Analisis Semiotika Foto Pada Buku Jakarta Estetika Banal Karya Erik Prasetya

(1)

PRASETYA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Diajukan Oleh:

Marifka Wahyu Hidayat

NIM: 107051102182

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

BANAL KARYA ERIK PRASETYA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

Marifka Wahyu Hidayat

NIM 107051102182

Di Bawah Bimbingan

M. Hudri. MA

NIP: 1972060199803

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Januari 2014


(5)

i Nama : Marifka Wahyu Hidayat NIM : 107051102182

Jurusan : Konsentrasi Jurnalistik

Skripsi : Analisis semiotika foto pada buku Jakarta Estetika Banal karya Erik Prasetya

Perkembangan dunia fotografi menjadikan alat ini sebagai sebuah replika dari realitas dan sensasi bagi pancaindra manusia. Melalui fotografi, dunia menjadi serangkaian yang terkait, menyejarah dan memiliki banyak arti. Begitujuga dengan para fotografer mencari formula baru untuk kemajuan dunia fotografi terutama memasuki babak baru yakni transformasi dari analog ke dunia digital yang semakin berkembang.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna foto Jakarta Etetika Banal agar dapat dipahami dan mengetahui prosedur-prosedurnya serta makna yang terkandung dalam foto tersebut. Bagaimana Estetika Banal tersebut bekerja dalam merekam kota Jakarta beserta warganya.

Penulis menggunakan pendekatan metode deskriptif kualitatif dalam membedah obyek penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan riset kepustakaan, dan wawancara. Analisa data menggunakan teori analisis visual Theo Van Leeuwen dengan peminjam metode semiotika Roland Barthes yang mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam foto Jakarta Estetika Banal.

Estetika banal merupakan sebuah tawaran pendekatan fotografi yang dicetuskan oleh Erik Prasetya saat dunia fotografi mulai beranjak hijrah dari analog ke digital dan terbukti dalam karyanya selama 20 tahun untuk merekam Jakarta yang tertuang dalam buku fotografi Jakarta Estetika Banal. Sebuah peristiwa di ruang kota yang menampilkan pergulatan dan pergerakan manusia dengan berbagai macam persoalannya yang terekam dalam Jakarta Estetika Banal

Dengan demikian, foto-foto yang direkam Erik dengan formula estetika banal dapat kita ketahui dari analisis semiotika Roland Barthes dalam membaca foto dan konteks yang dibicarakan dalam foto-foto karya Erik yang mempunyai ragam tema dalam memotret Jakarta baik dari segi sosial, politik, ekonomi, kultural dan lingkungan hidup.

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan diantaranya adalah dari foto Jakarta Estetika Banal memang seperti itulah realitas gambaran kota Jakarta yang sangat banal, biasa, umum, dan dangkal. Kemiskinan, polusi, kumuh, hedonis, konsumtif, banjir, macet, eksploitasi anak ,dan masih banyak lainnya. Hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa di kota modern bernama Jakarta.


(6)

ii

Segala puji bagi Tuhan yang maha esa berkat nikmatnya penulis diberikan kesehatan serta keberkahan sehingga berbagai kesulitan dapat penulis lalui dengan perasaan bahagia dan penuh syukur.

Selawat dan salam senantiasa terlimpahbagi nabi Muhammad SAW. Beliaulah Sang Pembawa misi kebenaran sepanjang zaman dan semoga dengan kasihnya kita dapat menjadi umatnya yang selalu dalam naungannya.

Selanjutnya, Penulis mempersembahkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini:

1. DR. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Dr. Suparto, M.Ed, Ph.D Wakil Dekan I Bidang Akademik, Drs. Jumroni, M.Si selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum dan Drs. Wahidin Saputra MA selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

2. Rubiyanah, MA selaku ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Ade Rina Farida, M.Si selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta Dr Rulli Nasrullah yang telah bersedia memberikan ilmu serta nasehat kepada penulis.

3. Terima kasih kepada Dosen Pembimbing Skripsi Bapak Hudri yang dengan sabar mengajari dan dan meluangkan waktunya untuk penulis. Semoga selalu diberikan limpahan karunia dan nikmat serta senantiasa mendapat perlindungan dari Allah SWT.


(7)

iii

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas ilmu dan dedikasi yang diberikan kepada penulis.

5. Terima kasih kepada Erik Prasetya yang telah bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini serta menjadi guru sekaligus inspirasi penulis saat memotret .

6. Secara khusus kepada Orang tua tercinta, Bapak dan Ibu (Amat Saefudin dan Maryani) serta sesepuh Mbah Kodim, Mbah Putri, Engkong H. Idup memberikan doa, kasih sayang, materi, dan semangat kepada penulis.

7. Untuk adik ku satu-satunya, Septi Dwi Ratu Nirwana yang selalu sabar dengan kejahilan penulis sehingga mampu memberikan semangat baru dalam kehidupan sehari hari.

8. Kepada semua teman-teman Jurnalistik 2007, Iman, Alan, Era, Topik, Dodo, Ibenk, Miral, Munir, Rezza, Fajar, Anay, Ajat, Helmi, Kiki, Cahya, Dita, Zeto, Ririn, Zabrina, Zahra, Mawa, Yanti, Sintia, Lola, Nunu, Nana, Nia, Aul, dan Ika., Zenal, Aiboy, Nadia dan Jhon. Tidak lupa Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik dari seluruh angkatan semoga jalinan tali silahturahmi kita akan terus abadi .

9. Untuk Kawan kawan Komunitas Djuanda Mufti Al-umam, Ray Sanggah Kusuma, Renal Rinoza, Farabi Ferdiansyah, Imam, Eni Wibowo, Jayu, Choril Codri, Enzen, Anggi kalian kalian telah memberi warna yang berbeda dalam kehidupan penulis.


(8)

iv

Fernando Rendi, Risang, Mas Tirto, Denis, serta kawan kawan angkatan 5 yang telah memberikan ilmu fotografinya.

11.Terima kasih kepada seluruh rekan rekan jurnalis foto dari Pewarta Foto Indonesia khususnya rekan pekerja media Tempo, Kantor Berita Antara, dan Jawa Pos Group yang saya tidak bisa sebutkan satu persatu, mereka banyak memberikan saya kesempatan menimba pengalaman selama ini.


(9)

v

HALAMAN JUDUL

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan PerumusanMasalah... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metodologi Penelitian ... 7

1. Pengumpulan Data ... 7

2. Pengelolahan Data ... 8

3. Menganalisa Data ... 8

E. SistematikaPenulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Fotografi ... 11

B. Pengertian Estetika Banal ... 14

1. Pengertian Estetika ... 14

2. Pengertian Banal ... 19

3. Metode Kerja Estetika Banal ... 20

C. Semiotika Visual ... 23

1. PengertianSemiotika ... 23

2. Konsep Semiotika Roland Barthes... 28

3. Analsisis visual dari semiotika Sosial Theo Van Leeuwen 34 BAB III GAMBARAN UMUM BUKU JAKARTA ESETIKA BANAL A. Profil Erik Prasetya ... 37


(10)

vi

1. Tahap Denotasi... 48

2. Tahap Konotasi ... 51

3. Mitos ... 52

B. Analisis Data Foto 2 ... 52

1. Tahap Denotasi... 52

2. Tahap Konotasi ... 53

3. Mitos ... 55

C. Analisis Data Foto 3 ... 56

1. Tahap Denotasi... 56

2. Tahap Konotasi ... 57

3. Mitos ... 58

D. Analisis Data Foto 4 ... 59

1. Tahap Denotasi... 59

2. Tahap Konotasi ... 60

3. Mitos ... 61

E. Analisis Data Foto 5 ... 61

1. Tahap Denotasi... 62

2. Tahap Konotasi ... 62

3. Mitos ... 64

F. Analisis Data Foto 6 ... 64

1. Tahap Denotasi... 65

2. Tahap Konotasi ... 65

3. Mitos ... 67

G. Analisis Data Foto 7 ... 68

1. Tahap Denotasi... 68

2. Tahap Konotasi ... 68

3. Mitos ... 70

H. Analisis Data Foto 8 ... 71

1. Tahap Denotasi... 71

2. Tahap Konotasi ... 72


(11)

vii

2. Tahap Konotasi ... 75

3. Mitos ... 76

J. Analisis Data Foto 10 ... 77

1. Tahap Denotasi... 77

2. Tahap Konotasi ... 78

3. Mitos ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

1. Data Foto 4.1 ... 47

2. Data Foto 4.2 ... 52

3. Data Foto 4.3 ... 56

4. Data Foto 4.4 ... 59

5. Data Foto 4.5 ... 61

6. Data Foto 4.6 ... 64

7. Data Foto 4.7 ... 68

8. Data Foto 4.8 ... 71

9. Data Foto 4.9 ... 74


(13)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gambar yang dibuat pada permukaan cadas muncul mendahului bahasa tulisan dan merupakan bahasa rupa tertentu, dan yang menarik lagi adalah bahwa gambar cadas tersebut merupakan sebuah media komunikasi untuk menyampaikan pesan tertentu bukan karya seni murni yang bertujuan estetika.1

Fotografi bertindak sebagai dokumen sosial dengan meletakkannya sebagai dokumentasi berarti foto memiliki isi dan pesan mengenai informasi-informasi yang bisa dijadikan dokumen. Kalau foto itu merekam orang, barang dan situasi maka ia bisa dianggap sebagai dokumen sosial dan sebagainya.

Foto sebagai dokumen sosial sering dikaitkan dengan terminologi fotografi dokumenter, foto jurnalistik dan fotografi jalanan (street photography) yang pengertiannya sering tumpang tindih. Menurut Wikipedia, fotografi dokumenter biasanya mengacu pada bentuk populer fotografi yang digunakan untuk mencatat peristiwa penting dan bersejarah. Hal ini biasanya tercakup dalam foto jurnalistik profesional, atau reportase kehidupan nyata, tetapi juga dapat menjadi amatir,

1

Primadi Tabrani, “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat (ed.)

Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok: Lembaga Penelitian UI, 1999, hlm.230


(14)

artistik, atau akademik. Fotografer mencoba untuk menghasilkan fotografi jujur, obyektif, dan biasanya jujur terhadap topik tertentu, paling sering gambar orang.2

Namun kita dapat melihat perbedaan antara fotografi dokumenter dan foto jurnalistik, Wikipedia menuliskan, bahwa fotografi dokumenter pada umumnya berkaitan dengan proyek-proyek jangka panjang dengan alur cerita yang lebih kompleks, sementara foto jurnalistik lebih menyiarkan berita (breaking news).

Kedua pendekatan sering tumpang tindih. 3

Sedangkan fotografi jalanan (street photography) adalah genre non-formal fotografi yang menampilkan subyek dalam situasi candid di tempat umum seperti jalan, taman, pantai, mall, konvensi partai politik dan latar yang terkaitnya. Fotografi jalanan dan fotografi dokumenter adalah dua genre fotografi yang sangat mirip yang sering tumpang tindih sementara memiliki kualitas individu yang berbeda.

Fotografi jalanan memiliki kemampuan untuk mendokumentasikan sementara fotografi dokumenter memiliki niat yang pasti dari sejarah perekaman. Fotografi dokumenter bisa berterus terang, tapi fotografi jalanan didefinisikan oleh kejujurannya. Fotografi jalanan menghasilkan hiburan yang ironis sementara fotografi dokumenter menyediakan intensitas emosional. Bahasa fotografi jalanan yang halus dan bukan sebagai yang keras dan blak-blakan seperti pada bahasa fotografi dokumenter.

2

http://en.wikipedia.org/wiki/Documentary_photography, diakses 10 Maret 2013

3


(15)

Pada abad ke-19, puncak fotografi jalanan, kebanyakan fotografer adalah naif untuk menyajikan fakta bahwa mereka mendokumentasika sejarah sebagai fotografer jalanan mereka tidak punya niat tertentu atau tujuan di luar produksi cetak candid. 4

Foto-foto Erik Prasetya adalah sebuah studi atas Jakarta, ia melakukannya selama 20 tahun sebagai seorang warga di dalam ruang dan peristiwa kota itu. Kemudian hadir di dalam lokasi tersebut. Ia adalah fotografer kelahiran Padang tahun 1958 yang menawarkan sebuah model pendekatan yang disebut sebagai

“Estetika Banal”. Estetika tentu saja mengandung keindahan, sedangkan banal berarti kasar, membosankan, atau menjenuhkan.5 Foto-foto Erik adalah apa yang disebut dengan praktik voyeurisme6 , dengan memaknai ruang hidup kota Jakarta dengan komplesitasnya, manusia Jakarta. Hal ini ia utarakan dalam bukunya bahwa ia tertarik pada wajah manusia dan pergerakannya di dalam kota. Ia tidak tertarik pada bangunan dan struktur yang kosong. 7

Begitupun, foto-foto Erik bagian dari fotografi jalanan yang memiliki subyektifitasannya sebagai pendekatan dalam membahasakan fotografi secara

4

http://en.wikipedia.org/wiki/Documentary_photography, diakses 10 Maret 2013

5

Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal: Dewan Kesenian Jakarta, 2011, hal 11

6

Menurut Wikipedia Voyeurisme adalah minat seksual di atau praktik memata-matai orang yang terlibat dalam perilaku yang intim, seperti membuka baju, aktivias seksual, atau tindakan yang biasanya dianggap bersifat pribadi. Karakteristik utama dari voyeurisme adalah bahwa voyeur tidak biasanya berhubungan langsung dengan subyeknya/minatnya, yang sringkali tidak menyadari sedang diamati. Voyeurisme mungkin melibatkan pembuatan sebuah foto atau video rahasia dari subyek selama kegiatan intim. Ketika kepentingan dalam subyek tertentu yang obsesif, perilaku yang apat digambarkan sebagai menguntit.

http://en.wikipedia.org/wiki/Voyeurism, diakses 10 Maret 2013. Namun dalam perkembangannya praktik voyeurisme tidak melulu soal seksualitas melainkan merambah ke hal yang lain dan apa yang dilakukan oleh Erik coba mengintip karakteristik kota Jakarta dari sudut bidikan fotonya.

7

Erik Prasetya, Jakarta: Estetika Banal. Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011.


(16)

lebih halus dan jujur serta turut membentuk wajah kota seperti foto-foto Henri Cartier-Bresson yang turut andil membentuk kota Paris. 8

Estetika banal tidak memotret drama atau peristiwa besar melainkan memotret hal-hal sehari-hari yang menjadi bagian kehidupan fotografer. Betapa sebuah kota mempunyai kekurangan pengetahuan tentang kebutuhan dan kemampuan yang nyata dari penduduknya, sehingga sebagian besar kebutuhan itu tidak terpenuhi dan sebagian besar kemampuannya tidak disertakan dalam membangun kotanya.

Buku Jakarta Estetika Banal adalah statement Erik dalam merekam dan menghayati kota Jakarta dengan keterlibatannya sebagai bagian dari warga kota Jakarta. Bagi Erik, kota Jakarta dengan penduduk melebihi 10 juta orang tersebut

berkembang menjadi “kota informal”. Sederhananya, kota informal adalah kota

yang lebih tidak terencana ketimbang terencana. Kota yang utamanya terbentuk dari sektor informal. 9

Foto-foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta Estetika Banal dimulai di awal tahun 1990-an, dimana ia memulai proyek pemotretan Jakarta. Akhir masa Orde Baru, tahun 1990-an, adalah periode ketika warga kehilangan ruang publik dan mal menjadi ruang publik pengganti bagi kelas menengah. Awal 2000-an adalah era kelas menengah yang menjadi asal sebagian besar fotografer profesional. 10

8

Saya ulas dari Wikipedia, Street Photography,

http://en.wikipedia.org/wiki/Street_photography, diakses 10 Maret 2013

9

Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta: 2011. Hlm. Tanpa Halaman.

10


(17)

Namun Erik mencoba keluar dari pendekatan eksotis romantis dalam memotret sebuah obyek. Apa yang ia hadirkan dalam proyek pemotretan Jakarta yang terhimpun dalam bukunya ini merupakan antithesis dari dominasi pendekatan yang sering digunakan oleh para jurufoto. Erik menangkap kota Jakarta dengan banalitasnya dan sesuatu yang hambar, biasa-biasa saja bahkan membosankan. Ini tak terlepas dari pandangan Erik mengenai kota Jakarta yang tidak terencana dengan baik dan semerawut.

B. Pembatasan dan perumusan masalah

Karena ruang lingkup penelitian ini sangat luas, maka batasan permasalahan yang di ambil dari penelitian ini adalah “Analisis semiotika foto pada buku Jakarta Estetika Banal karya Erik Prasetya”.

Agar pembahasan penelitian ini lebih terarah maka rumusan masalah dalam penelitian ini di rangkum melalui pertanyaan :

a. Bagaimana menganalisis Denotasi foto yang terkandung dalam perspektif semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta Estetika Banal?

b. Bagaimana menganalisis konotasi foto yang terkandung dalam perspektif semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta Estetika Banal?

c. Bagaimana menganalisis mitos foto yang terkandung dalam perspektif semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta Estetika Banal?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang di atas, maka tujuan penelitian adalah untuk :

1. Mengetahui makna Denotasi foto yang terkandung dalam perspektif semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta estetika banal. 2. Mengetahui makna konotasi foto yang terkandung dalam perspektif

semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta estetika banal. 3. Mengetahui makna Mitos foto yang terkandung dalam perspektif

semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta estetika banal.

Manfaat penelitian :

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini di harapkan mampu memberikan kontribusi pada kajian Ilmu komunikasi terlebih pada kajian ilmu jurnalistik foto khususnya di bidang fotografi, Penelitian ini juga di harapkan menjadi salah satu referensi bagi pecinta fotografi dalam menghasilkan sebuah karya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi komunikasi terlebih bagi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam kosentrasi Jurnalistik agar lebih mengetahui ilmu Fotografi Jurnalistik. Kemudian penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan pemikiran serta pengetahuan mengenai simbol simbol dan tanda tanda di balik foto.


(19)

D. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dimana hasil temuan akan dideskripsikan kemudian ditinjau kembali untuk dianalisis dari hasil pengamatan lapangan dan penelusuran pustaka. Metode deskriptif kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami masalah sosial yang didasari pada penelitian menyeluruh.

1. Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ada beberapa tahap, dengan menggunakan kualitatif, kemudian melakukan observasi yang terlibat langsung dengan objek yang diteliti melalui interview. Sampel kecil merupakan ciri yang digunakan dalam pendekataan kualitatif, karena itu pada pendekatan ini menekankan pada kualitasnya bukan jumlahnya.

2. Pengelolahan Data

Dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotika yang menggunakan tiga demensi yaitu denotasi analogon, konotasi dan mitos. Denotasi analogon adalah pesan langsung tanpa kode,pesan yang sampai pada kita tanpa penafsiran dari teks hanya dengan melihat foto secara keseluruhan.konotasi citra mengacu pada enam prosedur, yaitu Trick Effect, Pose, Pemilihan Object, Photogenia, Aestheticsm, dan Syntax.

Konotasi dan denotasi sering dijelaskan dalam istilah dan representasi atau tingkatan nama. Roland Barthes menggunakan istilah order of Signification. Tahap pertama dari order of Signification adalah denotasi sedangkan tahap keduanya adalah konotasi. Makna denotasi


(20)

merupakan penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Kemudian dari pemaknaan tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (yang kemudian dianggap sebagai penanda). Pemaknaan inilah yang kemudian menjadi konotasi.11

3. Menganalisa Data

Tahap selanjutnya adalah menganalisa data, dalam tahap ini akan dianalisis foto foto yang dijadikan sampel dalam penelitian dalam tahap ini akan menggunakan data sekunder yang didapat dari literatur dan kepustakaan.

