1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Berlakang Permasalahan
Indonesia adalah Negara agraris yang berbasis pada sektor pertanian dan mempunyai peran penting dalam struktur pembangunan perekonomian
nasional. Dulu petani di Indonesia masih menggunakan cara – cara tradisional
untuk mengolah lahan serta melakukan penangan hama pada tanaman. Namun cara
– cara tradisional tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh para petani karena adanya kebijakan pemerintah pada awal tahun 1970-an yang bernama
Kebijakan Revolusi Hijau green revolution. Memang pada awalnya banyak petani tidak percaya dengan janji yang diberikan pemerintah mengenai
kebijakan baru tersebut. Kemudian, setelah pemerintah menjalankan kebijakan revolusi hijau pada beberapa sektor pertanian dan menghasilkan panen yang
berlimpah berkali – kali lipat dari yang biasanya petani peroleh dan para petani
pun mulai tertarik dan mengikuti kebijakan revolusi hijau yakni dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia.
Pada sekitar 5 tahun pertama hasil panen masih berlimpah dan petani pun mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Faktor inilah yang memacu
petani untuk menambahkan dosis dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia. Dampak dari penambahan dosis tersebut adalah membuat struktur tanah
kian memadat, sehingga akar tidak dapat melakukan aktivitas secara optimal,
1
pertumbuhan tanaman pun tidak maksimal. Hal – hal inilah yang menyebabkan
dalam beberapa tahun terakhir hasil panen kian anjlok. Sucahyo 2014 menyatakan bahwa “Petani hanya menanam dan petani selalu ingin
mengeksploitasi tanah untuk bisa panen terus. Sehingga rusaknya lahan pertanian di dataran tinggi Dieng yang dulu subur, justru karena penggunaan pestisida dan
pupuk kimia berlebihan. Petani kini berpikir dengan pola yang terbalik yaitu, rusaknya lahan harus diimbangi dengan pemakaian pupuk kimia diluar ambang
batas. Sementara untuk menjamin hasil panen bebas hama, termasuk ulat, pestisida juga digunakan secara tidak bertanggung jawab.” Dari permasalahan
tersebut mengindikasikan bahwa pengetahuan para petani masih rendah untuk menciptakan pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sudah saatnya para petani mengolah pertanian secara tradisional, ditambah lagi sekarang ini sudah muncul kesadaran masyarakat untuk
melakukan pola hidup sehat dengan memakan makanan organik. Dalam, era globalisasi pasar sayur organik sangat terbuka dan saat ini Australia telah
mengambil peluangan ini dengan mengekspor sayuran organik ke pasar Amerika, beberapa Negara Eropa seperti Inggris, Jerman dan Perancis juga
beberapa Negara Asia seperti Jepang, Singapura dan Malaysia. Peluang Indonesia menjadi produsen panen organik dunia cukup besar. Disamping
memiliki 20 lahan pertanian tropik, serta ketersedian bahan organik cukup banyak. Menurut IFOAM International Federation of Organic Agricultural
Movement Indonesia baru memanfaatkan 40.000 ha 0.09 lahan
pertaniannya untuk pertanian organik, sehingga masih diperlukan berbagai
program yang saling sinergis untuk menghantarkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen organik terkemuka Indonesia yang beriklim tropis,
merupakan modal SDA yang luar biasa dimana aneka sayuran, buah dan tanaman pangan hingga aneka bunga dapat dibudidayakan sepanjang tahun.
Pembuatan mikroorganisme lokal adalah salah satu dari banyak solusi yang ditawarkan kepada masyarakat. Petani diajak untuk memanfaatkan
sumber bahan di sekitar mereka dan membuatnya menjadi mikroorganisme lokal sebagai usaha untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Sebab, di
dalam mikroorganisme lokal ini terkandung jutaan mikroba yang bekerja untuk memperbaiki tanah dan menambahkan unsur hara N, P, K dan Mg, serta
membuat unsur – unsur hara ini siap diserap akar tanaman, karena didalam
mikroorganisme lokal tersendiri sudah banyak terdapat jutaan mikroba baik seperti : Rhizobium, Azotobacter, Clostridium, Nitrosomonas, Nitrobacter,
Pseudomonas, Azospirillum,
Aerosomonas, Basillus,
Saccaromices, Verticillium,
dan masih banyak lagi, dimana mikroba – mikroba ini mampu
menambah ketersedian unsur hara dalam tanah dengan cara menguraikan bahan
– bahan senyawa kompleks anorganik menjadi bahan – bahan yang dapat digunakan oleh tanaman untuk perumbuhannya. Ketersedian unsur hara
tersebut erat dengan adanya siklus biogeokimia yang terjadi di alam seperti siklus nitrogen dan siklus phosfat.
Anonim 2012,
mengungkapkan bahwa
dengan pemakaian
mikroorganisme lokal proses pendekomposisian dapat dipercepat. Selain, itu dapat dimanfatkan sebagai pupuk yang menyediakan nutrisi bagi tanaman. Jadi
bukan hanya lahan kritis yang berhasil direhabilitasi, tetapi juga produksi pertanian
mampu ditingkatkan
hingga 300
– 400. Pemakaian mikroorganisme lokal kini sudah meluas hingga di pelosok Nusantara. Tidak
kurang dari 42.000 masyarakat telah menerapkan teknologi ini. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk menguji peranan
mikroorganisme lokal dalam pertumbuhan tanaman tomat. Sebab, tanaman tomat ini sendiri sudah menjadi salah satu komoditas utama tanaman sayur di
Indonesia. Dengan menggunakan mikroorganisme lokal ini diharapkan pertumbuhan tanaman tomat dan hasil produksinya meningkat, tanpa harus
menggunakan pupuk berbahan kimia yang dapat merusak struktur tanah. Pada eksperimen yang dilakukan peneliti akan menguji dengan menggunakan empat
perbandingan konsentrasi yakni 8, 16, 24 dan 32 serta membandingkan pula frekuensi pemberian mikroorganime lokal sebanyak 1x seminggu serta 2x
seminggu. Dari perlakuan tersebut peneliti akan mendapatkan konsentrasi dan frekuensi yang optimal untuk pertumbuhan serta hasil produksi tanaman tomat.
B. Rumusan Masalah