Globalisasi dan Budaya Pop

8

BAB II LANDASAN TEORI

A. Globalisasi dan Budaya Pop

Indonesia merupakan Negara yang masuk dalam kategori Negara sedang berkembang, dan identik dengan faham konsumerisme dalam memajukan sektor pembangunannya. Faham konsumerisme ditegaskan oleh Fiske, yaitu merupakan faham yang menyatakan setuju atas pengekploitasian pendapatan terhadap segala bentuk keingginan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain faham ini menyatakan bahwa masyarakat akan cenderung selalu memiliki keingginan terhadap sega la sesuatu yang mereka inggin peroleh atau miliki walaupun tanpa didukung oleh segi keuangan yang mereka miliki. Misalnya masyarakat lebih rela berhutang hanya untuk memiliki sebuah sepeda motor yang sebenarnya suatu saat jangka panjang mampu mereka miliki dengan perencanaan yang lebih matang, fenomena lain adalah banyaknya kalangan pelajar yang rela menunda uang SPP hanya untuk digunakan membeli HandPhone yang sedang ngetrend disaat itu, terdorong oleh asumsi yang dijadikan sebagai alasan tidak mau dikatakan “udik” atau ketinggalan jaman. Keberadaan perekonomian yang memang relatif masih tertinggal dalam negara-negara sedang berkembang, mengadopsi paradigma-paradigma untuk segera mengambil langkah sebagai cara untuk mengejar ketertinggalan dan tanpa disadari kita sudah masuk dalam faham globalisasi. Adapun proses dari globalisasi itu sendiri muncul akibat dari keingginan setiap negara untuk meraih kesetaraan posisi dengan negara- negara maju. Beracuan pada perihal tersebut maka faham liberaralisasi perdagangan pun di munculkan, yaitu kebebasan setiap negara untuk memasarkan segala bentuk sumber daya alam, budaya, seni dan lain sebagainya sebagai asset yang selalu berbeda dengan negara lain dengan tujuan lebih meningkatkan sektor perekonomian negara itu sendiri. Seperti halnya negara sedang berkembang lainnya, dengan mengadopsi faham- faham liberalisasi tanpa disadari Indonesia juga sudah menjadi pelaku faham globalisasi. Faham liberalisasi sangat jelas terlihat pada aktivitas- aktivitas produksi, keuangan dan perdagangan sering didominasi oleh institusi- institusi moneter internasional. Akibat yang ditimbulkan adalah bahwa sektor nasional yang sudah dimiliki menjadi terbengkalai dan tidak berkembang. Berdasarkan konteksnya ciri utama dari globalisasi adalah peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumber daya dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, maupun oleh perusahaan-perusahaan keuangan dan dana global. Proses ini ditandai dengan semakin sedikitnya perusahaan transnasional yang mampu meraih pangsa besar atau peningkatan proporsi secara cepat dari sumberdaya ekonomi, produksi dan pangsa pasar. Globalisasi dalam perkembangannya mengadopsi berbagai faham budaya baru tak terkecuali budaya pop. Budaya pop didefinisiskan sebagai salah satu bentuk budaya populer, yaitu kecenderungan trend yang sedang ada dan berkembang sebagai paradigma awam kelompok masyarakat. Kelemahan negara sedang berkembang dalam menghadapi globalisasi berakar dari sejumlah faktor. Secara ekonomi, NSB lemah unt uk memulai integrasi dengan pasar dunia karena rendahnya kapasitas ekonomi domestik dan infrastruktur sosial sebagai warisan masa penjajahan. Stuart Hall dalam Storey 1994 menggambarkan budaya pop sebagai: Sebuah arena konsensus dan resistensi. Budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah dimana hegemoni berlangsung. Ia bukan ranah dimana sosialisme, sebuah kultur sosialis yang telah terbentuk sepenuhnya dapat sungguh-sungguh ‘diperlihatkan’. Namun, ia salah satu tempat dimana sosialis me boleh jadi diberi legalitas. Itulah mengapa budaya pop menjadi suatu yang penting. Keberadaan globalisasi dan budaya pop merambah hingga pada aspek-aspek tertentu tidak terkecuali aspek penelitian yaitu musik. Pada 1941, Adorno mempublikasikan sebuah esai yang sangat berpengaruh ‘On Popular Music’ dalam Storey 1994. Tiga pernyataan spesifik perihal musik pop, yaitu pertama, ia menyatakan bahwa musik pop itu ‘distandarisasikan’, dengan kata lain sekali pola musikal lirikal ternyata sukses, ia dieksploitasi hingga kelelahan komersial, yang memuncak pada kristalisasi standar. Untuk menyembunyikan standarisasi, industri musik menggunakan apa yang Adorno sebut ‘Pseudo-individualisasi’ : dengan kata lain, standarisasi hit-hit lagu manjaga para penikmat musik tetap menerimanya dengan tetap mendengarkannya. Pernyataan kedua, bahwa musik pop mendorong pendengaran