Menggunakan Analisis Visual Theo Van Leeuwen dengan Semiotika Roland Barthes yaitu mengetahui makna denotasi, konotasi, mitos di dalam foto Jakarta Estetika Banal. Menurut Saussure ( Budiman, 1999a:107) semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda tanda di tengah masyarakat dan dengan demikian menjadi bagian dari disiplin ilmu psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana tebentuknya tanda tanda tersebut berserta kaidah kaidah yang mengaturnya.12

11

M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Konunikasi. (Yogyakarta: Gitanyali,2004, hal 56

12

Alek Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Penerbit Remaja Rosdakarya,2006,hal 12


(21)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika pemabhasan dalam penelitian ini terdiri dari 5 pokok bahasan yang meliputi :

BAB I PENDAHULUAN

Membahas memgenai bagian pendahuluan, memuat mengenai latar belakang masalah, Pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan

BAB II LANDSAN TEORI

Membahas mengenai Landasan teori, memuat mengenai pengertian fotografi, makna foto Jakarta estetika banal, analisis semoitika.

BAB III GAMBARAN UMUM BUKU JAKARTA ESTETIKA BANAL

Membahas mengenai gambaran umum buku Jakarta estetika banal, profil Erik Prasetya, profil buku, sampel foto.

BAB IV ANALISIS DATA FOTO

Membahas mengenai analisis tentang makna dan simbol simbol yang ada di dalam sebuah foto dalam buku Jakarta estetika banal dengan menggunakan semiotika Roland Barthes.


(22)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

membahas mengenai kesimpulan dari penelitian ini serta saran terutama untuk Erik Prasetya dan para pencinta fotografi agar mengiptakan karya yang lebih baik dan kreatif serta memiliki konsep.


(23)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Pengertian Fotografi

Kata fotografi berasal dari bahasa Yunani, dari kata phos artinya cahaya dan graph yang berarti menulis atau menggambar. Jadi secara harfiah, fotografi berarti menggambar dengan bantuan cahaya.1

Pada Tahun 1558 ilmuwan italia Giambasista Della Forta menyebut

kamera “camera obscura” pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap

bayangan gambar. Suatu fakta bahwa fotografi lahir sebagai upaya menyempurnkan karya seni visual dan bentuk prototif sebuah kamera yang disebut camera obscura. Meski percobaan alat rekam gambar sudah mencapai taraf yang menguntungkan dan perkembangan dari saat ke saat semakin berhasil, tetap saja belumbisa disebut proses fotografi karena media perekam gambarnya masih belum bisa membuat gambar permanen. 2

Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran, transmisi dan titik resepsi. Struktur foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks, judul, keterangan, yang selalu mengiringi foto.Dengan demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.3

1

M. Mudaris, Jurnalistik foto, (Semarang; Badan penerbitan universitas Diponegoro. 1996). Hal. 7

2

Ray Bachtiar, Ritual Fotografi, Chip foto video edisi special. H.8

3

Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h.27


(24)

Barthes mengajukan tesis di dalam bukunya Image Music Text, tentang pesan fotografi, ia mengatakan apa isi pesan fotografi? apa yang foto itu sampaikan? tentu gambar bukanlah realitas tapi setidaknya itu adalah analagon sempurna dan itu adalah persis kesempurnaan analogis ini yang ada, dengan akal sehat. Fotografi itu adalah pesan tanpa kode, dari mana proporsi merupakan konsekuensi penting yang harus segera ditarik: pesan fotografi adalah pesan yang terus menerus. 4

Fotografi umumnya dipandang sebagai suatu proses teknologi yang memungkinkan kita membekukan waktu, gerak atau peristiwa. Dengan bantuan bahan peka cahaya (film dan kertas) mengubahnya menjadi monochrome (hitam putih) ataupun berwarna (di kertas atau bahan transparan), sebuah foto pada dasarnya adalah wujud suatu moment dari suatu angka atau serangkaian gerak. 5

Penemuan di bidang fisika dan kimia yang didasari pengamatan bahwa semua benda memantulkan cahaya kembali, dan cahaya tersebut dapat direkam menjadi dasar penciptaan kamera. Penemuan tersebuat juga menciptakan cara merekam objek atau subjek secara permanen yang berada di depan lensa kamera.6

Fotografi merupakan sebuah proses membuat gambar dengan menggunakan media cahaya, metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat yang digunakan adalah kamera, dan pada prinsipnya cara kerja fotografi yakni memfokuskan cahaya dengan bantuan

4

Roland Barthes, Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977. Hlm. 17

5

Ed Zoelverdi, Mat Kodak. (Jakarta; PT .Tempoprint, 1985), h. 76.

6

Robi Irsyad, Representasi tentara Amerika Serikat dalam foto berita surat kabar nasional. Hal. 11


(25)

pembiasan sehingga mampu merekam medium penangkap cahaya yang kemudian menghasilkan bayangan identik kemudian cahaya yang memasuki medium pembiasan yang biasa disebut lensa.

Hasil karya fotografi dikerjakan dengan menggunakan kamera, yang memiliki cara kerja yang sama dengan cara kerja mata manusia, kamera memiliki lensa, dan mengambil pantulan cahaya terhadap suatu objek agar menjadi sebuah gambar, sebuah kamera dapat merekam sebuah gambar kedalam sebuah film dan hasilnya dapat diperbanyak, dan diperlihatkan kepada orang lain. Sedangkan mata, hanya dapat merekam gambar kedalam otak dan tidak bisa dilihat secara langsung kepada orang lain.

Kalau salah satu fungsi bahasa adalah representatif (fungsi menghadirkan),munculnya foto harus mendapatkan perhatian secara serius karena foto mempunyai kemampuan representatif yang sempurna.7 Foto menjadi bentuk yang lain dari informasi yang disajikan dalam bentuk kajian jurnalistik, selain sebagai pendamping berita, foto dapat sebagai daya tarik sendiri untuk dikaji dan didalami sebagai sebuah cabang dari bahasa visualyang ada dalam foto tersebut, melalui kajian semiotika dapat terungkap yang tersirat dan tersurat dalam foto tersebut, karena kelebihan fotografi terletak pada kemampuanya untuk merekam semua hal yang dilihat oleh fotografer lewat lensanya.

Fotografi menjadi sebuah perubahan dalam cara pandang manusia, kemudian fotografi bukan hanya menciptakan citraan yang begitu akurat, rinci dan obyektif dalam menangkap realitas lewat sebuah kamera, namun lebih dari pada

7


(26)

itu fotografi bagi Moholy Nagy adalah dapat menyelesaikan atau melengkapi alat optik kita, mata .8 Dan bagi Moholy Nagy, perkembangan penglihatan manusia diluar yang diberikan oleh mata demikian terhubung dengan kapasitas sosial dan biologis untuk berpartisipasi dalam representasi.9

Foto berita yang pada hakikatnya merupakan representasi sempurna atau analogon dari realitas yang sebenarnya (denotasi) ternyata sampai kepada pembaca sudah dalam bentuk konotasi.10 Demikian pula dengan sebuah bentuk atau karya seni rupa yang disentuh dengan perangkat lunak, setidaknya wajib mempunyai gagasan sekecil apapun di dalamnya.

B. Pengertian Estetika Banal 1. Pengertian Estetika

Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan.11 Erik Prasetya menerangkan pengertian estetika yang merujuk pada

definisi Oxford Advanced Learner‟s Dictionary adalah (1)concerned with beauty and art and the understanding of beautiful things; (2) made in an artistic way and beautiful to look at; (3) the aesthetic quality and ideas of something; (4) aesthetic: the branch of philosophy that studies the principles of beauty, especially in art. 12

8

Celia Lury, Prosthetic Culture Photography, Memory and Identity, London & New York: Routledge. 1998. Hlm. 163

9

Celia Lury, Prosthetic Culture Photography, Memory and Identity, London & New York: Routledge. 1998. Hlm. 164

10

St sunardi,Semiotika negative, (Buku baik.yogyakarta), h. 145

11

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.16

12

Wawancara dengan Erik Prasetya ditambah penjelasan yang utuh dari definisi Oxford Advanced Learner‟s Dictionary tentang Estetika.


(27)

Alexander Baumganten (1714-1762), seorang filsuf jerman yang pertama

memperkenalkan kata “ aisthetika” sebagai penerus pendapat Cottfried Leibniz

(1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena ia berharap dapat memberikan tekanan pada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui (the perfection of sentient knowledge).13

Bagi Baumganten, dia percaya bahwa dasar dari seni adalah “representasi sensitif” yang bukan hanya sensasi, tetapi yang berhubungan dengan perasaan. Tentu saja, untuk mengatakan bahwa estetka ada hubungannya dengan aspek sensual dari pengalaman.14

Menurut Louis Kattsof, estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan batasan rakitan (structure) dan peranan (role) dari keindahan, khususnya dalam seni.15 Estetika merupakan studi filsafat yang berdasarkan nilai apriori dari seni (Panofsky) dan sebagai studi ilmu jiwa berdasarkan gaya-gaya dalam seni (worringer).16

Herbert Read dalam bukunya The Meaning of Art merumuskan keindahan sebagai suatu kesatuan arti hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan pencerapan indrawi kita. Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai suatu yang menyenangkan bila dilhat.Kant menitikberatkan estetika kepada teori keindahan dan seni.

