Produksi Biohidrogen Menggunakan Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) oleh Enterobacter aerogenes ADH-43 pada Reaktor Packed-Bed
OLEH
Enterobacter aerogenes
ADH-43
PADA REAKTOR
PACKED-BED
ETTY TRI WIDYASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produksi Biohidrogen Menggunakan Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) oleh Enterobacter aerogenes ADH-43 pada Reaktor Packed-Bed adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2011
Etty Tri Widyastuti NIM P051080061
(3)
ABSTRACT
ETTY TRI WIDYASTUTI. Biohydrogen Production Using Sweet Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) by Enterobacter aerogenes ADH-43 in a Packed-Bed Reactor. Under direction of KHASWAR SYAMSU and MAHYUDIN ABDUL RACHMAN
Biohydrogen as gas produced from the activity of microorganisms is an environmentally friendly alternative energy because the production process does not require large energy and combustion results only in the form of water vapor and heat without producing waste that can pollute the environment. This research aims to produce H2 through fermentation with sweet sorghum (Sorghum bicolor
(L.) Moench) as a main substrate using Enterobacter aerogenes ADH-43 in continuous mode at packed bed bioreactor.
This research was conducted by the anaerobic fermenting E. aerogenes ADH-43 in medium containing about 4.27% total sugar in the anaerobic packed bed reactor that was operated in batch mode at first stage to find the value of specific growth rate of cells which was them used to determine the dilution rate (D). Dilution rates tested in this study were: D = 0.10, 0.15 and 0.20/ h. During fermentation the temperature was controlled at 37 ± 1oC. Cultivation were carried out until steady state in which the amount of H2 produced, pH, and OD (optical
density) were constant. Fermentation at each D was carried out with three replications. Observations and analysis were done by measuring pH, OD, cell dry weight, total sugar, reducing sugar content, organic acid content and the amount of gas.
In batch mode, H2 flow rate obtained was 8.26 L H2/L substrate and yield
of 3.79 mol H2/ mol total sugar, whereas in continuous mode D = 0.15/ h was
found to be optimum with a yield of 0.67 mol H2/ mol total sugar and H2
production of 10.56 ml H2/ min (1.41 L H2/ L h; 62.84 mmol / L h). As a
comparison using molases as a main substrate, D=0,15/ h produced a smaller yield of 0.46 mol H2/ mol total sugar and H2 production was 7.79 ml H2/ min (1.04 L
H2/ L h and 46.42 mmol H2/ L h).
Keyword: Enterobacter aerogenes ADH-43, biohydrogen, sorghum, packed bed bioreactor
(4)
RINGKASAN
ETTY TRI WIDYASTUTI. Produksi Biohidrogen Menggunakan Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) oleh Enterobacter aerogenes ADH-43 pada Reaktor Packed-Bed dibawah bimbingan KHASWAR SYAMSU dan MAHYUDIN ABDUL RACHMAN.
Biohidrogen sebagai gas yang dihasilkan dari aktifitas mikroorganisme merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan karena dalam proses produksinya tidak memerlukan energi yang besar dan hasil pembakarannya hanya berupa uap air dan panas tanpa menghasilkan limbah hasil pembakaran yang dapat mencemari lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi H2
melalui fermentasi dengan substrat nira sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) menggunakan sel Enterobacter aerogenes ADH-43 dalam bioreaktor packed bed sistem sinambung.
Penelitian ini dilakukan dengan memfermentasikan secara anaerob E. aerogenes ADH-43 pada medium yang mengandung gula total sorgum 4,27% dalam bioreaktor packed bed. Penelitian dilakukan pada sistem curah terlebih dahulu untuk mendapatkan nilai laju pertumbuhan spesifik maksimum sel yang digunakan untuk menentukan laju dilusi (D). Laju dilusi yang dicobakan pada penelitian ini adalah D=0,10; 0,15; dan 0,20 /jam. Kemudian dikultivasikan pada sistem sinambung. Selama kultivasi suhu dikontrol pada 37±10C. Kultivasi dilakukan hingga steady state dimana jumlah gas H2 yang dihasilkan, pH, dan OD
(optical density) konstan. Kultivasi pada masing-masing D diulang sebanyak tiga kali. Pengamatan dan analisa dilakukan dengan mengukur pH, OD, berat kering sel, kadar gula total, kadar gula reduksi, kandungan asam organik dan jumlah gas.
Pada kultur curah diperoleh laju alir H2 sebesar 8,26 L H2/ L substrat dan
rendemen sebesar 3,79 mol/ mol gula total, sedangkan pada kultur sinambung D=0,15/ jam merupakan kecepatan dilusi yang optimum dengan rendemen sebesar 0,67 mol/ mol gula total dan produksi H2 sebesar 10,56 ml H2/ menit (1,41 L H2/
L 62,84 mmol/L per jam). Sebagai pembanding, pada D yang sama pada medium tetes tebu diperoleh 7,79 ml H2/ menit (1,04 L H2/ L substrat per jam dan 46,42
mmol H2/ L per jam dengan rendemen 0,455 mol H2/ mol substrat).
Kata kunci: Enterobacter aerogenes ADH-43, biohidrogen, nira sorgum, packed bed reaktor
(5)
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(6)
PRODUKSI BIOHIDROGEN MENGGUNAKAN
SORGUM MANIS
(Sorghum bicolor (L.) Moench)
OLEH
Enterobacter aerogenes
ADH-43
PADA REAKTOR
PACKED-BED
ETTY TRI WIDYASTUTI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(7)
(8)
Judul Tesis : Produksi Biohidrogen Menggunakan Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L.) Moench)oleh Enterobacter aerogenes ADH-43 pada Reaktor Packed-Bed
Nama : Etty Tri Widyastuti
NIM : P051080061
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc Dr. Mahyudin Abdul Rachman, APU
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Bioteknologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Suharsono, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
(9)
BAB I . PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketergantungan dunia akan bahan bakar fosil, selain berakibat pada semakin menipisnya cadangan bahan bakar tersebut, penggunaannya menyebabkan terjadinya pemanasan global sebagai dampak emisi gas rumah kaca dari pembakaran yang dihasilkan. Gas hidrogen (H2) merupakan salah satu energi
yang bersih karena pembakarannya hanya menghasilkan uap air dan panas serta tidak meninggalkan emisi karbon. Gas ini merupakan energi masa depan yang menjanjikan baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Gas H2 dapat dihasilkan melalui proses elektrolisis air, reformasi
termokatalitik terhadap senyawa organik yang kaya dengan kandungan H2 dan
proses-proses biologi. Proses produksi H2 secara biologi (biohidrogen) dapat
dilangsungkan pada tekanan dan suhu normal, sehingga memerlukan energi lebih sedikit daripada cara kimia atau elektrokimia. Produksi biohidrogen biasanya melibatkan mikroorganisme atau enzim (Hawkes et al. 2002).
Produksi H2 dapat dilakukan melalui fermentasi anaerobik gelap dan
terang. Produksi H2 melalui fermentasi gelap dilakukan oleh bakteri anaerob, yang
tumbuh pada kondisi gelap pada substrat yang kaya karbohidrat. Karbohidrat yang digunakan sebagai substrat dapat berupa glukosa, isomer heksosa atau polimer dalam bentuk pati atau selulosa dengan jumlah rendemen H2 yang berbeda per
mol glukosa tergantung jalur fermentasi dan produk akhirnya. Jika asam asetat sebagai produk akhir, maka secara teori dihasilkan maksimum 4 mol H2 per mol
glukosa. Jika butirat sebagai produk secara teori dihasilkan 2 mol H2 per mol
glukosa (Levin et al. 2004). Keunggulan produksi H2 melalui fermentasi gelap
adalah (1) tidak memerlukan energi matahari, (2) berbagai limbah/tanaman energi dapat digunakan, dan (3) teknologi reaktor yang sederhana (Hallenbeck & Ghosh 2009), sedangkan kelemahannya adalah sensitif terhadap akumulasi produk akhir (Van Groenestijn et al. 2002).
Berbagai substrat organik telah diakui potensial dalam fermentasi H2.
Penggunaan substrat/bahan baku yang merupakan bahan pangan dapat menghambat keberhasilan program ketahanan pangan, sehingga perlu dicari
(10)
alternatif bahan baku yang bukan merupakan bahan pangan utama. Biomassa sorgum manis mengandung gula fermentasi sehingga merupakan bahan mentah yang berpotensi untuk fermentasi dalam produksi H2. Sorgum manis (Sorghum
bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman tahunan asli tropis yang adaptif di daerah panas dan kering maupun dapat beradaptasi di daerah sedang dan sub tropis dan memiliki produksi biomasa yang tinggi. Batang sorgum manis mengandung gula, yaitu 55% sukrosa (berat kering) dan 3,2 % glukosa (berat kering) serta mengandung selulosa 12,4 % dan hemiselulosa 10,2% (Billa et al. 1997). Kandungan sukrosa, glukosa dan fruktosa akan meningkat setelah antesis (Almodares & Hadi 2008). Penelitian produksi gas H2 menggunakan substrat
sorgum yang dilakukan Antonopoulo et al. (2007) dihasilkan 2,61 mol H2/mol
glukosa, sedangkan Ntaikou et al. (2008) memperoleh 2,52 mol H2/mol glukosa.
Prihandana dan Hendroko (2007) mengemukakan bahwa produktivitas sorgum manis dalam menghasilkan bioetanol lebih besar (5.500-6.000 l/ha/th) dibanding tebu (5.000-6.000 l/ha/th) maupun tetes tebu (800-900 l/ha/th).
Mikroba penghasil H2 pada fermentasi gelap terbagi menjadi dua yaitu
anaerob fakultatif misalnya Escherichia coli, Enterobacter serta Citrobacter dan anaerob obligat misalnya clostridia, methylotrophic mathanogens serta bakteri rumen. Kultur bakteri anaerob fakultatif penghasil H2 yang telah banyak dipelajari
adalah Enterobacter aerogenes (Tanisho & Ishiwata 1994). Menurut Tanisho et al. (1987) bakteri ini tidak memiliki hambatan tekanan parsial H2 saat gas H2
dihasilkan. Bakteri E. aerogenes ADH-43 mampu menghasilkan 1,59 mol H2/mol
gula total pada sistem Batch Stired Tank Reactor (BSTR) dan 1,84 mol H2/mol
gula total pada sistem Continuous-flow Stirred-Tank Reactor (CSTR) (Liasari 2009).
Sistem CSTR merupakan sistem kontinyu yang umum digunakan pada penelitian produksi H2. Kelemahan dari reaktor ini adalah sulit menjaga biomassa
penghasil H2 pada level yang tinggi pada Hydraulic Retention Time (HRT) yang
singkat akibat struktur dalamnya yang menyebabkan operasinya tidak stabil dan terbatasnya laju produksi H2 (Saraphirom & Reungsang 2010). Selain itu menurut
Grady et al. (1999) penggunaan pengaduk pada reaktor mengonsumsi energi listrik yang besar. Energi yang diperlukan untuk mencampur limbah anaerob pada
(11)
reaktor berkisar 85-105 kw/1000m3. Menurut Rahman (2001) kesinambungan pada proses pembentukan H2 dipengaruhi oleh laju produksi dan hasil akhir
sehingga kerapatan sel dalam bentuk padat yang terbentuk dalam bioreaktor sangat dibutuhkan. Reaktor Packed Bed (PBR) tanpa pengaduk memungkinkan terbentuknya sel yang rapat dan padat pada dasar reaktor.
