Karakteristik Perkebunan Indonesia

c. Karakteristik Perkebunan Indonesia

Perkebunan besar di Indonesia yang berperan sebagai roda penggerak subsektor ekonomi merupakan produk yang lahir dari sistem ekonomi politik dunia yang masih bertahan hingga saat ini. Perkebunan besar yang merupakan warisan dari penjajahan kolonialisme Belanda

commit to user

dan dipenuhi dengan kekerasan yang pada dasarnya menjadi bagian dari inheren dari sistem perkebunan itu sendiri yang digerakkan oleh modal besar, teknologi modern, dan pasar ekspor. Perkebunan merupakan alas bagi pertumbuhan kapitalisme industri yang mulai tumbuh dan berkembang pada awal abad ke-18.

Sejarah budidaya perkebunan tidak terlepas dari peran para penjajah, terutama Belanda yang telah meletakkan dasar bagi berkembangnya perusahaan perkebunan di Indonesia. Seperti di negara berkembang lainnya, sistem perkebunan di Indonesia juga diperkenalkan lewat kolonialisme Barat, dalam hal ini kolonialisme Belanda (Mubyarto, dkk, 1992:15).

Ketika undang-undang agraria (Agrarische Wet) dikeluarkan pada tanggal 9 April 1870 oleh Menteri Jajahan De Wall sebagai pengganti undang-undang agraria yang lama, maka eksistensi perkebunan semakin menguat dan kekuatannya semakin meluas. Undang-undang tersebut memberikan legalitas dan jaminan yang lebih luas kepada kepentingan modal besar swasta untuk menanamkan modalnya di subsektor perkebunan dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan tanah dengan jaminan dan perlindungan akan perkembangannya. Peristiwa itulah yang membuat awal terjadinya liberalisasi sistem agraria khususnya pada subsektor perkebunan di Indonesia yang membuat perkebunan besar menjadi penguasa tunggal atas sebagian besar tanah di Indonesia (Syaiful Bahari, 2004:41).

Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan sebuah anugerah bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu hasil kekayaan alam yang diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan pendapatan asli daerah adalah pembangunan dan pengembangan perkebunan.

Dalam skala nasional usaha pembangunan perkebunan selama ini dilaksanakan melalui dua bentuk usaha yaitu usaha perkebunan rakyat yang berskala kecil dan usaha perkebunan besar yang dimiliki negara dan swasta. Dari areal seluas 14.560.000 Ha pada

commit to user

yang melibatkan lebih dari 70.000.000 petani dan selebihnya merupakan perkebunan besar milik negara dan swasta. Di Jawa Tengah luas total areal perkebunan 711.666,890 Ha terdiri dari perkebunan rakyat 661.321,810 Ha (92,60%) dan perkebunan negara seluas 34.049,210 Ha (4,76%) yang tersebar pada 16 PTP dan untuk perkebunan besar swasta sejumlah 60 kebun dengan luas total 16.295,870 Ha (2,64%) (Lego Karjoko, 2007:2).

Perkebunan besar sebagai pelaksana penyelenggaraan perkebunan di Indonesia memiliki beberapa ciri-ciri umum, antara lain:

1) sistem ekonomi perkebunan besar ditopang oleh dominasi pemikiran bahwa ekspor komoditas pertanian harus diprioritaskan demi pertumbuhan ekonomi nasional;

2) perkebunan besar menguasai tanah yang luasnya tak terbatas atau tidak dibatasi;

3) kebutuhan tenaga kerja sangat besar, jauh melebihi suplai tenaga kerja yang ada di pasar. Karena itu diciptakanlah mekanisme ekstra-pasar atau non pasar (budak belian, kuli kontrak, transmigrasi, dan sejenisnya);

4) pengelolaan perkebunan besar sangat ketat dan cenderung bengis. Birokrasi yang ketat dan bengis ini oleh Breman disebut plantokrasi; dan

5) birokrasi perkebunan besar tidak terjangkau oleh kontrol sosial karena perkebunan besar merupakan enclave yang terisolasi dari masyarakat (Syaiful Bahari, 2004:40-41).

