Kultivasi pada Kultur Curah

terdegradasi secara biologis, tidak berbahaya dan tidak menghasilkan polutan sekunder pada degradasi intermedietnya.

4.2 Kultivasi pada Kultur Curah

Kelebihan kultivasi pada kultur curah adalah pengoperasiannya lebih mudah dan fleksibel. Kultivasi sistem ini digunakan dalam penentuan potensi susbtrat organik dalam menghasilkan H 2 Guo et al. 2010.

4.2.1. Pertumbuhan Enterobacter aerogenes ADH-43

Sistem kultur curah mewakili pertumbuhan pada lingkungan yang tertutup, dimana sel ditumbuhkan dalam reaktor yang mengandung medium pertumbuhan dibawah kondisi optimum suhu, pH, potensial redoks hingga beberapa komponen esensial dalam medium habis atau lingkungan berubah karena akumulasi toksik, perubahan pH dan lain-lain Scragg 1991. Selama kultivasi produksi H 2 , konsentrasi substrat, H 2 , metabolit terlarut dan bakteri mengalami perubahan secara reguler. Pertumbuhan E.aerogenes ADH-43 selama 24 jam ditampilkan pada Gambar 3. Gambar 3 Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimum sel µ maks E.aerogenes ADH-43 pada medium nira sorgum. Laju pertumbuhan spesifik µ bersifat tidak konstan dan tergantung pada kondisi lingkungan fisik dan kimiawinya. Nilai maksimum µ maks dicapai pada kondisi suplai nutrien dan substrat masih berlebih serta konsentrasi zat-zat penghambat masih rendah Rehm Reid 1981. Menurut Mangunwidjaya dan Suryani 1994 laju pertumbuhan spesifik maksimum µ maks adalah koefisien arah kurva dengan persamaan Ln x = ft. Berdasarkan kurva di atas pada saat substrat berupa gula sederhana glukosa diperoleh nilai µ maks sebesar 0,198jam fase eksponensial 1 dan µ maks pada fase eksponensial 2 sebesar 0,119jam saat substrat berupa gula kompleks terjadi pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana. Pertumbuhan spesifik pada fase eksponensial 2 lebih kecil dibanding pada fase eksponensial 1. Hal ini karena mulai terbentuknya produk antara dari pertumbuhan fase eksponensial 1. Nilai laju pertumbuhan sel spesifik ini kemudian dijadikan dasar untuk penentuan laju dilusi D=dilution rate pada kultur sinambung, yaitu dengan D: laju dilusi jam, F: laju alir Ljam dan V: volume kerja L Berdasarkan persamaan di atas, maka kecepatan pompa untuk mengalirkan medium segar dapat ditentukan.

