BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan anak merupakan salah satu bagian dari tujuan mencerdaskan bangsa. Dengan adanya pendidikan, anak-anak diasah melalui seperangkat
pengetahuan untuk memiliki kesadaran dan kemauan yang positif dalam menemukan tujuan untuk dirinya di masa yang akan datang. Perkembangan
pendidikan di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang cukup besar. Wajib belajar enam tahun dan pembangunan infrastruktur sekolah, lalu diteruskan
dengan wajib belajar sembilan tahun adalah program pendidikan yang diakui cukup sukses Latief, 2009.
Meskipun program pendidikan wajib belajar sembilan tahun sudah berjalan di Indonesia, tetapi masih terdapat persoalan pendidikan yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia, yaitu masih tingginya angka putus sekolah. Berdasarkan
data BKKBN tahun 2010, angka putus sekolah di Indonesia mencapai 13.685.324
siswa dengan usia sekolah 7-15 tahun. Jumlah total angka putus sekolah tersebut,
sekitar 627.947 siswa putus sekolah berada di propinsi Sumatera Utara Kiroyan,
2010. Siswa yang putus sekolah di propinsi Sumatera Utara banyak berasal dari masyarakat pesisir. Peneliti mendapatkan informasi bahwa terdapat kurang lebih
20.000 nelayan di Medan yang didapati 3.000 anak nelayan tersebut putus sekolah. Dari jumlah itu umumnya mereka hanya mengecap pendidikan di bangku
sekolah menengah pertama SMP Nusajaya, 2011.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa banyak siswa yang mengalami putus sekolah berasal dari anak nelayan yang tinggal di daerah pesisir
pantai. Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan, merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Daerah tersebut memiliki angka
partisipasi murni sekolah yang rendah dan angka putus sekolah yang tinggi. Berdasarkan data laporan bulanan kepala lingkungan mutas mutandis
kependudukan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan selama bulan Mei tahun 2011, penduduk yang berusia 15-19 tahun pada lingkungan 2, 4 dan 7
sebesar 487 orang, sedangkan siswa yang bersekolah pada usia tersebut atau jenjang SLTA sebanyak 193 orang. Dengan demikian tingkat capaian kinerja
angka partisipasi murni APM SLTA di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan hannya sebesar 39,6. Data ini jauh berbeda dengan penduduk
yang berusia 16-18 tahun di Kota Medan selama tahun 2010 sebesar 140.282 orang, sedangkan siswa yang bersekolah pada usia tersebut atau jenjang
SMAMAPaket C sebanyak 93.626 orang. Dengan demikian tingkat capaian kinerja angka partisipasi murni APM SMAMAPaket C di Kota Medan sebesar
66,74. Berdasarkan data laporan bulanan kepala lingkungan mutas mutandis
kependudukan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan selama bulan Mei tahun 2011, jumlah siswa pada tingkat SLTA pada lingkungan 2, 4 dan 7
sebesar 193 orang, sedangkan jumlah siswa yang tidak sekolah pada tingkat SLTA selama bulan Mei tahun 2011 mencapai 294 orang. Dengan demikian
tingkat capaian kinerja angka putus sekolah SLTA di Kelurahan Bagan Deli
Universitas Sumatera Utara
Kecamatan Medan Belawan sebesar 60,3. Data ini jauh berbeda dengan jumlah siswa pada jenjang SMASMKMA di Kota Medan pada tahun ajaran 20092010
sebesar 142.733 orang, sedangkan jumlah siswa yang putus sekolah pada jenjang SMASMKMA selama tahun 2010 mencapai 1.857 orang. Dengan demikian
tingkat capaian kinerja angka putus sekolah SMASMKMA di kota Medan sebesar 1,30.
Berdasarkan data-data tersebut, dapat dilihat bahwa banyak siswa yang beresiko putus sekolah berasal dari daerah pesisir jika dibandingkan dengan kota
Medan. Siswa yang beresiko putus sekolah tidak terlepas dari kemiskinan yang melingkupi masyarakat pesisir Sulistyowati, 2003. Masyarakat pesisir adalah
sekelompok orang atau komunitas yang tinggal di daerah pesisir yang sumber kehidupan perekonomiannya secara langsung bergantung pada pemanfaatan
sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat pesisir terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan dan orang-orang yang
bekerja pada sarana produksi perikanan Muhadjirin, 2009. Masyarakat pesisir hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan
tradisional, yang pada umumnya mempunyai ciri yang sama yaitu berpendidikan yang rendah. Hal ini terjadi karena pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan
yang berat, seseorang yang menjadi nelayan sulit membayangkan pekerjaan lain yang lebih mudah dan yang sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Selain
itu pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, oleh karena itu setinggi apa pun tingkat
pendidikan masyarakat pesisir tidak akan mempengaruhi kemahiran mereka
Universitas Sumatera Utara
dalam melaut Sudarso, 2005. Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada
kondisi alam, maka hal tersebut membuat sulit bagi masyarakat pesisir untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kondisi yang memprihatinkan
tersebut yang menyebabkan rendahnya kemampuan dan ketrampilan masyarakat pesisir sehingga membuat mereka hidup dalam kemiskinan Winengan, 2007.
Kemiskinan yang melanda rumah tangga masyarakat pesisir telah mempersulit mereka dalam hal menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anak mereka
harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah, karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya. Apabila para orangtua nelayan
mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya, mereka berusaha menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, sehingga tidak harus menjadi nelayan seperti
orangtuanya, tetapi biasanya orangtua nelayan tidak mampu membebaskan diri dari profesi nelayan, turun-temurun adalah nelayan Mubyarto, 1989. Anak-anak
dituntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orangtuannya Fathul, 2002. Oleh karena
itu, sebagian besar anak nelayan masih ingin bekerja di bidang kenelayanan untuk menambah pendapatan keluarga daripada bersekolah Mulyadi, 2005.
Fenomena keseharian masyarakat pesisir yaitu anak pria atau wanita mulai sejak kecil sudah terlibat dalam proses pekerjaan nelayan, mulai dari persiapan
orangtua untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berdampak kepada keberlangsungan pendidikan anak-anak nelayan Pengemanan,
2002. Pada umumnya rumah tangga di masyarakat pesisir kurang memiliki perencanaan yang matang untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan untuk
Universitas Sumatera Utara
sebagian besar keluarga di masyarakat pesisir masih belum menjadi suatu kebutuhan yang penting didalam keluarga. Dapat dikatakan bahwa antusias
terhadap pendidikan di masyarakat pesisir relatif masih rendah Anggraini, 2000. Dalam hal pendidikan perlu dipertahankan tingkat daftaran anak usia
sekolah, baik pria maupun wanita sebagai target kebijakan pendidikan untuk masyarakat pesisir. Dalam hal ini ditetapkan bahwa setidaknya anak nelayan
diharuskan menyelesaikan pendidikan setingkat SMA Sekolah Menengah Atas maupun SMK Sekolah Menengah Kejuruan Pengemanan, 2002. Pendekatan
pendidikan masyarakat pesisir juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek sosial ekonomi keluarga di masyarakat pesisir untuk lebih memfokuskan sasaran target
pelayanan pendidikan kepada mayoritas keluarga nelayan yang miskin. Selanjutnya pendidikan kepada masyarakat pesisir harus memberikan prioritas
kepada anak usia 13 tahun keatas Pengemanan, 2002. Banyak anak-anak nelayan yang berusia 13 tahun keatas sudah tidak
bersekolah lagi atau terpaksa putus sekolah. Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan salah satu kepala lingkungan di Kelurahan Bagan
Deli, Kecamatan Medan Belawan. “....Masalahnya adalah banyak anak nelayan yang putus sekolah. Anak