13

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.16

14

David E. W. Fenner, Introducing Aesthetic, Westport, CT: Praeger. 2003. Hlm. 7

15

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1, h.6

16

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1, h.7


(28)

Keindahan dalam arti yang luas, semula merupakan pengertian dari bangsa yunani, yang didalamnya tercangkup pula ide kebaikan. Plato misalnya menyebut tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedang Aristoteles merumuskan keindahan sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah.17

Ada dua teori mengenai keindahan, yaitu bersifat subjektif dan objektif.Keindahan yang bersifat subjektif ialah keindahan yang ada pada mata yang memandang, sedangkan keindahan objektif menempatkan keindahan pada benda yang dilihat.18

Pandangan klasik (Yunani) tentang hubungan seni dengan keindahan keduanya saling mendukung, Sortais menyatakan bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan sebagai sifat objektif dari bentuk (I‟esthetique est la science du beau). Lips berpandangan bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan perasaan subjektif atau pertimbangan selera (die kunst ist die geflissenliche hervorbringung des schones).19

George Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik berhubungan dengan pencerapan dari nilai-nilai.20Nilai estesis selain terdiri dari dari nilai positif kini dianggap pula meliputi nilai negatif.Hal menunjukan nilai negatif yakni kejelakan.Kejelakan yang dimaksud merujuk pada ciri yang sangat

17

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1, h.3

18

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 10

19

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 11

20

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.14


(29)

bertentangan sepenuhnya dengan kualitas yang indah tersebut, kini keindahan dan kejelakan sebagai nilai estesis yang positif dan negatif yang pada umumnyadiartikan sebagai kemampuan dari suatu benda untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis.21

Estetika timbul tatkala pikiran filsuf mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa.Estetika bersama dengan etika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu normative di dalam filsafat.22 Pertumbuhan estetika secara garis besar dibedakan ke dalam tiga periode :

 Periode Platonius atau Dogmatis

 Periode Kritika

 Periode positif

Periode Platonis atau Dogmatis berlangsung sejak Sokrates hingga Baumgarten.Jika istilah estetika diartikan filsafat keindahan, maka sejarah estetika berarti sejarah filsafat keindahan.23

Kemudian periode kritik berangkat pada massa sesudah Baumgarten sampai wafatnya Kant (1904) dan berimbas setelah Kant. Tatkala Estetika dalam periode kritik, atau lebih tepatnya dari objektivisme kepada relativisme atau

21

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.15

22

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 16

23

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.48


(30)

mengarah ke subjektifitas, maka mengalami perkembangan yang membawa keluar dari ontology ke bidang penyelidikan ilmujiwa.24

Periode positif mempinyai ciri yang sangat bertentangan dengan metafisika.Tacher adalah orang yang berjasa dalam merintis penggunaan eksperimen yang sistematis untuk membentuk Estetika formil yang ilmiah25.

Dalam perjalanannya estetika pada abad pertengahan merupakan abad gelap yang menghalagi kreatifitas seniman dalam berkarya seni, gereja Kristen lama bersifat memusuhi seni dan tidak mendorong refleksi filosofis terhadap hal itu. Seni mengabdi hanya untuk kepentingan gereja karena kaum gereja beranggapan bahwa seni itu hanyalah dan selalu memperjuangkan bentuk visual yang sempurna26.

Kemudian pada estetika modern David Hume berpendapat bahwa keindahan bukanlah kualitas objektif dari objek.Sebuah benda dikatakan indah bila bentuknya menyebabkan saling mempengaruhi secara harmonis, diantara imajinasi dan pengertian (pikiran).Penilaian sebjektif dalam arti ini.27

Kemudian Bennedotte Croce mengemukakan teori estetikanya dalam sebuah sistem filosofis dari idealisme.Segala sesuatu adalah ideal yang merupakan aktifitas pikiran. Dan menurut Comte estetika adalah wilayah pengetahuan

24

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.54

25

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.56

26

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 76

27

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.79


(31)

intuitif.Satu intuisi merupakan sebuah imajinasi yang berada dalam pikiran seniman.28

Diantara filsuf awal abad 20, John Dewey mungkin memiliki, perlakukan terdalam dari pengalaman estetis. Bagi Dewey, pengalaman estetika adalah pengalaman yang maksimal disatukan. Semua pengalaman ia menandaskan adalah estetika tingkat tertentu, khususnya sejauh mana mereka dipersatukan. Pengalaman-pengalaman individu yang bersatu membentuk apa yang disebut Dewey sebagai pengalaman.29

2. Pengertian Banal

Terminologi banalitas dipolulerkan oleh filsuf Hannah Arendt pada penjabaran pemikirannya tentang banalitas kejahatan yang tertulis di dalam bukunya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil yang berangkat dari fenomena kekerasan para tentara NAZI. 30

Ketika itu yang dia amati adalah Adolf Eichmann, seorang tangan kanan Hitler yang bertugas mengatur pembantaian orang-orang Yahudi, yang sedang diadili di sidang pengadilan. Ketidakberpikiran membuat suatu tindakan menjadi terasa wajar, termasuk tindakan yang mengerikan, tidak berpikir berbeda sama sekali dengan bodoh. Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh, berpikir

28

Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.79.

29

David. E.W. Fenner, Introducing Aesthetics, Westport, CT: Praeger. 2003. Hlm. 11

30

Reza A.A Wattimena, Artikel Hannah Arendt dan Banalitas Kejahatan,UNIKA Widya Mandala. Surabaya. 201, hlm.32


(32)

secara sistemik (bukan sistematis). Dan karena tak berpikir, ia seringkali tak sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu yang mengerikan.

Perbedaan ekspresi kebudayaan sering ditampilkan dalam bingkai pertentangan atau oposisi biner (binary opposition), misalnya pertentangan antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass culture). Perbedaan mempunyai nilai-nilai `luhur‟ (indah, suci, atas, serius, mulia, tinggi) dan yang mempunyai nilai-nilai `bawah‟ (rendah, banal, buruk, profan, asal jadi, instan).31

Postmodernisme pluralis mengakui kesetaraan antara tinggi dan populer, dengan menghapus metafora spasial tinggi/rendah, sehingga setiap bentuk mempunyai hak yang sama untuk hidup.32Banalitas secara harfiah menurut Kamus Webster, berarti sesuatu yang biasa dan remeh-temeh. 33

Erik Prasetya menjelaskan pengertian banal yang dirujuk dari defenisi

Oxford Advanced Learner’s Dictionary adalah Very Ordinary and Containing Nothing that is Interesting or Important, sesuatu yang biasa-biasa saja tidak mengandung sesuatu yang menarik dan penting.34

3. Metode Kerja Estetika Banal

Dalam proses kerja estetika banal Erik Prasetya memilih pola kerja dan materi untuk menyatakan ekspresinya dengan memiliki warna teorits dan praktis dengan memilih kamera analog karena ingin mengandirkan kembali apa yang

31

Yasraf Amir Piliang, Makalah Sastra dan Estetika Massa pada diskusi gerakan cakrawala, Bandung . 2008.

32

Yasraf Amir Piliang, Makalah Sastra dan Estetika Massa pada diskusi gerakan cakrawala, Bandung . 2008.

33

Iding R. Hasan, Artikel Pencalonan Artis dan Banalitas Politik, 2010.

34


(33)

telah direkam dalam pemikirannya. Bagi Erik Prasetya estetika banal tidak memotret drama atau persitiwa besar, melainkan memotret hal sehari-hari yang menjadi bagian hidup fotografer.35Ia pun berbeda dengan kebayakan fotografer yang lain karena ia selalu mendahulukan adegan dan membiarkan pencahayaan seadanya. Ini menyebabkan karya-karya iatidak mempunyai dimensi kedalaman ruang yang membangun kenikmatan dalam memandang gambar karena kekayaan komposisi dan detail.

Pilihan Erik Prasetya pada kamera film berjenis korel (bulir) yang halus karena saat dipaksakan push processing ia tidak membentuk bulir-bulir yang halus melainkan yang jarang dan kasar, sementara ia banyak memaksa kemampuan rekam cahaya film untuk berkerja diluar batas kemampuan. Ini mungkin saja bukan pilihan awal saat memulai kerja tetapi akhirnya mengacu pada hasil akhir yang ia rasakan sebagai maksimal.

Erik tidak menanti pencahayaan yang ideal, ia memilih waktu atau lebih tepatnya moment saat pertemuan ekspresi oleh komposisi yang tepat, menjadikan satu gambar yang memiliki impresi yang maksimal. Mungkin ini dapat dikatakan sebagai antithesis bagi mereka yang mengacu pada estetika, sehingga Erik meskipun sama-sama merekam kota tetapi boleh dikatakan bersebrangan, bahkan berdiri berhadapan dengan jurufoto kota Jerman, Peter Bialobrzeski, yang menanti suasana tepat untuk diabadikan serta cenderung meniadakan manusia (sebagai makhluk teraliensi di kota). Erik menangkap dinamika dan wajah

manusia dan kota “sebenarnya”.

35


(34)

Begitu juga banalitas Erik justru menghadirkan suasana pencahayaan yang rill di kota Jakarta. Saat melihat karya-karya Erik tidak memliki pencahayaan yang klasik tadi, ia seperti apa yang dirasakan sehari-hari, cenderung datar dan monoton, sedang dinamika yang ada datang dari wajah, ekspresi, tindak laku manusia atau pun suasana yang ada.

Menggunakan film dengan kontras rendah, pendekatan tersebut spontan sebagai estetika yang menjadi anutan dan menjadikan karya-karyanya menjadi beda karena ia mampu menghadirkan kenyataan kehidupan besar di kota besar seperti apa adanya, dan bila ada yang surreal, itu hanya pilihan hitam putih saja , kemudian saat ia berkerja memotret Jakarta estetika banal ia tidak pernah menggunakan lensa tele (panjang), ia bekerja dengan lensa normal serta semi lebar karena distorsi sudut pandang mata tidak banyak mengalami perubahan, hanya saja sesekali ia mengubah sudut pandang.

