5.2 Kuantitas Pangan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pola konsumsi pangan merupakan
susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsidimakan penduduk dalam jangka waktu
tertentu. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai pola konsumsi pangan masyarakat sehari-hari. Pada bagian ini akan menghitung pola konsumsi
pangan rumah tangga miskin. Penelitian ini menghitung konsumsi pangan rumah tangga miskin dari segi
kuantitasnya. Kuantitas konsumsi pangan yang dimaksud dalam penelitian ini dilihat dari zat gizi yang dikandung dalam pangan yang dikonsumsi. Zat gizi
tersebut kemudian dinilai dengan menggunakan Tingkat Kecukupan Gizi TKG yang terdiri dari Tingkat Konsumsi Energi TKE dan Tingkat Konsumsi Protein
TKP. Tingkat Kecukupan Gizi merupakan indikator penilaian apakah suatu rumah tangga sudah cukup mengkonsumsi zat gizi sesuai dengan anjuran untuk
dapat hidup sehat dan memperoleh kualitas SDM yang baik. Dari hasil penelitian pada rumah tangga miskin di Kelurahan Terjun didapatkan
pola konsumsi pangan yang belum beragam dan masih kurang dari konsumsi energi dan protein yang dianjurkan.
Berikut merupakan rata-rata konsumsi energi dan konsumsi protein se rumah tangga di Kelurahan Terjun.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 15. Rata-rata Konsumsi Energi dan Protein serta Tingkat Konsumsi Gizi TKG Rumah Tangga Miskin di Kelurahan Terjun
Keterangan Energi
Protein
Kkalkaphr Gramkaphr
Konsumsi 1494,4
29,6
AKG yang dianjurkan 2150,00
57,00 TKG
69,5 51,9
Sumber: Data Primer Diolah, 2016 Berdasarkan Tabel 15 di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata konsumsi energi
dari pangan yang dikonsumsi rumah tangga miskin di Kelurahan Terjun adalah sebesar 1494,4 kkalkaphari dengan nilai TKE sebesar 69,5. Hal ini
menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi rumah tangga masih jauh di bawah AKG yang dianjurkan yaitu sebesar 2150 kkalkaphari. Nilai TKE sebesar 69,5
menunjukkan bahwa TKE rumah tangga masih dalam kategori defisit dikarenakan TKE 70 AKE.
Rendahnya nilai TKE ini sejalan dengan pola konsumsi pangan yang sudah dijelaskan sebelumnya, dimana meskipun rendah, kelompok pangan padi-padian
masih mendominasi atau menjadi pangan pokok masyarakat. Rendahnya TKE disebabkan karena konsumsi pangan sumber energi lain selain beras masih
sedikit. Sebagai contoh, pangan sumber karbohidrat dari kelompok pangan umbi- umbian, seperti singkong yang cenderung cukup sering dikonsumsi masyarakat
masih jarang dikonsumsi oleh rumah tangga. Hanya beberapa rumah tangga yang mengkonsumsi singkong, dan dikonsumsi hanya sebagai selingan. Padahal
singkong mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan nilai TKE. Kandungan karbohidrat singkong sebesar 146 kkal per
100 gram singkong.
Universitas Sumatera Utara
Rata-rata konsumsi protein yang berasal dari seluruh pangan yang dikonsumsi rumah tangga miskin di Kelurahan Terjun adalah sebesar 29 gramkaphari
dengan besar TKP 51,9. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi protein rumah tangga masih jauh dibawah AKP yang dianjurkan yaitu sebesar 57
gramkaphari. Nilai TKP sebesar 51,9 menunjukkan bahwa TKP rumah tangga masih dalam kategori defisit dikarenakan TKP 70 AKP. Rata-rata konsumsi
protein didapatkan dari pangan sumber protein hewani dan pangan sumber protein nabati.
Seperti halnya konsumsi energi, bila dilihat dari nilai TKP-nya, rata-rata konsumsi protein rumah tangga miskin di daerah penelitian masih jauh dari AKP yang
dianjurkan. Konsumsi protein dari pangan sumber protein hewani memang cukup beragam. Tidak hanya mengkonsumsi ikan asin dan ikan teri saja, namun hampir
seluruh rumah tangga mengkonsumsi ikan segar. Bahkan tidak sedikit rumah tangga yang mengkonsumsi daging ayam dan ada beberapa rumah tangga yang
mengkonsumsi udang basah dan daging sapi. Namun hal ini tidak membuat konsumsi protein rumah tangga menjadi tinggi. Rendahnya TKP disebabkan tiap
rumah tangga membeli dan mengkonsumsi setiap jenis pangan dalam jumlah yang sedikit. Hal ini berkaitan dengan rendahnya pendapatan rumah tangga sehingga
mereka enggan untuk membeli pangan dengan jumlah yang banyak. Jika dikaitkan dengan pola konsumsi pangan pada poin sebelumnya, hal ini
sejalan. Pangan hewani sebagai sumber protein hewani memiliki berat yang masih dibawah berat ideal. Hal ini dikatakan wajar melihat rendahnya nilai TKP rumah
tangga di daerah penelitian.