nelayan dari kecil sudah putus sekolah, ada yang semenjak dari SD, SMP dan SMA, jarang anak nelayan yang terus bersekolah sampai SMA. Itu
karena orang tua mereka sudah tidak bisa lagi membayar sekolah, tapi ada juga yang memang malas sekolah lagi karena banyak anak nelayan yang
kalau sudah bisa pergi melaut mencari ikan mereka sudah malas untuk sekolah, mereka merasa sudah bisa mencari uang sendiri dan sekolah ga
penting lagi buat orang itu”
Komunikasi Personal, 11 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
Hampir setiap tahun jumlah anak-anak nelayan yang putus sekolah di seluruh wilayah Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terjadi
karena terus memburuknya kemiskinan keluarga mereka. Memburuknya kemiskinan nelayan tersebut terjadi seiring dengan terus menurunnya pendapatan
melaut mereka Suhana, 2006. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lusiana 2010 yang berjudul
faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap motivasi anak nelayan untuk sekolah, kasus di Kampung Nelayan Lingkungan XII, Kelurahan Belawan
I, Kecamatan Medan Belawan. Hasil penelitian diperoleh 1 Tingkat motivasi anak nelayan untuk sekolah di Kampung Nelayan Lingkungan XII, Kelurahan
Belawan I, Kecamatan Medan Belawan adalah sedang, yang berarti bahwa responden di daerah penelitian tidak sepenuhnya mengeluarkan upaya dan
dayanya untuk bersekolah. Hal ini disebabkan karena pola pikir anak nelayan yang menganggap bahwa pendidikan tidak berpengaruh terhadap masa depan
mereka 2 Secara serempak, kelima variabel independen yang dikaji pendapatan keluarga, jumlah tanggungan keluarga, persepsi nelayan, tingkat kosmopolitan
nelayan dan infrastruktur berpengaruh nyata terhadap motivasi anak nelayan untuk sekolah dengan jumlah presentase sebesar 70,5, sedangkan sisanya
dipengaruhi variabel lain seperti kondisi lingkungan sekolah murid, teman dan guru. Secara parsial, variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap
motivasi anak nelayan untuk sekolah adalah persepsi nelayan, dengan sumbangan pengaruh sebesar 68, hal ini dikarenakan semakin meningkatnya persepsi
nelayan tentang pendidikan ke arah yang positif maka akan semakin nyata
Universitas Sumatera Utara
dukungan, perhatian dan motivasi nelayan kepada anaknya untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi Lusiana, 2010.
Penelitian menunjukkan bahwa kegagalan di sekolah menengah dan tinggi biasanya mempunyai tiga karakteristik umum 1 Siswa yang performansinya
buruk di bidang akademik, 2 Siswa yang memiliki angka putus sekolah tinggi, dan 3 Siswa yang berasal dari sosial ekonomi yang rendah Balfanz Legters,
2004. Selain masalah ekonomi, hal yang menjadi pendorong banyaknya kasus putus sekolah ialah kendala teknis yang bersifat mikro, misalnya lokasi sekolah
yang jauh sekali dari rumah, hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga, serta pandangan tentang penting atau tidaknya pendidikan juga menjadi penyebab anak
malas untuk berangkat sekolah sehingga akhirnya terjadi putus sekolah. Ditengah kemiskinan dan kesulitan tersebut, masih ada siswa yang tetap
melanjutkan sekolah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data laporan bulanan kepala lingkungan mutas mutandis kependudukan, dari 15 lingkungan yang ada di
Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan selama bulan Mei tahun 2011, penduduk yang berusia 15-19 tahun berjumlah kurang lebih 1.500 orang,
sedangkan penduduk yang bersekolah SMA pada usia tersebut hannya sekitar 500 orang saja. Siswa yang tetap melanjutkan sekolah tersebut menyadari bahwa akan
pentingnya pendidikan untuk masa depan mereka nanti Prasodjo, 2005. Meskipun banyak anak yang putus sekolah dan beresiko putus sekolah
tetapi tetap ada anak yang meneruskan sekolah hingga SMA di masyarakat pesisir, hal ini disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internalnya meliputi minat, motivasi, harapan, dan persepsi siswa tentang sekolah
Universitas Sumatera Utara
tinggi. Faktor eksternalnya yaitu persepsi orangtua tentang pendidikan tinggi, walaupun orangtuanya miskin tetapi mereka tetap berusaha agar anak-anaknya
tetap sekolah. Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan salah satu staf pegawai di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan.