4.2.2 Perubahan pH dan Kadar Gula Selama Kultivasi

Kontrol pH penting untuk mempertahankan pH yang optimum selama kultivasi. Pada sistem curah terjadi peningkatan keasaman pH semakin menurun dengan semakin meningkatnya jumlah sel seperti yang terlihat pada Gambar 4. Penurunan pH disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah sel. Semakin banyak sel yang dihasilkan, maka produk yang berupa asam organik bertambah sehingga suasana medium menjadi asam yang berakibat pada penurunnya pH. Pada jam ke-18 terjadi penurunan biomassa sel karena mulai memasuki fase kematian, sedangkan pH terlihat meningkat kembali. Meningkatnya pH ini diduga karena mulai terakumulasinya butandiol BD yang dihasilkan selama kultivasi. Menurut Johansen et al 1975 BD terbentuk dari piruvat dengan asetolaktat dan asetoin sebagai intermediet dan pada jalur ini organisme mampu mengalihkan produksi asam ke pembentukan komponen netral alkohol. Gambar 4 Gambar hubungan pH dengan berat kering sel pada sistem curah. Derajat keasaman merupakan faktor penting pada kultivasi produksi H 2 , karena mempengaruhi aktivitas bakteri dan keadaan ionisasi pada komponen aktif dari sel dan substrat Mu et al. 2007. Derajat keasamam optimum untuk menghasilkan H 2 dari karbohidrat adalah kisaran pH sekitar 4,5 - 6,0 Das dan Veziroglu 2001; Hawkes et al. 2002. Rendahnya pH dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan menghambat kemampuan mendegradasi substrat. Penghambatan oleh rendahnya pH dapat berpengaruh terhadap konsentrasi gula dalam kecepatan degradasi gula. Akumulasi asam organik dalam medium pertumbuhan dapat menghambat kecepatan pertumbuhan sel dan membatasi rendemen produksi H 2 secara anaerob. Konsekuensinya adalah durasi reaksi produksi H 2 menjadi relatif pendek dan rendemen H 2 terbatas oleh akumulasi asam organik Melis dan Melnicki 2006. Hal ini terlihat setelah jam ke-18 ketika sel mengalami kematian dan laju produksi H 2 terhenti. Gambar 5 Gambar hubungan pH dengan konsumsi gula reduksi dan gula total pada sistem curah. Pada Gambar 5 terlihat semakin lama waktu kultivasi maka gula reduksi dan gula total semakin menurun. Hal ini disebabkan sel mengonsumsi gula sebagai sumber karbon sehingga jumlahnya semakin berkurang. Konsumsi karbon menghasilkan asam organik yang menyebabkan semakin menurunnya pH selama proses kultivasi. Pada jam ke-18 terlihat pH tidak menurun tetapi semakin naik hingga jam ke-24. Hal ini disebabkan selain menghasilkan asam organik asam asetat dan asam laktat, bakteri juga menghasilkan alkohol etanol dan BD yang terakumulasi pada medium. Menurut Johansen et al. 1975 pembentukan BD mampu mengalihkan produksi asam ke pembentukan komponen netral alkohol. Asam asetat memegang peranan dalam pembentukan BD dengan cara menginduksi tiga enzim yang berperan dalam pembentukannya enzim pembentuk asetolaktat pH 6, asetolaktat dekarboksilase dan asetil asetoin reduktase mengaktifkan pembentuk asetolaktat pH 6, dan meregulasi keseimbangan antara asetoin dan BD. Peningkatan pH pada jam ke-18 diduga akumulasi asam asetat menginduksi pembentukan BD, sehingga pH mengalami kenaikan. Pada jam ke-18 hingga jam ke-24 konsumsi gula masih berlangsung, namun konsumsi gula ini tidak digunakan untuk produksi gas H 2 , tetapi digunakan sel untuk memproduksi asam organik asetat dan laktat dan alkohol etanol dan BD. Gambar 6 Gambar hubungan berat kering sel dengan konsumsi gula total dan gula reduksi pada sistem curah. Pada Gambar 6 terlihat bahwa semakin banyak jumlah sel yang terbentuk, gula total dan gula reduksi yang tersisa semakin sedikit semakin banyak konsumsi gula. Pada akhir kultivasi terlihat sisa substrat gula reduksi dan gula total masih ada gula reduksi=0,25 dan gula total = 1,50, sedangkan sel mulai memasuki fase kematian. Hal ini diduga karena adanya akumulasi senyawa metabolit berupa asam organik dan alkohol yang menghambat pertumbuhan sel dan penyerapan substrat oleh sel. Akumulasi senyawa metabolit ini dapat diatasi dengan menjalankan kultivasi menggunakan kultur sinambung.

