarto 2005). Belakangan ini perubahan makroskopis akibat infeksi virus KHV jarang muncul, namun ikan yang terinfeksi KHV biasanya mati mendadak.

2.5.4 Diagnosa

Diagnosa penyakit KHV sampai saat ini dengan 3 cara yaitu berdasar gejala klinis dan perubahan makroskopis, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan biologi molekuler dengan metode PCR. Diagnosa berdasar perubahan kondisi fisik atau sakit dengan gejala klinis dan perubahan makroskopis digolongkan ke dalam level 1, dan pemeriksaan histopatologi digolongkan dalam cara diagnosa penyakit ikan pada level 2. Diagnosa penyakit ikan dalam level tertinggi adalah pemeriksaan biologi molekuler dengan metode PCR yaitu termasuk dalam level 3 (Departemen Kelautan dan Perikanan 2007). Penggolongan level diagnosa penyakit ini disesuaikan dengan fasilitas peralatan yang ada. Diagnosa penyakit pada level 1 biasanya dilakukan oleh para petugas lapang dan stasion kelas 2. Diagnosa penyakit pada level 2 dilakukan oleh para petugas di laboratorium dan stasion kelas 1 karantina ikan, sedangkan diagnosa penyakit pada level 3 dilakukan oleh petugas laboratorium virologi pada Balai Besar dan Balai Riset dalam Departemen Kelautan dan Perikanan.

Selain itu diagnosa KHV dapat dilakukan dengan cara isolasi virus pada kultur jaringan. Sel yang digunakan adalah sel fibroblast dari Koi Tail (KT). Supernatan homogenat dari bagian ikan yang dianggap sakit di inokulasikan dalam KT, kemudian di inkubasi selama 1 jam pada suhu 25°C agar KHV menempel pada permukaan KT.


(29)

Setelah diinokulasikan, virus dapat terdeteksi dengan terlihatnya efek sitopatik yang cepat dalam kultur sel (Sunarto 2005).

2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR) 2.6.1 Single PCR

PCR merupakan suatu teknik perbanyakan (amplifikasi) potongan DNA secara in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer oligonukleotida. Primer yang digunakan sebagai pembatas daerah yang diperbanyak adalah DNA untai tunggal yang urutannya komplemen dengan DNA templatenya. Proses tersebut mirip dengan proses replikasi DNA secara in vivo yang bersifat semi konservatif. Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan 105-106 kali lipat dari jumlah nanogram DNA template (Stephenson 2003). PCR dilakukan dengan bantuan alat yang disebut thermocycler (Muladno 2010).

Dalam proses PCR membutuhkan 4 komponen utama, yaitu (1) DNA template, (2) oligopolisakarida primer, (3) deoxyribonucleotida triphosphate dan (4) enzim polymerase. DNA template adalah frakmen DNA yang akan dilipatgandakan. Oligopolisakarida primer adalah suatu sekuen pendek dari oligonukleotida yaitu antara 15-25 basa nukleotida yang akan digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA. Deoxiribonucleotida triphosphate sering disebut dNTP, ini terdiri dari dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. Enzim polymerase adalah enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono 2006).

Reaksi pelipatgandaan suatu frakmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template sehingga rantai DNA yang berantai ganda akan dipisahkan menjadi rantai tunggal. Denaturasi menggunakan panas (90 C) selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 C selama 1-2 menit, sehingga primer menempel (annealing) pada cetakan terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan template pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer (Glick dan Pasternak 1998).

Pada single PCR membutuhkan sepasang primer untuk proses annealing. Primer pertama adalah oligonukleotida dalam primer ini mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA template pada ujung 5’-fosfat, primer kedua adalah oligonukleotida yang identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai


(30)

DNA template yang lain. Setelah proses annealing, suhu inkubasi ditingkatkan menjadi 72 C selama 1,5 menit. Pada suhu ini, DNA polymerase akan melakukan proses polimerase rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA template. Setelah polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA template . DNA rantai ganda akan terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara DNA template dengan rantai DNA baru hasil polimerasi, selanjutnya akan didenaturasi lagi. Rantai DNA yang baru tersebut akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono 2006).

Proses amplifikasi tersebut diulang lagi sampai 25-30 kali/siklus sehingga pada akhir siklus akan mendapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada DNA target di dalam campuran reaksi (Glick dan Pasternak 1998).

Hasil amplifikasi ini dapat divisualisasikan dengan mata telanjang setelah melewati proses elektroforesis dengan menggunakan gel poliakrilamida atau gel agarose. Prinsip elektroforesis adalah molekul DNA bermuatan negatif pada pH netral akan bermigrasi ke arah yang bermuatan positif. Migrasi molekul DNA pada gel elektroforesis dipengaruhi oleh komposisi dan kelarutan ion buffer elektroforesis. Beberapa buffer yang digunakan diantaranya Tris Asetate EDTA (TAE), Tris pHospate EDTA (TBE) dan Tris Borate EDTA (TPE), serta buffer alkalin elektroforesis (Sambrook et al. 1989). Pada saat elektroforesis, molekul DNA akan berikatan dengan ethidium bromida (EtBr) sehingga molekul DNA tersebut dapat divisualisasikan dibawah lampu ultra violet.


(31)

Gambar 2 Proses amplifikasi ekstrak DNA dalam thermocycler

2.6.2 Nested PCR

Ada berbagai metode PCR, diantaranya adalah Nested PCR. Metode Nested PCR ini biasanya digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi.

 


(32)

Pada prinsipnya, nested PCR menggunakan 2 pasang primer dengan 2 kali/siklus amplifikasi, hal ini berbeda dengan PCR biasa atau single PCR yang mana hanya menggunakan 1 pasang primer dengan 1 kali siklus amplifikasi. Oleh karenanya nested PCR lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan single PCR, sehingga mampu untuk mendeteksi virus/bakteri dalam jumlah sedikit.

Tabel 1 Master mix I dari nested PCR

Keterangan Volume

dNTP mix (2mM each dNTP) 5 µl 10x PCR buffer (15mM MgCl2) 5 µl Taq polymerase (0.2U) 0.2 µl

dH2O 25.8 µl

Primer mix. Forward and Reverse primers (5 pmoles/µl each)

4 µl

Total Mastermix Volume: 40 µl

DNA Template 10 µl

Tabel 2 Master mix II dari nested PCR

Keterangan Volume

dNTP mix (2mM each dNTP) 5 µl 10x PCR buffer (15mM MgCl2) 5 µl Taq polymerase (0.2U) 0.2 µl

dH2O 35.8 µl

Primer mix. Forward and Reverse primers (5 pmoles/µl each)

4 µl

Total Mastermix Volume: 49 µl

DNA Template (Sample from external round PCR product)

1 µl

Tabel 3 Siklus amplifikasi-nested PCR PCR Machine Cycling Parameters For Both External and Internal PCR Rounds

94ºC/30 sec 1 cycle 94ºC/30 sec.

55ºC/30 sec. 72ºC/30 sec. to 120 sec.

35 cycles

4ºC Hold (http://www.pcrstation.com/nested-pcr/).