Keuntungan penggunaan PBR yang didesain dengan mengalirkan medium/substrat dari bawah reaktor dan produk dikeluarkan di sebelah atas (Gambar Lampiran 1) adalah diharapkan sel mampu membentuk flock (self flocculation) akibat adanya gaya gravitasi, sehingga massa sel akan terkumpul di bawah. Semakin lama waktu fermentasi masa sel akan bertambah sehingga diharapkan produk yang dihasilkan akan semakin banyak.
Peningkatan laju dan rendemen produksi H2 dengan proses yang ekonomis
merupakan suatu tantangan dalam produksi H2. Pemanfaatan sumber karbon dari
biomassa yang tidak berkompetisi dengan bahan pangan diharapkan dapat menjadi alternatif dalam mengatasi permasalahan energi.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan emisi CO2 yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar
fosil diharapkan dapat diatasi dengan penggunaan H2 yang lebih ramah
lingkungan. Produksi H2 secara biologis dapat dilakukan dengan menggunakan
substrat yang memiliki kandungan gula fermentasi yang tinggi tanpa menyaingi industri pangan. Penggunaan subtrat tetes tebu selama ini bersaing dengan industri penyedap makanan, bioetanol dan pakan ternak. Nira sorgum diharapkan mampu menggantikan tetes tebu sebagai substrat dalam produksi H2.
Reaktor CSTR yang sebelumnya digunakan kurang ekonomis karena memerlukan energi yang besar untuk menggerakkan pengaduk. Penggunaan PBR diharapkan lebih ekonomis dalam produksi H2.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum adalah memproduksi H2 melalui fermentasi dengan
(12)
Enterobacter aerogenes ADH-43 dalam bioreaktor packed bed sistem kontinyu, sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mencari nilai D (dilution rate) optimum untuk mendapatkan produksi H2 tertinggi serta membandingkan
produksi H2 pada medium nira sorgum dengan medium tetes tebu. 1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah nira sorgum dapat digunakan sebagai substrat pada produksi H2. Pada pemanfaatan nira sorgum
sebagai substrat pada sistem sinambung, terdapat nilai optimum D dalam menghasilkan produksi H2 tertinggi. Nira sorgum dapat dijadikan sebagai
pengganti tetes tebu dalam produksi H2. 1.5 Manfaat Penelitian
Gas H2 yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
bakar yang ramah lingkungan. Biomassa yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan yang dapat diperbaharui dan berpotensi menghasilkan gas H2.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Menganalisa bahan baku yang digunakan untuk mengetahui kandungan gula total dan gula reduksi
2. Mengoperasikan kultivasi pada reaktor packed bed dengan sistem curah untuk mengetahui laju pertumbuhan spesifik maksimum sel
3. Mengoperasikan kultivasi pada reaktor packed bed dengan sistem sinambung pada laju dilusi yang berbeda untuk mendapatkan gas H2
maksimum
4. Laju dilusi yang menghasilkan gas H2 tertinggi digunakan untuk
(13)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gas HidrogenGas Hidrogen (H2) merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
mudah terbakar dan tidak beracun pada suhu dan tekanan atmosfer. Di alam, hidrogen merupakan elemen yang berlimpah tapi hampir tidak ada di atmosfer sebagai molekul tunggal. Gas H2 sangat ringan, jika tidak terkombinasi dengan
unsur lain akan saling berbenturan dan terkeluarkan dari lapisan atmosfer. Di bumi H2 banyak ditemukan sebagai senyawa (air) yang atom-atomnya berikatan
dengan atom oksigen.
Secara gravimetri, H2 memiliki densitas energi tertinggi dari semua jenis
bahan bakar yang pernah dikenal. Gas ini memiliki kandungan energi tertinggi (143 Gjton-1) per unit H2 (Boyles 1984), kompatibel dengan proses elektrokimia
dan satu-satunya bahan bakar yang tidak memiliki ikatan secara kimia dengan karbon sehingga, pembakaran H2 tidak akan menimbulkan efek rumah kaca,
penipisan lapisan ozon atau hujan asam karena pembakarannya hanya menyisakan uap air dan energi panas di udara (Bolton 1996).
2.2 Produksi H2
Gas H2 dapat diproduksi dalam berbagai proses, termasuk elektrolisis air,
reformasi termokatalitik dari komponen organik yang kaya kandungan H2 dan
proses-proses biologis. Produksi H2 secara biologis menggunakan
mikroorganisme merupakan teknologi yang banyak dikembangkan. Sistem biologi menyediakan berbagai pendekatan untuk menghasilkan H2, misalnya: biofotolisis
langsung, fotofermentasi dan fermentasi gelap ( Das & Verizoglu 2001).
Tabel 1 Sekilas produksi Bio-H2 dengan proses mikroba
Proses Mikroba Reaksi Umum Mikroba
Direct Biophotolysyis 2 H2O + cahaya H2 + O2 Mikroalga Photofermentation CH3COOH+2H2O+ cahaya 4H2 + CO2 Purple bacteria Indirect Biophotolysis 12 H2O + cahaya 12H2 + 6O2 Alga, Cyanobakteri Water gas shift Reaction CO + H2O CO2 + H2 Fermentatif bakteri Photosintetik bakteri Two phase Fermentation C6H12O6 + 2H2O 4H2 + 2CO2+2CH3COOH
CH3COOH CH4 + CO2
Fermentative Methanogenik
High-yield dark C6H12O6 + 6 H2O 12 H2 + 6 CO2 Fermentatif Fermentation
(14)
Keuntungan produksi H2 secara fermentasi adalah produksinya yang cepat
dan operasinya sederhana. Substrat yang digunakan dapat berupa limbah organik, sehingga jika dibandingkan dengan produksi hidrogen melalui proses fotosintesis maka cara fermentasi lebih mudah dikerjakan dan digunakan secara luas. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan fermentasi produksi hidrogen adalah konsentrasi substrat, inhibitor, suhu, pH dan kecepatan dilusi (Wang & Wan 2009).
Bakteri fermentasi memerlukan substrat seperti glukosa dan atau sukrosa untuk memperoleh energi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan dan produksi beberapa intermediet hasil samping berupa asam organik, alkohol dan hidrogen selama proses metabolisme (Ren et al. 2006).
Karbohidrat, terutama glukosa adalah substrat untuk fermentasi H2. Selain
itu, pati, selulosa, limbah organik juga dapat digunakan. Beberapa mikroorganisme seperti Enterobacter, Clostridium dan E. coli dapat menghasilkan H2. Produk akhir dan jumlah H2 yang dihasilkan sangat variatif tergantung jalur
yang digunakan mikroorganisme (Levin et al. 2004, Nath & Das 2004).
Rute fermentasi dalam produksi H2 diawali dari konversi glukosa menjadi
piruvat dan NADH melalui glikolisis oleh bakteri anaerob maupun fakultatif anaerob (Hellenbeck 2005). Menurut Tanisho et al. (1998) terdapat jalur produksi H2 melalui jalur NADH, dimana H2 dihasilkan oleh reoksidasi NADH
sebagaimana reaksi di bawah: NADH + H+ H2 + NAD+
Selama proses glikolisis, saat glukosa dikonversi menjadi piruvat dihasilkan NADH dengan reaksi sebagai berikut:
C6H12O6+2NAD+ 2CH3COCOOH + 2NADH +2H+
Wang dan Wan (2009) berpendapat bahwa produksi H2 melalui fermentasi
merupakan proses yang sangat kompleks dan banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya inokulum, substrat, tipe reaktor, nitrogen, fosfat, ion logam, suhu dan pH. Zhang et al. (2009) mengemukakan bahwa produk fermentasi anaerob pada jalur pembentukan hidrogen oleh E. aerogenes adalah piruvat, suksinat, laktat, 2 3 butanediol (BD), asetat, etanol, CO2 dan H2 (Gambar 1). Menurut Rahman et al.
(15)
untuk meningkatkan produksi H2 dimungkinkan dengan memblokir jalur piruvat
ke etanol, BD dan laktat.
Gambar 1 Pola metabolisme anaerob E. aerogenes (Zhang et al. 2009)
Gas H2 diproduksi melalui pembentukan asam piruvat secara anaerobik
selama katabolisme. Karbohidrat dapat berupa monosakarida tapi juga bisa berupa polimer seperti pati, selulosa atau xilan. Berbagai substrat organik telah diakui potensial dalam fermentasi H2. Noike dan Mizuno (2000) serta Yu et al. (2002)
menyebutkan bahwa beberapa bentuk limbah organik seperti limbah padat seperti jerami padi hingga limbah cair seperti limbah pabrik gula dan anggur telah digunakan untuk produksi H2. Nira sorgum manis, Miscanthus hidrolisat, lumpur
kertas bahkan limbah organik domestik telah diuji berpotensi diaplikasikan untuk produksi H2 (Claassen et al. 2002).
2.3 Enterobacter aerogenes
Enterobacter aerogenes (E. aerogenes) termasuk dalam kelas Enterobacteriaceae yang merupakan bakteri anaerob fakultatif yang mampu menghasilkan H2. Bakteri ini memiliki ciri-ciri berbentuk batang dengan lebar
0,6-1,0 m dan panjang 1,2-3,0 m, gram negatif, menghasilkan koloni dengan bentuk smooth, berflagela, motilitas (dapat bergerak), dan suhu pertumbuhan
(16)
optimum 37oC. Bakteri tersebut menghasilkan H2 melalui proses metabolisme
secara fermentatif yang diawali glikolisis.
Rahman et al. (1997) mengisolasi E. aerogenes HU-101 dari lumpur metana dan melakukan mutasi dengan senyawa NTG (N-methyl-N’ -nitro-N-nitrosoguanidine) sehingga dihasilkan mutan E. aerogenes AY-2 dengan produksi H2 sebanyak 1,5 kali lebih tinggi dibanding wildtype. Bakteri ini memiliki
kemampuan menggunakan sumber karbon yang luas dan tidak memiliki sifat penghambatan produksi H2 pada tekanan H2 yang tinggi. Tanisho dan Isiwata
(1994) mengemukakan bahwa E. aerogenes memiliki laju evolusi H2 yang lebih
tinggi dibanding mikroorganisme fotosintetik.
Bakteri E. aerogenes ADH-43 merupakan mutan ganda hasil mutasi dari mutan E. aerogenes AY-2 menggunakan mutagen Ethyl Methane Sulfonate (EMS) sehingga terjadi perubahan jalur metabolisme yaitu produksi asam laktat lebih rendah dari sebelumnya, dan memiliki produktifitas H2 lebih tinggi yaitu
sebesar 20% dari nilai produksi mutan E. Aerogenes AY-2 pada skala vial botol 50 ml (Said 2007).
2.4 Sorgum Manis sebagai Substrat dalam Produksi H2
Substrat biasanya berupa karbohidrat yang merupakan sumber karbon dan energi bagi bakteri penghasil hidrogen, sehingga sangat berpengaruh dalam pertumbuhan bakteri dan fermentasi produksi hidrogen. Sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman tahunan asli tropis yang dapat beradaptasi di daerah sedang (temperate) dan sub tropis serta memiliki produksi biomasa yang tinggi (Gambar Lampiran 3). Batang sorgum manis mengandung gula, yaitu 55% sukrosa (berat kering) dan 3,2 % glukosa (berat kering), juga mengandung selulosa 12,4 % dan hemiselulosa 10,2% (Billa et al. 1997). Kandungan sukrosa, glukosa dan fruktosa akan meningkat setelah bunga mekar (Almodares & Hadi2008). Panen batang dilakukan pada saat kemasakan optimal, pada umumnya terjadi pada umur 16 – 18 minggu (112 – 126 hari), sedangkan biji umumnya matang pada umur 90 – 100 hari. Oleh karena itu biji dipanen terlebih dahulu (Sumantri 1993).