“....Di desa ini memang banyak yang putus sekolah, tetapi ada juga anak yang terus sekolah walaupun orangtuanya miskin, anak itu ada yang kerja
setelah pulang sekolah, walaupun kerja tetapi dia tetap sekolah. Selain itu ada juga orang tua yang peduli terhadap pendidikan anaknya, ada orang
tua yang melakukan apa saja asalkan anaknya tetap sekolah supaya jangan seperti orangtuanya yang miskin. Orangtua itu berpikir dengan sekolah
bisa merubah nasib mereka yang miskin jadi nelayan”
Komunikasi Personal, 12 Mei 2011. Faktor eksternal yang lainya yaitu, usaha kepala sekolah SMAN 20 Medan
yang berusaha agar murid-murid di SMAN 20 Medan mendapatkan beasiswa yang banyak daripada murid-murid di SMA lain yang ada di Medan, selain itu
SMAN 20 Medan membuat kebijakan tidak memaksakan murid-murid untuk harus membeli buku, tetapi cukup dengan membeli LKS lembar kerja siswa
saja. Untuk membeli LKS ini pun, bisa dilakukan dengan cara kredit bagi yang belum memiliki uang. Sekolah berusaha agar muridnya memiliki LKS terlebih
dulu dan untuk masalah biayanya bisa dibayar belakangan, sehingga sekolah berhutang kepada penerbit LKS tersebut dan baru akan melunasinya apabila
beasiswa murid sudah keluar. Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan beberapa guru di SMAN 20 Medan.
“....sebenarnya murid-murid di SMAN 20 banyak yang tidak mampu untuk sekolah, ini terlihat dari pengurangan jumlah murid kelas satu yang
akan naik ke kelas dua dan lebih berkurang lagi di kelas tiga. Syukurlah dua tahun belakangan ini kepala sekolah berusaha membuat banyak
beasiswa bagi murid yang tidak mampu disini, sehingga uang beasiswa tersebut kami pegang untuk membayar LKS mereka, karena apabila murid
yang menerima kami takut tidak dibayarnya, jadi kami sampaikan murid
Universitas Sumatera Utara
yang menerima beasiswa dan pihak sekolah yang menyimpanya untuk dibayarkan ke SPP dan LKS mereka. Usaha ini kami lakukan supaya anak-
anak disini tetap mau sekolah dan jangan sampai putus sekolah”
Komunikasi Personal, 12 April 2012. Beberapa siswa yang tetap melanjutkan sekolah hingga jenjang SMA atau
berhasil dalam akademis walaupun mereka berada pada kondisi yang sulit, mereka tetap yakin bahwa mereka mampu untuk bertahan dan bangkit dari
kondisi tersebut. Tingkat fleksibilitas yang membuat siswa berhasil dalam akademis walaupun mereka berada pada kondisi yang sulit, sehingga ia mampu
untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan dengan kondisi sulit, hal inilah yang disebut dengan resiliensi Reivich Shatte, 2002.
Resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan Reivich Shatte, 2002.
Individu dianggap sebagai seseorang yang memiliki resiliensi jika mereka mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat kebal dari
berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif Reivich Shatte, 2002. Reivich Shatte 2002 mengungkapkan beberapa kemampuan yang
menyumbang pada resiliensi individu yaitu: Emotion regulation, Impuls control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy dan Reaching out.
Penelitian ilmiah yang telah dilakukan lebih dari 50 tahun, telah membuktikan bahwa resiliensi adalah kunci dari kesuksesan kerja dan kepuasan
hidup Reivich Shatte, 2002. Resiliensi yang dimiliki oleh seorang individu, mempengaruhi kinerja individu tersebut baik di lingkungan sekolah maupun di
lingkungan masyarakat, memiliki efek terhadap kesehatan individu tersebut secara
Universitas Sumatera Utara
fisik maupun mental, serta menentukan keberhasilan individu tersebut dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Semua hal tersebut adalah
faktor-faktor dasar dari tercapainya kebahagiaan dan kesuksesan hidup seseorang Reivich Shatte, 2002. Apakah resiliensi lebih cocok dikarekteristikkan
sebagai hasil atau proses McCubbin, 2001. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Morales 2008 resiliensi dapat dilihat sebagai proses dan hasil.