(33)

III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta, Laboratorium Kesehatan Satwa Akuatik FKH-IPB, Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai Besar Karantina Ikan Makassar, dan Laboratorium Kualitas Air Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Hasanuddin Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan November 2010 sampai Oktober 2011.

3.2 Materi dan Metode Penelitian 3.2.1 Materi Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium, termometer, cecker water quality, aerator dan ikan Koi dari daerah bebas KHV Takkalar, Sulawesi Selatan, untuk uji coba infeksi dan kohabitasi. Alat lain yang digunakan adalah scalpel, pinset, timbangan, cawan petri, mortar-pastel, sentrifuse, filter 0.45µl, tabung mikro, tissue steril dan bahan yang digunakan adalah insang suspect KHV dan phosphate buffer saline (PBS) pH 7.1 untuk membuat suspensi KHV 10%. Selain itu, bahan yang digunakan adalah mikropipet, tabung mikro, blok pemanas, sentrifuse, incubator, pestel, vortex, tissue steril dan bahan berupa ethanol 95%, lysis buffer dan ddH2Ountuk ekstraksi DNA. Alat thermal cycler dengan blok sampel 0.2 ml, peralatan elektroforesis, UV illuminator, vortex mixer, mikropipet dan camera digital foto system merupakan rangkaian peralatan untuk uji PCR. Dalam uji PCR ini menggunakan ekstrak DNA, bahan ethidium bromide (EtBr), ethanol 95%, TAE atau TBE elektroforesis buffer, agarose dan Kit IQ 2000TM KHV.

3.2.2 Metode Penelitian

3.2.2.1 Identifikasi Koi herpesvirus dari Organ Insang Ikan Koi dengan Metode Nested PCR

Sampel ikan Koi yang diduga sakit akibat serangan KHV diambil dari kolam ikan Koi milik petani. Ikan Koi tersebut dinekropsi dan diambil organ insangnya, kemudian disimpan dalam freezer -80 OC. Untuk membuktikan adanya virus KHV pada sel maka dilakukan pengujian dengan menggunakan metoda PCR


(34)

(Gilad et al. 2002; Anonim 2006) dan agar didapatkan produk PCR yang lebih sensitif dan spesifik maka digunakan metode nested PCR sebagaimana diungkapkan oleh Srisuvan et al. (2010).

Pada penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan yaitu ekstraksi DNA sampel, amplifikasi DNA, dan analisa hasil PCR. Hasil ekstraksi DNA diamplifikasi menggunakan PCR-KIT IQ2000TM KHV dan dilakukan dengan 2 tahap running pada alat thermocycler.

Running tahap pertama adalah denaturation 94 OC (20 detik), annealing 62 OC (20 detik), extention 72 OC (20 detik), elongasi 72 OC (30 detik) dan 20 OC (30 detik). Running tahap kedua adalah denaturasi 94 OC (20 detik), annealing 60 OC (20 detik), extention 72 OC (20 detik), elongasi pada 72 OC (30 detik) dan 20 OC (30 detik). Running tahap pertama dilakukan sebanyak 15 siklus sedang running tahap kedua sebanyak 30 siklus (Farming IntelliGene Tech Corp 2010).

Hasil amplifikasi DNA dielektroforesis dengan menggunakan gel agarose 2% dan Ethidium bromida (EtBr) pada100 Voltage selama 40 menit. Menurut Stephenson (2003), molekul DNA dan EtBr akan reaksi dan terpendar dibawah lampu ultraviolet (UV trans-iluminator). Hasil elektroforesis ini dapat divisualisasikan dan dibaca dengan alat geldoc XR.

Gambar 4 Pola standar dan sampel positif dengan PCR-KIT IQ2000 TM KHV: lane (1) standar 1 adalah 2000 copies/reaksi (kontrol positif), (2) standar 2 adalah 200 copies/reaksi (kontrol positif), (3) standar 3 adalah 20 copies/reaksi (kontrol positif), (4) ddH2O, (5) sampel dengan infeksi KHV berat, (6) sampel dengan infeksi KHV ringan, (7) sampel negatif KHV, dan (M) masker 848bp, 630bp, 333bp (www.iq2000kit.com).

Virus KHV dapat diidentifikasi secara kuantitatif dengan menggunakan spektrofotometer nanodrof (Muladno 2010) dan semikualitatif dengan metode nested PCR. Pada penelitian ini uji nested PCR menggunakan PCR-KIT IQ2000TM yang mendiagnosa secara spesifik terhadap KHV. Identifiksasi secara


(35)

kuantitatif yaitu terjadi 20 copies DNA, 200 copies DNA dan 2000 copies DNA (www.iq2000kit.com). Pada identifiksasi secara semikualitatif, tervisualisasi pada 229 bp, 440bp dan 630bp yang mana secara berurutan ini telah tersirat pada band 1, 2 dan 3 (Gambar 4). Identitas marker adalah 333 bp, 630 bp dan 848 bp (Farming IntelliGene Tech Corp, 2010).

3.2.2.2 Ekstraksi Organ dan Pembuatan Suspensi Koi herpesvirus 10%

Insang dari ikan positif Koi herpesvirus diekstraksi dan dibuat suspensi dengan konsentrasi 10%. Yaitu dalam suasana dingin (-4 C), insang diekstraksi dan dilarutkan dalam PBS pH 7,1 dengan perbandingan 1 gram insang dan 9 ml PBS. Larutan tersebut disentrifuse pada 5000 rpm selama 5 menit kemudian suspensinya difilter pada 0,45µm.

3.2.2.3 Infeksi Suspensi Koi herpesvirus 10% pada Ikan Koi Bebas KHV

Ikan yang akan digunakan adalah ikan-ikan bebas KHV. Ikan-ikan yang baru datang diaklimatisasi terlebih dahulu minimal selama 1 minggu, selajutnya dikelompokan menjadi 8 kelompok yaitu 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 3B, 4A dan 4B. Enam kelompok pertama merupakan kelompok ikan perlakuan dan 2 kelompok lainnya adalah kelompok kontrol. Masing-masing 5 ekor ikan pada setiap kelompok diinokulasi dengan suspensi virus KHV 10% sebanyak 0,1 ml secara intra peritoneal namun kelompok 1B, 2B dan 3B diberi 5 ekor ikan kohabitasi tanpa diberi suspensi virus KHV 10%.

3.2.2.4 Perlakuan Suhu Ekstrim

Perlakuan suhu ekstrim ini dilakukan pada 7 kelompok pertama, dan tidak pada kelompok ke-8. Yaitu setelah ikan diinfeksi, ikan-ikan tersebut diberi perlakuan suhu ekstrim yaitu suhu air disuasanakan menjadi 18-19 OC selama 14 jam pada malam hari dan 30-31 OC selama 10 jam pada siang hari. Suhu 18-19 OC dapat dicapai dan dipertahankan dengan cara memasukkan es balok yang dibungkus dalam plastik dan mengganti es balok secara periodik atau 2.5 sampai 3 jam sekali. Agar suhu 30-31 OC dapat dicapai dan dipertahankan, maka dilakukan dengan mengatur jendela ruang Laboratorium Uji Coba BBKI Makassar, sehingga mendapatkan sinar matahari secara tidak langsung.