(17)
Tanaman sorgum merupakan tanaman graminae yang memiliki taksonomi1) sebagai berikut:
Kingdom Plantae Subkingdom Tracheobionta Superdivision Spermatophyta Division Magnoliophyta Class Liliopsida Subclass Commelinidae Order Cyperales
Family Poaceae (Grass)
Genus Sorghum
Spesies Sorghum bicolor
Menurut Suranto2) kelebihan sorgum manis dibanding tebu sebagai berikut: tanaman sorgum memiliki produksi biji dan biomass yang jauh lebih tinggi dibanding tanaman tebu; adaptasi sorgum jauh lebih luas dibanding tebu sehingga sorgum dapat ditanam di hampir semua jenis lahan, baik lahan subur maupun lahan marjinal; tanaman sorgum memilki sifat lebih tahan terhadap kekeringan, salinitas tinggi dan genangan air dibanding tanaman tebu; kebutuhan air untuk tanaman sorgum hanya sepertiga dari tanaman tebu; sorgum memerlukan pupuk relatif lebih sedikit dan pemeliharaannya lebih mudah daripada tanaman tebu; laju fotosintesis dan pertumbuhan tanaman sorgum jauh lebih tinggi dan lebih cepat dibanding tanaman tebu; menanam sorgum lebih mudah, kebutuhan benih hanya 4,5–5 kg/ha dibanding tebu yang memerlukan 4.500–6.000 kg stek batang; umur panen sorgum lebih cepat yaitu hanya 3-4 bulan, dibanding tebu yang dipanen pada umur 7 bulan; dan sorgum dapat diratun sehingga untuk sekali tanam dapat dipanen beberapa kali.
1
http://www.gramene.org/species/sorghum/sorghum_taxonomy.html, diakses 29 Maret 2011
2
(18)
Menurut penelitian Praj Industries Limited3) perbandingan sorgum dengan tebu adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbandingan sorgum dengan tebu
Parameter Tebu Sorgum
Siklus Pemanenan 9-14 bulan 4 bulan
Siklus dalam setahun 1 2
Kebutuhan air 100% 65-70%
Kebutuhan Pupuk 100% 35-40%
Produksi batang MT/ha/siklus 65-80 42-55 untuk 1 siklus/th (84-110 untuk 2 siklus/th) Konsentrasi gula fermentasi pada
batang 10-14 9-12
Yield gula fermentasi, MT/ha/siklus 6.0-10.5 3.6-6.2 untuk 1 siklus /th (7.2–12.4 untuk 2 sikus/tahun) Yield Etanol (dengan dasar 100%)
liter/ha/siklus 3400-6000
2020-3500 untuk 1 siklus/th (4000-7000 untuk 2siklus /th)
Ampas MT/ha/siklus dengan kelembaban 50%
19-24 (30% berat tebu)
10-14 untuk 1 siklus/ th (25% pada batang) ( 20-28 untuk 2 siklus /th
Perbandingan antara komposisi nira sorgum manis dengan nira tebu berdasarkan sumber dari Direktorat Jendral Perkebunan (1996) adalah sebagai tertera pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbandingan antara komposisi nira sorgum manis dengan nira tebu Komposisi Nira sorgum Nira tebu
Brix (%) 13,60 – 18,40 12 – 19
Sukrosa (%) 10 – 14,40 9 – 17
Gula reduksi (%) 0,75 – 1,35 0,48 – 1,52
Gula total (%) 11 – 16 10 – 18
Amilum (ppm) 209 - 1.764 1,50 – 95
Asam akonitat (%) 0,56 0,25
Abu (%) 1,28 – 1,57 0,40 – 0,70
Sorgum merupakan tanaman yang mempunyai banyak kegunaan. Hampir seluruh bagian dari tanaman sorgum seperti biji, tangkai biji, daun, batang dan akar dapat dimanfaatkan. Di Indonesia saat ini terdapat beberapa varietas sorgum yang dikembangkan. Total terdapat 9 jenis varietas yang dijadikan varietas sorgum unggulan Indonesia yaitu : UPCA, Keris, Mandau, Higari, Badik, Gadam,
3
Brosur PRAJ: Sweet Sorghum to Ethanol, Technology, Plant and Mechinery,
(19)
Sangkur, Numbu dan Kawali. Sirappa (2003) mengemukakan data produktivitas daerah-daerah penghasil sorgum yang teridentifikasi pada tahun 2003 diperlihatkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Produktivitas sorgum di Indonesia
Tempat Luas tanam (ha) Produksi (t) Produktivitas (t /ha)
Jawa Tengah 15.309 17.350 1,13
Jawa Timur 5.963 10.522 1,76
DI Yogyakarta 1.813 670 0,37
Nusa Tenggara Barat 30 54 1,80
Nusa Tenggara Timur 26 39 1,50
2.5 Bioreaktor- Packed Bed Reaktor
Berbagai tipe bioreaktor digunakan dalam menghasilkan H2, diantaranya
batch (Van Ginkel et al. 2001; Logan et al. 2002; Oh et al. 2003), fed-batch (Chin et al. 2003), continuous-flow stirred tank (Fang & Liu 2002; Hussy et al. 2003), saturated packed-bed column reactors (Rachman et al. 1998; Yokoi et al. 1997; Chang et al. 2002; Palazzi et al. 2002; Lee et al. 2003), dan upflow granulated reactors (Liu & Fang 2003). Efisiesi konversi glukosa menjadi H2 dalam
penggunaan continuous-flow reactors adalah 1,9–2,4mol H2/mol glukosa (Lay
2001; Ueno et al., 2001dan Fang & Liu, 2002). Pada penelitian lain, dilaporkan bahwa produksi H2 secara kontinyu mencapai 2.7 mol H2/glukosa dengan
menggunakan kultur Clostridium butyricum dan Enterobacter aerogenes (Yokoi et al. 2002).
Barros et al.(2010) mengemukakan upflow anaerobic sludge blanket (UASB), anaerobic packed bed reactor(APBR) dan anaerobic fluidized bed reactor(AFBR) diyakini lebih baik dari CSTR karena memiliki kemampuan mempertahankan biomassa dalam reaktor. Menurut Hawkes et al.(2007) pada sistem ini mikroorganisme dipertahankan dengan mengimobilisasi melalui pembentukan biofilm atau granul dan dijaga dalam suspensi oleh kekuatan gaya geser dari aliran keatas sisa reaksi. Ren et al. (2010) menambahkan bahwa bioreaktor packed bed merupakan salah satu sistem dengan laju H2 yang tinggi.
Produksi H2 dapat ditingkatkan dengan meningkatkan retensi biomassa dengan
sistem imobilisasi sel melalui penempelan permukaan, flokulasi dan penjerapan sel.
(20)
Menurut Grady et al. (1999) penggunaan pengaduk pada reaktor mengkonsumsi energi listrik yang besar. Energi yang diperlukan untuk mencampur limbah anaerob pada reaktor berkisar 85-105 kw/1000m3 sedangkan
Rachman (2001) mengemukakan bahwa kesinambungan pada proses
pembentukan H2 dipengaruhi oleh laju produksi dan hasil akhir sehingga
kerapatan sel dalam bentuk padat yang terbentuk dalam bioreaktor sangat dibutuhkan. Reaktor Packed Bed (PBR) tanpa pengaduk memungkinkan terbentuknya sel yang rapat dan padat pada dasar reaktor.
(21)
BAB III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan TempatPenelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri LAPTIAB BPPT Puspitek Serpong antara bulan Desember 2009 – Oktober 2010.
3.2 Organisme, Medium dan Kondisi Pertumbuhan
Enterobacter aerogenes ADH-43 berasal dari koleksi Laboratorium Teknologi Bioindustri BPPT (bakteri ini merupakan mutan ganda hasil mutasi dari mutan E. aerogenes AY-2 menggunakan mutagen Ethyl Methane Sulfonate (EMS). Pada bakteri tersebut terjadi perubahan jalur metabolisme produksi asam laktat yang lebih rendah dari sebelumnya dan memiliki produktifitas H2 lebih
tinggi yaitu sebesar 20% dari nilai produksi mutan E. aerogenes AY-2 pada skala vial botol 50 ml (Said 2007).
Bakteri E. aerogenes ADH-43 dipelihara pada medium kompleks (per 100 ml) dengan komposisi 0,5 g ekstrak khamir, 0,5 g tripton, 1 ml unsur makro {(NH4)2SO4, MgSO4
.
7H2O, CaCl2 .
2H2O, Co(NO3)2 .
6H2O, Fe(NH4)2SO4 .
6H2O},
dan 1 ml unsur mikro {Na2Se03,NiCI2, MnCl2 .
4H2O, H3BO3, AlK(SO4)2 .
12 H2O,
CuCl2.2H2O, Na2EDTA.2H2O dan nicotinic acid} dan dimasukkan dalam botol
kemudian dilarutkan dalam aquades hingga volume 90 ml. Selanjutnya dihomogenkan dengan pengaduk bermagnet dan pH diatur menjadi 6,8 dengan penambahan NaOH 0,1N. Sterilisasi dilakukan dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Media yang sudah steril dan dingin ditambahkan 10 ml larutan glukosa (1% (w/v) glukosa) dan 10 ml buffer fosfat pH 6,8 yang juga sudah disterilisasi (Liasari 2009).
3.3 Nira Sorgum dan Tetes Tebu
Sorgum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) varietas numbu berasal dari B2TP BPPT Lampung. Nira diperoleh melalui pengepresan batang sorgum yang dipanen pada umur 60 hari. Penelitian ini menggunakan tetes tebu sebagai kontrol. Tetes tebu ini berasal dari PG Pekalongan (Gambar Lampiran 5).
(22)
3.4 Medium Preculture, Starter dan Medium Kultivasi
Medium preculture dibuat dengan komposisi yang sama dengan medium pertumbuhan, sedangkan starter dibuat dengan komposisi sama dengan medium pertumbuhan, namun glukosa 1% diganti dengan nira sorgum atau tetes tebu dengan kadar gula total akhir sebesar 2,14% (setengah dari kadar medium kultivasi). Hal yang sama dilakukan pada medium klutivasi dengan kadar gula total 4,27% (Liasari (2009).
3.5 Reaktor Packed Bed
Reaktor yang digunakan adalah packed bed dengan volume kerja 450 ml dan total volume 900 ml, dengan dimensi tinggi total 60 cm, diameter 4 cm. Reaktor dilengkapi dengan mantel air yang dihubungkan dengan pemanas air agar suhu terjaga pada 37oC±1oC. Medium segar dimasukkan menggunakan pompa peristaltik dengan laju alir yang sama dengan sisa medium yang dikeluarkan dari reaktor.
3.6 Percobaan pada Kultur Curah
Percobaan dilakukan dengan menumbuhkan E. aerogenes ADH-43 pada medium pre culture selama 3 jam, kemudian dipindahkan ke starter selama 8 jam (OD=±0,83) selanjutnya dipindahkan ke reaktor. Selama percobaan pengambilan contoh dilakukan tiap jam hingga jam ke-4 dan tiap 2 jam hingga jam ke-24. Gas yang terkumpul pada respirometer dicatat. Percobaan diulang sebanyak tiga ulangan.
