2.5.2 Gejala Klinis
Ikan yang terinfeksi penyakit KHV akan memperlihatkan gejala penurunan nafsu makan, lemah, penurunan permeabelitas mukosa kulit dan insang. Penurunan
permeabelitas mukosa kulit ini menyebabkan kulit tampak kering, hemorrhagi pada sirip dan kulit, nekrosa sel insang atau menjadi nekrosis pada ujung lamela OATA
2001; Departemen Kelautan dan Perikanan 2010. Ikan yang terserang penyakit ini akan sedikit banyak mengalami perubahan tingkah laku antara lain ikan berenang di
permukaan air, berkumpul mendekati sumber aerasi, gerakan yang kurang terkontrol, dan terlihat dispnoe pada permukaan air.
2.5.3 Perubahan Makroskopis
Pada pemeriksaan perubahan makroskopis ditemukan adanya nekrosa pada insang, sisik, sirip, ekor, ginjal, limpa, dan hati Sunarto 2005. Belakangan ini
perubahan makroskopis akibat infeksi virus KHV jarang muncul, namun ikan yang terinfeksi KHV biasanya mati mendadak.
2.5.4 Diagnosa
Diagnosa penyakit KHV sampai saat ini dengan 3 cara yaitu berdasar gejala klinis dan perubahan makroskopis, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan biologi
molekuler dengan metode PCR. Diagnosa berdasar perubahan kondisi fisik atau sakit dengan gejala klinis dan perubahan makroskopis digolongkan ke dalam level 1, dan
pemeriksaan histopatologi digolongkan dalam cara diagnosa penyakit ikan pada level 2. Diagnosa penyakit ikan dalam level tertinggi adalah pemeriksaan biologi molekuler
dengan metode PCR yaitu termasuk dalam level 3 Departemen Kelautan dan Perikanan 2007. Penggolongan level diagnosa penyakit ini disesuaikan dengan fasilitas
peralatan yang ada. Diagnosa penyakit pada level 1 biasanya dilakukan oleh para petugas lapang dan stasion kelas 2. Diagnosa penyakit pada level 2 dilakukan oleh para
petugas di laboratorium dan stasion kelas 1 karantina ikan, sedangkan diagnosa penyakit pada level 3 dilakukan oleh petugas laboratorium virologi pada Balai Besar
dan Balai Riset dalam Departemen Kelautan dan Perikanan. Selain itu diagnosa KHV dapat dilakukan dengan cara isolasi virus pada
kultur jaringan. Sel yang digunakan adalah sel fibroblast dari Koi Tail KT. Supernatan homogenat dari bagian ikan yang dianggap sakit di inokulasikan dalam KT, kemudian
di inkubasi selama 1 jam pada suhu 25°C agar KHV menempel pada permukaan KT.
Setelah diinokulasikan, virus dapat terdeteksi dengan terlihatnya efek sitopatik yang cepat dalam kultur sel Sunarto 2005.
2.6 Polymerase Chain Reaction PCR 2.6.1 Single PCR
PCR merupakan suatu teknik perbanyakan amplifikasi potongan DNA secara in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer
oligonukleotida. Primer yang digunakan sebagai pembatas daerah yang diperbanyak adalah DNA untai tunggal yang urutannya komplemen dengan DNA
templatenya. Proses tersebut mirip dengan proses replikasi DNA secara in vivo yang bersifat semi konservatif. Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan
105-106 kali lipat dari jumlah nanogram DNA template Stephenson 2003. PCR dilakukan dengan bantuan alat yang disebut thermocycler Muladno 2010.
Dalam proses PCR membutuhkan 4 komponen utama, yaitu 1 DNA template, 2 oligopolisakarida primer, 3 deoxyribonucleotida triphosphate dan
4 enzim polymerase. DNA template adalah frakmen DNA yang akan dilipatgandakan. Oligopolisakarida primer adalah suatu sekuen pendek dari
oligonukleotida yaitu antara 15-25 basa nukleotida yang akan digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA. Deoxiribonucleotida triphosphate sering disebut
dNTP, ini terdiri dari dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. Enzim polymerase adalah enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang
juga penting adalah senyawa buffer Yuwono 2006. Reaksi pelipatgandaan suatu frakmen DNA dimulai dengan melakukan
denaturasi DNA template sehingga rantai DNA yang berantai ganda akan dipisahkan menjadi rantai tunggal. Denaturasi menggunakan panas 90 C selama
1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 C selama 1-2 menit, sehingga primer menempel annealing pada cetakan terpisah menjadi rantai tunggal.
Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan template pada daerah sekuen
yang komplementer dengan sekuen primer Glick dan Pasternak 1998.
Pada single PCR membutuhkan sepasang primer untuk proses annealing. Primer pertama adalah oligonukleotida dalam primer ini mempunyai sekuen yang
identik dengan salah satu rantai DNA template pada ujung 5’-fosfat, primer kedua adalah oligonukleotida yang identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai