52
barang yang dikelola saling tidak bergantungan. Oleh sebab itu dasar pendekatannya berorientasi pada pengendalian tiap komponen
yang berdiri sendiri. Sebagai contoh adalah pengendalian persediaan barang pada pasar swalayan. Di sini besarnya
permintaan sayur mayur tidak tergantung pada besarnya permintaan barang-barang pecah belah misalnya.
Di tinjau dari sejarah perkembangannya, model ini secara formal mulai dikenal sejak tahun 1929 oleh Wilson. Wilson
mencoba mencari jawab dua pertanyaan dasar yaitu : -
Berapa jumlah barang yang harus dipesan untuk setiap kali pemesanan ?
- Kapan saat pemesanan dilakukan ?
Bertitik tolak dari Model Wilson ini kemudian dikembangkan berbagai model lain dalam keadaan yang lebih
realistik, terutama untuk fenomena yang bersifat probabilistik. Dalam kaitan ini dikenal adanya dua metode dasar pengendalian
persediaan yang bersifat probabilistik yaitu metode Q dan metode P. Metode Q pada dasarnya menggunakan aturan jumlah ukuran
pemesanan yang selalu tetap untuk setiap kali pemesanan, sedang metoda P menganut aturan saat pemesanan yang reguler mengikuti
suatu periode yang tetap mingguan, bulanan dsb.
4.5.2 MODEL PERANCANAAN KEBUTUHAN MATERIAL
Penggunaan model pengendalian persediaan tradisional menjadi kurang efektif bila digunakan dalam keadaaan adanya
ketergantungan antara kebutuhan suatu komponen material dengan komponenmaterial lainnya. Ketidak efektifan ini akan semakin
terasa bila keanekaragaman jenis komponenmaterial yang dikelola semakin banyak.
Untuk menjawab tantangan ini di Amerika sejak tahun enam puluhan mulai dikembangkan suatu cara baru yang disebut
Perencanaan Kebutuhan Material PKM atau dikenal dengan Material Requirement Planning MRP. Metode ini lahir berkat
adanya kemajuan teknologi komputer, oleh sebab itu metode ini
53
sangat Computer Oriented Approach. Metode ini terdiri dari sekumpulan prosedur, aturan-aturan keputusan dan seperangkat
mekanisme pencatatan yang dirancang untuk menjabarkan suatu Jadwal Induk Poduksi JIP.
Dilihat dari sejarahnya, penerapan PKM pertama kali digunakan pada industri logam dengan tipe job shop. Di dalam
sistem manufaktur, tipe semacam ni termasuk yang paling sulit untuk dikendalikan, sehingga kehadiran PKM mempunyai ati yang
sangat besar di dalam meminimasi investasi untuk persediaan, memudahkan penyusunan jadwal kebutuhan setiap
komponenmaterial yang diperlukan dan sekaligus juga PKM ini merupakan alat pengendalian produksi dan persediaan. Dalam
perkembangan selanjutnya PKM dapat diterapkan juga pada setiap pengendalian persedian di dalam sistem manufaktur baik pada tipe
job shop, tipe produksi massa mass production maupun tipe yang lain.
4.5.3 METODE KANBAN
Metode ini merupakan salah satu operasionalisasi dari
konsep Just In Time JIT yang dikembangkan dalam sistem produksi Toyota Motor Co. Produksi JIT berarti produksi massal
dalam jumlah kecil, tersedia untuk segera digunakan. Dalam JIT digunakan teknik pengendalian persediaan yang dinamakan
Kanban. Dalam sistem ini, jenis dan jumlah unit yang diperlukan oleh proses berikutnya, diambil dari proses sebelumnya, pada saat
diperlukan. Dan ini merupakan tanda bagi proses sebelumnya untuk memproduksi unit yang baru saja diambil. Jumlah dan jenis unit
yang dibutuhkan tersebut ditulis dalam suatu kartu yang disebut juga Kanban.
Dalam sistem ini digunakan kareta sebagai tempat komponen, dengan jumlah tetap. Di dalam tiap kereta terdaat dua
kartu. Sebuah kartu menandakan pesanan pada produksi, dan sebuah lagi menandakan pengambilan unit. Perbedaan utama antara
sistem ini dengan kedua sistem sebelumnya terletak pada
54
perbedaan karakteristik “pertimbangan” yang digunakan untuk mengatur jadwal produksi. Pada dua sistem terdahulu, dilakukan
proyeksi permintaan yang akan datang, dan selanjutnya penjadwalan produksi dilakukan untuk memenuhi permintaan
tersebut, penjadwalan mendorong produksi push system. Sedangkan dalam sistem kanban, jadwal produksi diatur sesuai
dengan permintaan aktual pull system.
4.6 MODEL WILSON
Salah satu model persediaan secara statistic adalah Model Wilson. Ada dua pertanyaan dasar yang menjadi fokus untuk
dijawab di dalam model ini, yaitu : -
Berapa jumlah barang yang akan dipesan untuk setiap kali pemesanan dilakukan.
- Kapan saat pemesanan dilakukan.
Didalam mencari jawab kedua pertanyaan tersebut, WILSON membuat beberapa asumsi terhadap fenomena nyata yang
dimodelkan sebagai berikut : 1.
Permintaan barang selama horizon perencanaan satu tahun diketahui dengan pasti dan akan datang secara kontinu
sepanjang waktu.
2. Barang yang dipesan akan datang secara serentak pada saat
pemesanan dilakukan. 3.
Harga barang yang dipesan tidak bergantung pada jumlah barang yang dipesandibeli.
Dengan ketiga asumsi tersebut maka posisi persediaan barang di gudang dapat digambarkan sebagai berikut :
q
o
Gambar 2.1. Model Persediaan Menurut Wilson
55
Dari gambar diatas nampak dengan jelas bahwa jawaban dari WILSON terhadap kedua pertanyaan dasar terdahulu adalah
sebagai berikut : -
Pesan sebesar q
o
untuk setiap kali pemesanan dilakukan. Selanjutnya q
o
inilah yang disebut sebagai ukuran kwantitas pemesanan.
- Pemesanan ulang dilakukan pada saat persediaan barang
gudang mencapai nol. Permasalahan selanjutnya yang perlu dibahas adalah
berapa besarnya q
o
yang optimal. Di dalam mencari jawab q
o
maka yang menjadi fungsi tujuan utama dari model WILSON adalah minimasi ongkos total persediaan OT selama horizon
perencanaan biasanya satu tahun. Berangkat dari asumsi- asumsi tersebut diatas maka ongkos total persediaan yang
dimaksud disini terdiri dari dua elemen ongkos yaitu ongkos Pemesanan O
p
dan ongkos simpan O
s
: O
t
= O
p
+ O
s
Model WILSON mencoba mencari keseimbangan antara ongkos pemesanan dan ongkos simpan yang dapat memberikan
ongkos total persediaan yang minimum.
Ongkos total O
t
Ongkos simpan O
s
Ongkos Pengadaan O
p
q
o
q
o
Gambar 3.1 Grafik Ongkos Total dan ukuran Pemesan Optimal q
o