Tinjauan umum tentang Penegakan Hukum dalam Hukum Administrasi Negara

4. Tinjauan umum tentang Penegakan Hukum dalam Hukum Administrasi Negara

Hukum administrasi negara memaknai pengawasan sebagai “proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.” Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks

commit to user

governance itu sendiri (http://dewaarka.wordpress.com/2010/05/25/hukum- perizinan/ ).

Menurut P. Nicolai dan kawan-kawan, pengawasan merupakan salah satu sarana penegakan hukum administrasi negara. Dalam pengawasan, organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang- undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada individu. “Pendapat yang dikemukakan oleh Nicolai agaknya hampir senada dengan Ten Berge, seperti dikutip Philipus M. Hadjon, yang menyebutkan bahwa instrumen penegakan hukum administrasi meliputi pengawasan dan penerapan sanksi” (Ridwan H.R., 2010:311).

Pengawasan merupakan suatu langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. Pengawasan merupakan suatu perwujudan dari perlindungan hukum preventif yang diberikan oleh negara. Perlindungan hukum preventif merupakan sarana yang penting apabila dikaitkan dengan asas “freis ermessen” (discretionaire bevoeghdeid) yang diwujudkan dalam bentuk keberatan (inspraak) terhadap suatu ketetapan atau keputusan. Rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.

Asas keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan sangat diperlukan guna meningkatkan kinerja pemerintahan, seperti yang diungkapkan oleh Benjamin E. Hermalin dan Michael S. Weisbach yang menyatakan:

“The link between governance and transparency is clear in the public’s (and regulators’) perceptions; transparency was increased for the purpose of improving governance” . (“Hubungan antara pemerintahan dan keterbukaan yang jelas dalam pandangan publik (dan pembuat aturan); peningkatan keterbukaan ditujukan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan).

“Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan

commit to user

bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi” (Philius M. Hadjon, 1987:2). Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. “Arti penting perlindungan hukum preventif adalah lebih baik mencegah sengketa daripada menyelesaikan sengketa” (Titik Triwulan Tutik, 2010:288).

Telah disebutkan bahwa sarana penegakan hukum administrasi selain pengawasan adalah penerapan sanksi. “Sanksi merupakan bagian yang penting dalam setiap peraturan perundang-undangan, bahkan J.B.J.M. ten Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi” (Ridwan H.R., 2010:313). Sanksi juga berfungsi untuk memaksakan tingkah laku masyarakat agar berbuat seperti yang dikehendaki oleh pemerintah sesuai dengan norma hukum yang ada.

Sanksi dalam Hukum Administrasi; “De publiekrechtelijke machtsmiddelen die de overheid kan aanwenden als reactie op niet- naleving

voortvloeien uit administratiefrechtelijke ormen,” yaitu “alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma hukum administrasi negara.” Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi dalam hukum administrasi negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik (publiekrechtelijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactie op niet-naleving ) (Ridwan H.R., 2010:315).

Sanksi hukum administrasi memiliki beberapa ciri khas, yaitu penerapan sanksi ditujukan pada perbuatan (bukan pada pelaku), sifat sanksi admistrasi adalah reparatoir-condemnatoir yaitu pemulihan kembali pada keadaan semula dan memberikan hukuman, dan prosedur pemberian sanksi dilakukan langsung oleh pemerintah tanpa melalui peradilan. Ketiga hal tersebut yang membedakan antara sanski administratif dengan sanksi pidana dan perdata.

Apabila ditinjau dari segi sasarannya, dalam Hukum Administrasi dikenal 2 (dua) jenis sanksi yaitu sanksi reparatoir (reparatoire sancties) yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya

commit to user

(legale situatie) dan sanksi punitif (punitive sancties) yang ditujukan untuk memberikan hukuman (straffen) pada seseorang.

