BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemakaian zat radioaktif dalam berbagai kegiatan industri, kedokteran, pertanian dan teknologi lainnya saat ini sudah banyak dilakukan. Proses
pengolahan bahan-bahan nuklir juga sudah dilaksanakan sebagai awal kegiatan industri nuklir di Indonesia. Kemajuan teknologi nuklir yang pesat ini tidak lepas
dari masalah keselamatan kerja terhadap radiasi yang perlu dikuasai dengan baik dan akan membawa dampak yang serius terhadap resiko terlepasnya unsur-unsur
radioaktif ke lingkungan dan akhirnya terendap dalam tubuh manusia Wardhana, 2006.
Bahan radioaktif yang terlepas saat terjadi kecelakaan dapat menyebabkan radiasi terhadap pekerja radiasi dan masyarakat di sekitar instalasi. Bahan
radioaktif masuk ke dalam tubuh baik melalui pernafasan, saluran pencernaan akibat mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi maupun
melalui kulit terluka. Beberapa kontaminan tersebut merupakan zat radioaktif hasil fisi seperti radionuklida Cs-137, I-131 dan Sr-90 dan kontaminan yang
berasal dari instalasi industri yang menggunakan zat radioaktif sebagai sumber radiasi seperti Co-60, Ir-92 dan lain-lain Rahardjo et al, 2007. Cs-137
merupakan unsur kimia yang bersifat radioakif dengan memancarkan sinar
gamma dan merupakan salah satu radionuklida hasil proses fisi bahan bakar uranium dan plutonium di reaktor nuklir.
1
2 Kemampuan dalam menangani seseorang yang terkena kontaminasi
radionuklida tersebut sangat diperlukan pada suatu kecelakaan instansi nuklir Alatas et al, 1996. Radionuklida yang masuk ke dalam tubuh perlu dikaji dan
diteliti aspek-aspek yang berkaitan dengan kesehatan. Salah satu aspek yang terpenting adalah bagaimana cara mengeluarkan radionuklida dalam tubuh, karena
radionuklida ini berbahaya apabila terendap di dalam tubuh. Sebagai langkah antisipasi penting dalam penanganan korban pada keadaan kecelakaan nuklir
adalah proses dekontaminasi Basyarahil, 1997. Ammonium
Iron III
Hexacyanoferrate AFCF
merupakan dekontaminan yang dapat mengikat Cs-137 dalam saluran pencernaan sehingga
mencegah penyerapan Cs-137 serta mempercepat pengeluaran dari dalam tubuh. Dalam kasus kecelakaan nuklir di Chernobyl, Ukraina tahun 1986 AFCF telah
digunakan sebagai dekontaminan untuk Cs-137 dan Cs-134. Dari beberapa penelitian pada hewan tikus, kambing, rusa, biri-biri, ayam broiler menunjukkan
bahwa dekontaminan tersebut mempunyai potensi dalam mengikat Cs sehingga mampu meminimalisir kadar zat radioaktif dalam tubuh Schimansky, 1997.
Pemberian dekontaminasi bertujuan untuk mengurangi penyerapan radionuklida dalam tubuh dengan cara meningkatkan ekskresi radionuklida baik
melalui urin maupun feses sehingga memperkecil efek biologik yang mungkin akan timbul. Setiap radionuklida mempunyai dekontaminan yang berbeda dan
masing-masing harus diuji kemampuannya. Berdasarkan hasil penelitian Alatas et al
1996 dalam studi pemberian dekontaminan Prussian Blue secara oral pasca tiga jam pemberian Cs-137 secara oral pada tikus putih dapat meningkatkan
3 ekskresi radionuklida Cs-137 sampai 84,80. Berdasarkan hasil penelitian Sanusi
2007 diketahui bahwa pemberian dekontaminan Prussian Blue PB secara oral pasca pemberian Cs-137 secara oral pada monyet ekor panjang dapat
meningkatkan ekskresi radionuklida Cs-137 sampai 26. Pada penelitian ini digunakan dekontaminan yang lain yaitu Ammonium Iron III Hexacyanoferrate
AFCF dengan hewan percobaan yaitu monyet ekor panjang M. fascicularis. Ketika bahan radioaktif masuk ke dalam tubuh, maka sangat penting untuk
dilakukan perkiraan dosis dekontaminan, dosis AFCF yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 3000, 4500 dan 6000 mgekor. Perkiraan dosis berdasarkan
Letal Dosis LD 50, dimana LD 50 AFCF untuk tikus sebesar 2100 mgkg, sedangkan untuk monyet digunakan LD 50 dua kali lebih banyak dibandingkan
tikus Anonimus, 2000. Agar hasil Litbang Penelitian Pengembangan dan Perekayasaan
dekontaminasi ini bermanfaat pada manusia, maka idealnya dilakukan dengan objek manusia. Namun di Indonesia hal ini tidak mungkin dilakukan. Oleh karena
itu penelitian tersebut akan lebih representatif apabila dilakukan dengan objek hewan yang dekat dengan karakter manusia. Monyet ekor panjang adalah hewan
yang sangat optimal untuk digunakan sebagai objek, sehingga diharapkan dapat diperoleh informasi yang dapat diekstrapolasikan kepada manusia.
4
1.2. Rumusan Masalah