(36)

Tabel 4 Disain cekaman suhu terhadap infeksi virus KHV

Keterangan Kelompok ikan (Ekor)

1 2 3 4 1A 1B 2A 2B 3A 3B 4A 4B

Suspensi virus KHV 10% (630bp) (440bp) (229bp) (630bp) ∑ikan disuntik 0,1 ml IP 5 5 5 5 5 5 5 5 ∑ikan kohabitasi 0 5 0 5 0 5 0 0 Cekaman suhu ekstrim

(18-19 C ke/dari 30-31 C) √ √ √ √ √ √ √ -

3.2.2.5 Pengamatan Ikan Coba Berdasarkan Waktu, Diagnosa Penyakit dan Kualitas Air

Ikan yang telah diinjeksi diamati setiap hari selama masa infeksi yaitu 14 hari. Parameter pengamatan ikan yang terinfeksi berdasarkan waktu, diagnosa penyakit dan kualitas air. Diagnosa penyakit berdasar gejala klinis, perubahan makroskopis, dan pemeriksaan biologi molekuler metode nested PCR. Pengukuran kualitas air dilakukan dengan menggunakan alat cecker water quality setiap 2.5 sampai 3 jam sekali. Selain itu kualitas air diukur dengan menggunakan alat spektrofotometer. Cecker waterquality digunakan untuk mengidentifikasi kualitas air berupa pH, suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), sedang spektrofotometer untuk mengetahui kadar nitrit (NO2), nitrat (NO3) dan amonia (NH3).

3.3 Analisa Data


(37)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Identifikasi Koi herpesvirus

Ada 12 sampel ikan Koi yang di duga sakit dan diberi kode sampel yaitu D138, D139, D140, D141, D142, D143, D144, D145, D146, D147, D148 dan D149. Setelah dilakukan pemeriksaan dengan metode PCR ternyata ada 5 dari 12 sampel yang positif terhadap KHV yaitu sampel ikan koi yang diberi kode D139 (lane 2) tertera pada 229bp, D143 (lane 6) tertera 440 bp,D144 (lane 7) tertera pada 630 bp, D147 (lane 10) tertera pada 440 bp dan D149 (lane 12) tertera pada 630 bp (Gambar 5).

Gambar 5 Isolasi dan identifikasi Koi herpesvirus dengan metode PCR (A): lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,3,4,5,8,9 dan

11 adalah sampel insang ikan coba negatif KHV, lane 2, 6, 7, 10 dan 12 adalah sampel positif KHV

4.2 Ekstraksi Organ dan Pembuatan Suspensi Koi herpesvirus 10%

Pada penelitian ini, organ insang diekstraksi dan dibuat suspensi dengan konsentrasi 10% yaitu dengan perbandingan 1 gram organ insang dan 9 ml PBS pH 7.1. Sampel organ yang digunakan berasal dari kode D139, D143 danD144 (sampel asal lapang) dan M628 (isolat KHV asal Balai Besar Karantina Ikan Makassar). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan sampel mempunyai perbedaan kuantitas copies DNA dan semikualitas. Secara berurutan, semikualitas dari D139, D143, D144 dan M628 pada uji nested PCR adalah 229 bp, 240 bp, 630 bp dan 630 bp. Nilai semikualitatif tersebut setara dengan kuantitas/jumlah copies DNA yang mana 229 bp setara 20 copies DNA, 240 bp setara 200 copies DNA dan 630 bp setara 2000 copies DNA.

4.3 Injeksi Suspensi virus KHV 10% pada Ikan Coba

Suspensi virus KHV 10%diinjeksikan pada 5 ekor ikan coba dari masing-masing kelompok. Injeksi tersebut dilakukan secara intra peritoneal sebanyak 0.1 ml/ekor. Suspensi virus KHV dengan kode D144 diinjeksikan untuk kelompok ikan 848 bp

630 bp 333 bp

630bp 440bp 229bp


(38)

1A dan 1B, D143 untuk kelompok 2A dan 2B serta D139 untuk kelompok ikan 3A dan 3B. Ikan-ikan pada kelompok 4A dan 4B diinjeksi suspensi KHV 10% berkode M628.

4.4 Diagnosa

Ikan-ikan coba dinyatakan sakit setelah dilakukan 3 macam pemeriksaan yaitu berdasarkan gejala klinis dan perubahan makroskopis (level 1) serta pemeriksaan biologi molekuler dengan metode PCR (level 3) (Anonim, 2007).

4.4.1 Gejala Klinis

Secara umum ikan menunjukkan gejala klinis yang hampir sama, tergantung tingkat keparahannya. Ikan sakit akan mendekati pusat aerasi, mata cekung, sirip punggung dan ekor ptechiae dan geripis, ikan berada di tepi dan gerakan menjadi tidak seimbang, lesi pada ekor, lesi pada sisik bahkan mati tanpa gejala klinis (Gambar 6 dan Tabel 5).

Gambar 6 Ikan menunjukkan gejala klinis suspect KHV: (a) mendekati aerasi, (b) mata cekung, (c) ikan berada di tepi, (d dan e) ikan kohab tertular penyakit dan

(f) gerakan tidak seimbang

c

b

f


(39)

Tabel 5 Gejala klinis pasca infeksi suspensi virus KHV 10%

Gejala Klinis Kelompok Ikan Coba (Ekor)

1 2 3 4 A B A B A B A B

Mata cekung 2 3 1 4 0 0 2 0 Gerakan lambat 4 4 3 7 0 0 3 0 Gerakan tidak seimbang 2 4 3 5 0 0 2 0 Ikan selalu di tepi akuarum 4 8 3 6 0 0 3 0 Ikan tidak mau makan 4 6 3 7 0 0 1 0 Ikan mati mendadak

tanpa gejala sakit 0 1 0 0 0 0 0 0

4.4.2 Perubahan Makroskopis

Setelah dilakukan nekropsi dan pemeriksaan makroskopis ternyata ikan-ikan tersebut menunjukkan perubahan makroskopis. Secara umum, perubahan makroskopis tersebut berupa ptechiae pada ekor, sirip punggung dan sirip dada, ptechiae dan nekrosis pada ekor, hemmorhagi pada bagian caudal, nekrosis pada kulit bagian caudal dan ekor, bercak putih ringan pada insang, nekrosis pada insang dan ptechiae pada ginjal (Gambar 7 dan Tabel 6).

a b c


(40)

Gambar 7 Perubahan makroskopis suspect KHV: (a)ptechiae pada ekor, (b) ptechiae pada sirip punggung, (c) ptechiae dan nekrosis pada ekor, (d) ptechiae pada sirip dada, (e) hemmorhagi pada bagian caudal, (f)nekrosis pada

kulit bagian caudal dan ekor, (g) bercak putih ringan pada insang, (h) nekrosis pada insang, dan (i) ptechiae pada ginjal Tabel 6 Perubahan makroskopis pasca infeksi virus KHV 10%

Keterangan

Kelompok Ikan Uji Coba (Ekor)

1 2 3 4

A B A B A B A B

Lesi putih pada insang 0 1 2 0 0 0 3 0 Nekrosis pada insang 4 7 4 8 0 0 3 0 Nekrosis pada sirip

punggung 1 0 0 2 0 0 1 0 Nekrosis pada sirip ekor 4 5 2 5 0 0 1 0 Lesi pada kulit 0 1 0 0 0 0 0 0 Ptechiae pada ginjal 0 1 1 0 0 0 0 0

4.4.3 Pemeriksaan Biologi Molekuler dengan Metode Nested PCR

Nested PCR adalah salah satu teknik untuk mendiagnosa suatu penyakit dengan tingkat sensifitas dan spesifitas yang tinggi. Nested PCR dilakukan 2 kali/ siklus amplifikasi dengan menggunakan 2 pasang primer sehingga dapat mendeteksi material dalam jumlah sedikit.

