Latar Belakang Masalah. PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Pada masa Orde Baru masih berkibar kegiatan perekonomian di Negara Indonesia seperti dibelenggu oleh sebuah pasungan yang menyebabkan berbagai ketimpangan pasar. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mengatur perekonomian, tidak jarang selalu mengorbankan pasar-pasar kecil dengan hanya beracuan pada keberadaan sebuah identitas pasar yang dinilai mampu lebih banyak mendatangkan keuntungan. Bentuk-bentuk usaha yang bergerak dalam sektor perkebunan ataupun pertanian dan lainnya yang pada mulanya mendominasi, dengan segera tergeser oleh kehadiran bentuk-bentuk usaha yang bersifat modern seperti industri migas, ekspor, impor, dan lain sebagainya. Dominasi bentuk-bentuk usaha yang lebih modern terhadap usaha-usaha kecil dan menengah merupakan akibat dari kekalahan dalam proses pemasaran yang cenderung dipengaruhi oleh modal. Kepemilikan modal yang minim dalam usaha- usaha kecil atau menengah memaksa mereka untuk lebih bekerja keras dalam usahanya untuk menjadi pesaing bagi bentuk-bentuk usaha modern. Sedangkan asumsi yang lain adalah bisa jadi hal tersebut memang sebuah unsur kesengajaan dari pihak-pihak tertentu yang berharap segala bentuk usaha kecil sirna sehingga pasar secara global hanya dapat dikuasai oleh bentuk-bentuk usaha yang memiliki skala lebih besar atau identik dipegang oleh pihak-pihak yang bermodal besar kapitalis. Bentuk-bentuk monopoli pasar tidak hanya tercipta dalam aspek perdagangan saja, melainkan merambah hingga aspek-aspek yang lain seperti pendidikan, budaya, dan lain sebagainya hingga tidak terkecuali adalah aspek hiburan yaitu musik dan gaya hidup. Musik merupakan bentuk media hiburan yang sedang ngetrend di era yang sekarang ini. Tak ubahnya sebuah serum, trend tersebut mampu merasuk dan menyebar dengan cepat keseluruh organ tubuh dan sekaligus mengkontaminasi setiap orang yang terjangkiti sehingga mereka merasa kecanduan untuk menikmatinya berulangkali. Seperti halnya yang terjadi pada generasi muda sekarang, trend musik pun dengan cepat mampu merasuki mereka dan dengan cepat pula menjelma menjadi sebuah kebiasaan yang sepertinya wajib mereka konsumsi. Berbagai macam jenis musik pun bermunculan dari Pop, Rock, Reggae, Ska, dan masih banyak jenis lain yang mungkin masih akan bermunculan. Tidak hanya dalam jenis musik saja yang menimbulkan keragaman, dengan tidak mau kalah para pengemar dari berbagai macam jenis musik itupun berusaha mengidentitaskan diri mereka sesuai dengan jenis musik yang mereka sukai yang pada akhirnya juga menimbulkan keragaman. Seperti para pengemar musik Punk menamakan diri mereka sebagai Punker, para pengemar musik Reggae menamakan diri mereka sebagai Rasta Mania, begitu juga bagi mereka- mereka yang suka musik Rock dengan tak mau kalah menyebut dirinya sebagai Rocker, dan mungkin masih banyak identitas- identitas lain ada yang selalu menyesuaikan identitas mereka dengan jenis, genre atau aliran musik yang mereka gemari. Oleh karena hal di atas muncul asumsi masyarakat ditinjau dari sudut pandang ekonomi, bahwa musik merupakan sebuah bidang usaha yang bergerak dalam bidang jasa yang memiliki nilai jual yang tinggi, karena secara kasat mata sangat diminati oleh seluruh lapisan masyarakat untuk mengkonsumsinya. Berdasar pada asumsi tersebut dengan cepat para kaum pemodal menciptakan peluang usaha dengan menciptakan perusahaan- perusahaan industri rekaman dengan tujuan mampu memberikan kepuasan bagi para pengemar musik untuk dapat menikmati alunan musik sesuai jenis- jenis musik yang sedang ngetrend untuk dinikmati, entah itu musik Pop, Rock, Reggae atau jenis musik yang lain. Sebelum perusahaan industri musik rekaman ada, para pengemar musik hanya mampu mendengar sekaligus menonton para musisi idola mereka pada saat konser atau tampil secara langsung diareal terbuka, di layar televisi atau pada moment- moment tertentu saja. Hal tersebut mengakibatkan para pengemar musik sering dipaksa untuk merogoh sakunya lebih dalam hanya untuk menikmati alunan musik yang mereka sukai. Sebagai contah jika hal tersebut dibuat dalam perhitungan