pasif. Musik pop beroperasi didalam semacam dialektika yang letih, yaitu untuk mengkonsumsinya menuntut pengalihan dan pemalingan perhatian, sementara konsumsi terhadap musik pop menghasilkan pengalihan dan pemalingan perhatian dalam diri konsumen. Pernyataan ketiga, adalah klaim bahwa musik pop beroperasi seperti ‘semen sosial’. Fungsi sosial-psikologisnya adalah meraih penyesuaian fisik dengan mekanisme kehidupan saat ini dalam diri konsumen musik pop. ‘Penyesuaian’ ini memanifestasikan dirinya sendiri dalam ‘dua tipe sosial- psikologis utama perilaku massa’, yaitu tipe penurut “ritmis” dan tipe “emosional”. Yang pertama menari- nari dalam pemalingan perhatian dalam ritme eksploitasi dan operasinya sendiri. Yang kedua berkubang dalam kesengsaraan yang sentimental, lupa akan kondisi eksistensi yang nyata. Ditegaskan oleh argument Leon Resselson yang menganalisis bahwa kekuatan dari industri musik adalah melalui pendekatan ekonomi politik budaya, yaitu: Lebih dari setiap seni pertunjukan lain, dunia lagu didominasi oleh lelaki berduit disatu sisi dan sensor moral terhadap media disisi lain.kemungkinan suara -suara alternatif yang membuat mereka didengarkan senantiasa lirih kadang kala, seperti saat ini, tidak ada. Merupakan ilusi bahwa lagua adalah komoditas yang tersedia secara bebas…kenyataanya adalah bahwa lagu merupakan properti privat dari organisasi-organisasi bisnis. Leon Resselson Asumsi yang dibuat adalah bahwa industri musik menentukan nilai guna produk-produk yang dihasilkan. Industri musik merupakan industri kapitalis, karenanya produk-produknya adalah produk-produk kapitalis, dan juga pembawa ideologi kapitalis. Rosselson berpendapat bahwa ‘musik rakyat’ lantaran asal- usulnya dalam masyarakat prakapitalis maupun praktik-praktik ‘anti-komersial’nya dibawah naungan kapitalisme merupakan musik alternatif bagi musik kapitalis dalam industri musik. Sebagaimana ditunjukkan Frith 1983, industri musik tidak menjual single, gagasan hegemonik, melainkan sebaliknya sebuah medium yang harus melalui ratusan gagasan yang berkompetisi mengalir yang pada akhirnya pencarian keuntungan yang efisien tidak mencakup penciptaan ‘kebutuhan- kebutuhan baru’ dan ‘memanipulasi’ khalayak melainkan, sebaliknya pemberian respons pada kebutuhan-kebutuhan yang ada dan ‘pemuasan’ khalayak. Dalam karya Stuart Hall dan Paddy Whanel 1964, bahwa ‘potret anak muda sebagai orang lugu yang dieksploitasi’ oleh industri musik pop ‘terlalu disederhanakan’. Sosiolog Amerika Devis Riesman 1990 menaruh perhatian pada bagaimana khalayak musik pop bisa dibagi dalam dua kelompok, ‘kelompok mayoritas, yang menerima gambaran dewasa tentang anak muda secara agak kritis, dan kelompok minoritas yang disitu beberapa tema pemberontakan sosial terangkum. Sebagaimana ia tunjukkan, kelompok minoritas senantiasa kecil. Pemberontakan kelompok minoritas mengambil suatu bentuk simbolik seperti tang ditegaskan oleh Riessman sebagaimana berikut: Tuntutan terhadap standar penilaian dan standar selera yang tegas…, pilihan pada band- band kecil yang di iklankan dan tidak dikomersialkan ketimbang band-band yang sudah punya nama; pengembangan bahasa khusus privat atau untuk kalangan sendiri dan selanjutnya meninggalkannya ketika bahasa khusus itu hal yang sama juga berlaku pada aspek-aspek lain gaya khusus diambil alih oleh kelompok mayoritas. Riesman, 1990 Jadi, mengkonsumsi musik tertentu menjadi sebuah cara mengada way of being di dunia. Konsumsi musik digunakan sebagai tanda yang dengannya kaum muda menilai dan dinilai oleh orang lain. Menjadi bagian dari subkultural anak muda berarti memperlihatkan selera musikal tertentu dan mengklaim bahwa konsumsinya adalah tindakan kreasi komunal. Menurut Riesman, tidak menjadi soal apakah komunitas itu bersifat nyata atau imajiner. Yang penting adalah bahwa musik menyediakan sense pengertian akan komunitas. Ia adalah komunitas yang tercipta melalui tindakan konsumsi: ‘tatkala ia mendengarkan musik, bahkan jika tak ada orang lain di sekelilingnya, ia mendengarkan dalam sebuah konteks “orang lain” atau imajiner, tindakannya mendengarkan tentu saja seringkali merupakan sebuah upaya menjalin hubungan dengan mereka’. Tatkala kita mengatakan musik populer, seringkali yang ada di benak kita adalah lagu. Sebagaimana Gabriel Marcus uraikan, 1 ‘kata-kata adalah bunyi yang bisa kita rasakan lebih dahulu sebelum menjadi pernyataan-pernyataan untuk dipahami’.

B. Perkembangan Industri Musik Nasional dan Internasional