MASA PEMERINTAH JEPANG a. Kebijakan Pendidikan Pada Masa Pemerintah Jepang
                                                                                umumnya  dan  mendapatkan  kepercayaan  untuk  melaksanakan  system  pendidikan nasional.
Peraturan  bersama  dua  Menteri  yaitu  Menteri  Agama  dan  Menteri Pendidikan    Pengajaran  yang  menetapkan  bahwa  pendidikan  agama  diberikan
mulai kelas IV Sekolah Rakyat sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di  Indonesia  belum  mantap  sehingga  SKB  Dua  Menteri  belum  berjalan  dengan
semestinya.
94
Undang-undang  Sistem  Pendidikan  Nasional  pertama  yang  dikeluarkan oleh  pemerintah  seelah  kemerdekaan,  yakni  Undang-Undang  No.  4  Tahun  1950,
belum  secara  spesifik  memberikan  ketentuan  khusus  dalam  hal  pengaturan terhadap lembaga pendidikan Islam. Meskipun demikian Undang-Undang ini telah
memberikan  pengakuan  terhadap  kedudukan  sekolah  agama  madrasah,  yakni seperti tercantum dalam pasal 10 ayat 2 undang-
undang tersebut, bahwa “belajar di sekolah agama yang telah mendapatkan pengakuan dari Menteri Agama dianggap
telah memenuhi kewajiban belajar.” Sebelum  ditetapkannya  undang-undang  tersebut,  Menteri  Agama  telah
mengeluarkan ketentuan  yang memberikan pengakuan terhadap madrasah sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam, yakni Peraturan Menteri Agama No.
1 Tahun 1946 yang ditetapkan pada tanggal 19 Desember 1946 tentang pemberian bantuan dan subsidi terhadap madrasah.
95
Peraturan  Menteri  Agama  No.  1  Tahun  1946  kemudian  disempurnakan dengan  Peraturan  Menteri  Agama  No.7  Tahun  1952  yang  berlaku  untuk  seluruh
wilayah Republik Indonesia. Peraturan ini membagi jenjang madrasah menjadi tiga tingkatan,  yaitu  Madrasah  Rendah  yang  kemudian  menjadi  Madrasah  Ibdtidaiyah
dengan masa belajar 6 tahun; Madrasah Tingkat Lanjutan Pertama yang kemudian menjadi Madrasah Tsanawiyah dengan maa belajar selama 3 tahun dan diikuti oleh
lulusan  madrasah  rendah;  dan  Madrasah  Lanjutan  Atas  yang  kemudian  menjadi Madrasah  Aliyah  dengan  lama  belajar  3  tahun  dan  diikuti  oleh  lulusan  Madrasah
94
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. Ke-10, h. 153- 154
95
Nurhayati Djamas, dinamika kebijakan pendidikan islam di Indonesia, h. 179
Tsanawiyah.  Penjenjangan  madrasah  merupakan  langkah  pengaturan  system  dan kelembagaan pendidikan Islam yang sebelumnya longgar ke dalam bentuk system
klasikal.
96
Pada  tahun  1950  di  mana  kedaulatan  Indonesia  telah  pulih  untuk  seluruh Indonesia,  maka  rencana  pendidikan  agama  untuk  seluruh  wilayah  Indonesia
makin  disempurnakan  dengan  dibentuknya  panitia  bersama  yang  dipimpin  oleh Prof.  Mahmud  Yunus  dari  Departemen  Agama  dan  Mr.  Hadi  dari  Departemen
PK. hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951. Isinya ialah:
a.  Pendidikan  agama  diberikan  mulai  kelas  IV  Sekolah  Rakyat Sekolah Dasar.
b.  Di  daerah-daerah  yang  masyarakat  agamanya  kuat  misalnya  di daerah  Sumatra,  Kalimantan,  dan  lain-lain,  maka  pendidikan
agama diberikan mulai dari kelas I SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan  umumnya  tidak  boleh  berkurang  dibandingkan
dengan  sekolah  lain  yang  pendidikan  agamanya  diberikan  mulai kelas IV.
c.  Di  Sekolah  Lanjutan  Tingkat  Pertama  dan  Tingkat  Atas  Umum dan  Kejuruan  diberikan  Pendidikan  Agama  sebanyak  2  jam
seminggu. d.  Pendidikan  Agama  diberikan  kepada  murid-murid  sedikitnya  10
orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua atau wali muridnya.
e.  Pengangkatan  guru  agama,  biaya  pendidikan  agama  dan  materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “melaksanakan Manipol Usdek Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia dibidang  mentalagamakebudayaan  dengan  syarat  spiritual  dan  material  agar
setiap  warga  Negara  dapat  mengembangkan  kepribadiannya  dan  kebangsaan
96
Zuhairini, dkk, Op.Cit., h. 180