Penetuan dosis hepatotoksin Penentuan dosis ekstrak etanol 70 daun jarong S. indica L. Vahl. Penentuan waktu pencuplikan darah

bahwa ekstrak yang ada hanya ekstrak yang diinginkan saja, sedangkan pelarutnya diharapkan sudah menguap semua. Berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia, bobot tetap didapat dengan menimbang selama 1 jam ekstrak hingga selisi bobot tidak lebih dari 0,5 mg. Sebanyak 30 gram serbuk simplisia daun jarog dengan replikasi 3 kali menghasilkan bobot ekstrak kental 6,494 gram dengan rendemen yang didapat, yaitu 21,646.

C. Uji Pendahuluan

1. Penetuan dosis hepatotoksin

Karbon tetraklorida CCl 4 merupakan salah satu senyawa hepatotoksin yang sering digunakan dalam penelitian. Sebelum digunakan sebagai hepatotoksin, senyawa ini harus diketahui berapa dosisnya agar menyebabkan tikus mengalami kerusakan hati dalam hal ini steatosis. Dosis CCl 4 pada penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie 2002 yang menyatakan bahwa dosis 2 mLKgBB CCl4 yang diinduksikan pada tikus secara intra peritoneal telah dapat menyebabkan hepatotoksik. Karbon tetraklorida ini dilarutkan dalam pelarut olive oil dengan perbandingan 1:1. Pemastian dosis hepatotoksin ini dilihat dari uji kadar ALT dan AST. Kenaikan dari kadar ALT dan AST dari kadar normal menandakan adanya kerusakan hati yang terjadi.

2. Penentuan dosis ekstrak etanol 70 daun jarong S. indica L. Vahl.

Joshi et al 2010 dalam penelitiannya menyatakan bahwa dosis efektif untuk ekstrak etanol daun jarong S. indica L. Vahl. adalah 200 mgKgBB. Dosis tersebut dijadikan sebagai acuan untuk dosis ekstrak etanol 70 daun jarong pada penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan tiga peringkat dosis dengan faktor kelipatan 2, dengan dosis acuan sebagai dosis tengah. Sehingga dosis yang digunakan dalam penelitian ini 100 mgKgBB sebagai dosis rendah, 200 mgKgBB sebagai dosis tengah, dan 400 mgKgBB sebagai dosis tinggi.

