Lembaga pendidikan Jamiat Kheir 1. Profil Yayasan Jamiat Kheir

Surkati yang kemudian pindah ke al-Irsyad 59 . Pentingnya Jamiat kheir terletak pada kenyataan bahwa yang memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam dan mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang sudah modern seperti: kurikulum, kelas, dan sarana prasana penunjang lainnya. Ide-ide ini berkumandang di kota-kota lain, tetapi organisasi yang tumbuh di Jakarta seakan membeku, pertikaian dengan organisasi al-Irsyad mencerminkan pertikaian dalam lingkungan masyarakat Arab tentang kedudukan sayid dalam masyarakat itu dan pada umumnya dalam masyarakat Islam di Indonesia. 60 Jamiat Kheir yang pada awal berdirinya mempunyai tujuan yang bergerak di bidang sosial pendidikan, pada kenyataannya ikut pula dalam bidang ekonomi dan politik.Kegiatan politiknya inilah yang menyebabkan perubahan Jamiat Kheir dari perkumpulan menjadi yayasan pendidikan. Maka ketika sudah menjadi Yayasan Pendidikan, Visi, Misi dan Tujuannya, yaitu: Visi Yayasan Jamiat Kheir, yaitu: a. Mencerdaskan umat sejalan dengan tantangan kemajuan zaman berpegang teguh pada landasan ajaran Islam. b. Wawasan ke-Islaman secara utuh kaffah terpadu antara iman, ilmu dan amal, terintegrasi antara IMTAQ dan IPTEK. c. Wawasan keunggulan, ketekunan, kesungguhan dan keikhlasan dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Misi Yayasan Jamiat Kheir, yaitu: a. Menyiarkan agama Islam dan bahasa Arab. b. Berkhidmat untuk umat sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW. 58 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1995, Cet.5, h. 319 59 Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2005, h. 55 60 Hasil wawancara dengan Pengurus harian Jamiat Kheir c. Menanamkan keyakinan yang kuat dan kebanggaan terhadap kebenaran Islam sebagai petunjuk Allah SWT satu-satunya demi keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan Yayasan Jamiat Kheir, yaitu: a. Mempersiapkan generasi Islam yang cinta kepada Allah SWT dan taat kepada Rasulullah SAW, sayang kepada sesama, berakhlak mulia, percaya diri, teguh pendirian, selalu bertitik kepada kebenaran dan keadilan, bermanfaat bagi agama, umat dan masyarakat, menerapkan ajaran agama Islam dalam meningkatkan martabat bangsa dan Negara. b. Membentuk kepribadian ulama yang berwawasan luas, ahli dalam bidangnya, mampu berbahasa Arab dan dapat member manfaat bagi masyarakat dan bangsa. c. Menanamkan mahabbah kepada kaum mukminin, utamanya ahli baitkeluarga Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. 61

4. Aqidah dan Mazhab Jamiat Kheir

Jamiat Kheir sejak didirikan dan untuk selamanya berlandaskan dan mempertahankan Aqidah Ahlusunnah wal Jamaah yang digariskan oleh para salaf terdahulu sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, cinta ahli bait dan para sahabatnya. Dalam menjalankan praktek ibadah, keluarga besar Jamiat Kheir selalu berpegang pada Mazhab Imam Syafii rahimahullah dan atau berdasarkan dalil-dalil yang lebih kuat. 62