Mekanisme kerja dari Nested PCR  adalah memperbanyak potongan DNA dengan bantuan enzim DNA polymerase dan dua pasang primer. Pasangan primer pertama akan mengamplifikasi fragmen dengan cara kerja mirip single PCR atau PCR biasa. Pasangan primer kedua biasanya disebut nested primers yang berikatan di dalam fragmen DNA (produk PCR) pertama untuk memungkinkan terjadinya amplifikasi produk PCR yang kedua, yang mana hasilnya lebih pendek dari primer pertama. Dengan menggunakan nested PCR, jika ada fragmen yang salah diamplifikasi maka kemungkinan bagian tersebut diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh primer yang kedua sangat rendah. Dengan


(41)

demikian, nested PCR adalah salah satu teknik PCR yang sangat spesifik dalam melakukan amplifikasi (http://www.pcrstation.com/nested pcr/).

Pada penelitian ini digunakan metode uji biologi molekuler nested PCR dengan menggunakn Kit IQ2000TM spesifik terhadap KHV. Pada uji nested PCR ini dilengkapi dengan 2 pasang primer yang lebih sensitif dan spesifik dalam mendiagnosa KHV. Namun nested PCR pada prosedur IQ2000TM ini hanya dapat mendeteksi virus KHV pada batas jumlah copies DNA tertentu. Deteksi virus KHV dari sampel organ insang sebanyak 20-1000 copies DNA, sampel larva < 1cm sebanyak 20-10.000 copies DNA dan hasil swab sebanyak 20-200 copies DNA, sedangkan deteksi virus KHV dari sampel DNA plasmid KHV sebanyak 2 copies DNA KHV. Jumlah copies DNA tersebut menentukan sensitifitas dan spesifisitas dalam deteksi virus KHV (Farming IntelliGene Tech Corp 2010).

Gen target dari primer KIT IQ2000TM KHV adalah 2 pita DNA utama yaitu pita DNA dengan panjang 229 bp dan atau 440 bp. Namun dapat pula terbentuk pada panjang 630bp (Farming IntelleGene Tech Corp 2010). Pita DNA yang tervisualisasi pada 229bp setara dengan 20 copies DNA. Pita DNA yang tervisualisasi pada 440bp setara dengan 200 copies DNA. Pita DNA yang tervisualisasi pada 630bp setara dengan 2000 copies DNA (www.iq2000kit.com). Sunarto (2007) mengungkapkan bahwa pita DNA yang terbentuk pada panjang 630 bp merupakan bentuk visualisasi dari kasus KHV dengan tingkat virulensi yang sangat tinggi.

Pada penelitian ini, visualisasi dari produk PCR terlihat pada pita DNA kedua yang tersekuensing sebanyak 440 basepare (bp). Yang mana produk PCR ini merupakan hasil dari amplifikasi primer pertama yaitu forword-1 dan reverse -1. Setelah amplifikasi dengan primer pertama selesai, amplifikasidilanjutkan oleh primer kedua yaitu forword-2 dan reverse-2 dan menghasilkan produk PCR kedua yang tertera pada pita DNA pertama 229 bp. Selanjutnya akhir dari running pada amplifikasi kedua, primer pertama dan primer kedua tercampur sehingga muncul pita DNA ketiga yang tersekuensing pada 630bp.

Lima dari 12 sampel organ insang ikan Koi positif KHV, 3 diantaranya digunakan sebagai stock virus karena mempunyai perbedaan kuantitas dan semikualitas gen taget KIT PCR IQ2000TM KHV. Stock virus KHV tersebut


(42)

berkode D139, D143, D144 dan M628. Yang mana isolat virus KHV dengan kode D139 berstatus positif KHV dengan panjang 229bp dan setara dengan 20 copies DNA, D143 berstatus positif KHV dengan panjang 440bp dan setara dengan 200 copies DNA, dan D144 berstatus positif KHV dengan panjang 630bp dan setara dengan 2000 copies DNA. Pada virus M628 mempunyai kuantitas dan semikuantitas sama dengan isolat virus KHV berkode D144. Oleh karenanya isolat D139 dikategorikan positif (+), isolat D143 dikategorikan positif (++), isolat D144 dan M628 dikategorikan positif (+++).

Berdasarkan hasil pemeriksaan biologi molekuler dengan metode Nested PCR, masing-masing kelompok ikan coba menunjukkan hasil elektroforesis uji nested PCR dengan semikualitas yang berbeda (Gambar 8-15). Diagnosa ikan terserang penyakit KHV terlihat pada kelompok 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 4A dan 4B yaitu 5/5, 7/10, 5/5, 8/10, 0/5, 0/10, 4/5 dan 0/5 (Tabel 6).

Gambar 8 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 1A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, line K- kontrol negatif, line 1,2,3,4 dan 5 adalah sampel

insang ikan coba positif KHV

Gambar 9 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 1B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,4,6,7,8 dan 10 adalah sampel

insang ikan coba positif KHV, lane 3, 5 dan 9 adalah adalah sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 10 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 2A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,3,4 dan 5 adalah adalah

M K+ K- 3 1 2 4 5

M K+ K- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

3 4 5 2

1 M K+ K- 848bp  630bp  333bp  229bp  630bp  440bp  333bp  630bp  848bp  333bp  630bp  848bp  229bp  440bp  630bp  229bp  440bp  630bp 


(43)

sampel insang ikan coba positif KHV

Gambar 11 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 2B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, , lane 1,2,3,5,7,8,9, dan

10 adalah sampel insang ikan coba adalah positif KHV, lane 4 dan 6 adalah adalah sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 12 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 3A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane1,2,3,4 dan 5 adalah adalah

sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 13 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 3B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan 10

adalah adalah sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 14 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 4A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,3,4 dan 5 adalah adalah sampel insang ikan coba positif KHV, lane 2 adalah adalah sampel insang ikan

coba negatif KHV

M K+ 1 K- 3 2 5 4 6 7 8 9 10

M K+ K- 1 2 3 4 5

M K+ K- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

M K+ K- 1 2 3 4 5 630bp  440bp 229bp 630bp 

333bp  848bp 

848bp  630bp  333bp 

333bp  848bp  630bp 

333bp  848bp  630bp 

229bp  630bp 440bp 


(44)