3.7 Percobaan pada Kultur Sinambung
Percobaan dilakukan dengan terlebih dahulu menumbuhkan E. aerogenes ADH-43 pada precultur selama 3 jam, starter selama 8 jam (OD=±0,83). Medium kultivasi dimasukkan dalam reaktor menggunakan pompa peristaltik. Setelah mencapai akhir fase log (OD=±0,83), medium segar dialirkan secara kontinyu. Suhu dikontrol dengan menggunakan sirkulasi air hangat dari waterbath (Memmert) pada suhu 37±1ºC. Gas di tangkap oleh Ca(OH)2 kemudian dialirkan
(23)
kultivasi divariasi berdasarkan pertumbuhan spesifik maksimum sel pada kultur curah. Pada kecepatan yang optimum menghasilkan H2 dipilih untuk
dibandingkan dengan medium yang mengandung substrat dari tetes tebu. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga ulangan. Data hasil penelitian dianalisis ragam dengan ANOVA dan diuji lanjut dengan uji tukey 5%.
3.8 Metode Analisa
Penentuan komposisi hidrogen dengan kromatografi gas, sedangkan asam organik dan alkohol ditentukan dengan HPLC (Hitachi L 5025). Total gula ditentukan dengan metode anthron (Lampiran 6) sedangkan gula reduksi ditentukan dengan metode DNS (Lampiran 7). Nitrogen total dianalisa dengan metode Kjedahl (Lampiran 8). Biomassa ditimbang (Sartorius) berat keringnya dengan mengambil 5 ml sampel dan disentrifugasi (Mini spin Appendorf) pada 6000 rpm selama 5 menit, supernatan dipisahkan (diambil pelletnya) kemudian disimpan dalam oven (Memmert) pada suhu 60º C selama 20 jam (hingga beratnya stabil). Supernatan yang diperoleh digunakan untuk analisa gula total, gula reduksi dan analisa asam organik dan alkohol produk kultivasi.
(24)
3.9 Skema Kultivasi pada Reaktor Packed Bed
Media Kompleks 75 ml
Media Kompleks steril + substrat
Dimasukkan dalam Erlenmeyer 250ml pH ditetapkan 6.8
dipanaskan pada waterbath 100oC selama 10 menit
didinginkan dengan kristal es sampai suhu 25oC
sterilkan pada suhu 121oC selama 15 menit
dinginkan sampai suhu 25oC masukkan dalam fermentor steril semprot dengan gas N2
45 ml buffer phospat steril pH=6,8 10% pre culture
(OD=±0.82)
Media kultivasi 10% starter cair
(v/v)
Gas H2 Analisa awal dan akhir kultivasi:
H2 pH
OD/massa sel Total gula Gula reduksi
dikultivasi dengan sistem kontinyu pada suhu 37oC dengan D: 0,10; 0,15; 0,20 /jam
(25)
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
4.1.1 Komposisi Bahan Baku
Hasil analisa bahan baku yang terdiri dari gula total, gula reduksi dan N total disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil analisa kimiawi nira sorgum dan tetes tebu
Jenis Analisa Sorgum Tetes Tebu
Analisa (%)
Referensi (Dirjen Perkebunan 1996)
Analisa (%)
Referensi (Paturau, 1982) Gula Total 7,233±0,673 11-16 29,88±2,959 30-40 Gula Reduksi 1,206±0,071 0,75-1,35 9,75±0,243 20
N Total 0,41±0,047 - 0,48±0,140 4,5
Dari hasil analisa gula total nira sorgum diperoleh nilai yang relatif rendah. Hal ini sangat dipengaruhi faktor usia tanaman saat pemanenan. Pada umur panen yang terlalu muda, gula total yang diperoleh akan rendah dan gula reduksinya tinggi. Menurut Channappagaudar et al (2006) gula total meningkat dari 75 hari tanam hingga 120 hari tanam, sedangkan gula reduksi semakin menurun disebabkan dimanfaatkan untuk beberapa reaksi metabolisme dan sebagai sumber energi. Berdasarkan Tabel 5 diatas, diperkirakan sorgum dipanen pada umur kurang dari 75 hari tanam. Kadar N yang diperoleh pada tetes tebu relatif rendah jika dibandingkan referensi. Variasi komposisi sumber bahan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, varietas dan kematangan tanaman saat dipanen, juga kondisi pengolahan di pabrik sebelum digunakan sebagai substrat fermentasi. Menurut Judoamidjojo et al. (1989) komposisi tetes tebu tergantung pada bahan baku (tebu) dan proses pembuatan gula. Tetes tebu merupakan produk musiman dengan komposisi yang bervariasi. Kadar N pada nira sorgum tidak dapat dibandingkan karena belum ditemukan referensi hal tersebut.
Perbandingan komposisi C dan N pada nira sorgum adalah 17,64. Perbandingan C dan N yang relatif rendah pada nira sorgum dipengaruhi varietas dan umur sorgum saat dipanen. Perbandingan komposisi C dan N pada tetes tebu adalah 62,25. Sumber N yang ditambahkan dalam 100 ml medium adalah yeast ekstrak dan tripton sebanyak 0,5 g yang masing-masing mengandung 10% dan
(26)
13,2% N total. Total penambahan N dalam medium adalah 0,116% sehingga pada medium nira sorgum nilai C/N menjadi 13,75 dan pada tetes tebu menjadi 50,13.
4.1.2 Penggunaan Reaktor Packed Bed
Bioreaktor packed bed dirancang dengan dua lapisan kaca (Gambar Lampiran 1). Lapisan dalam memiliki diameter 4 cm dan lapisan luar (sebagai mantel air) dengan diamater 6 cm. Tinggi reaktor keseluruhan 60 cm, sedang tinggi medium dalam reaktor adalah 30 cm dengan volume total 900 ml dan volume kerja 450 ml. Reaktor dilengkapi dengan lubang inlet di bagian bawah yang dihubungkan dengan selang bercabang dua, dimana satu cabang untuk memasukkan medium segar dan cabang yang lain sebagai pengeluaran sampel pada fase kultur curah. Reaktor ini memiliki lubang pengeluaran gas di atas yang dihubungkan dengan penangkap gas yang berupa larutan Ca(OH)2 dengan
konsentrasi 5% yang berfungsi untuk memisahkan gas CO2 dan gas H2. Gas H2
yang dihasilkan akan masuk ke respirometer.
Respirometer berupa dua buah gelas ukur 1000 ml dan 250 ml. Gelas ukur 1000 ml diisi dengan larutan NaCl jenuh dan gelas ukur 250 ml dipasang dengan posisi terbalik sebagaimana terlihat pada Gambar Lampiran 2. Larutan NaCl dalam respirometer ini ditera hingga batas 750 ml. Gas yang dihasilkan akan menekan larutan NaCl jenuh sehingga volume gas akan terukur melalui skala gelas ukur. Penggunaan larutan NaCl jenuh bertujuan agar gas H2 yang akan
diukur tidak terlarut dalam cairan.
Reaktor dilengkapi dengan mantel air yang dihubungkan dengan pemanas yang suhunya konstan pada temperatur pertumbuhan sel optimum (37º±1ºC). Reaktor ini tidak dilengkapi dengan kontrol pH dan akibatnya selama kultivasi pH mengalami perubahan sesuai dengan kondisi lingkungan. Reaktor ini tidak dilengkapi dengan pengaduk sebagaimana pada stirred tank reactor akibatnya medium tidak tercampur (homogen). Proses alir pada reaktor ini kontinyu tanpa pengadukan (unmixed flow reactor), dengan pola aliran fluida searah dengan sumbu pipa yang berkecepatan sama di seluruh penampang pipa.
Keuntungan reaktor ini adalah konstruksi yang sederhana, tidak ada pengaduk mekanis dan volume yang diperlukan untuk konversi kimiawi minimum
(27)
(sedikit). Pada kultivasi sistem kontinyu, aliran medium dari inlet dapat menekan medium yang sudah terfermentasi ke atas dan keluar melalui selang outlet, sedangkan biomassa sel tetap tinggal dalam reaktor akibat adanya gaya gravitasi. Namun reaktor ini hanya dapat digunakan untuk sel tertentu yang tidak mengalami hambatan dalam menghasilkan produk akibat tanpa pengadukan.
4.1.3. Kultivasi
4.1.3.1. Pertumbuhan Sel
Metode evaluasi populasi sel pada penelitian ini dilakukan secara langsung dengan menghitung berat kering sel. Metode ini digunakan untuk memantau dan mengkaji fenomena pertumbuhan. Laju pertumbuhan ditetapkan berdasarkan evolusi konsentrasi yang dapat dinyatakan dalam konsentrasi biomassa (g massa sel kering per satuan volume). Pertumbuhan sel secara curah disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Kurva pertumbuhan E. aerogenes ADH43 pada medium nira sorgum selama 24 jam.
Sumber karbon yang digunakan dalam kultivasi adalah nira sorgum yang mengandung gula kompleks. Gula sederhana yang berupa glukosa akan segera dikonsumsi oleh mikroba, sedangkan gula kompleks akan dipecah terlebih dahulu oleh enzim pemecah gula kompleks menjadi gula sederhana. Aktivitas ini digambarkan dengan kurva pertumbuhan yang berbentuk diauksik, dimana terdapat dua fase eksponensial. Menurut Yuwono (2007) jika jasad renik ditumbuhkan pada medium yang mengandung dua macam sumber karbon yang
(28)
berbeda kompleksitas molekulnya, maka pertumbuhannya akan menunjukkan pola diauksik. Pada pertumbuhan diauksik, sumber karbon yang lebih mudah dimetabolisme akan digunakan terlebih dahulu. Setelah sumber karbon yang pertama habis, sel akan memasuki fase stasioner, sampai suatu ketika laju pertumbuhannya akan meningkat lagi. Pada fase pertumbuhan yang kedua, jasad renik akan menggunakan sumber karbon yang lebih kompleks.
Sa’id (1λ87) menambahkan bila sumber energi dan karbon yang terdapat
dalam medium beragam, maka pada satu waktu tertentu hanya satu substrat karbon yang digunakan. Glukosa sebagai sumber karbon yang mudah dicerna akan digunakan terlebih dahulu. Apabila medium tumbuh memiliki beberapa substrat karbon, maka akan terdapat seri fase pertumbuhan yang masing-masing diikuti dengan kecepatan pertumbuhan menurun. Kurva pertumbuhan dengan memperlihatkan beberapa seri fase eksponensial sangat umum dijumpai pada fermentasi di industri yang menggunakan medium komplek.
4.1.3.2. Uji Stabilitas Mutan
Mutan E. aerogenes ADH-43 diseleksi dengan menumbuhkan pada media yang mengandung NaBr, NaBrO3 dan indikator TTC. Pada mutan yang
menghasilkan asam laktat rendah akan membentuk koloni warna merah. Koloni ini kemudian ditumbuhkan pada medium kompleks dan difermentasikan untuk membentuk gas H2. Kestabilan gas H2 yang dihasilkan dapat diketahui dengan
mengulang fermentasi hingga lima generasi.
Pada uji kestabilan mutan hingga lima generasi diperoleh jumlah gas yang relatif stabil dengan rataan 401,26 ml/24 jam atau 16,72 ml/jam. Berdasarkan uji ragam dan uji tukey pada taraf 5% tidak berbeda nyata, sehingga dapat dikatakan mutan ini masih stabil.