Dalam estetika banal hubungan fotografer dengan yang dipotret lebih dialogis ketimbang subyek obyek. Mencari pola sintagmatik untuk menggambarkan paradigmatik. Peristiwa banal yang paradigmatik dan sintagmatik ini yang kita cari estetikanya agar bisa menggambarkan peristiwa yang banal. Dalam fotografi estetika banal apa yang bisa kita ulik yang bisa kita mainkan agar elemen-elemen bisa menciptakan sebuah yang paradigmatik. 36

36


(35)

C.Semiotika Visual

1. Pengertian Semiotika

Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di eropa sedangkan semiotika lazim dipakai oleh ilmuan Amerika. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.37

Semiologi adalah ilmu umum tentang tanda, dalam definisi Saussure, semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tenmgah masyarakat dan dengan demikian menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah kaidah yang mengaturnya. Para ahli semiotika prancis tetap mempertahankan istilah semiologi saussurean ini bagi bidang kajiannya. Dengan cara itu mereka ingin menegaskan perbedaan antara karya-karya mereka dengan karya-karya semiotik yang kini menonjol di Eropa Timur, Italia, dan Amerika Serikat.38

Semiotika adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda tanda, lambang lambang, sistem dan prosesnya.39 Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang

37

Alex sobur. Semiotika Komunikasi (Bandung ; Remaja Rosdakarya, 2006). h 15

38

Kris bidiman, Kosa Semiotika (Yogyakarta : LKIS. 1999) h. 107

39

Puji santosa.Ancangan Semiotika dan Pengkaajian Susastra, ( Bandung ; Angkasa. 1931). h.3


(36)

memiliki unit dasar yang disebut dengan “tanda”. Dengan demikian, semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda.40

Ferdinand de Saussure dalam bukunya Course in General Linguistics,

mengatakan bahwa semiologi, berasal dari bahasa Yunani semeion, yang akan menyelidiki sifat tanda-tanda dan hukum yang mengatur mereka. Karena belum ada kita tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa itu akan ada. Linguistik hanyalah salah satu cabang dari ilmu pengetahuan umum. Hukum semiologi akan menemukan hukum yang berlaku dalam linguistik, dan linguistik dengan demikian akan ditugaskan ke tempat yang jelas di bidang pengetahuan manusia. 41

Studi sistematis tentang tanda-tanda dikenal sebagai semiologi, arti harfiahnya adalah kata-kata mengenai tanda-tanda .Kata semi dalam semiologi berasal dari semeion (bahasa Latin), yang artinya tanda. Semiologi telah dikembangkan untuk menganalisis tanda tanda.42

Untuk menyederhanakannya kemudian Umberto Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics menjelaskan dan mempertimbangkan, bahwa semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai tanda-tanda. Suatu tanda adalah segala sesuatu yang dapat dimaknai tanda tanda. Suatu tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai penggantian yang signifikan untuk sesuatu lainnya. Segala sesuatu ini tidak terlalu dan mengharuskan perihal adanya atau mengaktualsasi perihal dimana dan kapan suatu tanda memaknainya.Jadi, semiotika ada semua kerangka (prinsip), semua disiplin studi, termasuk dapat pula

40

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing , (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet 6.hal. 87

41

Daniel Chandler, Semiotics The Basics, Second Edition. Routledge.2002, 2007. Hlm. 3

42

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet 1. h.4


(37)

digunakan untuk menipu bila segala sesuatu tidak dapat dipakai untuk menceritakan (mengatakan) segala sesuatu.43

Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai kebohongan, dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda yang digunakan dalam konteks sosial.44

Semiotika berkembang sejak awal abad ke 20. Memang pada awal abad 18 dan ke 19 banyak ahli teks (khususnya Jerman) berusaha mengurai berbagai masalah yang berkaiatan dengan tanda, namun mereka tidak menggunakan pengertian semiotika.45

Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure didalam Course in General Lingustics. Sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.46 Sedangkan Semiotika menurut Roland barthes adalah ilmu mengenai bentuk (form). Studi ini mengkaji signifikasi yang terpisah dari sisinya (content). Semiiotika tidak hnaya meneliti mengenai signifier dan signified, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka. Tanda yang berhubungan secra keseluruhan.47

43

Atrhur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet 1. H.4

44

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing , (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet .6, h. 87

45

Tommy Cristomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), cet. 1, h.81

46

Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotik; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003),h.256

47

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing , (bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet 6.h al.123


(38)

Kemudian menurut Premiger, Semiotka adalah ilmu tentang tanda-tanda.Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari system-sistem,aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.48

Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat.Latar Belakang keilmuan Saussure adalah linguistik sedangkan Pierce filsafat.Saussure menyebut ilmu yang dikembangkan semiologi (semiology).49

Ada dua pendekatan penting atas tanda tanda. Pertama pendekatan yang didasarkan pada pandangan Saussure yang mengatakan bahwa tanda disusun oleh dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan suatu konsep tempat citra-bunyi itu disandarkan. 50

Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer

(bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Pendekatan kedua yang penting untuk memahami tanda-tanda, yakni suatu sistem analisis tanda yang dikembangkan oleh filsuf Charles Sanders Pierce pemikir Amerika. Pierce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang

48

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing , (bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet 6.h al. 96

49

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet.2, h.11

50

Atrhur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet. 1. h.13-14


(39)

menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan kausal dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan kausalnya, dan symbol untuk asosiasi konvensionalnya. 51

Menurut Saussure, bahasa merupakan sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah idea atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna.52 Sebuah tanda linguistik bukanlah hubungan antara hal dan nama, tetapi antara konsep signified dan pola suara signifier. Pola suara tidaklah benar benar suara, karena suara adalah sesuatu yang bersifat fisik. Pola suara adalah impresi psikologis dari si pendengar suara, seperti yang diberikan kepadanya oleh bukti indranya. Pola suara hanya dapat disebut sebagai unsur

„materi‟ dalam representasi impresi sensorik kita sehingga pola suara dapat dibedakan dari unsurlain yang terkait dengan itu dalam sebuah tanda linguistik. Elemen lain ini pada umumnya dari jenis yang lebih abstrak konsep. 53

Berbeda dengan Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat saran tanda.54 Pierce dikenal melalui pemikirannya mengenai teori segitiga makna-nya (triangle meaning). Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat dari tiga elemen utama yang terdiri dari: Tanda (sign), Acuan Tanda (Object), Pengguna Tanda (Interpretant). Menurut Pierce, salah satu bentuk tanda adalah kata, sedangkan objeknya adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara

51

Atrhur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet. 1. h. 16-17

52

Alex Sobur, Semiotika komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),cet 2, h.46

53

Daniel Chandler, Semiotics The Basics, Second Edition. Routledge.2002, 2007. Hlm.14

54

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet.2, h.16


(40)

interpretant adalah tanda yang ada di benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Apabila elemen-elemen tersebut berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.55

Peirce dan Saussure secara luas dianggap sebagai pendiri yang sekarang lebih umum dikenal sebagai semiotika.Mereka mendirikan dua tradisi teoritis utama.Istilah Saussure 'semiologi' kadang-kadang digunakan untuk merujuk pada tradisi Saussurean sementara istilah 'semiotika' kadang-kadang mengacu pada tradisi Peircean.Namun, saat ini istilah 'semiotika' secara luas digunakan sebagai istilah umum untuk merangkul seluruh bidang (Noth 1990, 14).56

2. Konsep Semiotika Roland Barthes

Tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama, yaitu : Charles Sanders Pierce yang mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure yang mewakili tradisi eropa, keduanya tidak pernah pernah sama sekali dan berangkat dari disiplin ilmu yang berbeda, Pierce adalah seorang guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik57

Menurut Geogre Mounin, Saussure yang menjadi tokoh karena dalam

bukunya “ Cours de Linguistique Generale”, telah mendefinisikan secara garis

55

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing , (bandung : R,emaja Rosdakarya, 2006) cet 6, h. 115

56

Daniel Chandler, Semiotics The Basics, Second Edition. Routledge.2002, 2007. Hlm. 3-4

57

Aart Van Zoest, Interprestasi dan semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida Sundari Husein dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, (Ed) Serba-Serbi Semiotika, (Jakarta : Gramedia, 1991), h. 1


(41)

besar ilmu umum tentang semua sistem tanda (atau tentang semua system simbol), system sistem itu bisa membuat manusia bisa berkomunikasi diantara mereka.58

Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Prosten di Cherbourg dan dibesar di Bayone, kota kecil dekat pantai Atlantik disebelah Barat Daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah satu pemikir strukturalis yang rajin mempraktikkan model linguistik semiologi Saussure.59

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang rajin memperaktekan model linguistik dan semiologi Saussurean.Ia juga intelektual dan kritikus sasrta prancis yang ternama, eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra.60 Tetapi Barthes telah mengembangkan pendekatan struktural untuk membaca sebuah fenomena gambar dan mengandung tahapan-tahapan dan pendekatan lain yang dapat kita digunakan untuk membedah penandaan dalam karya fotografi.

Bagi Roland Barthes perspektif semiologi adalah semua sistem tanda, entah apapun substansinya serta batasannya (limit) :gambar, gerak tubuh, bunyi, melodis, benda-benda, dan berbagai kompleks yang tersusun oleh substansi yang merupakan system signifikasi (pertandaan), kalau bukan merupakan „bahasa‟ (languge).61

Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang

58

Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta ; Jalasutra, 2010), cet. 1, h.2

59

Alex Sobur, Semiotika komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),cet 2, h.63

60

Alex sobur. Semiotika komunikasi (Bandung ; Remaja Rosdakarya, 2006). h. 42

61

Jeane Martinet , Semiologi : Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta; Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 3


(42)

sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda situasinya. Roland Barthes

meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan istilah “order of signification”. 62

Pada awalnya Barthes membatasi medan riset semiologi dengan sistem-sistem tanda, tetapi melihat sistem-sistem-sistem-sistem tersebut dengan cara yang berbeda. Bagi Barthes sistem itu dicirikan oleh fakta bahwa sistem tersebut memiliki signifikasi atau beberapa signifikasi; tetapi kita bias mempertanyakan apakah pendapat tersebut tidak membuat kita juga mengurusi sistem-sistem yang ada didalamnya perkara yang sudah didefinisikan hanyalah pelbagai kumpulan yang berisi fakta-fakta signifikatif.63

a. Makna Denotasi

Two orders of signification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan pertandaan) Barthes berpendapat terdiri dari first order of signification yaitu denotasi dan second order of significationyaitu konotasi, tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut dengan denotasi.64

Denotasi adalah tingkat yang pertandaan yang menjelaskan hubungan antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti.Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang

62

Rahmat Kriyantono, Teknik praktis Riset komunikasi,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006),cet. 6, h.268

63

Jeane Martinet , Semiologi : Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 5

64

M. Antonius birowo, Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta :Gitanyali, 2004), h. 56


(43)

menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroprasi makna yang bersifat implicit dan tersenbunyi.65

Biasanya makna denotasi itu bersifat langsung, maksudnya makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda yang bersifat objektif, dikatakan objektif karena makna denotasi ini bersifat umum.

Denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan.Maknanya disebut denotatif. Maka denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, mkana referensial, makna konseptual, atau makna ideasional

b. Makna Konotasi

Menurut Barthes, konotasi fotografi memiliki prosedur yang baginya konotasi, pengenaan makna kedua pada pesan fotografi yang tepat.66terjadi pada beberapa tahap berbeda yang merupakan bagian dari proses panjang produksi foto (pemilahan, tindakan teknis, framing, lay-out) dan memperlihatkan, pada akhirnya, suatu proses pengkodean (coding) analog fotografis. 67 Dengan demikian memungkinkan untuk memisahkan berbagai prosedur konotasi mengingat bagaimanapun prosedur ini tidak ada sama sekali unit penandaan seperti analisis berikutnya dari jenis semantik yang mungkin suatu hari berhasil

65

Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia), cet. 1, h. 94

66

Roland Barthes, Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977. Hlm. 20

67

Roland Barthes: Imaji, Musik, Teks, (Terj.) oleh Agutinus Hartono (Yogyakarta : Jalasutra, 2010), cet.1 , h. 6.


(44)

mendefinisikan, mereka tidak benar-benar berbicara bagian dari struktur fotografi. 68

Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya.Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, makna konotasi bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran nilai dari makna umum (denotatif), karena sudah ada penambahan rasa dan nilai.

Menurut Barthes prosedur-prosedur konotasi tersebut khususnya menyangkut fotografi antara lain meliputi :69

1. Trick effect, misalnya dengan memadukan dua gambar sekaligus secara artificial.

2. Pose, misalnya dengan mengatur arah pandangan mata atau duduk dari seorang subjek

3. Objek, misalnya dengan menyeleksi dan menata objek-objek tertentu. Kepentingan khusus harus diberikan kepada apa yang biasa disebut benda berpose, di mana makna berasal dari yang difoto.

4. Fotogenia, misalnya dengan cara mengatur eksposur, pencahayaan (lighting), manipulasi teknik cetak dan sebagainya. Di photogenia pesan dikonotasikan adalah gambar itu sendiri, 'menghiasi' (yang berarti secara umum disublimasikan) dengan teknik pencahayaan, paparan dan pencetakan

68

Roland Barthes, Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977. Hlm.20

69


(45)

5. Aestethicism (estetika) yaitu dalam hal ini berkaitan dengan pengkomposisian gambar secara keseluruhan sehingga menimbulkan makna-makna tertentu.

6. Syntax (sintaksis) hadir dalam rangkaian foto yang ditampilkan dalam satu judul, di mana makna tidak muncul dari bagian-bagian yang lepas antara satu dengan yang lain tetapi pada keseluruhan rangkaian dari foto terutama yang terkait dengan judul. sintaksis tidak harus dibangun dengan lebih dari satu foto, dalam satu foto pun bisa dibangun sintaks dan ini, biasanya, dibantu dengan caption.

c. Membaca Mitos

Mitos dalam pandangan Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.70

Mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu; signifier, signifield dan sign. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga unsur tersebut yaitu form, concept dan signification.71 Form atau penanda merupakan subjek, concept atau petanda adalah objek dan signification atau tanda merupakan hasil perpaduan keduanya.

Menurut Fiske, mitos (mytos) menjelaskan beberapa aspek realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang mempunyai suatu dominisi. Menurut Susilo, mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideology

70

Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia), cet. 1, h. 94.

71


(46)

berwujud. Menurut Van Zoest, ideology adalah sesuatu yang abstrak. Ideologi harus dapat diceritakan, cerita itulah yang dinamakan mitos (myth).72

3. Analsisis visual dari semiotika Sosial Theo Van Leeuwen

Pemikiran analsis visual dari semiotika sosial Theo Van Leeuwen sangat mengapresiasi semiotika Roland Barthes dan dekonstruksi Derrida. Karena ciri dan cara kerja semiotika social Theo Van Leeuwen cenderung berada didalam paradigma dekonstruksionisme, semiotika yang digunakan meletakkan tanda dalam kemungkinan maknanya yang dapat jadi bertingkat dan menganggap konteks sosial sebagai ruang yang memiliki pengaruh pada level tekstual tanda.

Semiotika sosial Leeuwen hadir, tidak saja mengambil pembendaharaan konsep Barthes yang sudah keluar dari strukturalisnya, namun juga menambahkannya dengan item pemikiran lainnya yang dianggap relevan untuk pengkajian tekstual. Lebih dalam lagi, kemudian social semiotic kreasi Leeuwen lahir sebagai pendekatan yang melihat semiotikus tidak sekedar dalam perannya serupa pecinta tanda, yang mengintervensasi dan menganilisis apapun, dengan menempatkan sumber-sumber lahirnya tanda dalam kepadatan makna yang siap dianalisis. Makna adalah sesuatu yang dihayati, berada dalam ruang internal manusia yang melakoni dan bergumul dengan tanda-tanda, hingga makna apapun yang dapat dianggap padu pada tanda bisa jadi palsu.73

72

Media Indonesia, Bedah Buku : Belajar Membedah Miots ( Mitologi Karya Roland Barthes), minggu, 25 Maret 2007.

73


(47)

Leeuwen mengembangkan semiotika sosial, dengan menekankan pada empat dimensi utama, yaitu :

a. Discourse merupakan bagian semiotika sosial yang memfokuskan bagaimana sumber-sumber semantik digunakan untuk membangun representasi dan kehadiran.

b. Genre, berhubungan dengan penggunaan sumber semiotik untuk menetapkan interaksi komunikatif yang berhubungan dengan representasi baik dalam percakapan ataupun unsur komunikasi lain yang memisahkan waktu dan jarak.

c. Style, bersangkut paut dan berhubungan secara langsung dengan gaya hidup individu yang dipertontonkan dalam aktifitas komunikasi, yang secara tersirat ataupun tersurat, menyatakan identitas dan nilai-nilai yang dianutnya.

d. modality, bagian yang mempelajari penggunaan-penggunaan semiotik untuk menciptakan atau mengkomunikasikan kebenaran atau nialai-nilai realitas dari representasi-representasi mereka, baik itu sebagai fakta atau fiksi, membuktikan kebenaran atau dugaan, dan sebagainya.74

Theo Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi dan memneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dam suatu wacana. Bagaimana suatu kelompok dominan

74

Definisi empat jenis semiotika tersebut, diambil dari rangkuman bacaan penulis pada buku Leeweun, T.2005. Op. cit., halaman 93-160.


(48)

memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus menerus sebagai objek pemaknaan, dan digambarkan secara buruk.

Pengungkapan makna dalam bahasa visual lebih dijelaskan Theo van Leeuwen sebagai deskripsi tentang struktur komposisi utama dalam membangun makna visual, di mana mereka memperlakukan bentuk-bentuk komunikasi visual sama seperti bentuk-bentuk linguistik. Komunikasi dalam realitas media kontemporer mendorong pentingnya memahami komunikasi visual agar kita dapat mempelajari apa yang sedang dikomunikasikan oleh sebuah objek visual dan desain visualnya.

Bahasa dan komunikasi visual keduanya dapat digunakan untuk mewujudkan sistem dasar yang sama dari makna yang membentuk budaya, tetapi setiap melakukannya melalui bentuk-bentuk yang spesifik, melakukannya secara berbeda, dan mandiri. Bahasa dan komunikasi visual mengekspresikan makna yang dimiliki dan diatur oleh budaya dalam satu masyarakat, proses semiotik, meskipun-bukan berarti semiotik sangat mirip dan ini menghasilkan tingkat kesesuaian yang cukup antara keduanya.


(49)

37

A. Profil Erik Prasetya

Erik Prasetya Lahir di Padang 15 Februari 1958, ia adalah seorang nasrani yang taat. Pengenalannya dengan dunia fotografi bermula sejak masa kecil , saat ia diminta membuat foto keluarga olehnya ayahnya, kemudian ibunya memberikan segala fasilitas untuk membuat foto dengan baik. Ayahnya seorang militer yang membuat erik menjadi seseorang yang disiplin dalam pribadinya.

Masa kecil Erik selalu berpindah pindah tempat ketika berumur sekitar 17 tahun, ia pindah ke Bandung untuk kuliah, saat menjadi mahasiswa Jurusan Tambang Institut Teknologi Bandung tepatnya tahun1977, ia aktif dalam gerakan mahasiswa dan sempat menjadi Ketua Badan Perwakilan Anggota, sejenis badan legistalif namun kegiatan tersebut tidak berlangsung lama dan erik beralih kegiatan ke olah raga panjat tebing sambil mengembangkan hobi fotografi, dengan latar belakang inilah kemudian erik menjadi kontributor khusus petualangan di majalah Mutira, yang menyebabkan ia bertemu dengan para ahli fotografi. Pertemuan dan penugasan dari jurufoto senior Ed Zoelverdi membuat ia berkembang lebih jauh dan pada 1990 ia menekuni esai foto, terutama untuk rubrik “kamera” majalah Tempo.