3. Penentuan waktu pencuplikan darah

Penentuan waktu pencuplikan darah ini dilakukan untuk mengetahui efek optimum hepatotoksin CCl 4 pada jam tertentu yang akan digunakan sebagai penentu pemngambilan darah pada penelitian ini. Penentuan waktu pencuplikan berdasarkan nilai ALT dan AST kelompok tikus jantan galur Wistar yang diberikan hepatotoksin CCl 4 diukur kadar ALT dan AST pada jam ke 0, 24, dan 48 setelah pemberian hepatotoksin. Dari pengambilan darah pada jam-jam tersebut dibandingkan manakah yang memiliki kadar hepatotoksin tertinggi. Darah yang diambil melalui sinus orbitalis. Hasil dari pengukuran kadar ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLKgBB tersaji pada tabel III dan gambar 7. Tabel III. Purata aktivitas serum ALT tikus setelah induksi karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada pencuplikan jam ke-0, 24, dan 48 n = 3 Waktu pencuplikan jam ke- Purata kadar ALT ± SE UL 60,80 ± 2,27 24 181,40 ± 6,40 48 74,20 ± 1,99 Gambar 7. Diagram batang aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah induksi karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB Berdasarkan tabel III dan gambar 7 dapat diketahui bahwa aktivitas serum ALT pada jam ke 0, 24, dan 48 secara beturut-turut, yaitu 60,80 ± 2,27, 181,40 ± 6,40 dan 74,20 ± 1,99 UL, sehingga dari data tersebut dapat diketahui bahwa kadar ALT kelompok tikus yang terinduksi CCl 4 pada pencuplikan darah jam ke-24 menunjukkan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pencuplikan darah pada jam ke 0 dan 48. Selanjutnya, dari hasil tersebut dilakukan analisa paired- samples T test. Hasil dari analisa paired-samples T test disajikan pada tabel IV. Tabel IV. Hasil Paired-Samples T Test aktivitas serum ALT tikus setelah induksi karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada pencuplikan jam ke-0, 24, dan 48 n = 3 Waktu pencuplikan jam ke- Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48 Jam ke-0 BB BB Jam ke-24 BB BB Jam ke-48 BB BB Keterangan gambar: BB = Berbeda Bermakna p≤0,05 Hasil analisa paired-samples T test menunjukkan bahwa kadar ALT pada jam ke-0, 24, dan 48 menunjukkan bahwa hasil yang didapat berbeda bermakna dimana kadar CCl 4 pada jam ke 24 naik dengan signifikan dari jam ke-0 dan pada jam ke-48 terjadi penurunan kadar tetapi belum sama dengan kadar pada jam ke-0, sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar ALT yang optimum adalah pada jam ke-24. Hal ini karena pada jam ke-24 menunjukkan bahwa kadar ALT paling tinggi dibandingkan yang lain Gambar 7. Sedangkan hasil pengukuran kadar AST tersaji pada tabel V dan gambar 8. Tabel V. Purata aktivitas serum AST tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mLkgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 Waktu pencuplikan jam ke- Purata kadar AST ± SE UL 141,20 ± 5,15 24 452,40 ± 32,45 48 156,80 ± 4,61 Gambar 8. Diagram batang purata aktivitas serum AST pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah induksi karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB Berdasarkan hasil aktivitas serum AST tersebut pada jam ke-0, 24, dan 48 berturut-turut, yaitu 141,20 ± 5,15, 452,40 ± 32,45 dan 156,80 ± 4,61 UL. Penentuan perbandingan kadar AST pada jam ke 0, 24, dan 48 dengan menggunakan analisis statistik Paired-Sample Test Tabel VI. Hasil statistik menunjukkan aktivitas kadar serum AST pada jam ke-0 berbeda bermakna dengan kadar AST jam ke-24 p=0,000 dan jam ke-48 p=0,006, yang dapat diartikan bahwa terjadi peningkatan kadar CCl 4 dalam darah pada jam ke-24 dan pada jam ke-48 terjadi penurunan tetapi belum sama dengan kadar pada jam ke-0. Pada perbandingan kadar AST pada jam ke-24 dengan kadar AST jam ke-48 menunjukkan perbedaan yang bermakna p=0,001, dimana terjadi penurunan yang cukup signifikan dari jam ke-24 ke jam ke-48. Berdasarkan pengukuran, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar AST pada jam ke 24 yang paling optimum. Pada jam ke 48, kadar AST mengalami penuruanan tetapi tidak mencapai nilai normal. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kadar optimum CCl 4 terjadi pada jam ke-24. Berikut adalah tabel hasil uji T berpasangan kadar AST: Tabel VI. Hasil Paired-Samples T Test kadar AST tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mLkgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 Waktu pencuplikan jam ke- Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48 Jam ke-0 BB BB Jam ke-24 BB BB Jam ke-48 BB BB Keterangan gambar: BB = Berbeda Bermakna

D. Hasil Uji Hepatoprotekti Ekstrak Etanol 70 Daun Jarong Stachytarpheta

Dokumen yang terkait

Efek hepatoprotektif jangka pendek ekstrak etanol 70% biji atung (Parinarium glaberimum Hassk.) pada tikus jantan galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 0 49

Efek hepatoprotektif jangka panjang ekstrak etanol 70% biji atung (Parinarium glaberrimum Hassk.) pada tikus jantan galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 0 54

Efek hepatoprotektif ekstrak etanol 50% daun jarong (Stachytarpheta indica (l.) vahl.) terhadap aktivitas alanin aminotransferase dan aspartate aminotransferase pada tikus jantan galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 3 106

Efek hepatoprotektif ekstrak etanol 90% daun jarong (Stacytarpheta indica vahl.) terhadap kadar alanin aminotransferase dan aspartat aminotransferase pada tikus jantan galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 2 133

Efek hepatoprotektif ekstrak etanol 30% daun jarong (Stachytarpheta indica (L.) Vahl.) terhadap kadar alanin aminotransferase dan aspartat aminotransferase pada tikus jantan galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 0 127

Efek hepatoprotektif infusa daun macaranga tanarius L. pada tikus jantan galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 0 108

Efek hepatoprotektif jangka panjang ekstrak etanol 70% biji atung (Parinarium glaberrimum Hassk.) pada tikus jantan galur wistar terinduksi karbon tetraklorida

0 0 52

Efek hepatoprotektif jangka pendek ekstrak etanol 70% biji atung (Parinarium glaberimum Hassk.) pada tikus jantan galur wistar terinduksi karbon tetraklorida

0 0 47

Efek hepatoprotektif infusa daun macaranga tanarius L. pada tikus jantan galur wistar terinduksi karbon tetraklorida - USD Repository

0 0 106

Efek hepatoprotektif ekstrak etanol daun swietenia mahagoni (l.) jacq. pada tikus jantan galur wistar terinduksi karbon tetraklorida - USD Repository

0 0 112