Gambar 15 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 4B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,3,4 dan 5 adalah adalah

sampel insang ikan coba negatif KHV

Tabel 7 Hasil pemeriksaan sampel insang dengan metode nested PCR

Kelompok

Ikan Coba Hasil pemeriksaan dengan metode PCR

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1A + ++ ++ + + 1B + ++ - ++ - +++ + + - + 2A + +++ + ++ ++ 2B ++ +++ + - + - + + + ++ 3A - - - - - 3B - - - - - - - - - - 4A + - + ++ ++ 4B - - - - - Ikan coba yang telah diinjeksi virus KHV10% telah menunjukkan aktivitas virus KHV dalam tubuh. Bahkan ikan coba yang sakit telah menularkan virus KHV pada ikan-ikan kohabitasi yang berada dalam satu akuarium. Hal ini terlihat dengan adanya gejala klinis, perubahan makroskopis dan konfirmasi dari uji nested PCR. Diagnosa penyakit KHV pada kelompok 1A terdapat 5/5 ekor, kelompok 1B terdapat 7/5 ekor, 2A terdapat 5/5 ekor, 2B terdapat 8/5 ekor dan 4ª terdapat 4/5 ekor namun tidak terjadi pada kelompok 3A, 3B dan 4B (Tabel 8). Tabel 8 Diagnosa Penyakit KHV

Keterangan

Kelompok Ikan (Ekor) 1A 1B 2A 2B 3A 3B 4

A 4B

Stock Virus KHV D144 D143 D139 M628

∑ ikan diinjeksi suspensi KHV 10% 5 5 5 5 5 5 5 5

∑ikan kohabitasi 0 5 0 5 0 5 0 0

∑ikan dalam akuarium 5 10 5 10 5 10 5 5

∑ikan di diagnosa sakit akibat

penyakit KHV 5/5 7/10 5/5 8/10 0/5 0/10 4/5 0/5

M K+ K- 1 2 3 4 5 333bp 

333bp  333bp 


(45)

4.5 Patogenesa Penyakit KHV

Transmisi virus KHV melalui kontak langsung dengan ikan terinfeksi, dengan ekskreta ikan yang terinfeksi dan/ atau dengan air atau lumpur dari ikan yang terinfeksi. Gejala klinis akan muncul setelah melewati masa inkubasi selama 4-5 hari sejak proses penginfeksian, namun masa inkubasi akan bertambah panjang tergantung suhu dan faktor lainnya. Setelah virus KHV masuk dalam sel, virus akan bereplikasi dalam inti sel menyebabkan inti sel membengkak dan membentuk benda inklusi intra nuclear dan ini dapat digunakan sebagai bahan diagnose penyakit KHV.

4.6 Cara Penularan KHV

Penyakit KHV ini menyebar melalui kontak langsung antara ikan terjangkit sakit dan ikan sehat, kontaminasi air, transportasi, dan penanganan seperti pergantian lingkungan serta fluktuasi temperatur (Sunarto 2005). Pada penelitian ini, kelompok 1B, 2B dan 3B terdiri dari 5 ekor ikan injeksi dan 5 ekor ikan kohabitasi. Setelah diberi perlakuan suhu ekstrim, ikan-ikan kohabitasi terlihat sakit bahkan kematian pada hari ke-9 dan ke-11. Hal ini akibat air dalam akuarium terkontaminasi oleh virus KHV dari ikan yang diinjeksi virus KHV dan/atau kontak langsung . Secara berurutan kelompok, ada 2/5, 3/5 dan 0/5 ekor ikan kohabitasi terlihat sakit.

4.7 Kualitas Air, Cekaman Suhu dan Stres

Air merupakan media hidup bagi organisme perairan yang sangat mendukung dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup akuatik. Setiap jenis ikan memiliki batas toleran yang berbeda-beda dan dinyatakan dengan kisaran nilai tertentu. Ada beberapa parameter kelayakan perairan yang disebut dengan kualitas air. Parameter kualitas air ini digolongkan menjadi 2 yaitu secara fisika dan kimia. Kualitas air tersebut diantaranya adalah pH, suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), nitrit (NO2), nitrat (NO3) dan amonia (NH3) (Effendi 2003).

4.7.1 Power of hydrogen (pH)

Kualitas air sangat penting dalam budidaya ikan. Air yang kurang baik akan menyebabkan ikan Koi mudah terserang penyakit. Power of hydrogen (pH) turut menentukan kesuburan air. Perairan yang alkalis atau netral lebih produktif daripada yang asam. Perubahan pH biasanya menimbulkan stres pada ikan. Pada penelitian ini, pH air antara 7-8 dan ini masih berada pada kisaran yang normal.


(46)

Menurut Tiara dan Muhananto (2011) bahwa ikan Koi dapat bertahan hidup pada pH 6,5-8.

4.7.2 Salinitas

Ikan Koi dapat bertahan hidup pada salinitas 2-10 ppt (Effendy 2003). Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd 1988). Salinitas mirip dengan klorida adalah klorida, bromida dan iodida. Pada penelitian ini rata-rata nilai salinitas airnya adalah 0.1 ppt. Hal ini jauh dibawah standar normal bagi kelayakan hidup ikan Koi.

4.7.3Deplesi oksigen (DO)

Konsentrasi DO atau oksigen terlarut dalam air sangat penting. Deplesi oksigen dapat menyebabkan ikan mudah terserang penyakit bahkan mati secara mendadak. Hal ini biasanya diawali dengan anoreksia, hipoksia jaringan, gangguan pernapasan, dan pingsan (Effendy 2003). Oleh karenanya dalam pemeliharaan ikan Koi perlu mempertahankan kondisi DO dalam kisaran normal. Kisaran normal oksigen terlarut untuk ikan Koi adalah 3-5 mg/liter (Tiara dan Muhananto 2011). Pada penelitian ini menunjukkan rata-rata nilai DO turun secara moderat yaitu dari 8.36 turun hingga 1.10 mg/liter (Gambar 16).

Gambar 16 Uji kualitas air terhadap deplesi oksigen (DO)

4.7.4 Amonia

Amonia dihasilkan akibat dari proses pemupukan, ekskresi ikan, dekomposisi mikroba dari komponen nitrogen. Total amonia dalam bentuk NH4+ dan NH3 tergantung pada peningkatan pH. NH4+ tersebut bersifat tidak beracun


(47)

(Effendy 2003).. Ikan mampu bertahan hidup pada kualitas amonia 1.37-2.2 mg/liter (UNESCO/WHO/UNEP 1992). Pada penelitian ini, rata-rata kadar amonia dari setiap akuarium meningkat yaitu antara 0.000 hingga 0.290 mg/liter sejak ikan menunjukkan gejala klinis dan kematian pada hari ke-7 dan ke-8 (Gambar 17).

Gambar 17 Uji kualitas air terhadap amonia (NH3)

4.7.5 Nitrit (NO2)

Demikian halnya suhu yang tinggi dapat pula meningkatkan asam nitrit yang bersifat toksik bagi ikan. Saat nitrit diabsorbsi oleh ikan, nitrit akan bereaksi dengan hemoglobin membentuk methemoglobin. Nitrit akan mengoksidasi ferro (Fe2+) menjadi ferri (Fe3+). Hal ini meyebabkan darah tidak dapat mengikat oksigen, sehingga toksisitas nitrit akan menyebabkan penurunan aktivitas hemogloblin. Toksisitas nitrit disebut methemoglobinaemia (Murray et al. 2000).