(1)

dilakukan Alex Webb atau Bruce Gilden misalnya. Dari hal teknis foto saja akan berbeda, karena pada negara-negara yang mempunyai empat musim sinar mataharinya sangat bagus. Mereka punya golden hour yang lebih panjang, yang bisa menghasilkan bayangan-bayangan panjang yang indah.” “Dari sisi kondisi kotanya juga akan membawa perbedaan. Contohnya Singapura, yang walaupun letaknya secara geografis sama dengan kita – beriklim tropis – tetapi mereka punya keteraturan garis-garis bangunan dan infrastruktur yang indah. Dari situ timbul pertanyaan: pendekatan street photography bagaimana yang seharusnya dilakukan di Jakarta? Bagi saya, satu pendekatan yang bisa dipakai di Jakarta, yaitu pendekatan „banal estetik‟.”

Penulis: “Apakah street photography bisa diapresiasi seperti aliran fotografi lainnya di Indonesia?”

Erik Prasetya: “Di Indonesia ada tiga aliran foto yang paling berkembang: yang pertama jurnalistik, karena kebutuhan akan berita; yang kedua adalah fotografi komersial, karena ini yang paling menghasilkan uang; sedangkan yang ketiga adalah salon fotografi. Aliran-aliran lain memang agak kurang, misalnya dokumenter yang dari sejarahnya dulu sulit berkembang di jaman orde baru, apalagi street photography yang susah diapresiasi. Orang awam yang mengharapkan unsur jurnalistik tentu tidak akan mendapatkannya dari street photography. Sedangkan bagi penikmat salon, street photography tidak ada estetikanya sama sekali.” “Ini yang harus pelan-pelan kita usahakan supaya masyarakat bisa membaca foto street photography. Karena percuma juga bila kita membuat foto street photography yang bagus tetapi tidak ada orang kita yang bisa mengapresiasinya. Biasanya nanti setelah ada orang bule yang lihat dan bilang foto itu bagus baru ramai-ramai kita ikut mengapresiasinya.”

Penulis: “Apakah mungkin membawa street photography ini ke khalayak yang lebih luas? Erik Prasetya: “Menurut saya sekarang inilah saatnya, karena street photography sejalan dengan kebutuhan pemodal saat ini. Terutama di era fotografi digital ini, seperti yang saya ceritakan di awal tadi.”

Penulis : “Kenapa Anda tidak membuat website yang menampilkan karya-karya Anda? Kami berharap ada sebuah referensi yang mudah diakses tentang street photography dari generasi yang lebih senior seperti anda.”

Erik Prasetya: “Saya ini gaptek. (Internet) itu bagiannya yang lebih muda lah. Kalau saya masuk ke situ habislah energi saya. Sebagai referensi saya lebih percaya buku. Contohnya Ansel Adams yang mengeluarkan buku-buku foto landscape hitam-putih, yang seolah-olah itu menjadi suatu statement: “kalau kamu mau motret landscape hitam-putih, maka inilah patokannya. Kamu gak usah bikin seperti ini lagi, bikin yang lebih bagus. Kalau kamu tidak bisa bikin lebih baik dari ini, maka karya kamu itu jelek.” Jadi buku itu semacam suatu injakan anak tangga pertama. Sebenarnya saya sadar akan hal itu (internet), tetapi karena saya tidak mengerti teknologi, saya memilih untuk mewariskan buku.”

Penulis: “Baik, akan kami tunggu buku-bukunya. Harus diakui buku “Jakarta: Estetika Banal” memang memberi sumbangan besar untuk dokumentasi Jakarta era 90-an hingga awal


(2)

2000-an. Lalu berbicara mengenai dokumentasi foto ini, dulu memang kita banyak punya rekaman foto-foto jalanan yang tersimpan di arsip-arsip Belanda pada jaman sebelum kemerdekaan. Tetapi lalu seperti hilang setelah sekitar tahun 60-an hingga tahun 90-an (di luar foto-foto jurnalistik). Bagaimana pendapat Anda?”

Erik Prasetya: “Iya memang ada bagian yang hilang. Saya sendiri merasa di masa itu ada dampak dari masuknya film warna. Dari awal masuknya film warna di tahun 70-an hingga era fotografi digital, foto-foto berwarna masa itu tidak bagus kualitasnya. Berbeda dengan foto-foto hitam-putih. Terlebih lagi saat banyaknya bermunculannya jasa cuci-cetak film express.”

Penulis : “Kalau sekarang lebih memilih foto hitam-putih atau warna?”

Erik Prasetya: “Sekarang saya memilih warna setelah sekian tahun motret street photography dengan hitam-putih, supaya ada tantangannya. Kalau kita mengulang seusatu yang sudah kita pahami, kadang terasa bosan. Hanya saja waktu itu saat saya mau pindah kepada foto berwarna, filmnya belum ada yang bagus. Persoalan berikut, kalaupun saya dapat film yang bagus tidak ada yang bisa mencuci dengan bagus. Kalau film hitam-putih saya bisa cuci sendiri dan puas dengan kualitasnya. Saya sempat belajar cara mencuci film dengan baik pada almarhum Philip Jones Griffiths – fotografer Magnum – waktu dia datang ke Indonesia sesaat sebelum pecahnya reformasi.” “Akhirnya saya pun memilih menggunakan kamera digital untuk menghasilkan foto berwarna. Tetapi untuk menemukan kamera digital yang tepat pun saya butuh waktu yang panjang. Saya sempat mencoba suatu produk kamera digital mirrorless, tetapi harus kecewa dengan hasilnya karena tetap ada masalah shutter-lag. Setelah melihat foto-fotonya, saya merasa mendapat hasil foto satu detik tertinggal dari adegan yang saya mau. Saya sering bercanda dengan teman-teman jurnalis, bedanya street photography dengan foto jurnalistik adalah foto jurnalistik itu “telat sedetik”, sedangkan street photography “sedetik lebih dahulu” (tertawa). Memang cuma sedetik urusannya, tetapi di situ lah perbedaannya.”

Penulis : “Tetapi dengan adanya teknologi digital ini mengambil foto menjadi pekerjaan yang amat sangat gampang.”

Erik Prasetya : “Ya memang akhirnya terjadi revolusi dalam cara mengapresiasi maupun melihat foto dengan masuknya teknologi digital. Ada bagusnya, ada jeleknya. Sisi bagusnya adalah masyarakat menjadi terbiasa dengan fotografi. Di mana-mana kita bisa motret. Di jaman analog, orang yang memotret adalah orang yang punya maksud tertentu. Sekarang tidak, semua orang bisa motret di mana saja dan tidak mungkin dilarang. Dulu kan terlalu banyak larang memotret di ruang publik. Bahkan saat saya menemani Salgado di Indonesia sebagai fixer-nya di tahun 97 dulu (Erik pernah bertugas sebagai “fixer” – istilah untuk orang yang membantu fotografer, semacam asisten – untuk Sebastiao Salgado, fotografer dokumenter asal Brazil), ia sempat berkata, “Ada apa dengan negeri ini, di mana-mana kita tidak bisa memotret. Apa yang kalian sembunyikan?”. Seolah-olah Indonesia begitu tertutupnya saat itu. Berbeda dengan kondisi sekarang, orang bisa memotret menggunakan


(3)

kamera handphone di mana pun. Apalagi dengan kemudahan upload dan aplikasi-aplikasi semacam instagram.”

Penulis : “Jadi apa kesimpulan Anda tentang teknologi digital?”

Erik Prasetya: “Menurut saya, mudah-mudahan sumbangan terbesar kamera digital pada dunia fotografi ada pada street photography. Karena sampai saat ini kita belum bisa melihat sumbangan yang signifikan dari kamera digital. Semua yang bisa dilakukan oleh kamera digital saat ini sudah bisa dilakukan juga pada masa teknologi kamera analog. Kamera-kamera lain telah punya sumbangsihnya masing-masing pada dunia fotografi. Misalnya, Leica rangefinder yang memberi sumbangsih pada awal berkembangnya fotografi jurnalistik.“

Penulis: “Tiap fotografer biasanya punya pola-pola atau prosedur saat memotret di jalanan. Misalnya Trent Parke yang selalu menunggu di persimpangan-persimpangan jalan di Sidney di pagi hari, atau Daido Moriyama yang biasanya berangkat motret di sore hari, lalu masuk kedai minuman, minum, dan kemudian keluar untuk motret lagi sampai larut malam. Kalau Anda sendiri bagaimana polanya?”

Erik Prasetya : “Saya tidak punya habit tertentu. Saya berusaha mengacak habit. Saya khawatir habit itu adalah tanda-tanda ketuaan. Hahaha…. Kalau kamu sudah memilih sesuatu dan tidak mau berubah, jangan-jangan kamu sudah tua. Bahkan jalan pulang pun aku coba cari jalan yang lain. Dalam bahasa Padang – daerah asalku – ada istilah jalan “kondiak”. Kondiak itu babi hutan, yang biasanya selalu pulang lewat jalan yang sama, sehingga mudah ditemukan oleh pemburu. Nah, saya selalu menghindari jalan kondiak ini. Saya berusaha mengacak pola. Pola akan membuat kita tidak berkembang.” “Saya rasa fotografer-fotografer besar seperti Trent Parke, Daido, dan lain-lain itu justru sengaja mengecoh. Maksudnya, kita seperti melihat dia sedang mencari sesuatu, padahal sebenarnya tidak. Kadang kita seperti sudah mengenali pola mereka, tapi sebenarnya mereka sangat “eksploitif” (penuh kejutan – red). Kembali pada pengalaman saya 40 hari menemani Salgado, saya tahu persis bagaimana polanya dalam bekerja. Tetapi dalam buku Genesis-nya, ada variasi yang luar biasa; walaupun juga tetap ada suatu konsistensi kerangka atau struktur di dalamnya. Kalau kita ingin melihat “pola” yang sebenarnya dari seorang fotografer, maka lihatlah buku “the-best”nya. Dari sanalah kita bisa telusuri “pola” besarnya.” “Contohnya kemarin saya baru melihat buku “the best” dari Alex Webb – saya lupa judulnya. Dari situ kita bisa melihat pola-pola yang dia pakai dalam mengejar surealisme. Memang kalau kita melihat cara kerja fotografer-fotografer tersebut, kita seolah bisa membaca pola mereka, seperti monoton, padahal mereka punya bayangan sendiri di kepala tentang foto yang mereka inginkan.” Penulis : “Menurut Anda, bagaimana posisi street photography, foto dokumenter, dan jurnalistik?”