Universitas Sumatera Utara
Selain pangan sumber protein hewani, konsumsi protein juga didapatkan dari pangan sumber protein nabati, seperti tahu dan tempe. Berlawanan dengan pangan
sumber protein hewani, pangan sumber protein nabati dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, namun tidak beragam. Hampir seluruh rumah tangga mengkonsumsi
tahu dan tempe. Namun hal ini tidak membuat nilai TKP tinggi. Nilai TKP yang rendah ini disebabkan oleh kurang beragamnya konsumsi protein dari pangan
sumber protein nabati. Kacang hijau dan kacang tanah hanya sebagai pangan sumber protein nabati selain tahu dan tempe hanya dikonsumsi oleh beberapa
rumah tangga saja. Jika dihubungkan dengan pola konsumsi pangan pada poin sebelumnya, pangan
kacang-kacangan memiliki berat konsumsi aktual yang tinggi namun konsumsi protein masih berada di bawah angka kecukupan protein, yakni 29,6 grkaphr
dengan persentase TKP 51,9 dan berkategori defisit. Jika dilihat lebih jauh, hal ini terkait dengan rendahnya konsumsi pangan hewani, dimana pangan hewani
seperti daging sapi, daging ayam, serta ikan segar merupakan pangan penyumbang sumber protein hewani yang tinggi pula. Konsumsi pangan hewani
di daerah penelitian terlalu rendah sehingga tidak mampu memenuhi angka kecukupan protein yang dianjurkan, walaupun kelompok pangan kacang-
kacangan yang merupakan sumber protein nabati memiliki berat konsumsi yang tinggi. Selain didorong dengan rendahnya konsumsi pangan hewani, pangan
sumber protein nabati seperti kacang-kacangan ini masih kurang beragam sehingga tidak cukup membantu meingkatkan konsumsi protein masyarakat
hingga mencapai angka kecukupan yang dianjurkan.
Universitas Sumatera Utara
Baik Tingkat Konsumsi Energi dan Tingkat Konsumsi Protein di Kelurahan Terjun belum mencapai angka kecukupan yang dianjurkan. Bahkan TKE dan TKP
termasuk ke dalam kategori defisit. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan rumah tangga miskin di Kelurahan Terjun masih belum beragam, bergizi dan
berimbang. Sebaran kategori tingkat konsumsi energi rumah tangga responden dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 16. Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Energi Rumah Tangga No
Indikator Jumlah
Kategori 1
≥100 AKE 13
13,8 Baik
2 80-99 AKE
13 13,8
Sedang
3 70-80 AKE
13 13,8
Kurang
4 70 AKE
55 57,6
Defisit
Jumlah 94
100 Sumber: Data Primer diolah, 2016
Tingkat Konsumsi Energi terbagi atas 4 kategori, yaitu baik ≥100 AKE,
sedang 80-99 AKE, kurang 70-80 AKE dan defisit 70 AKE. Berdasarkan tabel 16 di atas, kategori dengan persentase yang paling banyak
adalah kategori defisit, dimana sebanyak 54 rumah tangga atau sekitar 57,5 rumah tangga termasuk ke dalam kategori defisit. Namun jumlah rumah tangga
dalam kategori baik, sedang dan kurang sama, masing-masing 13 rumah tangga dengan kategori baik, sedang dan kurang.
Lebih dari setengah rumah tangga responden termasuk dalam kategori tingkat konsumsi energi defisit. Hal ini berarti konsumsi energi rumah tangga harus
ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan nilai TKE pada Tabel 15, dimana nilai TKE rata-rata adalah sebesar 69,5. TKE ini belum mencukupi angka kecukupan
Universitas Sumatera Utara
energi yang dianjurkan yaitu sebesar 2150 kkalkaphari. Hal ini dikarenakan beras menjadi satu-satunya pangan pokok dan sumber energi utama rumah tangga
miskin di daerah penelitian. Sebaran kategori tingkat konsumsi protein rumah tangga responden dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 17. Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Protein Rumah Tangga No
Indikator Jumlah
Kategori 1
≥100 AKP 11
11,7 Baik
2 80-99 AKP
17 18,1
Sedang
3 70-80 AKP
8 8,5
Kurang
4
70 AKP 58
61,7 Defisit
Jumlah 94
100 Sumber: Data Primer diolah, 2016
Sama halnya dengan Tingkat Konsumsi Energi, Tingkat Konsumsi Protein juga terbagi atas 4 kategori, yaitu baik
≥100 AKP, sedang 80 -99 AKP, kurang 70-80 AKP dan defisit 70 AKP. Berdasarkan tabel 17 diatas, persentase
yang paling tinggi adalah kategori defisit, sama halnya dengan konsumsi energi. Sebanyak 58 rumah tangga atau 61,7 dari seluruh sampel merupakan rumah
tangga dengan kategori tingkat konsumsi protein defisit. Sejalan dengan Tabel 15, dimana nilai TKP hanya sebesar 51,9 saja. TKP ini masih jauh dibawah angka
kecukupan yang dianjurkan. Melihat lebih dari setengah dari rumah tangga responden termasuk dalam kategori tingkat konsumsi protein defisit, berarti
konsumsi protein rumah tangga perlu ditingkatkan, baik dari segi kuantitas atau jumlah maupun keberagamannya guna meningkatkan konsumsi protein.
Dalam penelitian ini, baik TKE dan TKP masih defisit dan masih jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan. Untuk itu konsumsi rumah tangga masih perlu
Universitas Sumatera Utara
ditingkatkan dan diberagamkan, sehingga tingkat konsumsi dapat mencukupi AKE dan AKP yang dianjurkan.
5.3 Ketahanan Pangan Rumah Tangga