Gambar 18 Uji kualitas air terhadap nitrit (NO2) Hari ke-


(48)

Hal ini sebagai akibat dari meningkatnya metabolisme tubuh pada saat tubuh menghadapi suhu lingkungan yang tinggi. Dekomposisi feses dan sisa pakan dapat meningkatkan konsentrasi ion nitrit yang akan diurai oleh bakteri Nitrosomonas. Peningkatan konsentrasi nitrit dipengaruhi juga oleh pH dan salinitas. Pada konsentrasi DO yang rendah, kadar nitrit akan meningkat (Effendy 2003). Ikan mampu bertahan hidup pada kualitas nitrit 0.06 mg/liter (UNESCO/WHO/UNEP 1992), Pada penelitian ini, rata-rata kadar nitrit meningkat dari setiap akuarium dari 0.046 menjadi 1.91 mg/liter (normal 0.06 mg/liter). Kadar nitrit pada hari ikan coba mulai menunjukkan gejala klinis dan kematian (hari ke-7) adalah 1.662 mg/liter.

4.7.6 Nitrat (NO3)

Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat merupakan hasil oksidasi amonia menjadi nitrit yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, dan nitrit menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter.

Gambar 19 Uji kualitas air terhadap nitrat (NO3)

Pada penelitian ini, rata-rata kadar nitrat meningkat secara moderat yaitu dari 0.085 menjadi 1.67 mg/liter (normal 0.2 mg/liter). Tingginya kadar nitrat melebihi dari standar normal 0,2 mg/liter (eutrofikasi) dalam rentan waktu yang relatif lama dapat menyebabkan blooming. Di dalam tubuh ikan, nitrat bersifat tidak toksik, namun konsumsi kadar nitrat yang tinggi dapat menyebabkan methemoglobinemia.


(49)

4.7.7Cekaman Suhu dan Stres

Selain itu, suhu berperan penting sebagai controlling factor. Metabolisme optimal akan terjadi pada suhu yang optimal. Setiap jenis ikan mempunyai batas toleran yang berbeda-beda. Menurut Tiara dan Muhananto (2011) ikan Koi dapat bertahan hidup pada suhu 26-28 C. Namun Effendy (2003) mengatakan bahwa ikan Koi dapat bertahan hidup pada kisaran suhu 8-30ºC, oleh karena ikan Koi dapat dipelihara di seluruh Indonesia, mulai dari pantai hingga daerah pegunungan. Suhu ideal untuk pertumbuhan ikan Koi adalah 15-25ºC. Menurut Tiara dan Murhananto (2011), ikan Koi mudah mengalami stres bila ada perubahan suhu hingga 5ºC dalam tempo singkat walaupun ikan termasuk dalam hewan poikilotermal.

Tinggi rendahnya suhu air sangat mempengaruhi kondisi kualitas air terutama pada kadar amonia dan nitrit. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan kuantitas kadar amonia (NH3). NH3 bersifat toksik sehingga dapat membahayakan bagi ikan yang berada dalam sistem tersebut. Kadar amonia yang tinggi dapat mempengaruhi permeabelitas ikan terhadap air dan mengurangi konsentrasi ion dalam tubuh, meningkatkan konsumsi oksigen pada jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan darah dalam melakukan transport oksigen. Konsentrasi amonia yang tinggi pada lingkungan menyebabkan eksresi amonia dalam tubuh ikan menurun sehingga kadar amonia dalam darah dan jaringan meningkat. Pertumbuhan ikan akan terhambat bahkan tubuh menjadi peka terhadap penyakit bila ikan berada pada lingkungan dengan konsentrasi amonia yang tinggi secara terus-menerus (Effendy 2003).

Perubahan suhu air secara drastis dapat mempengaruhi homeostatis ikan Koi karena dapat menyebabkan suhu tubuh ikan seringkali berubah-ubah. Pada saat adaptasi suhu, ikan menggunakan energi yang berlebihan sehingga dapat mengganggu pertumbuhannya. Dalam rentan waktu yang lama, ikan mengalami stres. Ikan yang yang mengalami stres akan memperlihatkan perubahan behaviuor dan fisiologis. Perubahan behaviour pada ikan diawali dengan ketakutan, sifat yang agresif, kelelahan, hingga hipoaktif (Ross and Ross 1999). Sedang perubahan fisiologis berupa peningkatan hormon kortikosteroid, katekolamin,


(50)

denyut jantung dan pernafasan. Stres dapat mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun bahkan kematian (Kaplan dan Sadock 1997).

Secara normal, tubuh akan merespon setiap stimulan dari dalam atau luar tubuh untuk mempertahankan homeostasisnya. Tubuh yang mengalami stres dapat menurunkan tekanan darah tubuh sehingga jaringan hipotalamus merangsang sistem saraf simpatis dan medula adrenal untuk menstimulasi sekresi katekolamin (Kaplan dan Sadock 1997).

Pada saat stres, pelepasan ACTH dan kortisol akan terstimulasi serta terjadi hipertropi adrenal (Kaplan dan Sadock 1997). Kortisol berfungsi untuk membantu katekolamin memobilisasi asam lemak dan gliserol dari sel lemak yang dibutuhkan oleh jantung dan hati. Kortisol melakukan katabolisasi protein menjadi asam amino yang akan simpan di hati dan akan digunakan untuk reparasi dan regenerasi jaringan. Kortisol sebagai prekursor dari proses glukoneogenesis sehingga terbentuk glukosa yang akan masuk ke dalam darah maka kadar gula darah meningkat. Glukosa secara maximum akan digunakan oleh otak dan jantung sehingga suplai glukosa pada otot dan jaringan perifer menurun (Ross and Ross 1999).

Sekresi kortisol oleh hipotalamus yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya ulkus lambung dan dalam waktu relatif singkat dapat menurunkan nafsu makan ikan. Selain itu, kortisol menekan produksi leukosit dan atropi kelenjar limfe sehingga daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun (Mardiati, 2000). Level kortikosteroid dalam darah yang tinggi dapat menekan produksi interferon, antibodi dan Cell mediated immunity (CMI) sehingga tubuh menjadi lebih peka terhadap infeksi virus (Malole 1988).

Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi makrofag yang diaktifkan, sel NK dan berbagai sel yang mengandung nukleus kemudian dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Antibodi adalah zat kebal tubuh berupa globulin yang diproduksi oleh sel mononuklear, limfosit, netrofil dan trombosit, receptor sel B dan basofil, lomfosit dan sel mast. CMI adalah respon imun yang melibatkan makrofag, sel NK, antigen-specific cytotoxic T-lymphocytes dan produk berbagai sitokin (Baratawidjaja 2006).


(51)

Interferon bekerja melalui induksi sistem protein double stranded RNA activated inhibitor of translation (DAI). Setelah virus menginfeksi sel inangnya, virus menginduksi produksi interferon melalui kehadiran sel makrofag. Interferon berada di epitel mencegah virus masuk ke dalam sel sehingga tidak terjadi replikasi virus. Sebaliknya ketika interferon tidak dapat menjalankan fungsinya. Virus mudah menginfeksi sel dan bereplikasi didalamnya sehingga virus baru dapat diproduksi dan dilepaskan dari sel (Baratawidjaja 2006).