Perkebunan besar dan negara merupakan dua institusi yang saling terkait erat dan berdampingan. Di satu pihak, negara menggunakan perkebunan besar sebagai alat penghasil devisa dan pertumbuhan ekonomi nasional, di pihak lain perkebunan besar juga menggunakan negara sebagai alat kekuasaan mereka untuk memperbesar kekuasaan ekonominya (Syaiful Bahari, 2004:41).

Lebih jauh lagi, perkebunan merupakan suatu andalan komoditas unggulan dalam menopang pembangunan perekonomian nasional Indonesia, baik dari sudut pandang pemasukan devisa negara maupun dari sudut pandang peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dengan cara membuka lapangan pekerjaan yang sangat terbuka luas (Supriadi, 2010:544).

Sebagai pilar penopang pembangunan nasional, subsektor perkebunan mempunyai posisi yang kuat atau bahkan mempunyai kekuasaan yang cukup besar dalam mengendalikan arah politik suatu negara, terutama negara-negara yang masih bercorak agraris seperti

commit to user

mengalami konflik antara petani dan perkebunan yang mayoritas diakibatkan adanya permasalahan hak atas penguasaan tanah, negara masih berkepentingan mempertahankan perkebunan besar sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional. Perkebunan besar masih dianggap primadona dalam pengumpul devisa negara yang rata-rata mencapai 4-5 milyar dollar AS.

Sampai dengan saat ini, orientasi kebijakan perkebunan Indonesia yang menganut sistem perkebunan liberal kapitalistik masih membedakan secara tajam antara perkebunan besar (BUMN dan swasta, termasuk PMA) dengan perkebunan rakyat. Implikasi kebijakan dualistik ini telah memberi kemudahan bagi yang besar dan tekanan bagi yang kecil, dengan gambaran sebagai berikut:

1) Perkebunan Indonesia masih diliputi oleh dualisme ekonomi, yaitu antara perkebunan besar yang menggunakan modal dan teknologi secara intensif dan menggunakan lahan secara ekstensif serta manajemen eksploitatif terhadap SDA dan SDM, dan perkebunan rakyat yang menggunakan susbsistem dan tradisional serta luas lahan terbatas. Kedua sistem ini menguasai bagian tertentu dari masyarakat dan keduanya hidup berdampingan. Perbedaan keduanya tidak jarang menimbulkan konflik ekonomi yang berkembang menjadi konflik sosial;

2) Perkebunan Rakyat (PR) yang luasnya sekitar 80% dari perkebunan nasional masih belum mendapatkan fasilitas dan perlindungan yang memadai dari pemerintah. Masalah ini menjadi penting antara lain karena penduduk yang menggantungkan hidupnya pada perkebunan rakyat sekitar 15 juta orang;

3) Hak menguasai oleh negara atas tanah yang kemudian diberikan kepada badan hukum sebagai Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan sangat dominan, sementara itu ketidak- pastian hak masyarakat (lokal dan adat) atas sumberdaya lahan untuk perkebunan belum kunjung diselesaikan;

4) Masuknya pemodal besar ke usaha perkebunan masih belum memberikan kontribusi pada kesejahteraan rakyat setempat. Hingga saat ini masih belum ada re-distribusi aset dan manfaat yang adil (proporsional) kepada masyarakat dari usaha perkebunan;

commit to user

perkebunan besar yang ditunjukkan oleh alokasi pemanfaatan kredit, dukungan penelitian dan pengembangan, serta pelatihan SDM;

6) Pengembangan perkebunan besar lebih dilandasi pada pembukaan lahan hutan dalam skala besar yang dilakukan dengan mengabaikan hak-hak masyarakat di dalamnya. Pada beberapa daerah kondisi demikian ini telah menimbulkan konflik sosial serta dampak negatif terhadap lingkungan; dan

7) Organisasi-organisasi usaha perkebunan yang menghimpun diri dalam asosiasi pengusaha perkebunan bersifat eksklusif dan powerful dengan tingkat kepedulian terhadap pemberdayaan organisasi-organisasi petani/pekebun yang relatif

masih

rendah (http://www.ipard.com/art_perkebun/0040804DD.asp).