Sistem Kepercayaan Animisme Deskripsi Struktur Gerak Dan Musik Iringan Tari Ula-Ula Lembing Oleh Sanggar Meuligee Lindung Bulan Di Aceh Tamiang

35 Kabupaten kearah menuju Banda Aceh sebagai Ibu kota Provinsi. Disadari atau tidak keterikatan primordialisme telah mempengaruhi laju pembangunan di Aceh Timur, salah satu penyababnya karena birokrasi ditingkat Kabupaten lebih didominasi oleh orang-orang wilayah barat, sehingga Bupati Aceh Timur sejak zaman Orde Baru tidak pernah diduduki oleh orang wilayah timur Tamiang. Perubahan yang dirasakan sangat lambat ini belum mampu untuk mangankat tingkat ekonomi dari masyarakat sehingga masyarakat seperti apatis meresponsif terhadap setiap pembangunan apalagi yang bersifat Swakarya, karena kebanyakan masyarakat lebih dibebani untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, dan banyaknya janji-janji yang diucapkan oleh pemimpin tidak pernah dijalankan secara konsekwen, perubahan kebudayaan dalam arti meteri hampir tidak kelihatan. Komunikasi dan keamanan telah terakumulasi dalam bentuk ketakutan.

2.6 Sistem Kepercayaan Animisme

Pujaan disini dapat diartikan kepada segala sesuatu upaya untuk menakhlukkan atau membuat orang atau sesuatu yang mampu menerima menjadi takluk atau tertarik mendengarnya sehingga dapat menurut. Pada awal mulanya dizaman sebelum Islam masuk ke Aceh, Orang Tamiang memiliki kepercayaan animisme, yaitu kepercayaan kepada serba sukma segala roh yang mendiami tempat-tempat tertentu. Ada 4 pokok pandangan anggapan terhadap kepercayaan animisme ini yaitu: 1. Segala yang ada dala dunia ini baik manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda memiliki dan terjadi dari sejenis daya jiwa dan serupa. 2. Manusia selain mempunyai roh juga mempunyai semangat. Universitas Sumatera Utara 36 3. Roh-roh manusia yang mati mempengaruhi keadaan hidup bagi manusia yang masih hidup oleh sebab itu boleh dipuja. 4. Dewa-dewa, jin-jin dan keadaan alam gaib yang juga mempengaruhi keadaan manusia yang masih hidup wajib dipuja. Untuk memupuk dan mempertebal rasa keberanian dan keyakinan pada diri sendiri dalam suku perkauman Tamiang digunakan juga beberapa rangkaian kata yang merupakan mantra-mantra, baik merupakan hasil pujaan terhadap dewa-dewa dan jin-jin maupun yang merupakan kepercayaan belaka. Untaian kata-kata itu secara ilmu bahasa sukar untuk dapat dikatakan apakah itu berbentuk pantun, syair atau jenis lain, karena kadang kala dari suatu rangkaian itu dapat berbaur antara beberapa jenis hasil sastra lama. Hampir disetiap kegiatan masyarakat tidak terlepas dari berbagai pujaan- pujaan, seperti: turun kesawah, menanam padi, mengetam padi, mengerik padi, mendirikan rumah, perkawinan, kematian, melahirkan anak dan pemujaan- pemujaan lainnya. Arwah nenek moyang yang mereka puja, berguna untuk melindungi anak cucuk mereka dari segala bencana, dibuatlah berbagai syarat untuk menghindari kemurkaan dan amarah dari arwah-arwah nenek moyang yang dapat memberi bencana yang tidak baik tersebut. Pemujaan ini dapat dilakukan secara langsung maupun dengan perantara pawingguru yang telah dapat berhubungan langsung dengan benda roh-roh yang dipuja. Nenek moyang yang mereka puja tersebut dapat sewaktu waktu menjelma dalam berbagao rupa seperti: buaya, ular, harimau, babi, belut, ayam putih, dan lain-lain. Terhadap binatang-bianatang tertentu yang dipuja seperti Harimau atau Universitas Sumatera Utara 37 Buaya, sebagai penghormatan maka dipanggil dengan sebutan “nenek” atau “datok.” Bila pemujaan tersebut telah menyatu sebagai satu kehidupan dalam diri si pemuja, maka binatang-binatang ini dapat menjadi penjaga terhadap sesuatu yang tidak senonoh didalam kampung atau dimana sipemuja berada. Bila hal ini terjadi tanpa perlu dipanggil binatang-binatang ini akan datang sendiri untuk memporak porandakan sipelaku maksiatkejahatan tersebut.

2.7 Sistem Kesenian