4.1.3.3. Proses Kultivasi
Kultivasi dilakukan diawali dengan pembuatan inokulum E.aerogenes ADH-43 pada medium pertumbuhan dengan substrat glukosa 1%. Pada saat OD (optical density) mencapai 0,83 (±3 jam) dipindahkan ke medium starter, yaitu medium biakan yang mengandung konsentrasi sumber karbon setengah dari
(29)
medium kultivasi dan volume 10% dari volume medium kultivasi. Starter dipindah ke medium kultivasi saat akhir fase pertumbuhan eksponensial saat sel aktif melakukan metabolisme (saat OD=0,83 (± jam ke-8)). Penggunaan starter bertujuan agar inokulan dapat beradaptasi dengan medium yang akan digunakan.
Proses kultivasi diawali dengan menjalankan sistem curah hingga akhir fase eksponensial (saat OD=0,83; ± jam ke-8) lalu dialirkan medium baru. Gas H2
mulai terdeteksi setelah jam ke-5 saat akhir fase lag dan awal fase penyesuaian ketika terjadi reproduksi seluler. Gas terdeteksi dari adanya gelembung-gelembung yang terlihat pada medium kultivasi dan terbentuknya uap air pada bagian atas reaktor. Setelah gas memenuhi semua ruangan dalam reaktor, maka gas akan menekan keluar reaktor dan akan terukur oleh respirometer.
4.1.3.4. Penggunaan Reaktor Packed Bed untuk Produksi Gas H2
Reaktor packed bed (PBR) untuk produksi H2 cocok jika digunakan pada
proses kontinyu. Fluida akan mengalir dengan pola aliran sumbat mengarah sejajar dengan sumbu reaktor dengan kecepatan yang sama di seluruh penampang reaktor. Pada reaktor ini diasumsikan tidak terjadi difusi aksial dan pencampuran balik (backmixing). Medium pengumpan yang dialirkan dari bawah reaktor akan bereaksi dengan sel yang mengumpul pada dasar reaktor akibat adanya gaya gravitasi dan tidak adanya pengadukan, sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan substrat. Substrat yang sudah terdegradasi akan terdorong ke atas oleh medium pengumpan dan akan keluar dalam bentuk hasil metabolit (asam organik dan alkohol). Gas yang terbentuk akan keluar dan ditangkap oleh respirometer. Pada laju dilusi tertentu, akan menghasilkan produk yang optimum. Pada laju dilusi yang lebih kecil dari pertumbuhan spesifik, maka akan terjadi penumpukan sel dalam reaktor yang dapat menghambat pertumbuhan sel akibat terbatasnya substrat dan adanya akumulasi produk metabolit (asam organik dan alkohol), sedangkan jika kecepatan dilusi lebih cepat dibanding pertumbuhan spesifik sel, maka akan terjadi (washout) atau sel tercuci keluar bersama sisa medium kultivasi.
Show et al. (2007) menyatakan bahwa PBR memiliki kelemahan pada turbulensi hidrolik yang rendah sehingga kultur mikroba mengalami resistensi
(30)
transfer massa yang mengakibatkan menurunnya tingkat konversi substrat dan produksi H2. Menurut Kumar dan Das (2001) produksi H2 dan konversi substrat
pada PBR dapat ditingkatkan dengan resirkulasi (daur ulang) medium.
4.1.3.5. Penggunaan Nira Sorgum sebagai Substrat
Indonesia memiliki puluhan tumbuhan yang dapat diolah untuk menghasilkan gas penghasil energi. Sorgum merupakan salah satu tanaman energi (Prihandana & Hendroko 2009). Batang sorgum manis yang diperas akan menghasilkan nira yang memiliki kadar gula yang hampir sama dengan nira tebu (Dirjen Perkebunan 1996). Penggunaan nira sorgum sebagai substrat untuk produksi gas H2 lebih praktis, karena hanya melalui proses pengepresan tanpa
perlakuan awal (pretreatment).
Penggunaan nira sorgum sebagai substrat memiliki beberapa kelemahan, diantaranya karena nira sorgum memiliki kadar gula yang setara dengan medium tumbuh mikroba (11-16 %) sehingga mudah terkontaminasi. Kelemahan lain adalah batang sorgum yang telah dipanen harus segera diperas. Pengepresan yang tertunda dari saat panen akan mengurangi jumlah nira yang diperoleh karena batang menjadi kering karena air mengalami penguapan. Penyimpanan pada suhu dingin (-20oC) dianjurkan (Ntaikou et al. 2008).
4.1.3.6. Pembentukan Flokulan Sel
Menurut Rahman (2001) kesinambungan pada proses pembentukan H2
dipengaruhi oleh laju produksi dan hasil akhir sehingga sangat dibutuhkan kerapatan sel dalam bentuk padat yang terbentuk dalam bioreaktor. Penggunaan reaktor packed bed tanpa pengaduk bertujuan agar sel terkumpul pada dasar reaktor akibat gaya gravitasi dan membentuk flokulan. Pada kasus ini flokulan belum terbentuk karena pengoperasian hanya dilakukan dalam 1 HRT hingga steady state akibatnya jumlah sel yang dihasilkan dan diendapkan di dalam reaktor belum mampu membentuk flokulan. Perlu dilakukan pengujian untuk HRT yang lebih lama sehingga sel mampu membentuk flokulan.
Lu et al. (2005) menyatakan bahwa bioflokulan dihasilkan oleh mikroorganisme selama pertumbuhannya. Keuntungan bioflokulan adalah dapat
(31)
terdegradasi secara biologis, tidak berbahaya dan tidak menghasilkan polutan sekunder pada degradasi intermedietnya.
4.2 Kultivasi pada Kultur Curah
Kelebihan kultivasi pada kultur curah adalah pengoperasiannya lebih mudah dan fleksibel. Kultivasi sistem ini digunakan dalam penentuan potensi susbtrat organik dalam menghasilkan H2 (Guo et al. 2010).
4.2.1. Pertumbuhan Enterobacter aerogenes ADH-43
Sistem kultur curah mewakili pertumbuhan pada lingkungan yang tertutup, dimana sel ditumbuhkan dalam reaktor yang mengandung medium pertumbuhan dibawah kondisi optimum (suhu, pH, potensial redoks) hingga beberapa komponen esensial dalam medium habis atau lingkungan berubah karena akumulasi toksik, perubahan pH dan lain-lain (Scragg 1991). Selama kultivasi produksi H2, konsentrasi substrat, H2, metabolit terlarut dan bakteri mengalami
perubahan secara reguler. Pertumbuhan E.aerogenes ADH-43 selama 24 jam ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimum sel (µmaks)
E.aerogenes ADH-43 pada medium nira sorgum.
Laju pertumbuhan spesifik (µ) bersifat tidak konstan dan tergantung pada kondisi lingkungan fisik dan kimiawinya. Nilai maksimum (µmaks) dicapai pada
kondisi suplai nutrien dan substrat masih berlebih serta konsentrasi zat-zat penghambat masih rendah (Rehm & Reid 1981).
(32)
Menurut Mangunwidjaya dan Suryani (1994) laju pertumbuhan spesifik maksimum (µmaks) adalah koefisien arah kurva dengan persamaan Ln x = f(t).
Berdasarkan kurva di atas pada saat substrat berupa gula sederhana (glukosa) diperoleh nilai µmaks sebesar 0,198/jam (fase eksponensial 1) dan µmaks pada fase
eksponensial 2 sebesar 0,119/jam saat substrat berupa gula kompleks (terjadi pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana). Pertumbuhan spesifik pada fase eksponensial 2 lebih kecil dibanding pada fase eksponensial 1. Hal ini karena mulai terbentuknya produk antara dari pertumbuhan fase eksponensial 1.
Nilai laju pertumbuhan sel spesifik ini kemudian dijadikan dasar untuk penentuan laju dilusi (D=dilution rate) pada kultur sinambung, yaitu
dengan
D: laju dilusi (/jam), F: laju alir (L/jam) dan V: volume kerja (L)
Berdasarkan persamaan di atas, maka kecepatan pompa untuk mengalirkan medium segar dapat ditentukan.
4.2.2 Perubahan pH dan Kadar Gula Selama Kultivasi
Kontrol pH penting untuk mempertahankan pH yang optimum selama kultivasi. Pada sistem curah terjadi peningkatan keasaman (pH semakin menurun) dengan semakin meningkatnya jumlah sel seperti yang terlihat pada Gambar 4. Penurunan pH disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah sel. Semakin banyak sel yang dihasilkan, maka produk yang berupa asam organik bertambah sehingga suasana medium menjadi asam yang berakibat pada penurunnya pH. Pada jam ke-18 terjadi penurunan biomassa sel karena mulai memasuki fase kematian, sedangkan pH terlihat meningkat kembali. Meningkatnya pH ini diduga karena mulai terakumulasinya butandiol (BD) yang dihasilkan selama kultivasi. Menurut Johansen et al (1975) BD terbentuk dari piruvat dengan asetolaktat dan asetoin sebagai intermediet dan pada jalur ini organisme mampu mengalihkan produksi asam ke pembentukan komponen netral (alkohol).
(33)
Gambar 4 Gambar hubungan pH dengan berat kering sel pada sistem curah. Derajat keasaman merupakan faktor penting pada kultivasi produksi H2,
karena mempengaruhi aktivitas bakteri dan keadaan ionisasi pada komponen aktif dari sel dan substrat (Mu et al. 2007). Derajat keasamam optimum untuk menghasilkan H2 dari karbohidrat adalah kisaran pH sekitar 4,5 - 6,0 (Das dan
Veziroglu 2001; Hawkes et al. 2002). Rendahnya pH dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan menghambat kemampuan mendegradasi substrat. Penghambatan oleh rendahnya pH dapat berpengaruh terhadap konsentrasi gula dalam kecepatan degradasi gula.
Akumulasi asam organik dalam medium pertumbuhan dapat menghambat kecepatan pertumbuhan sel dan membatasi rendemen produksi H2 secara anaerob.
Konsekuensinya adalah durasi reaksi produksi H2 menjadi relatif pendek dan
rendemen H2 terbatas oleh akumulasi asam organik (Melis dan Melnicki 2006).
Hal ini terlihat setelah jam ke-18 ketika sel mengalami kematian dan laju produksi H2 terhenti.
Gambar 5 Gambar hubungan pH dengan konsumsi gula reduksi dan gula total pada sistem curah.
(34)
Pada Gambar 5 terlihat semakin lama waktu kultivasi maka gula reduksi dan gula total semakin menurun. Hal ini disebabkan sel mengonsumsi gula sebagai sumber karbon sehingga jumlahnya semakin berkurang. Konsumsi karbon menghasilkan asam organik yang menyebabkan semakin menurunnya pH selama proses kultivasi. Pada jam ke-18 terlihat pH tidak menurun tetapi semakin naik hingga jam ke-24. Hal ini disebabkan selain menghasilkan asam organik (asam asetat dan asam laktat), bakteri juga menghasilkan alkohol (etanol dan BD) yang terakumulasi pada medium. Menurut Johansen et al. (1975) pembentukan BD mampu mengalihkan produksi asam ke pembentukan komponen netral (alkohol). Asam asetat memegang peranan dalam pembentukan BD dengan cara menginduksi tiga enzim yang berperan dalam pembentukannya (enzim pembentuk asetolaktat pH 6, asetolaktat dekarboksilase dan asetil (asetoin) reduktase) mengaktifkan pembentuk asetolaktat pH 6, dan meregulasi keseimbangan antara asetoin dan BD. Peningkatan pH pada jam ke-18 diduga akumulasi asam asetat menginduksi pembentukan BD, sehingga pH mengalami kenaikan.
