© Master Program in Linguistics, Diponegoro University www.eprints.undip.ac.id
Fitri Gunawan dan Relevansinya dengan Budaya Jawa” perlu dilakukan untuk menambah khasanah penelitian bahasa yang mengkaji gaya bahasa metafora.
2.2 Landasan Teori
Metafora merupakan salah satu fenomena kebahasaan yang erat kaitannya dengan kognisi manusia. Hal itu disebabkan oleh kognisi manusia yang berperan
dalam membentuk konseptual pada ungkapan metaforis. Dengan demikian, peneliti menggunakan pendekatan linguistik kognitif untuk mengkaji data penelitian yang
berupa ungkapan metaforis. selanjutnya, teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: blending pemaduan, embodiment penubuhan, metafora, ranah sumber
kongkret, daya metaforis second-order meaning serta metafora dan budaya Jawa.
2.2.1 Linguistik Kognitif
Linguistik kognitif utamanya berkaitan dengan kajian terhadap hubungan bahasa, pikiran, dan pengalaman manusia terhadap hubungan sosial-lingkungannya Evans,
2007: vi. Setiap bentuk bahasa dianggap mempunyai makna, dan tidak ada bentuk tanpa
makna. Kontribusi linguistik kognitif terhadap penelitian kata sangat besar, terutama dalam mendeskripsikan makna kata dalam semantik kognitifnya. Proses berpikir
manusia dalam memahami sesuatu yang belum diketahui, biasanya dilakukan melalui berbagai pengasosiasian dengan hal-hal yang telah diketahuinya dalam kehidupan
sehari-hari. Asosiasi dilakukan untuk mempermudah pemahaman dan penguatan dalam ingatan yakni dengan cara membandingkan kesamaan atau kemiripan antara
satu hal dengan hal lain yang sudah diketahui; atau melalui pengkategorian,
© Master Program in Linguistics, Diponegoro University www.eprints.undip.ac.id
menghubungkan kedekatan, baik secara ruang maupun waktu. Hal seperti ini diterapakan dalam mendeskripsikan suatu kata. Misalnya, dengan digunakannya
gaya bahasa metafora, metonimi, sinekdoke dalam mendeskripsikan kata yang berpolisemi. Hal itu dipertegas oleh Geeraerts 2006: 11 yang menyatakan bahwa
konseptual metafora merupakan bagian dari aspek kognitif linguistik. Linguistik kognitif mengungkap bahwa, makna suatu kata terutama dalam
polisemi dalam penelitian ini yaitu metafora tidak muncul begitu saja, melainkan ada yang memotivasi dan melatar-belakangi kemunculan makna metaforis. Makna
tersebut muncul karena pengalaman manusia yang diilhami pengaruh perkembangan zaman, perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam memperoleh makna tersebut, pikiran manusia mempunyai mekanisme dalam menyusun suatu makna baru sesuai dengan pengetahuan dan kebudayaan yang
dimiliki. Croft dan Cruse, 2004: 1 menyatakan tiga hipotesis penting yang mendasari penedekatan linguistik kognitif yaitu: 1 bahasa tidak dapat dipisahkan dari
bagian kognisi manusia, 2 tata bahasa merupakan konseptualisasi, 3 pengetahuan bahasa muncul dari penggunaan bahasa.
Berdasar pandangan itu, Fauconnier dalam Geeraerts 2006:4 menguraikan makna linguistik secara linguistik kognitif mempunyai empat pengertian yaitu:
1. Makna linguistik mempunyai perspektif tersendiri, bukan hanya berupa refleksi dari bentuk yang ada di lingkungan, tetapi juga merupakan wujud
representasi yang dipahami penutur bahasa. Jadi, dalam memahami wujud
© Master Program in Linguistics, Diponegoro University www.eprints.undip.ac.id
lingkungan dibutuhkan ekspresi linguistik, pemahamannya pun berbeda sesuai dengan kontruksi linguistik yang berlangsung.
2. Bersifat dinamis dan fleksibel sehingga makna dapat berubah seiring dengan pemahaman lingkungan yang semakin berkembang.
3. Makna menurut pendekatan kognitif linguistik bersifat ensiklopedik kumpulan dan non-autonomous, tidak terlepas dari pengalamanpengetahuan
tentang dunia yang dimiliki manusia yang berintegrasi dengan kapasitas kognitif lainnya.
4. Makna linguistik didasarkan pada penggunaan dan pengalaman, hal ini menunjukkan bahwa makna linguistik adalah non-autonomous tidak berdiri
sendiri terintegrasi dengan seluruh pengalaman. Pengalaman bahasa adalah sebuah pengalaman penggunaan bahasa faktual,
bukan dari kata-kata seperti yang terdapat di dalam kamus atau pola kalimat seperti yang ditemukan dalam tata bahasa. Hal itu menyebabkan linguistik kognitif
merupakan model penggunaan berbasis tata bahasa; apabila mengambil sifat pengalaman tata bahasa serius, maka menjadi sebuah keharusan untuk mengambil
pengalaman aktual dari bahasa serius, sehingga disebut pengalaman penggunaan bahasa faktual.
Linguistik kognitif menguraikan bahwa proses konseptual terangkum dalam pikiran manusia atau disebut dengan mental space atau ruang mental. Menurut
Fauconnier dan Turner dalam Geeraerts, 2006: 307 ruang mental merupakan paket konseptual kecil yang dibangun dalam pikiran kita, yang menjadi dasar manusia
© Master Program in Linguistics, Diponegoro University www.eprints.undip.ac.id
untuk mengutarakan sesuatu dalam manah. Jadi, sebelum manusia mengujarkan produk bahasa, proses produksi bahasa sudah berlangsung dalam pikiran manusia
lebih dahulu. Selain itu, ruang mental terstruktur oleh framebingkai dan model kognitif yang saling berhubungan, dan dapat dimodifikasi sesuai pemikiran dan
wacana yang sedang berlangsung. Berdasar hal itu ruang mental dapat digunakan untuk pemetaan dinamis dalam pemikiran dan bahasa. Keberlangsungan kegiatan
yang terjadi dalam ruang mental itu tidak dapat terlepas dari konsep blending. Geeraerts 2006: 307 mengutip pandangan Fauconnier dan Turner mengenai
konsep blending yaitu suatu proses dalam ruang mental yang memadukan berbagai pengalaman ataupun kebudayaan yang dialami manusia yang bersifat dinamis, untuk
memperoleh maksud dari pemikiran manusia ataupun bahasa. Dalam proses tersebut, image schema dari pelaku tutur baik penutur maupun mitra tutur harus sama,
pandangan tersebut biasa disebut dengan istilah pengetahuan bersama background knowledge. Berdasar pandangan itu, maka proses komunikasi penerimaan
informasimaksud antar pelaku tutur dapat diterima dengan baik tidak terhambat.
2.2.2 Blending pemaduan