Pada umumnya jenis sanksi hukum administrasi negara dicantumkan dan disebutkan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan bidang administrasi tertentu. Secara umum dikenal beberapa macam sanksi dalam hukum administrasi, yaitu (Ridwan H.R., 2010:319-334):

a. Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang/Politiedwang) Paksaan pemerintahan merupakan tindakan nyata yang dilakukan oleh organ pemerintah atau atas nama pemerintah tanpa perantaraan hakim (parate executie) untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang- halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan guna mengakhiri situasi yang bertentangan dengan norma hukum administrasi negara.

b. Penarikan Kembali KTUN yang Menguntungkan. KTUN yang menguntungkan (begunstigende beschikking) artinya KTUN tersebut memberikan hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu melalui ketetapan atau bila ketetapan itu memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin ada. Penarikan ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan terdahulu yang dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi.

c. Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom) Pengenaan uang paksa dalam hukum administrasi dapat dikenakan kepada seseorang yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintah yang nilai maksimalnya telah ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan beratnya

commit to user

diterapkannya dwangsom tersebut.

d. Pengenaan Denda Administratif Pengenaan denda administratif (bestuurslijke boetes) merupakan reaksi terhadap pelanggaran norma yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, tujuan tersebut berbeda dengan dwangsom yang hanya ditujukan untuk mendapatkan situasi konkret yang sesui dengan norma. Pada berbagai peraturan perundang-undangan, besarnya jumlah denda yang dikenakan pada pelanggar telah ditentukan secara tegas. Sehingga secara umum, tindakan administrasi merupakan serangkaian

kegiatan mulai dari pembuatan aturan sampai dengan pemberian sanksi seperti yang dikemukakan oleh Benedict Kingsbury:

Global administrative law as comprising the structures, procedures and normative standards for regulatory decision-making including transparency, participations, and review, and the rule-governed mechanisms for implementing these standards, that are applicable to formal intergovernmental regulatory bodies; to informal intergovernmental regulatory networks, to regulatory decisions of national governments where these are part of an international intergovernmental regime; and to hybrid public-private or private transnational bodies. Such a definition, we are also proposing that much of global governance can be understood and analyzed as administrative action: rule-making, administrative sanction between competing interests, and other forms of regulatory administrative decisions. (Hukum administrasi secara umum terdiri dari susunan, prosedur dan standar normatif untuk aturan-aturan dalam pembuatan keputusan termasuk keterbukaan, partisipasi, dan peninjauan, dan mekanisme aturan pemerintah untuk menerapkan standar tersebut, hal tersebut dapat diterapkan untuk lembaga resmi pemerintah pembuat aturan; untuk jaringan pemerintah pembuat aturan yang tidak resmi, untuk pembuat keputusan dari pemerintahan nasional dimana bagian-bagian tersebut adalah bagian dari rezim pemerintahan internasional; dan untuk pecampuran publik-privat atau lembaga privat. Mengacu pada definisi tersebut, kami juga menganjurkan bahwa pemerintahan secara umum dapat dipahami dan dianalisa sebagai tindakan administrasi: pembuat aturan, pemberi sanksi administrasi akibat persaingan kepentingan, dan bentuk-bentuk lain dari pembuatan aturan dan keputusan administrasi).

commit to user

Untuk mempermudah gambaran penelitian ini dapat dilihat dari kerangka pemikiran dibawah ini:

Interpretasi

Ragaan 1. Kerangka Pemikiran

Peraturan Perundang-undangan

1. UUD Tahun 1945

2. UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA

3. UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

4. PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah

5. Permentan

No. 26/Pementan/OT.140/2/2007

tentang

Pedoman

Perizinan Izin Usaha

Perkebunan.

6. Permentan

No. 07/Permentan/OT.140/2/2009

tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan

7. Perda Jawa Tengah No. 2 Tahun 2005 tentang Perizinan Usaha Perkebunan

8. Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah No. 5 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Perizinan Usaha Perkebunan

Peristiwa Hukum

1. Pemberian Izin Usaha Perkebunan di Jawa Tengah

2. Mekanisme

Pengawasan Usaha Perkebunan di Jawa Tengah

3. Tindakan Dinbun Jawa Tengah terhadap Perusahaan Perkebunan Tidak Sehat

Kesimpulan

1. Kesesuaian pemberian IUP terhadap peraturan perundangan-undangan.

2. Kesesuaian mekanisme pengawasan terhadap

peraturan perundangan-

undangan.