Pada jam ke-18 hingga jam ke-24 konsumsi gula masih berlangsung, namun konsumsi gula ini tidak digunakan untuk produksi gas H2, tetapi digunakan
sel untuk memproduksi asam organik (asetat dan laktat) dan alkohol (etanol dan BD).
Gambar 6 Gambar hubungan berat kering sel dengan konsumsi gula total dan gula reduksi pada sistem curah.
Pada Gambar 6 terlihat bahwa semakin banyak jumlah sel yang terbentuk, gula total dan gula reduksi yang tersisa semakin sedikit (semakin banyak konsumsi gula). Pada akhir kultivasi terlihat sisa substrat (gula reduksi
(35)
dan gula total) masih ada (gula reduksi=0,25% dan gula total = 1,50%), sedangkan sel mulai memasuki fase kematian. Hal ini diduga karena adanya akumulasi senyawa metabolit berupa asam organik dan alkohol yang menghambat pertumbuhan sel dan penyerapan substrat oleh sel. Akumulasi senyawa metabolit ini dapat diatasi dengan menjalankan kultivasi menggunakan kultur sinambung.
4.2.3 Pembentukan Gas H2 selama Kultivasi
Pada Gambar 7 terlihat bahwa gas H2 mulai terbentuk pada jam ke-6,
dimana saat dimulainya fase eksponensial (awal log fase). Pada jam ke-6 ini pembentukan gas H2 paling tinggi (10,74 ml/menit) dan terus menurun hingga
akhirnya terhenti pada jam ke-18. Pembentukan gas H2 yang tinggi pada fase
eksponensial disebabkan karena pada fase tersebut pertumbuhan sel paling cepat. Pada fase stasioner pembentukan gas relatif stabil (8,43 – 8,08 ml/menit). Pada jam ke-18 pembentukan gas terhenti karena sel mulai masuk pada fase akhir stationer ke fase kematian, dan semakin banyaknya asam organik dan alkohol yang diakumulasi dalam medium sehingga menghambat pertumbuhan sel. Melis dan Melnicki (2006) menyatakan bahwa akumulasi asam organik pada medium tumbuh menyebabkan penghambatan pada laju pertumbuhan dan terbatasnya produksi H2.
Gambar 7 Gambar hubungan berat kering sel dengan laju alir gas H2 pada sistem
(36)
Gambar 8 Gambar hubungan pH dengan laju alir gas H2 pada sistem curah.
Pada Gambar 8 terlihat bahwa semakin menurunnya pH 5,7 (pada jam ke-6) hingga pH 5,2 (pada jam ke-18) menunjukkan penurunan produksi gas H2.
Pada kisaran pH ini sel masih mampu menghasilkan gas H2 meskipun rendah,
namun pada jam ke-18, saat pH naik akibat akumulasi alkohol (etanol dan BD), gas H2 tidak diproduksi lagi, karena sel sudah masuk pada tahap akhir stationer
dan tahap kematian sel.
Setelah jam ke-12 terlihat bahwa produksi gas H2 semakin menurun
karena sel telah memasuki fase stationer. Selain itu, pH lingkungan juga semakin menurun (pH=5,47). Bowles dan Elefson (1985) menyatakan bahwa menurunnya pH yang disebabkan oleh meningkatnya pembentukan metabolit (asam dan alkohol) hingga dibawah 5,5 akan berpengaruh terhadap kecepatan produksi H2
karena rusaknya kemampuan sel menjaga pH internal, sehingga dapat menghasilkan rendahnya tingkat ATP intraseluler yang menghambat pengambilan glukosa.
Bakteri produksi H2 sangat sensitif terhadap perubahan pH karena
mempengaruhi aktivitas hidrogenase pada jalur metabolisme (Kataoka et al. 1997; Heyndrick et al. 1986). Hidrogenase adalah salah satu enzim yang mengkatalisis reduksi proton menjadi H2 (Vignais et al. 2006). Menurut Khanal et al (2004) pH
merupakan parameter penting pada produksi biohidrogen oleh Clostridium dengan produk antara (volatile fatty acid) sebagai pengendali reaksi hidrogenase. Aktivitas dan periode ekspresi hidrogenase secara langsung mempengaruhi metabolisme bakteri penghasil H2, sehingga berpengaruh terhadap laju
(37)
Gambar 9 Gambar hubungan konsumsi gula total dan gula reduksi dengan laju alir gas H2 pada sistem curah.
Pada jam ke-0 hingga jam ke-5 gas H2 yang diproduksi sangat sedikit
(belum terdeteksi dalam respirometer). Konsumsi gula pada jam ini sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan sel. Pada jam ke-18 konsumsi gula masih berlangsung yang digunakan untuk produksi asam organik dan etanol, tetapi menghambat terbentuknya gas H2. Laju produksi gas H2 tertinggi terjadi pada jam
ke-6, namun terus menurun hingga jam ke-18. Penurunan ini terjadi akibat adanya akumulasi asam organik dan alkohol yang membuat suasana medium menjadi asam, sehingga sel terhambat dalam menyerap sumber karbon (Bowles & Elefson 1985).
Setelah jam ke-18 terlihat bahwa produksi gas terhenti karena pengaruh akumulasi asam organik dan alkohol yang menghambat sel dalam memproduksi gas H2. Jalur sintesis H2 sensitif terhadap konsentrasi H2 dan penghambatan
produk akhir. Ketika konsentrasi H2 meningkat, sintesis H2 menurun dan jalur
metabolik berpindah ke produksi laktat, etanol, aseton, butanol atau alanin dari pemanfaatan substrat (Levin et al. 2004).
Gula total dan gula reduksi hingga akhir kultivasi tidak habis, karena sel sudah mengalami fase kematian Dengan adanya akumulasi asam organik, kemampuan sel dalam menjaga pH internal terganggu sehingga tingkat ATP seluler menjadi rendah dan penyerapan glukosa menjadi terhambat. Gula total yang tersisa adalah 35,25% (1,504 % gula total (w/v)) sedang gula reduksi sebanyak 24,41% (0,25 % gula reduksi (w/v).
(38)
Gambar 10 Gambar hubungan perubahan biomassa sel dan perubahan produk H2
terhadap perubahan substrat pada sistem curah.
Menurut Mangunwidjaya dan Suryani (1994) rendemen biomassa-substrat (Yx/s) dan rendemen H2-substrat (Yp/s) dapat dihitung melalui kurva dimana
(X-X0)=f(S0-S), sehingga Y x/s merupakan koefisien arah; demikian juga
(P-P0)=f(S0-S), dimana Y p/s merupakan koefisien arah. Berdasarkan Gambar 10
diperoleh Yp/s sebesar 0,048 g H2/g substrat, sedangkan Yx/s diperoleh 0,222 g
biomassa/g susbtrat. Rendahnya rendemen H2 disebabkan karena produk yang
dihasilkan selama kultivasi tidak hanya H2, melainkan juga metabolit lain seperti
asam organik (asam laktat dan asetat) dan alkohol (etanol).
Gambar 11 Hubungan biomassa sel (g/L) dan volume gas H2 (L/L) dengan
waktu(jam) pada sistem curah.
Gas H2 terbentuk pada jam ke-5 (Gambar 11) dan terdeteksi pada jam ke-6
(awal fase logaritmik 2) kemudian terus meningkat dan pada jam ke-16 mulai terlihat stasioner. Hal yang sama ditemui pada pertumbuhan sel yang mengalami fase logaritmik 2 dimulai pada jam ke-6 hingga jam ke-12, lalu fase penurunan hingga jam ke-14 dan jam ke-16 memasuki tahap stasioner. Mangunwidjaya dan
(39)
Suryani (1994) mengemukakan bahwa apabila laju pembentukan produk berbanding lurus dengan laju pertumbuhan sel, maka dapat dikatakan pola pembentukan produk berasosiasi dengan pertumbuhan sel.
Tabel 6 Ringkasan penelitian produksi gas H2 melalui kultur curah
Mikrobia Sumber
Karbon Laju alir H2 Rendemen H2 Referensi
E. cloacae IIT-BT 08 Sukrosa (10g/L) 660 mL/L/jam 6 mol/mol sukrosa Kumar et al. (2000)
E. aerogenes Molases
(sukrosa 2%) 138 mL/L/jam 1,5 mol/mol sukrosa Tanisho et al (1994)
E. aerogenes ADH 43 Molases 2% 9,24 L H2/L 2,99 mol/mol molases Liasari (2009) Klebsiella oxytoca
HP1 Glukosa 1% 87,5 ml/L jam 1,0 mol/mol glukosa Minnan et al (2005)
The anaerobic mixed culture
Sorgum;25 g/L
gula total 6897 ml/L 2,22 mol H2/mol hexose
Saraphirom& Reungsang (2010)
E. aerogenes ADH 43 Sorgum; 4,2% gula total
8,26 L H2/L
458,66 ml/L/jam
3,79 mol/mol gula total, atau 5,92 mol H2/mol sukrosa atau
10,53 mol H2/mol glukosa
Penelitian ini
Pada Tabel 6 terlihat bahwa rendemen H2 pada penelitian ini jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya menunjukkan rendemen yang cukup tinggi. Penelitian ini menghasilkan 5,92 mol H2/mol sukrosa, hampir sama dengan
penelitian Kumar et al. (2000) yang menghasilkan 6 mol H2/mol sukrosa. Bahkan
jika dibandingkan Minnan et al. (2005) yang menggunakan glukosa sebagai substrat, penelitian ini menghasilkan rendemen yang lebih tinggi, yaitu 10,53 mol H2/mol glukosa.
Laju alir H2 yang dihasilkan penelitian ini cukup tinggi yaitu 458,66
ml/L/jam, sedikit lebih rendah dibandingkan Kumar et al. (2000), namun jauh lebih tinggi dibandingkan Minnan et al. (2005) dan Tanisho et al (1994). Ini menunjukkan bahwa nira sorgum berpotensi sebagai substrat dalam produksi gas H2. Produksi ini kemungkinan dapat ditingkatkan jika dilakukan optimasi kadar
gula total sebelum dilakukan penelitian. Saraphirom dan Reungsang (2010) menyebutkan bahwa produksi hidrogen potensial spesifik (Ps) meningkat pada konsentrasi 20-25 g/L kemudian menurun disebabkan adanya penghambatan substrat.
Laju alir produksi H2 pada penelitian ini lebih rendah (8,26 L H2/L
substrat) jika dibandingkan penelitian Liasari (2009) (9,24 L H2/L substrat),
namun mendapatkan rendemen yang lebih tinggi yaitu 3,79 mol H2/mol substrat
dibandingkan penelitian Liasari (2009) yaitu 2,99 mol H2/mol substrat. Laju
(40)
tetes tebu sebagai substrat. Meskipun konsentrasi gula total yang digunakan sama, namun kandungan N pada tetes tebu dan nira sorgum berbeda, akibatnya perbandingan C dan N pada kedua medium berbeda. Optimasi perbandingan C dan N diperlukan berdasarkan pendapat Wan dan Wang (2009) bahwa C/N dan C/P merupakan faktor mendasar dalam fermentasi produksi H2. Reid dan Rehm
(1983) menambahkan bahwa pada lingkungan fisik dan kimiawi berbeda, maka kecepatan pertumbuhan sel akan berbeda. Kecepatan pertumbuhan sel berpengaruh terhadap laju produksi H2.