adalah, berapa jumlah biaya yang harus dikeluarkan ketika inggin menonton konser para musisi idola mereka, belum lagi ditambah biaya transportasi yang juga harus ditanggung jika lokasi yang digunakan sebagai ajang konser berjauhan dengan rumah kediaman para pengemar itu sendiri. Berdasarkan acuan-acuan diatas dan sekaligus dampak dari modernisasi maka tanpa mau menyia-nyiakan peluang yang ada, maka para pemodal yang sebelumnya sudah memahami fenomena yang terjadi dengan segera menjadikan hal tersebut sebagai lahan subur dalam berbisnis, yaitu dengan mendirikan perusahaan industri musik rekaman. Sebut saja studio rekaman dalam skala besar seperti Sony record music yang sampai sekarang mampu mendominasi pasar musik rekaman dari studio-studio lain yang ada baik itu lingkup nasional maupun internasional. Di tengah derasnya budaya pop yang cenderung seragam, studio rekaman yang sudah dikenal berskala besar seperti Sony record music, sering diidentitaskan sebagai Major Label. Perusahaan ini mengadopsi aliran-aliran musik yang tidak semaunya mereka pilih. Sasaran pihak major adalah jenis- jenis musik yang sedang populer dikalangan masyarakat terutama para kawula muda seperti sekarang ini, sehingga jenis musik lain yang dianggap sudah tidak popular memiliki peluang yang kecil untuk bisa masuk keperusahaan ini. Dampak susahnya jenis atau aliran musik yang sudah dianggap tidak popular untuk masuk dalam perusahaan berkelas Major Label membuat banyak para musisi vakum berhenti dari kreativitasnya untuk sementara waktu dalam berkreasi dan beralih profesi. Kepercayaan diri mereka seperti hilang karena jenis atau aliran musik yang biasa mereka bawakan sudah tidak bisa lagi memuaskan hati para pengemarnya. Dari persamaan asumsi jenis atau aliran musik yang dinyatakan sudah tidak populer dimasyarakat banyak, band-band ataupun musisi yang sulit memperoleh peluang masuk dalam industri Major label melahirkan suatu bentuk perlawanan bahwa mereka juga inggin diakui bahwa me reka ada. Band-band tersebut akhirnya membentuk sebuah kelompok-kelompok dan menjadi sebuah komunitas yang biasa di sebut dengan Indie 1 . Indie berarti cap simbolik untuk menunjukkan semangat independent merdeka, tanpa sudi di kendalikan pihak manapun, terutama institusi pasar. Triyono Lukmantoro Di Yogyakarta tidak sedikit para musisi muda dengan berbagai bakat dan talenta, ikut bergerak dalam bidang musik dengan berpayung pada indie label. Mereka tidak lagi peduli untuk bisa masuk dalam kelas major label dengan harapan bisa cepat terkenal ataupun memiliki nilai jual yang tinggi, karena mereka mereka memilki asumsi bahwa setiap orang atau individu memiliki selera musik yang berbeda-beda, sehingga tidak menutup peluang bahwa jenis atau aliran musik tersebut adalah yang mereka bawa. Sebut saja Flow Market Band, Produk, Apollo-10 Band, Monophone Band, Captain OI Band, dan lain sebagainya, merupakan band-band yang bernaung dalam identitas “Indie Label”. Dengan segala kemerdekaannya mereka berjuang untuk mendapatkan pasarnya sendiri, dengan visi dan misi diakui masyarakat banyak bahwa mereka memang benar-benar ada dengan bukti autentik karya-karya mereka. 1 Dikutip dari artikel “Indie Label”, Perlawanan Komunitas Lokal, Triyono Lukmantoro, Kompas, Sabtu 10 Februari 2007 Prinsip dasar yang digunakan untuk memproduksi indie label adalah merupakan manifestasi terhadap hegemoni pasar yang selama ini menguntungkan media dominan. Indie label mencoba untuk melakukan resistensi terhadap dominasi logika industri budaya culture industry yang semakin meraksasa. Dengan dasar ingin mendapat pengakuan dari masyarakat, sekaligus sebagai upaya mensejajarkan diri dengan perusahaan Major Label maka, dalam menjalankan kreativitasnya dalam bermusik komunitas indie menerapkan sistem pengelolaan yang bersifat swadaya, yaitu pola-pola pengelolaan yang sepenuhnya mereka jalankan sesuai dengan kemampuan yang mereka meliki. Adapun bentuk-bentuk pengelolaan yang menjadi fokus penelitian disini meliputi pola pengelolaan keuangan, pola pengelolaan produksi, pola pengelolaan personalia, dan pola pengelolaan pemasaran.

B. Rumusan Masalah