3. Kesesuaian tindakan hukum Dinbun atas perkebunan yang tidak sehat terhadap

Fakta Hukum

Kebijakan Dinbun Jateng dalam melaksanakan pengawasan Izin Usaha Perkebunan di Jateng

Perkebunan di Jawa Tengah

2. Mekanisme Pengawasan Usaha Perkebunan di Jawa Tengah

3. Tindakan Dinbun Jawa Tengah terhadap Perkebunan Tidak Sehat

commit to user

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu pelaksanaan pengawasan izin usaha perkebunan di Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam

pelaksanaan pengawasan Izin Usaha Perkebunan khususnya perusahaan perkebunan di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang berada di bawah naungan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah selaku dinas teknis terkait, terdapat beberapa peristiwa hukum yang timbul terkait dengan pemberian izin usaha perkebunan di Provinsi Jawa Tengah, mekanisme pengawasan usaha perkebunan di Provinsi Jawa Tengah, dan tindakan hukum Dinas Perkebunan terhadap perkebunan yang tidak sehat.

Peristiwa-peristiwa hukum yang timbul tersebut tidak terlepas dari

kebijakan atau langkah yang diambil oleh Dinas Perkebunan dalam melaksanakan pengawasan izin usaha perkebunan di wilayah Provinsi Jawa Tengah, khususnya dalam menyikapi perkebunan-perkebunan yang tidak sehat atau mengalami permasalahan baik intern maupun ekstern. Kebijakan atau langkah yang diambil harus tetap memperhatikan fakta-fakta hukum yang terdapat di lapangan agar kebijakan atau langkah tersebut tidak merugikan bagi perusahaan perkebunan itu sendiri, masyarakat sekitar, negara, dan berbagai pihak yang terkait.

Pengambilan kebijakan oleh Dinas Perkebunan tidak hanya memperhatikan fakta-fakta hukum yang timbul, akan tetapi juga harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa peraturan perundang-undangan terkait yang dipakai sebagai pertimbangan pengambilan kebijakan Dinas Perkebunan, antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berisi tujuan negara Indonesia, khususnya pada Pasal 33 ayat (3);

2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menjadi aturan dasar mengenai segala bidang yang berkaitan dengan pertanahan nasional;

commit to user

payung hukum penyelenggaraan subsektor perkebunan sekaligus berisi mengenai tujuan penyelenggaraan subsektor perkebunan di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 3;

4. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah sebagai peraturan yang mengatur mengenai Hak Guna Usaha sebagai hak atas tanah yang wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan dalam menjalankan usaha pada subsektor perkebunan;

5. Permentan No. 26/Pementan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Izin Usaha Perkebunan yang merupakan peraturan teknis dalam pelaksanaan pemberian izin usaha perkebunan dari Dinas Perkebunan terhadap perusahaan perkebunan;

6. Permentan No. 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan yang merupakan peraturan teknis dalam pelaksanaan penilaian usaha perkebunan guna memberikan kelas kebun yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan;

7. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 2 Tahun 2005 tentang Perizinan Usaha Perkebunan yang merupakan peraturan pelaksana yang harus dijalankan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah dalam proses pemberian Izin Usaha Perkebunan terhadap perusahaan perkebunan.

8. Peraturan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah No. 5 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Perizinan Usaha Perkebunan yang mengatur mengenai aturan teknis yang diterapkan di lapangan dalam proses pemberian izin usaha perkebunan. Pemakaian

interpretasi

peraturan

perundang-undangan tersebut

dimaksudkan agar kebijakan yang diambil oleh Dinas Perkebunan memiliki landasan hukum dalam rangka terwujudnya tujun dari penyelenggaraan subsektor perkebunan sebagai sarana dalam pencapaian tujuan negara, yaitu kesejahteraan masyarakat.

commit to user

terjadi secara timbal balik akan menghasilkan beberapa kesimpulan, antara lain untuk menilik kesesuaian pelaksanaan pemberian IUP, mekanisme pengawasan perusahaan perkebunan, serta tindakan hukum yang diambil oleh Dinas Perkebunan kepada perusahaan yang tidak sehat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan subsektor perkebunan.

commit to user