4.2.3 Pembentukan Gas H

2 selama Kultivasi Pada Gambar 7 terlihat bahwa gas H 2 mulai terbentuk pada jam ke-6, dimana saat dimulainya fase eksponensial awal log fase. Pada jam ke-6 ini pembentukan gas H 2 paling tinggi 10,74 mlmenit dan terus menurun hingga akhirnya terhenti pada jam ke-18. Pembentukan gas H 2 yang tinggi pada fase eksponensial disebabkan karena pada fase tersebut pertumbuhan sel paling cepat. Pada fase stasioner pembentukan gas relatif stabil 8,43 – 8,08 mlmenit. Pada jam ke-18 pembentukan gas terhenti karena sel mulai masuk pada fase akhir stationer ke fase kematian, dan semakin banyaknya asam organik dan alkohol yang diakumulasi dalam medium sehingga menghambat pertumbuhan sel. Melis dan Melnicki 2006 menyatakan bahwa akumulasi asam organik pada medium tumbuh menyebabkan penghambatan pada laju pertumbuhan dan terbatasnya produksi H 2 . Gambar 7 Gambar hubungan berat kering sel dengan laju alir gas H 2 pada sistem curah. Gambar 8 Gambar hubungan pH dengan laju alir gas H 2 pada sistem curah. Pada Gambar 8 terlihat bahwa semakin menurunnya pH 5,7 pada jam ke- 6 hingga pH 5,2 pada jam ke-18 menunjukkan penurunan produksi gas H 2 . Pada kisaran pH ini sel masih mampu menghasilkan gas H 2 meskipun rendah, namun pada jam ke-18, saat pH naik akibat akumulasi alkohol etanol dan BD, gas H 2 tidak diproduksi lagi, karena sel sudah masuk pada tahap akhir stationer dan tahap kematian sel. Setelah jam ke-12 terlihat bahwa produksi gas H 2 semakin menurun karena sel telah memasuki fase stationer. Selain itu, pH lingkungan juga semakin menurun pH=5,47. Bowles dan Elefson 1985 menyatakan bahwa menurunnya pH yang disebabkan oleh meningkatnya pembentukan metabolit asam dan alkohol hingga dibawah 5,5 akan berpengaruh terhadap kecepatan produksi H 2 karena rusaknya kemampuan sel menjaga pH internal, sehingga dapat menghasilkan rendahnya tingkat ATP intraseluler yang menghambat pengambilan glukosa. Bakteri produksi H 2 sangat sensitif terhadap perubahan pH karena mempengaruhi aktivitas hidrogenase pada jalur metabolisme Kataoka et al. 1997; Heyndrick et al. 1986. Hidrogenase adalah salah satu enzim yang mengkatalisis reduksi proton menjadi H 2 Vignais et al. 2006. Menurut Khanal et al 2004 pH merupakan parameter penting pada produksi biohidrogen oleh Clostridium dengan produk antara volatile fatty acid sebagai pengendali reaksi hidrogenase. Aktivitas dan periode ekspresi hidrogenase secara langsung mempengaruhi metabolisme bakteri penghasil H 2 , sehingga berpengaruh terhadap laju pembebasan dan rendemen H 2 Li et al. 2006. Gambar 9 Gambar hubungan konsumsi gula total dan gula reduksi dengan laju alir gas H 2 pada sistem curah. Pada jam ke-0 hingga jam ke-5 gas H 2 yang diproduksi sangat sedikit belum terdeteksi dalam respirometer. Konsumsi gula pada jam ini sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan sel. Pada jam ke-18 konsumsi gula masih berlangsung yang digunakan untuk produksi asam organik dan etanol, tetapi menghambat terbentuknya gas H 2 . Laju produksi gas H 2 tertinggi terjadi pada jam ke-6, namun terus menurun hingga jam ke-18. Penurunan ini terjadi akibat adanya akumulasi asam organik dan alkohol yang membuat suasana medium menjadi asam, sehingga sel terhambat dalam menyerap sumber karbon Bowles Elefson 1985. Setelah jam ke-18 terlihat bahwa produksi gas terhenti karena pengaruh akumulasi asam organik dan alkohol yang menghambat sel dalam memproduksi gas H 2 . Jalur sintesis H 2 sensitif terhadap konsentrasi H 2 dan penghambatan produk akhir. Ketika konsentrasi H 2 meningkat, sintesis H 2 menurun dan jalur metabolik berpindah ke produksi laktat, etanol, aseton, butanol atau alanin dari pemanfaatan substrat Levin et al. 2004. Gula total dan gula reduksi hingga akhir kultivasi tidak habis, karena sel sudah mengalami fase kematian Dengan adanya akumulasi asam organik, kemampuan sel dalam menjaga pH internal terganggu sehingga tingkat ATP seluler menjadi rendah dan penyerapan glukosa menjadi terhambat. Gula total yang tersisa adalah 35,25 1,504 gula total wv sedang gula reduksi sebanyak 24,41 0,25 gula reduksi wv. Gambar 10 Gambar hubungan perubahan biomassa sel dan perubahan produk H 2 terhadap perubahan substrat pada sistem curah. Menurut Mangunwidjaya dan Suryani 1994 rendemen biomassa-substrat Yxs dan rendemen H 2 -substrat Yps dapat dihitung melalui kurva dimana