Pada penelitian ini, berdasar hasil pengamatan dan pemeriksaan gejala klinis, perubahan makroskopis dan uji nested PCR terhadap ikan coba bahwa ikan coba dari beberapa kelompok ikan telah terinfeksi KHV baik ikan coba yang sengaja diinjeksi maupun yang dikobitasikan. Kelompok ikan yang positif terdedah penyakit KHV adalah 1A, 1B, 2A, 2B dan kelompok kontrol positif (4A), sedang kelompok lainnya adalah 3A, 3B dan kelompok kontrol negatif (4B) tidak terdedah penyakit KHV. Hal ini membuktikan bahwa kondisi lingkungan yang buruk misal pancaroba iklim atau perubahan suhu yang ekstrim dan kondisi kualitas air merupakan faktor predileksi virus KHV untuk menginfeksi ikan coba. Perubahan suhu air secara ekstrim dan kondisi kualitas air yang buruk telah menyebabkan daya tahan tubuh ikan turun sehingga mudah terinfeksi oleh virus KHV. Selain itu, kuantitas copies DNA, dosis infeksi dan kondisi fisik ikan itu sendiri menjadi syarat utama virus KHV untuk menginfeksi inangnya.

Ikan coba yang terinfeksi tersebut mampu menularkan Koi herpesvirus pada ikan sehat-kohabitasi melalui cemaran air dalam akuarium dan/atau kontak langsung. Hal ini dibuktikan pada kelompok ikan sehat yang dikohabitasikn, ikan-ikan tersebut telah terinfeksi virus KHV. Ikan kohabitasi yang terinfeksi adalah dari kelompok 1B sebanyak 2 ekor dari 5 ekor ikan kohabitasi dan kelompok 2B sebanayk 3 ekor dari 5 ekor ikan kohabitasi.  

Interpretasi dari penelitian ini adalah isolat virus KHV berkode D143, D144 dan M628 lebih virulen dibanding D139. Walau demikian, ikan coba yang diinjeksi D139 diduga bersifat latent dan akan muncul gejala sakit bila ada faktor pendukungnya.  


(52)

(53)

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Kesimpulan

Pada penelitian ini digunakan KIT IQ2000TM untuk mengidentifikasi virus KHV dengan pemeriksaan metode nested PCR. Isolat virus KHV yang didapatkan adalah berkode D139, D143, D144 dan M628. Isolat tersebut yang digunakan untuk diinjeksikan pada kelompok ikan coba yang diberi perlakuan suhu secara ekstrim dan terbukti mampu menimbulkan gejala sakit, dan hal ini tidak terjadi pada kelompok ikan yang tidak diberi perlakuan. Kejadian ini dibuktikan dengan hasil pemeriksaan berdasarkan gejala klinis, perubahan makroskopis serta pengujian dengan metode nested PCR. Isolat virus KHV berkode D143, D144 dan M628 yang memiliki tingkat virulensi tinggi dan tidak pada isolat virus berkode D139. Ikan-ikan yang terinfeksi dapat menularkan Koi herpesvirus pada ikan sehat-kohabitasi melalui cemaran air dalam akuarium dan/atau kontak langsung. Ikan yang diinjeksi dengan suspensi virus berkode D139 tidak menunjukkan gejala sakit namun diduga bersifat latent dan akan muncul bila ada faktor cekaman lainnya. Pada penelitian ini, perubahan suhu air secara ekstrim dan kondisi kualitas air yang buruk telah menyebabkan daya tahan tubuh ikan turun sehingga mudah terinfeksi oleh virus KHV.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian tentang faktor cekaman lain (stres) terhadap infeksi Koi herpesvirus dan metode penguraian bahan-bahan organik dalam kolam, tambak dan danau dalam budidaya ikan Koi dan ikan Mas.


(54)

(1)

3. Kelompok 2A Hari

Ke-

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Dingin Buatan

(

Δ

C)

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Panas

Alami (

Δ

C)

18.00 21.00 24.00 03.00 06.00 07.50 08.00 10.30 12.00 14.30 17.00 17.50

1 18.00 18.90 18.50 18.96 18.94 19.01 29.98 31.09 31.11 31.00 30.87 30.73

2 18.00 18.96 18.90 18.98 18.94 19.02 30.02 31.00 31.00 31.09 30.89 30.50

3 18.00 18.80 18.80 18.97 18.98 19.03 30.09 31.02 31.09 31.01 30.76 30.70

4 18.00 18.96 18.99 19.05 18.93 19.04 30.02 31.06 31.09 31.02 30.90 30.87

5 18.00 18.98 18.96 19.05 18.90 19.04 29.99 31.00 31.00 31.09 30.94 30.70

6 18.00 18.50 18.96 19.03 18.92 19.05 30.00 30.94 31.01 31.06 30.92 30.60

7 18.00 18.99 18.97 19.01 18.92 19.02 29.98 30.90 30.92 30.99 30.86 30.76

8 18.00 18.60 18.98 18.99 18.99 19.02 30.03 30.93 30.99 31.08 30.99 30.60

9 18.00 18.50 18.92 18.98 18.99 19.01 30.05 30.94 30.92 30.09 30.85 29.89

10 18.00 19.05 18.99 18.99 18.97 19.00 30.00 30.34 30.89 30.90 30.92 30.30

11 18.00 19.01 18.97 19.01 18.96 18.99 30.21 30.96 31.00 31.01 30.91 30.68

12 18.00 18.97 18.95 19.00 18.95 18.98 30.04 30.94 30.23 30.84 30.29 30.00


(2)

4. Kelompok 2B Hari

Ke-

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Dingin Buatan (ΔC)

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Panas Alami (ΔC) 18.00 21.00 24.00 03.00 06.00 07.50 08.00 10.30 12.00 14.30 17.00 17.50

1 18.00 18.90 18.50 18.96 18.94 19.01 29.98 31.09 31.11 31.00 30.87 30.73

2 18.00 18.96 18.90 18.98 18.94 19.02 30.02 31.00 31.00 31.09 30.89 30.50

3 18.00 18.80 18.80 18.97 18.98 19.03 30.09 31.02 31.09 31.01 30.76 30.70

4 18.00 18.96 18.99 19.05 18.93 19.04 30.02 31.06 31.09 31.02 30.90 30.87

5 18.00 18.98 18.96 19.05 18.90 19.04 29.99 31.00 31.00 31.09 30.94 30.70

6 18.00 18.50 18.96 19.03 18.92 19.05 30.00 30.94 31.01 31.06 30.92 30.60

7 18.00 18.99 18.97 19.01 18.92 19.02 29.98 30.90 30.92 30.99 30.86 30.76

8 18.00 18.60 18.98 18.99 18.99 19.02 30.03 30.93 30.99 31.08 30.99 30.60

9 18.00 18.50 18.92 18.98 18.99 19.01 30.05 30.94 30.92 30.09 30.85 29.89

10 18.00 19.05 18.99 18.99 18.97 19.00 30.00 30.34 30.89 30.90 30.92 30.30

11 18.00 19.01 18.97 19.01 18.96 18.99 30.21 30.96 31.00 31.01 30.91 30.68

12 18.00 18.97 18.95 19.00 18.95 18.98 30.04 30.94 30.23 30.84 30.29 30.00


(3)