5. Tokoh Pendiri Jamiat Kheir

Tokoh yang akan saya bahas dibawah ini adalah tokoh yang berpengaruh terhadap pembaharuan yang dilakukan di Jamiat Kheir dan berpengaruh dalam menentukan kebijakan dalam tubuh Jamiat Kheir. Tapi, terlebih dahulu akan disinggung tokoh-tokoh pendiri awal Jamiat Kheir. 61 Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir. 62 Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir. Pendiri perkumpulan ini adalah : 1. Sayid Ali bin Ahmad bin Syahab, sebagai Ketua 2. Sayid Muhammad bin Abdullah bin Syahab, sebagai Wakil Ketua 3.Sayid Muhammad Al Fachir bin Abdurrahman Almasyhur, sebagai Sekretaris 4. Sayid Idrus bin Ahmad bin Syahab, sebagai Bendahara 5. Said bin Ahmad Basandiet, sebagai Anggota. Salah satu perwujudan cita-cita perkumpulan ini adalah mendirikan sebuah sekolah pada tanggal 17 Oktober 1919 dengan nama sekolah Djamiat Geir School dengan akte notaries Jan Willem Roeloffs Valk nomor 143. Susunan pengurus pertama kali : 1. Sayid Abubakar bin Ali bin Syahab 2. Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus 3. Sayid Ali bin Abdurrahman Alhabsyi 4. Sayid Abubakar bin Muhammad Alhabsyi 5. Sayid Abubakar bin Abdullah Alatas 6. Sayid Idrus bin Ahmad bin Syahab 7. Ahmad bin Abdullah Basalamah 63 Jamiat Kheir merupakan pergerakan yang menelurkan generasi-generasi berkualitas, maka selanjutnya akan dibahas mengenai tokoh yang banyak sekali melakukan pergerakan dan menggelorakan perubahan terhadap penjajahan Belanda pada masa itu, tokoh-tokohnya yaitu: 1 Habib Abubakar bin Ali Habib Abu Bakar dilahirkan di Bandar Betawi Jakarta pada hari Senin tanggal 28 Rajab tahun 1287 H 24 Oktober 1870 M. kemudian beliau berangkat ke Hadramaut pada akhir tahun 1297 H 1880 M bersama ayahnya, Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Shahubuddin Al-Alawy. Guru beliau adalah Ahmad 63 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Ikapi, 1992, h. 480-481 Muhammad Bahyan, pas sedang di Hadramaut, beliau belajar kepada Salim Sa‟id Abdul Haq. Beliau menghafalkan kitab Matan al-Zubad.Beliau wafat pada tanggal 25 Dzulqa‟idah tahun 1299 H 8 Oktober 1882 M. Orang-orang merasa sangat berat kehilangan dia karena dia adalah seorang yang rajin dalam menuntut ilmu.Ayahnya sangat mencintainya karena kecerdasannya dan kepatuhannya kepada perintahnya.Mudah-mudahan Allah merahmatinya dengan rahmat yang diberikan-Nya kepada orang-orang yang baik. 64 Pada tahun 1297 H, saat berusia 10 tahun, bersama ayahnya serta saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. Di sana Abubakar menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal, baik di Damun, Tarim, maupun Seywun, di samping mendatangi tempat pengajian dan pertemuan dengan sejumlah ulama terkemuka. la kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura dan tiba kembali ke Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Setelah mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut. Kemudian mendirikan Jamiatul Khair bersama Abubakar bin Ali Shahab dan sejumlah pemuda Alawiyyin. Pada tanggal 1 Mei 1926, saat usianya 50 tahun, untuk kedua kalinya kembali berangkat ke Hadramaut disertai dua orang putranya Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, Malaysia, Mesir dan Mukalla sebelum tiba di Damun, 20 Dzulqaidah 1344 H. Di tempat yang disinggahinya ia selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Di Hadramaut ia memperbaiki sejumlah masjid, diantaranya Masjid Al-Mas, bahkan juga membangun Masjid Sakran. Habib Abubakar tidak pemah jemu berjuang untuk kejayaan Islam dan Alawiyyin. 65 Habib Ali bin Abubakar Shahab sebagai ketua Jamiat Kheir, juga ikut mendorong organisasi ini ketika pindah dari Pekojan ke Jalan Karet kini jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang. Kegiatan organisasi ini kemudian meluas dengan mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, Habib Abubakar bersama-sama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra aulad di 64 Sayyid bin Abu Bakar, Rihlatul Asfar Otobiografi, terj. Ali Yahya, tanpa penerbit, 2000, h. 16 65 http:benmashoor.wordpress.com20080808perkumpulan-jamiat-kheir-1901- E28093-1919 Jalan Karet dan putri banat di Jalan Kebon Melati kini Jl. Kebon Kacang Raya, serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen. 2 Sayid Ali bin Abdurrahman Alhabsyi 66 Beliau adalah Habib „Ali bin „Abdur Rahman bin „Abdullah bin Muhammad al-Habsyi. Lahir di Kwitang, Jakarta, pada 20 Jamadil Awwal 1286H 20 April 1870M. Ayahanda beliau adalah Habib „Abdur Rahman al-Habsyi seorang ulama dan dai yang hidup zuhud, manakala bunda beliau seorang wanita sholehah bernama Nyai Hajjah Salmah puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia menikah di Semarang. Dalam pelayaran kembali ke Pontianak, ia wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali Kwitang, datang dari Hadramaut lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para sultan dari klan Algadri. Habib „Abdur Rahman ditakdirkan menemui Penciptanya sebelum sempat melihat anaknya dewasa.Beliau meninggal dunia sewaktu Habib „Ali masih kecil.Sebelum wafat, Habib „Abdur Rahman berwasiat agar anaknya Habib „Ali dihantar ke Hadhramaut untuk mendalami ilmunya dengan para ulama di sana.Tatkala berusia lebih kurang 11 tahun, berangkatlah Habib „Ali ke Hadhramaut. Tempat pertama yang ditujunya ialah ke rubath Habib „Abdur Rahman bin „Alwi al-‟Aydrus. Di sana beliau menekuni belajar dengan para ulamanya, antara yang menjadi gurunya ialah Shohibul Mawlid Habib „Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Hasan bin Ahmad al- ‟Aydrus, Habib Zain bin „Alwi Ba‟Abud, Habib Ahmad bin Hasan al-‟Aththas dan Syaikh Hasan bin „Awadh. Beliau juga berkesempatan ke al-Haramain dan meneguk ilmu dari ulama di sana, antara gurunya di sana adalah Habib Muhammad bin Husain al-Habsyi Mufti Makkah, Sayyidi Abu Bakar al-Bakri Syatha ad- Dimyati, pengarang I‟aanathuth Thoolibiin yang masyhu r Syaikh Muhammad Said Babsail, Syaikh „Umar Hamdan dan ramai lagi. 66 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Ikapi, 1992, H. 480-481 Ia dikenal sebagai penggerak pertama Majelis Taklim di Tanah Betawi. Majelis taklim yang digelar di Kwitang, Jakarta Pusat, merupakan perintis berdirinya majelis taklim-majelis taklim di seluruh tanah air.Majelis taklim Habib Ali di Kwitang merupakan majelis taklim pertama di Jakarta.Sebelumnya, boleh dibilang tidak ada orang yang berani membuka majelis taklim.Karena selalu dibayang-bayangi dan dibatasi oleh pemerintah kolonial, Belanda. Setiap Minggu pagi kawasan Kwitang didatangi oleh puluhan ribu jamaah dari berbagai pelosok, tidak hanya dari Jakarta saja namun juga dari Depok, Bogor, Sukabumi dan lain-lain. Bagi orang Betawi, menyebut Kwitang pasti akan teringat dengan salah satu habib kharismatik Betawi dan sering disebut-sebut sebagai perintis majelis Taklim di Jakarta, tiada lain adalah Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi atau yang kerap disapa dengan panggilan Habib Ali Kwitang. Menurut beberapa habib dan kiai, majelis taklim Habib Ali Kwitang akan bertahan lebih dari satu abad. Karena ajaran Islam yang disuguhkan berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan nilai-nilai keluhuran budi atau akhlakul karimah. Habib Ali, kata mereka, mengajarkan latihan kebersihan jiwa melalui tasawuf. Dia tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki, gibah, ataupun fitnah.Sebaliknya, almarhum mengembangkan tradisi AhlulBait, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak setiap manusia tanpa membedakan status sosial. Dua tahun setelah sang ayah wafat, Habib Ali Kwitang yang saat itu masih berusia 11 tahun, berangkat belajar ke Hadramaut. – sesuai wasiat ayahandanya yang kala itu sudah wafat. Tempat pertama yang dituju adalah rubath Habib Abdurrahman bin Alwi Alaydrus. Di majelis mulia itu ia juga membaca kitab kepada Habib Hsan bin Ahmad Alaydrus, Habib Zen bin Alwi Ba‟abud dan Syekh Hasan bin Awadh bin Makhdzam. Di antara para gurunya yang lain di Hadramaut yaitu Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi penyusun Simthud Durar, Habib Ahmad bin Hasan Alatas Huraidah, dan Habib Ahmad bin Muhsin Al-Hadar Bangil. Selama 4 tahun, Habib Ali Kwitang tinggal di sana, lalu pada tahun 1303 H1886 M ia pulang ke Betawi. Pulang dari Hadramaut, ia belajar kepada Habib Utsman bin Yahya mufti Batavia, Habib Husein bin Muhsin Alatas Kramat, Bogor, Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas Pekalongan, Habib Ahmad bin Muhammad Al- Muhdhor Bondowoso. Ketika terjadi perang di Tripoli Barat Libya, Habib Utsman menyuruh Habib Ali Kwitang untuk berpidato di masjid Jami‟ dalam rangka meminta pertolongan pada kaum muslimin agar membantu umat Islam yang menderita di Tripoli.Padahal pada waktu itu, Habib Ali Kwitang belum terbiasa tampil di podium. Tapi, dengan tampil di podium atas suruhan Habib Utsman, sejak saat itu lidahnya fasih dalam memberikan nasehat dan kemudian ia menjadi dai. 67 Tokoh-tokoh pahlawan Nasional yang pernah menjadi anggota perkumpulan Jamiat Kheir, diantaranya: a. Raden Umar Said Tjokroaminoto. b. R. Jayanegara, Hoofd Jaksa Betawi, anggota nomor 352. c. R.M. Wiriadimaja, Asisten Wedana Rangkasbitung, anggota nomor 661. d. R. Hasan Djayadiningrat, anggota nomor 273. e. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, anggota nomor 770.