X- X =fS -S, sehingga Y xs merupakan koefisien arah; demikian juga P- P =fS -S, dimana Y ps merupakan koefisien arah. Berdasarkan Gambar 10 diperoleh Yps sebesar 0,048 g H 2 g substrat, sedangkan Yxs diperoleh 0,222 g biomassag susbtrat. Rendahnya rendemen H 2 disebabkan karena produk yang dihasilkan selama kultivasi tidak hanya H 2 , melainkan juga metabolit lain seperti asam organik asam laktat dan asetat dan alkohol etanol. Gambar 11 Hubungan biomassa sel gL dan volume gas H 2 LL dengan waktujam pada sistem curah. Gas H 2 terbentuk pada jam ke-5 Gambar 11 dan terdeteksi pada jam ke-6 awal fase logaritmik 2 kemudian terus meningkat dan pada jam ke-16 mulai terlihat stasioner. Hal yang sama ditemui pada pertumbuhan sel yang mengalami fase logaritmik 2 dimulai pada jam ke-6 hingga jam ke-12, lalu fase penurunan hingga jam ke-14 dan jam ke-16 memasuki tahap stasioner. Mangunwidjaya dan Suryani 1994 mengemukakan bahwa apabila laju pembentukan produk berbanding lurus dengan laju pertumbuhan sel, maka dapat dikatakan pola pembentukan produk berasosiasi dengan pertumbuhan sel. Tabel 6 Ringkasan penelitian produksi gas H 2 melalui kultur curah Mikrobia Sumber Karbon Laju alir H 2 Rendemen H 2 Referensi E. cloacae IIT-BT 08 Sukrosa 10gL 660 mLLjam 6 molmol sukrosa Kumar et al. 2000 E. aerogenes Molases sukrosa 2 138 mLLjam 1,5 molmol sukrosa Tanisho et al 1994 E. aerogenes ADH 43 Molases 2 9,24 L H 2 L 2,99 molmol molases Liasari 2009 Klebsiella oxytoca HP1 Glukosa 1 87,5 mlL jam 1,0 molmol glukosa Minnan et al 2005 The anaerobic mixed culture Sorgum;25 gL gula total 6897 mlL 2,22 mol H 2 mol hexose Saraphirom Reungsang 2010 E. aerogenes ADH 43 Sorgum; 4,2 gula total 8,26 L H 2 L 458,66 mlLjam 3,79 molmol gula total, atau 5,92 mol H 2 mol sukrosa atau 10,53 mol H 2 mol glukosa Penelitian ini Pada Tabel 6 terlihat bahwa rendemen H 2 pada penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya menunjukkan rendemen yang cukup tinggi. Penelitian ini menghasilkan 5,92 mol H 2 mol sukrosa, hampir sama dengan penelitian Kumar et al. 2000 yang menghasilkan 6 mol H 2 mol sukrosa. Bahkan jika dibandingkan Minnan et al. 2005 yang menggunakan glukosa sebagai substrat, penelitian ini menghasilkan rendemen yang lebih tinggi, yaitu 10,53 mol H 2 mol glukosa. Laju alir H 2 yang dihasilkan penelitian ini cukup tinggi yaitu 458,66 mlLjam, sedikit lebih rendah dibandingkan Kumar et al. 2000, namun jauh lebih tinggi dibandingkan Minnan et al. 2005 dan Tanisho et al 1994. Ini menunjukkan bahwa nira sorgum berpotensi sebagai substrat dalam produksi gas H 2 . Produksi ini kemungkinan dapat ditingkatkan jika dilakukan optimasi kadar gula total sebelum dilakukan penelitian. Saraphirom dan Reungsang 2010 menyebutkan bahwa produksi hidrogen potensial spesifik Ps meningkat pada konsentrasi 20-25 gL kemudian menurun disebabkan adanya penghambatan substrat. Laju alir produksi H 2 pada penelitian ini lebih rendah 8,26 L H 2 L substrat jika dibandingkan penelitian Liasari 2009 9,24 L H 2 L substrat, namun mendapatkan rendemen yang lebih tinggi yaitu 3,79 mol H 2 mol substrat dibandingkan penelitian Liasari 2009 yaitu 2,99 mol H 2 mol substrat. Laju produksi gas H 2 yang tinggi pada penelitian Liasari 2009 karena menggunakan tetes tebu sebagai substrat. Meskipun konsentrasi gula total yang digunakan sama, namun kandungan N pada tetes tebu dan nira sorgum berbeda, akibatnya perbandingan C dan N pada kedua medium berbeda. Optimasi perbandingan C dan N diperlukan berdasarkan pendapat Wan dan Wang 2009 bahwa CN dan CP merupakan faktor mendasar dalam fermentasi produksi H 2 . Reid dan Rehm 1983 menambahkan bahwa pada lingkungan fisik dan kimiawi berbeda, maka kecepatan pertumbuhan sel akan berbeda. Kecepatan pertumbuhan sel berpengaruh terhadap laju produksi H 2 . Alasan kedua adalah penelitian Liasari 2009 mengunakan reaktor berpengaduk, sehingga substrat dan sel dalam reaktor tercampur sempurna. Menurut Wan dan Wang 2009 tipe reaktor merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam produksi H 2 . Namun menurut Grady et al. 1999 bahwa penggunaan pengaduk pada reaktor mengkonsumsi energi listrik yang besar. Energi yang diperlukan untuk mencampur limbah anaerob pada reaktor berkisar 85-105 kw1000m 3 sehingga tidak efisien. Produksi H 2 yang tinggi dan ekonomis lebih diharapkan.

4.3 Kultivasi pada Kultur Sinambung