Latar Belakang Deskripsi Struktur Gerak Dan Musik Iringan Tari Ula-Ula Lembing Oleh Sanggar Meuligee Lindung Bulan Di Aceh Tamiang

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aceh Tamiang merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Aceh. Kabupaten ini termasuk kabupaten termuda di Provinsi Aceh, karena kabupaten ini adalah hasil pemekaran dari kabupaten Aceh Timur yang diresmikan pada tahun 2002 yang lalu. Kabupaten ini terletak di perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara. Berada di jalur timur Sumatera yang strategis dan hanya berjarak lebih kurang 250 kilometer dari kota Medan. Masyarakat Aceh Tamiang terdiri dari beberapa suku etnik yang mendominasi kabupaten ini. Keseluruhan warga di Tamiang berjumlah 251.914 jiwa. Di antaranya: suku Melayu 60, suku Jawa 20, suku Aceh Rayeuk 15, dan suku lainnya 5. 1 Selain bahasa persatuan Indonesia, bahasa yang paling sering digunakan adalah bahasa Tamiang. Sama seperti daerah lain, Aceh Tamiang memiliki ragam kesenian yang berbeda-beda. Ada beberapa kesenian yang berasal dari kabupaten Aceh Tamiang antara lain: seni tari, seni berpantun, seni bela diri, musik, dan lain-lainnya. Seni tari yang berasal dari Aceh Tamiang antara lain adalah Tari Ula-ula Lembing, Tari Sekapur Sirih, Tari Lindung Bulan, dan tarian-tarian lainnya. Namun dari beberapa tarian tersebut hanya tari Ula-ula Lembing yang merupakan tarian asli yang berasal dari Kabupaten Aceh Tamiang, dan dipandang sebagai ikon dari kebudayaan Aceh Tamiang. 1 Sumber persentase etnik ini berasal dari Kantor Kepala Desa Karang Baru, yang penulis peroleh pada bulan Februari 2015 yang lalu. Universitas Sumatera Utara 2 Kata Tamiang berasal dari kata Da Miang yang berarti Melayu Diman, 2003:3. Kata Melayu merupakan istilah yang meluas dan agak kabur. Istilah ini merangkai suku bangsa di Nusantara yang pada zaman dahulu di kenal oleh orang orang Eropa sebagai bahasa dan suku bangsa dalam perdagangan dan perniagaan. Masyarakat Melayu adalah orang orang terkenal dan mahir dalam ilmu pelayaran dan ikut dalam aktifitas perdagangan dan pertukuran barang dan kesenian dari berbagai wilayah didunia Husein dalam Gea, 2014:2. Dalam buku yang berjudul Kebudayaan Suku Bangsa di Daerah Aceh terbitan tahun 1994 yang ditulis oleh Adnan Abdullah, dikisahkan bahwa nama Tamiang berasal dari julukan orang-orang Pasai terhadap daerah taklukannya, yaitu yang terletak di persimpangan Sungai Simpang Kanan dan Sungai Simpang Kiri. Jadi istilah ini berkait erat dengan eksistensi orang Tamiang dan hubungannya dengan kerajaan Pasai. Masyarakat Melayu di Indonesia menjangkau wilayah sepanjang pesisir timur Sumatera dari Tamiang Aceh Timur, pesisir Sumatera Utara, Provinsi Riau dan pesisir Jambi serta di Kalimantan Barat. Jumlah Melayu pesisir di Sumatera Utara di tahun 1970 kira kira 1,5 Juta orang menurut Tengku Lukman Sinar, 2012. Seeorang disebut Melayu apabila dia beragama Islam, dan berbahasa Melayu, dan beradat istiadat Melayu. Adapun adat istiadat Melayu itu adalah adat yang bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Orang Melayu. Secara kultural dan bukan keturunan geologis. Secara antropologi masyarakat Mongoloid Melayu Asia Tenggara memiliki sebuah wilayah budaya yang lazim disebut sebagai wilayah budaya Melayu Malay Culture Area. Wilayah budaya Universitas Sumatera Utara 3 ini pada masa sekarang terdiri dari pecahan pecahan Negara Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darusallam, Thailand, Vietnam, dan Filipina Tengku Lukman Sinar, 2012. Kelompok ras Melayu dapat digolongkan kepada kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami gugusan kepulauan Melayu, Polinesia, dan Madagaskar. Gathercole 1983 seorang pakar antropologi Inggris telah melihat bukti bukti arkeologi, linguistik, dan etnologi 2 yang menunjukan bahwa bangsa Melayu-Polinesia ialah golongan pelaut yang pernah menguasai kawasan perairan Pasifik dan Hindia, ia menggambarkan bahwa ras Melayu- Polinesia sebagai kelompok penjajah yang dominan pada suatu masa dahulu yang meliputi kawasan yang luas di sebelah barat hingga Madagaskar, di sebelah timur hingga kepulauan Easter, di sebelah utara hingga ke Hawaii dan di sebalah selatan ke Selandia Baru. Demikianlah luasnya bentang budaya wilayah rumpun Melayu www.melayupolinesia.com Sejarah menunjukan tentang eksistensi wilayah Tamiang seperti prasasti Sriwijaya, kemudian ada riwayat dari negeri Tiongkok karya Wee Pei Shih yang mencatat keberadaan negeri Kan Pei Chiang Tamiang, atau Tumihang dalam Kitab Nagarakretagama. 3 Daerah ini juga di kenal dengan nama Bumi Muda Sedia, sesuai dengan nama Raja Muda Sedia yang memerintah wilayah ini selama 2 Etnologi merupakan salah satu dari cabang ilmu antropologi, yang mempelajari tentang berbagai suku bangsa dan aspek kebudayaannya, serta hubungan antara suku bangsa dengan bangsa lainnya. Kata etnologi berasal dari kata etnis yang berarti suku. 3 Kitab Nagarakretagama berjudul asli Desawarnana ditulis oleh Mpu Prapanca adalah merupakan sumber sejarah terpercaya yang terpercaya, karena ditulis pada saat kerajaan Majapahit masih berdiri dibawah pemerintahan Sri Rajasanagara Hayam Wuruk Universitas Sumatera Utara 4 6 tahun 1330-1336. Aspek kultural dan sejarah ini berkait erat dengan Tari Ula- ula Lembing. Tarian ini menceritakan tentang seorang pangeran dari Kerajaan Tamiang Hilir yang memiliki kisah cinta yang ditentang orang tua mereka dan pada akhirnya sang pangeran