6. Hubungan Jamiat Kheir dengan Lembaga lainnya

Jamiat Kheir melakukan hubungan dengan lembaga lainnya ketika memang Jamiat Kheir membutuhkan perlengkapan untuk keperluan pendidikan.Misalnya untuk keperluan bahan bacaan, pengurus Jamiat Kheir mengadakan hubungan dengan luar negeri seperti Turki, Mesir dan Singapura. Tahun 1908 mulailah mengadakan hubungan dengan pemimpin dari surat kabar dan majalah luar negeri, antara lain: 67 Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir. a. Dengan Direktur surat kabar Al-Muayyad, di Cairo, Mesir yaitu Ali Yusuf. Beliau memberikan informasi mengenai perkembangan Islam di luar negeri dan kegiatan Jamiat Kheir di Indonesia. b. Dengan Direktur surat kabar Al-Liwa, Mesir, Affandi Kamil, saudara Ali Kamil. c. Dengan Direktur surat kabar As-Siasah al-Musawarah, Mesir, Abdul Hamid Zaki. d. Dengan Direktur surat kabar Samarastul Alfunun, Beirut, Ahmad Hasan Tabarah. e. Dengan surat kabar al-Ittihad Al-Utsmani, Turki. f. Majalah al-Iman, Singapura. 68 Jamiat Kheir juga mempunyai hubungan dengan organisasi di dalam negeri saat itu, seperti: a. Budi Utomo b. Sarikat Islam pada tahun 1916. Sayyid Abdullah bin Husein Alatas adalah seorang pengurus Jamiat Kheir yang selalu ikut dalam rapat Sarikat Islam di Jakarta. c. Jong Islamiten Bond Persatuan Pemuda Islam.

B. JAMIAT KHEIR MERESPON BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA 1. MASA PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