5. Kelompok 3A Hari

Ke-

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Dingin Buatan (ΔC)

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Panas Alami (ΔC) 18.00 21.00 24.00 03.00 06.00 07.50 08.00 10.30 12.00 14.30 17.00 17.50

1 18.00 18.90 18.50 18.96 18.94 19.01 29.98 31.09 31.11 31.00 30.87 30.73

2 18.00 18.96 18.90 18.98 18.94 19.02 30.02 31.00 31.00 31.09 30.89 30.50

3 18.00 18.80 18.80 18.97 18.98 19.03 30.09 31.02 31.09 31.01 30.76 30.70

4 18.00 18.96 18.99 19.05 18.93 19.04 30.02 31.06 31.09 31.02 30.90 30.87

5 18.00 18.98 18.96 19.05 18.90 19.04 29.99 31.00 31.00 31.09 30.94 30.70

6 18.00 18.50 18.96 19.03 18.92 19.05 30.00 30.94 31.01 31.06 30.92 30.60

7 18.00 18.99 18.97 19.01 18.92 19.02 29.98 30.90 30.92 30.99 30.86 30.76

8 18.00 18.60 18.98 18.99 18.99 19.02 30.03 30.93 30.99 31.08 30.99 30.60

9 18.00 18.50 18.92 18.98 18.99 19.01 30.05 30.94 30.92 30.09 30.85 29.89

10 18.00 19.05 18.99 18.99 18.97 19.00 30.00 30.34 30.89 30.90 30.92 30.30

11 18.00 19.01 18.97 19.01 18.96 18.99 30.21 30.96 31.00 31.01 30.91 30.68

12 18.00 18.97 18.95 19.00 18.95 18.98 30.04 30.94 30.23 30.84 30.29 30.00


(4)

6. Kelompok 3B Hari

Ke-

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Dingin Buatan (ΔC)

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Panas Alami (ΔC) 18.00 21.00 24.00 03.00 06.00 07.50 08.00 10.30 12.00 14.30 17.00 17.50

1 18.00 18.90 18.50 18.96 18.94 19.01 29.98 31.09 31.11 31.00 30.87 30.73

2 18.00 18.96 18.90 18.98 18.94 19.02 30.02 31.00 31.00 31.09 30.89 30.50

3 18.00 18.80 18.80 18.97 18.98 19.03 30.09 31.02 31.09 31.01 30.76 30.70

4 18.00 18.96 18.99 19.05 18.93 19.04 30.02 31.06 31.09 31.02 30.90 30.87

5 18.00 18.98 18.96 19.05 18.90 19.04 29.99 31.00 31.00 31.09 30.94 30.70

6 18.00 18.50 18.96 19.03 18.92 19.05 30.00 30.94 31.01 31.06 30.92 30.60

7 18.00 18.99 18.97 19.01 18.92 19.02 29.98 30.90 30.92 30.99 30.86 30.76

8 18.00 18.60 18.98 18.99 18.99 19.02 30.03 30.93 30.99 31.08 30.99 30.60

9 18.00 18.50 18.92 18.98 18.99 19.01 30.05 30.94 30.92 30.09 30.85 29.89

10 18.00 19.05 18.99 18.99 18.97 19.00 30.00 30.34 30.89 30.90 30.92 30.30

11 18.00 19.01 18.97 19.01 18.96 18.99 30.21 30.96 31.00 31.01 30.91 30.68

12 18.00 18.97 18.95 19.00 18.95 18.98 30.04 30.94 30.23 30.84 30.29 30.00


(5)

7. Kelompok 4A Hari

Ke-

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Dingin Buatan (ΔC)

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Panas Alami (ΔC) 18.00 21.00 24.00 03.00 06.00 07.50 08.00 10.30 12.00 14.30 17.00 17.50

1 18.00 18.90 18.50 18.96 18.94 19.01 29.98 31.09 31.11 31.00 30.87 30.73

2 18.00 18.96 18.90 18.98 18.94 19.02 30.02 31.00 31.00 31.09 30.89 30.50

3 18.00 18.80 18.80 18.97 18.98 19.03 30.09 31.02 31.09 31.01 30.76 30.70

4 18.00 18.96 18.99 19.05 18.93 19.04 30.02 31.06 31.09 31.02 30.90 30.87

5 18.00 18.98 18.96 19.05 18.90 19.04 29.99 31.00 31.00 31.09 30.94 30.70

6 18.00 18.50 18.96 19.03 18.92 19.05 30.00 30.94 31.01 31.06 30.92 30.60

7 18.00 18.99 18.97 19.01 18.92 19.02 29.98 30.90 30.92 30.99 30.86 30.76

8 18.00 18.60 18.98 18.99 18.99 19.02 30.03 30.93 30.99 31.08 30.99 30.60

9 18.00 18.50 18.92 18.98 18.99 19.01 30.05 30.94 30.92 30.09 30.85 29.89

10 18.00 19.05 18.99 18.99 18.97 19.00 30.00 30.34 30.89 30.90 30.92 30.30

11 18.00 19.01 18.97 19.01 18.96 18.99 30.21 30.96 31.00 31.01 30.91 30.68

12 18.00 18.97 18.95 19.00 18.95 18.98 30.04 30.94 30.23 30.84 30.29 30.00


(6)

8. Kelompok 4B Hari

Ke-

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Dingin Buatan (ΔC)

Pukul (WITA)

dalam Suhu Ekstrim Panas Alami (ΔC) 18.00 21.00 24.00 03.00 06.00 07.50 08.00 10.30 12.00 14.30 17.00 17.50

1 18.00 18.90 18.50 18.96 18.94 19.01 29.98 31.09 31.11 31.00 30.87 30.73

2 18.00 18.96 18.90 18.98 18.94 19.02 30.02 31.00 31.00 31.09 30.89 30.50

3 18.00 18.80 18.80 18.97 18.98 19.03 30.09 31.02 31.09 31.01 30.76 30.70

4 18.00 18.96 18.99 19.05 18.93 19.04 30.02 31.06 31.09 31.02 30.90 30.87

5 18.00 18.98 18.96 19.05 18.90 19.04 29.99 31.00 31.00 31.09 30.94 30.70

6 18.00 18.50 18.96 19.03 18.92 19.05 30.00 30.94 31.01 31.06 30.92 30.60

7 18.00 18.99 18.97 19.01 18.92 19.02 29.98 30.90 30.92 30.99 30.86 30.76

8 18.00 18.60 18.98 18.99 18.99 19.02 30.03 30.93 30.99 31.08 30.99 30.60

9 18.00 18.50 18.92 18.98 18.99 19.01 30.05 30.94 30.92 30.09 30.85 29.89

10 18.00 19.05 18.99 18.99 18.97 19.00 30.00 30.34 30.89 30.90 30.92 30.30

11 18.00 19.01 18.97 19.01 18.96 18.99 30.21 30.96 31.00 31.01 30.91 30.68

12 18.00 18.97 18.95 19.00 18.95 18.98 30.04 30.94 30.23 30.84 30.29 30.00