Bobey 1999 mengatakan bahwa orang-orang yang disebut sebagai individu yang resilien, yaitu mereka yang dapat bangkit, berdiri diatas
penderitaan, dan memperbaiki kekecewaan yang dihadapinya. Selain itu kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya kita semua lahir dengan kemampuan
untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan. Resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada pada tantangan atau masalah.
Semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik
resiliensi dalam dirinya atau tidak Bobey, 1999. Resiliensi adalah kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan
tantangan kehidupan yang sulit Bryan, 2005. Dalam bidang pendidikan, resiliensi bisa disebut sebagai resiliensi edukasi, resiliensi akademik atau siswa
yang memiliki resiliensi yang baik disebut sebagai siswa resilien. Siswa resilien adalah siswa yang berhasil di sekolah meskipun adanya kondisi yang kurang
menguntungkan Waxman et al., 2003. Resiliensi dalam bidang akademis dapat diartikan sebagai kemampuan seorang siswa untuk sukses di bidang akademik
meskipun ia berada dalam kondisi yang membuatnya sulit untuk berhasil Benard,
Universitas Sumatera Utara
1991 Wang et al., 1997 dalam Bryan, 2005. Kondisi atau lingkungan yang kurang mendukung tersebut bisa berupa kemiskinan, kondisi sekolah yang serba
kekurangan, maupun kondisi keluarga yang kurang baik. Secara spesifik resiliensi akademik dipahami sebagai proses dan hasil yang menjadi bagian dari cerita
hidup seorang individu yang meraih kesuksesan akademik, meskipun ia mengalami banyak rintangan yang dapat mencegah kebanyakan orang dari latar
belakang yang sama untuk meraih kesuksesan Morales Trotman 2004. Selain faktor internal atau yang berasal dari siswa itu sendiri, ternyata faktor
sekolah, keluarga, komunitas dan masyarakat dimana siswa itu berada juga turut berperan dalam menciptakan siswa yang resilein. Penelitian yang dilakukan Bryan
2005 yang berjudul “Meningkatkan akademik resiliensi dan pencapaian akademik di sekolah pedesaan melalui sekolah, keluarga, dan komunitas. Hasilnya
adalah dengan adanya hubungan antara sekolah, keluarga dan komunitas, itu bisa menciptakan kesempatan yang baik untuk siswa yang resilien, dengan
menghilangkan stresor, batasan maupun rintangan dalam mencapai prestasi akademiknya Bryan, 2005. Karakteristik sekolah yang dapat meningkatkan
resiliensi siswanya adalah model komunitas atau lingkungan sekolah yang mendukung, termasuk elemen-elemen yang secara aktif melindungi anak-anak
dari kesulitan. Intinya adalah sekolah pandai menciptakan suasana yang harmonis agar siswanya merasa tidak berbeda dari kaum mayoritas Borman Rachuba,
2001. Dengan kata lain, sekolah itu menggunakan cara untuk membuat lingkungan belajar yang positif, dimana kompetensi akademik dan perilaku siswa
Universitas Sumatera Utara
didukung, lalu responsif terhadap kebutuhan siswa yang mengarah kepada pencapaian akademik, dan mengurangi masalah perilaku Close Solberg, 2007.
Berdasarkan fenomena yang terjadi yaitu banyaknya anak nelayan yang putus sekolah dan beresiko putus sekolah tetapi tetap masih ada anak nelayan
yang bertahan untuk meneruskan pendidikanya hingga ke jenjang sekolah menengah atas SMA, maka peneliti tertarik ingin melihat gambaran resiliensi
siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir walaupun berada dalam kondisi yang membuatnya sulit dan mengalami banyak rintangan yang
dapat mencegah kebanyakan anak dari latar belakang yang sama untuk tetap bersekolah.
B. RUMUSAN MASALAH