Alasan kedua adalah penelitian Liasari (2009) mengunakan reaktor berpengaduk, sehingga substrat dan sel dalam reaktor tercampur sempurna. Menurut Wan dan Wang (2009) tipe reaktor merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam produksi H2. Namun menurut Grady et al. (1999) bahwa
penggunaan pengaduk pada reaktor mengkonsumsi energi listrik yang besar. Energi yang diperlukan untuk mencampur limbah anaerob pada reaktor berkisar 85-105 kw/1000m3 sehingga tidak efisien. Produksi H2 yang tinggi dan ekonomis
lebih diharapkan.
4.3 Kultivasi pada Kultur Sinambung
Laju dilusi (dilution rate = D) merupakan faktor yang sangat penting pada produksi H2 yang kontinyu karena mempengaruhi pada kemampuan bakteri untuk
mendegradasi substrat dan mempengaruhi proses kultivasi produksi H2. Wang dan
Wan (2009) menyatakan bahwa laju dilusi berpengaruh pada produksi H2,
konsentrasi substrat, biomassa dan metabolit terlarut.
Menurut Rahman (1989) pada fermentasi sistem kontinyu larutan nutrien steril dalam volume tertentu ditambahkan ke dalam fermentor secara kontinyu, dan pada saat yang sama larutan yang berisi sel dan produk-produk metabolisme dikeluarkan dari fermentor dengan volume yang sama. Penambahan medium baru dengan kecepatan yang sesuai dapat menghasilkan keadaan steady state dimana pembentukan sel-sel baru sama dengan sel-sel yang dikeluarkan dari fermentor. Pada keadaan steady state konsentrasi sel, laju pertumbuhan, konsentrasi nutrien dan konsentrasi produk tidak mengalami perubahan dengan bertambahnya waktu fermentasi. Hal ini senada dengan pernyataan Stanbury dan Whitaker (1984)
(41)
bahwa pada kondisi steady state, laju pertumbuhan spesifik sel ditentukan oleh laju dilusi. Pada kondisi ini pembentukan sel baru sama dengan sel yang keluar pada reaktor, konsentrasi nutrisi, konsentrasi sel, laju pertumbuhan dan konsentrasi produk tidak berubah walaupun waktu fermentasi makin lama.
Hasil kultivasi nira sorgum oleh E. aerogenes ADH-43 adalah biomassa sel, gas H2, dan metabolit berupa asam organik dan alkohol. Pada D yang
sebanding dengan laju pertumbuhan spesifik maksimum sel, maka akan diperoleh produksi H2 yang paling optimum.
4.3.1. Produksi Biomassa Sel
Menurut Rahman (1989), pada fermentasi sistem kontinyu, laju pertumbuhan spesifik sel dipengaruhi oleh rasio antara laju aliran medium dan volume kultur. Rasio ini disebut laju dilusi (D). Perubahan konsentrasi sel setelah waktu tertentu dinyatakan sebagai,
Dx
Sel yang tumbuh Sel yang keluar
---- = -
Dt atau,
Dx
µx Dx
---- = -
Dt
Pada keadaan steady state konsentrasi sel konstan sehingga Dx
---- = 0 µx = Dx µ = D
Dt
Jadi dalam keadaan steady state laju pertumbuhan spesifik dipengaruhi oleh laju dilusi. Pada D yang rendah hampir semua substrat digunakan oleh sel mikroba, sedang pada D yang tinggi melebihi µ maks, sel-sel mikroba keluar keseluruhannya dari sistem fermentasi akibat aliran medium yang terlalu cepat.
Tiap laju dilusi menghasilkan biomassa sel yang berbeda. Pertumbuhan spesifik sel pada kultur sinambung dapat diduga dari laju dilusinya. Pada Gambar 12 terlihat laju dilusi 0,10/jam diperoleh pertumbuhan sel paling sedikit (3,58 g/L), dan ketika laju dilusi ditingkatkan menjadi 0,15/jam, pertumbuhan sel meningkat (3,81 g/L). Namun saat dinaikkan menjadi 0,20/jam pertumbuhan sel
(42)
menjadi menurun (3,61 g/L). Laju pertumbuhan sel tergantung pada lingkungan fisik dan kimiawi (Reid & Rehm, 1983). Laju dilusi merupakan lingkungan fisik yang mempengaruhi pertumbuhan sel.
Gambar 12 Berat kering sel, pH, konsumsi gula reduksi dan konsumsi gula total pada sistem sinambung.
Pada laju 0,10/jam terlihat bahwa sel belum optimum pertumbuhannya. Pada laju alir yang rendah terjadi akumulasi asam organik dan alkohol sebagai hasil metabolisme. Akumulasi ini menyebabkan pH menjadi asam yang menghambat pertumbuhan sel. Menurut Bowles dan Elefson (1985), menurunnya pH yang disebabkan oleh meningkatnya pembentukan metabolit (asam dan alkohol) hingga dibawah 5,5 akan berpengaruh terhadap kecepatan produksi H2
karena kemampuan sel menjaga pH internal menjadi rusak, sehingga dapat menghasilkan rendahnya tingkat ATP intraseluler yang menghambat pengambilan glukosa.
Pada laju 0,15/jam terlihat bahwa pertumbuhan sel paling tinggi dibandingkan pada laju dilusi lain yang dicobakan pada penelitian ini. Hal ini diduga karena pada laju tersebut mendekati laju pertumbuhan sel spesifik maksimum sel, sehingga kecepatan degradasi substrat sebanding dengan kecepatan pembentukan sel baru.
Pada laju 0,20/jam pertumbuhan sel kembali turun. Hal ini kemungkinan karena sel mengalami wash out akibat kecepatan pergantian substrat lebih cepat dibanding laju pertumbuhan spesifik maksimum sel, sehingga saat medium diganti dengan medium baru, sel yang keluar bersama medium belum tergantikan oleh sel-sel yang baru.
(43)
4.3.2. Perubahan pH
Wang dan Wan (2009) menyatakan bahwa pH merupakan faktor penting yang mempengaruhi aktivitas bakteri dan produksi H2. Hal ini disebabkan
pengaruh aktivitas hidrogenase pada jalur metabolisme. Perubahan pH pada level tertentu dapat menurunkan kemampuan bakteri dalam menghasilkan H2. Hal
serupa disampaikan oleh Kataoka et al. (1997) bahwa pH berpengaruh secara langsung pada aktivitas hidrogenase. Li et al.(2006) menambahkan bahwa aktivitas hidrogenase secara langsung mempengaruhi metabolisme bakteri penghasil H2 dan berpengaruh terhadap laju dan rendemen H2.
Pada Gambar 12, terlihat bahwa banyaknya biomassa sel sebanding berbanding terbalik dengan pH. PadaD=0,15/jam dimana biomassa sel tertinggi (3,81 g/L), pH terlihat paling rendah (5,61), demikian juga pada D=0,10/jam (5,74) dan D=0,20/jam (5,67). Hal ini dipengaruhi semakin banyak sel, maka produksi asam organik juga lebih banyak, sehingga suasana menjadi lebih asam.
Laju pertumbuhan tergantung pH, karena pH mempengaruhi fungsi membran, enzim dan komponen sel lainnya (Rehm & Reid 1981). Tergantung bakteri dan medium yang digunakan, fermentasi menghasilkan sejumlah asam organik yang terakumulasi dalam medium yang dapat menghambat kecepatan pertumbuhan dan membatasi rendemen H2 secara anaerob, konsekuensinya
produksi H2 menjadi singkat dan rendemen menjadi terbatas karena akumulasi
asam organik (Melis & Melnicki 2006).
Derajat keasaman merupakan faktor penting dalam proses anaerobik, karena tidak hanya berpengaruh pada rendemen produksi H2, namun dapat
mengubah hasil samping dan pada kultur campuran dapat membuat struktur komunitas mikroba menjadi berubah (Ginkel et al. 2001). Pada pH rendah, asetat dan butirat yang dominan, sedangkan etanol, laktat, propionat dan caproat akan terlihat pada pH lebih tinggi (Fang & Liu 2002).
4.3.3. Konsumsi Gula
Pada Gambar 12 terlihat bahwa konsumsi gula total dan gula reduksi pada D=0,10/jam adalah berturut-turut 15,21 g/L dan 6,02 g/L, lebih rendah dibanding D=0,20/jam (23,52 g/L dan 7,48 g/L), dan paling tinggi adalah D=0,15/jam (24,86
(44)
g/L dan 8,15 g/L). Hal ini dapat dijelaskan karena gula merupakan sumber energi utama bagi sel, maka makin banyak sel yang terbentuk (pada D=0,15/jam), maka makin banyak gula yang terkonsumsi. Namun demikian, analisa ragam menunjukkan bahwa konsumsi gula reduksi pada D=0,15/jam menunjukkan konsumsi tertinggi yang signifikan. Sedangkan konsumsi gula total, meskipun D=0,15/jam menunjukkan konsumsi terbanyak, namun tidak berbeda secara signifikan dengan konsumsi gula total pada D=0,2/jam.
Tabel 7 Efisiensi pemanfaatan sumber karbon pada sistem sinambung
Laju Dilusi (D) Gula Total Terkonsumsi (g/L) Efisiensi (%)
D=0,10/jam 15,21±0,99 35,62±2,33
D=0,15/jam 24,86±1,26 58,22±2,88
D=0,20/jam 23,52±0,94 55,08±1,67
Berdasarkan Tabel 7, laju dilusi 0,15/jam menunjukkan konsumsi gula tertinggi dan efisiensi paling tinggi dalam memanfaatkan sumber karbon dibanding pada laju dilusi yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa pada laju ini sel optimum dalam memanfaatkan sumber karbon. Pada D=0,10/jam konsumsi substrat paling rendah, diduga karena adanya akumulasi asam organik yang menyebabkan pH medium menjadi rendah, sehingga menghambat penyerapan sumber karbon oleh sel. Laju dilusi pada D=0,20/jam memiliki efisiensi pemakaian substrat lebih rendah jika dibandingkan D=0,15/jam. Hal ini diduga karena sebelum sel mampu mengonsumsi sumber karbon secara efisien, medium sudah tergantikan oleh medium baru.
Efisiensi substrat yang rendah pada PBR menurut Show et al.(2007) disebabkan karena PBR dioperasikan pada turbulensi hidrolik yang rendah sehingga kultur mikroba mengalami resistensi transfer masa yang mengakibatkan menurunnya tingkat konversi substrat dan produksi H2. Kumar dan Das (2001)
menambahkan bahwa produksi H2 dan konversi substrat dapat ditingkatkan
(45)
4.3.4. Produksi Asam Organik dan Alkohol
Gambar 13 Asam organik dan alkohol hasil kultivasi secara sinambung. Gottschalk (1986) mengemukakan bahwa metabolisme E. aerogenes mengikuti jalur Embden Meyerhoff yaitu diawali dari glikolisis yang menghasilkan piruvat kemudian diikuti jalur fermentasi yang menghasilkan campuran asam fermentasi yaitu konversi piruvat menjadi asetat, etanol, CO2, H2,
asetoin dan 2,3 butandeol. Hasil analisa HPLC menunjukkan komposisi metabolit asam organik dan alkohol sebagaimana terlihat pada Gambar 13 dimana produksi etanol mendominasi fermentasi nira sorghum oleh E. aerogenes ADH-43 dengan hasil tertinggi dicapai pada D= 0,15/jam (0,153 mol) diikuti D=0,10/jam (0,143 mol) dan D=0,20/jam (0,121 mol). Asam laktat diproduksi paling tinggi pada D=0,15/jam yaitu 0,179 mol diikuti D=0,10/jam yaitu 0,091 mol dan D=0,20/jam yaitu 0,047 mol. Asam asetat diproduksi sangat kecil yaitu pada D=0,10/jam sebesar 0,031 mol, pada D=0,15/jam hanya 0,006 mol dan pada D=0,20/jam adalah 0,009 mol.