a. Kebijakan Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi muslim terpelajar. Pendidikan Islam dianggap sebagai wahana yang memupuk sumber semangat perjuangan rakyat.Untuk itu pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan peraturan umum yang memberikan ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap sekolah agama Mohammedaans God Dients Onderwijs 68 Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir. dengan Staadblaad 1818 No. 4, yang menyebutkan pengajaran agama harus seijin Gubernur Jenderal. 69 Hal tersebut juga dijelaskan oleh Mansur dan Mahfud Junaedi, dalam bukunya yang berjudul Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia bahwa Pada zaman kolonial Belanda telah didirikan beraneka macam sekolah, ada yang bernama Sekolah Dasar, Sekolah Kelas II, HIS, MULO, AMS dan lain-lain. Sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya mengajarkan pelajaran umum, tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa setiap guru agama harus minta izin dahulu. 70 Ketentuan tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa sekolah agama menjadi alat meninggikan akhlak rakyat dan menjadi sumber semangat perjuangan rakyat menentang penjajahan. 71 Islam juga mengajarkan hukum-hukum Islam kepada kaum muslimin baik laki-laki ataupun perempuan, tua maupun muda, tanpa membedakan umur, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara, tanpa membeda-bedakan martabat, usia maupun jenis kelamin seseorang. 72 Hal ini berbeda dengan kebijakan pemerintah Kolonial yang dikeluarkan dalam bentuk kebijakan Pendidikan yang mengatur juga mengenai pendidikan Islam. Bagi Pemerintah Hindia Belanda, pendidikan tidak hanya bersifat pedagogik kultural, tapi juga bersifat psikologis politis. 73 Pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya mempengaruhi budaya masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat, sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Di lain pihak, 69 A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung : Mizan, 1998, hal.71. 70 Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 2005, h. 51 71 A. Malik Fadjar, Op. Cit. 72 Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, Surabaya: al- Izzah, 1996, h. 43 73 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta : LP3ES, 1984, hal. 49. pandangan tersebut juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam. Muatan keagamaan pada pendidikan Islam pada akhirnya akan menambah semangat kritis umat Islam terhadap sistem kebudayaan yang dibawakan oleh kaum penjajah. Tidak dipakainya sistem pendidikan Islam oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sebagaimana yang ditulis oleh Karel A. Steenbrink, juga karena pertimbangan aspek metodiknya yang tidak baik. Seperti dikutip oleh Steenbrink, seorang Inspektur pendidikan pribumi, JA Van Chijs, pada tahun 1865 memberi alasan: “Walaupun saya sangat setuju kalau sekolah pribumi diselingi dengan kebiasaan pribumi pendidikan pesantren, namun saya tidak menerimanya karena kebiasaan tersebut membaca teks Arab dengan hafalan tanpa pengertian terlalu jelek, sehingga tidak dapat dipakai dalam sekolah pribumi.” 74 Selain itu, diasingkannya pendidikan Islam oleh pemerintah Hindia Belanda, karena konsekuensinya yang justru tidak menguntungkan kepentingan politik Hindia Belanda sendiri.Pendidikan Islam dalam prakteknya lebih menekankan kepada aspek keimanan dan keyakinan dalam beragama, yang secara langsung memberi rangsangan dan motivasi untuk melawan penjajah dan pemerintahan yang kafir.Dalam mengawasi pendidikan Islam pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan penerbitan Ordonansi Guru. Ordonansi Guru dikeluarkan pada tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama untuk meminta dan memperoleh ijin terlebih dahulu dari pemerintah Hindia Belanda sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru. 75 Ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam, berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, kecuali Yogyakarta dan 74 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, Jakarta : LP3ES, 1994,hal. 3 75 Aqib Suminto, Op. Cit. hal. 51. Solo.Latar belakang penerbitan ordonansi guru ini bersifat politis guna menekan pendidikan Islam sehingga tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Bagi umat Islam, ordonansi guru dirasakan sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi perkembangan pendidikan Islam, tetapi juga mengurangi peranan pendidikan Islam di Indonesia.Dalam prakteknya, Ordonansi Guru tersebut dapat dipergunakan untuk menekan ajaran Islam, karena dikaitkan dengan ketertiban dan keamanan.Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan. Dalam perkembangannya, Ordonansi Guru mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Ordonansi Guru yang kedua pada tahun 1925, dari keharusan guru agama mendapatkan surat ijin menjadi keharusan guru agama untuk melapor dan memberitahu kepada pemerintah Hindia Belanda. 76 Ordonansi guru yang kedua ini tidak hanya berlaku untuk Jawa dan Madura saja, tapi berlaku pula untuk wilayah Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado dan Lombok. 77 Namun demikian, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya, ordonansi guru yang kedua itupun digunakan untuk menghambat gerakan umat Islam. Peristiwa yang dialami oleh Muhammadiyah pada tahun 1926 di Sekayu Palembang membuktikan hal tersebut. Pada saat itu, pengurus pusat Muhammadiyah akan meresmikan sekolah Muhammadiyah, tetapi dilarang secara mendadak dengan alasan keamanan dan ketertiban, meskipun sudah memberitahukan rencana tersebut kepada Residen Palembang. 78 Selain ordonansi guru, pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan ordonansi sekolah liar.Ketentuan dalam ordonansi sekolah liar mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pemerintah. 76 Aqib Suminto, Op. Cit, hal. 53-54. 77 Ibid. 78 Ibid., hal. 5. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolah harus diberikan secara berkala.Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan tersebut.Bagi lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah, ketentuan tersebut sangat memberatkan. Lembaga pendidikan Islam belum memiliki aturan yang rapi dan terorganisasi, daftar murid dan guru maupun mata pelajaran. Ordonansi ini dengan sendirinya menjadi penghambat bagi pendidikan Islam. Reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua corak, defensif dan progesif. 79 Corak defensif ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda terhadap sistem pendidikan Islam. Sikap tersebut terlihat dalam sistem tradisional pesantren yang sepenuhnya mengambil jarak dengan pemerintah Hindia Belanda. Di samping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan posisi defensif tersebut, pesantren pada kenyataannya bebas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda meskipun dengan resiko harus terasing dari perkembangan masyarakat modern. Selain bersifat defensif, corak responsi umat Islam juga bersifat progresif, yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda tersebut merupakan kesetaraan dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum. Ketergantungan pada tekanan penjajah akan semakin melemahkan posisi pendidikan Islam. Begitupun sebaliknya, membiasakan sikap defensif terus menerus akan semakin memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan Hindia Belanda. Dalam hal ini diperlukan upaya sekolah ala Belanda, tetapi tidak meninggalkan akar keagamaannya. Usaha dari upaya tersebut adalah tumbuh dan berkembangnya sekolah Islam atau madrasah di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa. 79 H. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, hal. 11.