memberanikan diri menyamar jadi seekor ular hanya untuk bertemu dengan sang putri kerajaan Tamiang Hulu. Tarian ini pun menjadi tarian yang paling sering di tampilkan di berbagai acara khusunya Kabupaten Aceh Tamiang. Dari kisah rakyat tentang tari Ula-ula Lembing seperti terurai di atas, penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian secara etnomusikologis, tentang tarian Ula-ula Lembing ini. Tarian ini meggambarkan tekad seorang pemuda dalam mengatasi semua halangan untuk menggapai cita-citanya menemui dan mendapatkan kekasih idaman hati dalam membentuk rumah tangga. Di samping itu, digambarkan pula seseorang akan membangun kehidupan baru, harus mampu menempuh halangan dan rintangan, serta mendapatkan restu dari orang tua dan masyarakat. Kesemuanya ini akan tergambar dalam gerak tari Ula- Ula Lembing. Struktur gerak Tari Ula-ula Lembing berdasarkan pengamatan awal penulis di lapangan adalah berurutan menggunakan tujuh ragam gerak sebagai berikut. 1. Gerak silat 2. Niti batang enjut-enjut kedidi 3. Tunda-tunda beting 4. Pungku-pungku pangka 5. Endap-endap bincah 6. Gerak silat rebas terbang Universitas Sumatera Utara 5 7. Salam penutup. Selain itu penari dan penyair penyanyi tarian ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1 Dua orang penyair yang menyanyikan pantun, dan 2 Sebaiknya terdiri dari 10 orang penari boleh perempuan, laki-laki atau campuran perempuan dan laki-laki. Penari berpakaian adat suku perkauman Tamiang untuk wanita secara lengkap yang terdiri dari dua kelompok warna yang berbeda misalnya 5 penari berwarna merah dan 5 penari berwarna hijau. Musik tarian ini adalah: a musik pengiring terdiri dari gendang, biola, gong dan suling, b pantun yang dinyanyikan secara berbalasan. Berdasarkan fenomena kebudayaan tari seperti terurai di atas, maka penulis tertarik mengangkat judul tulisan skripsi dalam rangkaian kuliah di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yaitu Deskripsi Struktur Gerak dan Musik Pengiring Tari Ula-ula Lembing oleh Sanggar Meuligee Lindung Bulan di Aceh Tamiang. Topik ini sangat relevan dengan disiplin ilmu etnomusikologi dan dibantu dengan disiplin etnokoreologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut. Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as Universitas Sumatera Utara 6 an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl 1956:26-39 that it is possible to characterize German and American schools of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound Merriam 1964:3-4. 4 Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan- kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan- bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, 4 Dalam konteks pendidikan tinggi disiplin etnomusikologi di Indonesia, sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya me njadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis. Universitas Sumatera Utara 7 beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran- aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik aliran-aliran etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya. Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara USU Universitas Sumatera Utara 8 Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia STSI Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976. 5 Seterusnya untuk mengkaji struktur Tari Ula-ula Lembing yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat melayu Aceh Tamiang, yang merupakan media seni gerak yang distilisasi, penulis menggunakan disiplin ilmu yang disebut etnokoreologi. Lebih rinci, yang dimaksud dengan etnokoreologi adalah sebagai berikut. Ethnochoreology also dance ethnology, dance anthropology is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology ethnomusicology, ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, lite rally, “the study of folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent 5 Secara rinci buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi Barat seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: a “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis- Teoretis,” b “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” c “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog Barat. Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya. Universitas Sumatera Utara 9 attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances —the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced —not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals ethnic dances are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war Blacking, 1984. Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari adalah studi tari melalui penerapan sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi etnomusikologi, etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi tentang tarian rakyat sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik. Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu masyarakat, serta sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya, tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari Universitas Sumatera Utara 10 terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya. Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa keberuntungan dalam damai atau perang. Hal-hal ini terjadi pula di dalam Tari Ula-ula Lembing dalam kebudayaan masyaraklat Melayu Aceh Tamiang, yang menjadi fokus kajian penulis di dalam skripsi ini.

1.2 Pokok Permasalahan