Komposisi metabolit ini memiliki tren yang mendekati hasil penelitian Said (2007) dimana E. aerogenes ADH-43 yang ditumbuhkan pada medium gliserol menghasilkan asam laktat 0,012 mol/mol gliserol, asam asetat tidak terdeteksi, sedangkan etanol 0,328 mol/mol gliserol. Pada proses ini diharapkan terjadi penurunan produksi asam laktat yang disebabkan oleh defisiensi laktat dehidrogenase. Penurunan aktivitas enzim laktat dehidrogenase ini membuat jumlah NADH bebas dalam sel meningkat dan dapat digunakan sebagai koenzim pembentukan senyawa lain, misalnya H2, tetapi etanol juga dapat terbentuk.
(46)
organik dan alkohol terhambat, maka konsentrasi NADH dapat meningkat, sehingga produksi H2 juga dapat meningkat.
4.3.5. Produksi Hidrogen
Gambar 14 Produksi H2 dalam L/L substrat/jam; mmol/L/jam; dan ml/menit pada
sistem sinambung.
Berdasarkan Gambar 14 produksi H2 tertinggi terlihat pada D=0,15/jam.
Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa produksi H2 pada D=0,15/jam terlihat
paling tinggi secara signifikan. Tingginya jumlah H2 disebabkan jumlah sel yang
dihasilkan paling tinggi yang diimbangi dengan besarnya substrat (gula) yang terkonsumsi juga paling banyak. Ini menunjukkan bahwa D=0,15/jam adalah laju yang optimum dalam produksi gas H2 pada penelitian ini.
Pada D=0,10/jam dan D=0,20/jam sel mampu menghasilkan gas H2
meskipun lebih rendah. Pada D=0,10/jam terlihat bahwa produksi H2 tidak efisien
karena berdasarkan Gambar 13 jumlah mol asam asetat paling tinggi (0,031 mol). Asam asetat menyebabkan pH menjadi turun. Rendahnya pH menyebabkan kemampuan sel menyerap sumber karbon menjadi kecil, sehingga produk (gas H2)
yang dihasilkan menjadi turun. Demikian halnya dengan D=0,20/jam. Pada laju ini asam asetat yang dihasilkan adalah 0,009 mol, lebih tinggi dibanding D=0,15/jam (0,006 mol).
4.3.6. Rendemen (Yield)
Pada bioproses, menurut Mangunwidjaya dan Suryani (1994) pertumbuhan mikroba dipandang sebagai suatu reaksi kimia yang mengendalikan
(47)
sintesis penyusun biomassa yang diperolah pada akhir kultur secara global. Proses ini mengikuti prinsip kekekalan massa yang dinyatakan dalam reaksi kimia sebagai berikut:
Substrat mikroba+produk
Berdasarkan persamaan diatas, maka dapat ditentukan rendemen biomassa (Yx/s) dan produk (Yp/s) yang terbentuk. Pada kultivasi nira sorgum oleh E
aerogenes ADH43 diperoleh hasil sebagaimana terlihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Rendemen produk (gas H2) dan metabolit selama kultivasi
sinambung.
Pada ketiga perlakuan kecepatan dilusi yang berbeda, rendemen etanol (Ye/S) dan asam laktat (Yal/S) lebih mendominasi dibandingkan produksi gas H2
dan rendemen asam asetat (Yaa/S). Rendemen gas H2 (YH2/S) paling tinggi pada
D=0,15/jam, diikuti D=0,10/jam dan D=0,20/jam. Pada perlakuan D=0,10/jam diperoleh YH2/S sebesar 0,55 mol H2/mol substrat; Yal/S sebesar 1,52 mol asam
laktat/mol substrat; Yaa/S sebesar 0,52 mol asam asetat/mol substrat dan Ye/S
sebesar 2,38 mol etanol/mol substrat. Pada perlakuan D=0,15/jam diperoleh YH2/S
sebesar 0,67 mol H2/mol substrat; Yal/S sebesar 1,94 mol asam laktat/mol substrat;
Yaa/S sebesar 0,06 mol asam asetat/mol substrat dan Ye/S sebesar 1,63 mol
etanol/mol substrat. Pada perlakuan D=0,20/jam diperoleh YH2/S sebesar 0,49 mol
H2/mol substrat; Yal/S sebesar 0,53 mol asam laktat/mol substrat; Yaa/S sebesar
(48)
Kecilnya YH2/S pada perlakuan D=0,15/jam kemungkinan dipengaruhi
karena dominasi produksi asam laktat 1,940 mol asam laktat/mol substrat dan etanol 1,628 mol etanol/mol substrat yang memanfaatkan NADH sehingga menghambat terbentuknya gas H2. Zhang et al.(2009) menyatakan bahwa
produksi H2 oleh E aerogenes sangat tergantung pada NADH dan NAD+. Hal ini
memperkuat penyataan Tanisho dan Ishiwata (1994) bahwa jalur NADH memegang peranan dalam produksi H2.
Gas H2 ini dihasilkan oleh E aerogenes ADH-43 melalui pembebasan
elektron pada oksidasi metabolik dengan bantuan enzim dehidrogenase dimana enzim ini berinteraksi dengan NADH untuk menghasilkan gas H2. Senyawa
NADH dihasilkan pada proses katabolisme glukosa menjadi piruvat melalui jalur glikolisis. Konversi piruvat menjadi menjadi alkohol dan asam organik melibatkan oksidasi NADH, sehingga pembentukan gas H2 akan terhambat jika
oksidasi NADH banyak digunakan untuk pembentukan alkohol dan asam organik. Antonopoulo et al. (2011) melaporkan bahwa semakin meningkat konsentrasi karbohidrat menyebabkan metabolisme bakteri bergeser ke arah produksi alkohol sedangkan produksi H2 menjadi turun. Pada penggunaan substrat
nira sorgum dengan konsentrasi 9,89-17,5 g/L menunjukkan hasil yang meningkat dengan rendemen maksimum 0,74 mol H2/mol glukosa. Hasil penelitian ini jika
dikonversi ke glukosa sebagai substrat, menghasilkan 1,40 mol H2/mol glukosa,
lebih besar dibanding penelitian Antonopoulo et al.(2011). Namun penelitian ini hanya menggunakan gula reduksi sebesar 8,80 g/L (Tabel 9), sehingga perlu optimasi konsentrasi substrat berdasarkan gula reduksi.
Pada D=0,20/jam terlihat bahwa baik YH2/S maupun rendemen asam
organik dan alkohol kecil. Hal ini dipengaruhi oleh laju dilusi yang lebih cepat dibandingkan kecepatan sel dalam menyerap sumber karbon, sehingga produk metabolit yang dihasilkan menjadi rendah. Selain itu pada laju ini akumulasi asam organik dan alkohol juga rendah akibat laju dilusi yang cepat dalam penggantian medium baru.
Nilai YH2/S yang rendah disebabkan produksi asam organik dan etanol
cukup tinggi. Ginkel et al.(2005) mengemukakan bahwa rendemen biohidrogen dihambat oleh produksi asam-asam selama proses fermentasi.
(49)
Gambar 16 Rendemen biomassa sel (Yx/s) pada sistem sinambung.
Biomassa sel merupakan salah satu produk bioproses. Pada Gambar 16 terlihat Yx/s terbesar pada D=0,10/jam yaitu 59,72 g/L biomassa/mol substrat
diikuti D=0,20/jam sebesar 41,07 g/L biomassa/mol substrat dan terkecil D=0,15 sebesar 40,53 g/L biomassa/mol substrat. Besarnya nilai Yx/s pada D=0,10/jam
disebabkan karena konsumsi substrat yang kecil sehingga faktor pembaginya menjadi kecil (Yx/s=Δx/Δs) sedangkan D=0,15/jam menunjukkan Yx/s yang paling
kecil karena konsumsi substrat yang paling besar. Kecilnya Yx/s pada D=0,15/jam
berarti proses lebih banyak untuk menghasilkan produk (gas H2 asam organik dan
alkohol) dibandingkan pembentukan sel.
4.4 Perbandingan Hasil Kultivasi Sorgum dan Tetes Tebu pada D=0,15/jam
Pada D=0,15/jam kultivasi nira sorgum oleh E aerogenes ADH-43 menunjukkan produksi gas H2 paling tinggi yaitu sebesar 62,84 mmol/L/jam dan
YH2/S sebesar 0,660 mol H2/mol substrat. Kecepatan dilusi 0,15/jam dianggap
optimum, sehingga dapat dibandingkan dengan substrat yang berasal dari tetes tebu dengan konsentrasi gula total awal yang sama (4,267%) pada D yang sama.
(1)
Tabel 10. Hasil uji statistik stabilitas mutan
ANOVA
Hasil Gas H2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1182,044 4 295,511 3,769 ,089
Within Groups 392,004 5 78,401
Total 1574,048 9
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Hasil Gas H2
Tukey HSD
(I) generasi (J) generasi
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Upper Bound Lower Bound
generasi 1 generasi 2 20,83795 8,85443 ,265 -14,6816 56,3575
generasi 3 3,47299 8,85443 ,993 -32,0466 38,9926
generasi 4 -3,47299 8,85443 ,993 -38,9926 32,0466
generasi 5 22,57445 8,85443 ,216 -12,9451 58,0940
generasi 2 generasi 1 -20,83795 8,85443 ,265 -56,3575 14,6816
generasi 3 -17,36496 8,85443 ,395 -52,8845 18,1546
generasi 4 -24,31094 8,85443 ,176 -59,8305 11,2086
generasi 5 1,73650 8,85443 1,000 -33,7831 37,2561
generasi 3 generasi 1 -3,47299 8,85443 ,993 -38,9926 32,0466
generasi 2 17,36496 8,85443 ,395 -18,1546 52,8845
generasi 4 -6,94598 8,85443 ,925 -42,4656 28,5736
generasi 5 19,10145 8,85443 ,324 -16,4181 54,6210
generasi 4 generasi 1 3,47299 8,85443 ,993 -32,0466 38,9926
generasi 2 24,31094 8,85443 ,176 -11,2086 59,8305
generasi 3 6,94598 8,85443 ,925 -28,5736 42,4656
generasi 5 26,04744 8,85443 ,144 -9,4721 61,5670
generasi 5 generasi 1 -22,57445 8,85443 ,216 -58,0940 12,9451
generasi 2 -1,73650 8,85443 1,000 -37,2561 33,7831
generasi 3 -19,10145 8,85443 ,324 -54,6210 16,4181
(2)
Tukey HSD
Generasi
N
Subset for alpha =
.05
1 1
generasi 5 2 387,3598
generasi 2 2 389,0963
generasi 3 2 406,4612
generasi 1 2 409,9342
generasi 4 2 413,4072
Sig. ,144
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
(3)
Gambar Lampiran 1. Skema bioreaktor
Gambar Lampiran 2. Skema respirometer, pengukuran gas H
2.
(4)
Gambar Lampiran 3. Reaktor
Packed Bed
Gambar Lampiran 4. Kebun sorgum di subang
Keterangan:
A: fermentor packed-bed
B: respirometer
C: Ca(OH)2
D: pemanas air dengan sirkulasi
E:
feeding
F: penampung
effluent
G: pompa periltastik
F
E
D
B
A
C
(5)
Gambar Lampiran 5. a Koloni
E. aerogenes
; b.
E aerogenes
ADH43 pada
pengenceran 10
7(6)