Erik Prasetya : “Yang saya tahu sejak tahun 70-an, praktisi dokumenter memang selalu menerapkan pendekatan jurnalistik. Dalam pandangan saya, jurnalistik, dokumenter, dan street photography, adalah tiga himpunan yang berbeda tetapi saling mempunyai irisan. Dalam jurnalistik, “tension” (tegangan) dalam foto penting sekali. Elemen-elemen dalam satu


(4)

foto jurnalistik itu saling membangun tension yang tinggi. Saya membahasakan jurnalistik sebagai “foto tegangan tinggi”. Contohnya: tangan – darah – aspal – jalur busway. Itu foto jurnalistik. Orang street photography tidak mengambil foto tersebut.” “Di sisi lain foto dokumenter berusaha bercerita dengan lebih dalam, berusaha tidak hanya melihat dari kulit luar saja. Dalam dokumenter kadang perlu membangun suatu setting. Misalnya saya ingin menggambarkan suatu kemiskinan. Saya akan meminta obyek orang miskin, misalnya seorang penjual koran, untuk berdiri di depan background gedung mewah sambil memegang koran yang judul headline-nya tentang anggaran belanja negara. Bahkan saya bisa mengarahkan ekspresi muka atau senyum sang obyek serta pencahayaannya. Dalam foto dokumenter hal tersebut sah. Dan hal-hal seperti itu lah yang menjadi kelebihan dalam fotografi dokumenter.” “Sedangkan pada street photography, bukan itu kekuatannya. Dalam street photography, candid adalah hal yang paling penting. Itu adalah kekuatan street photography yang tidak bisa terbayarkan. Kalau bisa dirumuskan secara kasar – ya pendapat saya ini masih bisa di-elaborate lagi bahkan dibantah – street photography itu mengkonsentrasikan momen-momen emosi yang pendek (candid moment) dengan bantuan estetika, simbol, kontras, dan komposisi. Itulah senjata utama street photography, ditambah dengan satu hal yang paling penting: surealisme. Surealisme di sini fungsinya menangkap hal-hal yang sulit digambarkan oleh ke-empat komponen sebelumnya itu. Misalnya absurditas. Hanya surealisme lah yang bisa menangkap absurditas.”

Penulis: “Jadi apakah praktisi street photography itu orang-orang yang absurd?”

Erik Prasetya : “Hahaha… Yang jelas hanya street photography lah yang bisa menangkap absurditas, karena surealisme adalah jawaban terhadap absurditas. Jika kita lihat sejarahnya secara luas, ide tentang absurditas itu muncul ketika orang melihat rasionalitas telah gagal. Pada Perang Dunia I dan II, orang percaya pada sesuatu yang baik dan ideal, yang bila dikerjakan akan sampai pada suatu hasil yang hebat. Tiba-tiba hal tersebut tidak terjadi. Absurd. Sia-sia semua. Bingung lah orang.” “Lalu timbul gerakan dadaisme yang menjungkirbalikkan semua hal yang tidak bisa dipercaya oleh rasio. Di situlah masuk fotografer seperti Man Ray, yang bermain-main dengan pantangan-pantangan dalam proses development film – sebagai interpretasinya terhadap penjungkirbalikan rasio. Setelah itu lahirnya surealisme, yang dimulai dengan manifesto surealisme oleh Breton. Dalam bahasanya yang paling sederhana, surealisme dapat dijelaskan kira-kira dengan sebuah analogi: mesin jahit dan payung yang berada di atas meja bedah. Hal seperti ini tidak bisa kita temui dalam realisme: tiga buah distance reality (realitas berjarak) yang berada pada satu titik. Cartier-Bresson kemudian menangkap ide-ide ini dalam fotografi, ia menunjukkan bahwa surealisme itu bisa kita temui dalam keseharian kita.” “Street photography lah yang kemudian menangkap ide-ide surealisme ini dan terus bereksplorasi. Contohnya seperti Alex Webb, dan fotografer-fotografer lainnya yang mengembangkan metode-metode baru untuk menemukan surealisme yang berbeda dengan Cartier-Bresson.” “Kenapa street photography selalu berkembang dengan surealismenya? Karena street photography adalah sebuah upaya untuk menangkap emosi. Kalau kita kumpulkan foto-foto street photography pada suatu lokasi dan masa tertentu, maka kita akan dapat menangkap emosi di tempat itu. Inilah yang


(5)

kemudian menjadikan street photography itu penting. Berbagai emosi dapat ditangkap oleh street photography dengan pendekatan candid-nya.”

Penulis : “Bagaimana pengaruh kondisi kota atau tempat tinggal kita terhadap street photography?”

Erik Prasetya : “Saya pernah presentasi foto-foto saya tentang Jakarta di depan suatu komunitas foto di Solo, lalu kemudian mereka juga mempresentasikan karya-karyanya. Saya melihat mereka benar-benar menguasai kotanya dan bisa mencarikan aplikasi yang tepat untuk street photography di sana. Dan memang dibutuhkan kemampuan untuk beradaptasi dengan kota tempat domisili kita dalam street photography. Jangan harap adegan-adegan seperti yang terdapat di jalan Sudirman Jakarta bisa ditemukan juga di Solo misalnya.” “Saya menemukan bahwa tiap jalan punya karakter dan temponya masing-masing. Tempo (atau ritme – red.) di jalan saat jam empat sore dengan jam 12 siang itu sangat berbeda; rasakan bedanya tempo orang mau makan dengan orang pulang kantor. Kita harus bisa masuk ke dalam tempo-tempo di jalanan tersebut – menyusuri jalanan, mengamati, lalu tiba-tiba akan muncullah adegan-adegan tak terduga yang sebenarnya berada tidak jauh dari kita namun selalu lepas dari pengamatan sebelumnya.”

Penulis : “Mengenai buku Estetika Banal yang rentang waktu fotonya cukup panjang, apakah dulu memang sudah ada keinginan mengumpulkan foto untuk sebuah buku, atau sebaliknya ide tentang buku tersebut baru muncul belakangan setelah terkumpul foto yang banyak?” Erik Prasetya : “Saya yakin dari awal untuk bikin buku. (Dari awal) sudah niat mengumpulkan foto dan menerbitkannya, walaupun tidak terpikirkan tentang siapa sponsornya, penerbitnya, dan lain-lain. Buku ini sebenarnya sudah mau diterbitkan sekitar tahun 2000; ada beberapa penerbit yang sudah menawarkan untuk menerbitkan. Tetapi karena satu-dua hal masalah teknis dan sebagainya, proses buku ini terpaksa mundur, walaupun itu justru keuntungan bagi saya untuk bisa mengumpulkan foto lebih banyak lagi. Hingga pada suatu ketika Dewan Kesenian Jakarta menawarkan untuk menerbitkan buku ini, yang tetap saja memakan waktu proses sekitar empat tahun. Lagi-lagi, proses yang molor tersebut menjadi kesempatan untuk menambahkan foto.”

Penulis : “Apakah kita bisa mendapatkan keuntungan dari menerbitkan buku foto bila dilihat dari sisi komersial?”

Erik Prasetya : “Ini pendapat pribadi saya – kalau kita bicara buku foto (street photography), itu berarti kita bicara suatu pencapaian di atas uang. Rugi tidak masalah, karena kita bicara kualitas. Kalau mau jualan, jangan jual buku (foto). Paling ampuh untuk jualan ya foto dokumentasi kawinan. Dalam street photography itu kita harus siap rugi: kita buang-buang film (bagi praktisi dengan kamera analog), pikiran, tenaga, hanya untuk sejumlah keuntungan material yang mungkin bisa terbayar sekali-dua kali kerja sebagai wedding photographer.” “Tapi jangan juga terlalu pesimis dalam sisi keuntungan ini. Terutama di masa sekarang, di mana banyak berkembang komunitas buku independen. Tidak perlu cari penerbit, coba terbitkan sendiri buku itu, jual lewat media sosial. Pada saat menerbitkan Estetika Banal beberapa tahun lalu, saya memang masih berpikir bahwa buku


(6)

seperti ini hanya bisa menyebar melalui jaringan toko buku besar. Sekarang dengan adanya media sosial, buku-buku ini akan bisa menyebar dengan lebih cepat dan lebih tepat pada sasaran pembacanya. Belum lagi bila memperhitungkan potongan dari toko buku, keuntungan yang diterima bila menerbitkan dan mendistribusikan sendiri tentu jauh lebih baik. Salah satu contoh buku independen yang cukup sukses menurut saya baru-baru ini adalah Encounters-nya Rony Zakaria.”

Penulis : “Bagaimana peran kurator? Apakah nama kurator berpengaruh besar dalam kesuksesan sebuah buku foto?”

Erik Prasetya : “Saya mengkurasi sendiri buku ini, bahkan lay out pun saya sendiri. Pendapat saya, kurator tidak boleh terlalu jauh berperan dalam sebuah buku. Kita boleh minta pendapat orang lain sebagai kurator, tetapi tidak ada yang lebih tahu tentang karya kita selain kita sendiri. Bayangkan berapa jam yang kita habiskan untuk karya tersebut dibandingkan waktu yang diperlukan oleh seorang kurator dalam menilai karya kita. Memang itu ada bahayanya, karena kita terlalu dekat dengan karya kita. Untuk itulah kita perlu mendengar pendapat orang lain, atau kurator, sebagai masukan. Pendapat itu harus kita diskusikan dan pertimbangkan dengan baik, tetapi bukan berarti kita harus mengikutinya.”