Sejarah Lembaga Kejaksaan di Indonesia

BAB II FUNGSI DAN WEWENANG LEMBAGA KEJAKSAAN

DALAM PENGAJUAN PERMOHONAN KEPAILITAN

A. Sejarah Lembaga Kejaksaan di Indonesia

Dalam bahasa asing khususnya bahasa Inggris, sejarah dinyatakan dengan kata “history, story dan genealogy”. 45 Selain uraian sejarah hukum tersebut, sejarah lembaga kejaksaan secara institusi tidak sekedar menguraikan kronologis ataupun rekonstruksi belaka, tetapi lebih dari itu, sejarah kejaksaan membukti suatu data dan perjalanan rentetan sejarah 45 S. Wojowasito, et.al. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia-Inggris, dengan ejaan yang disempurnakan, Bandung : Hosta, 1980, hal. 245. Lain halnya dengan Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Bandung : Alumni, 1983, hal. 13 dalam Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik, ed. 1, cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 1984, hal. 40, yang lebih lanjut menjelaskan pengertian sejarah adalah : disatu pihak sejarah dapat diartikan sebagai riwayat dari kejadian-kejadian, yaitu suatu penyajian dari kejadian-kejadian tersebut. Selain daripada itu sejarah merupakan suatu buku yang berisikan riwayat dari suatu bangsa masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sejarah juga merupakan penulisan secara sistematis dari gejala-gejala tertentu yang yang berpengaruh terhadap suatu bangsa, masyarakat atau kelompok sosial yang biasanya disertadi dengan suatu penjelasan mengenai sebab-sebab timbulnya gejala-gejala tersebut. Pendeknya sejarah adalah pencatatan yang bersifat deskriptif dan interpretative, mengenai kejadian-kejadian yang dialami oleh manusia pada masa-masa lampau yang ada hubungannya dengan masa kini. Lihat juga pidato sambutan dan pengarahan pada simposium sejarah hukum di Jakarta, pada tanggal 1-3 April 1975 oleh Menteri Kehakiman RI, yang berbunyi : perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan hukum dari masa lampau, ibid, hal. 41. Lihat juga Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Bandung : Alumni, 1997, hal. 12. Dalam bahasa asing, sejarah dinyatakan dengan kata “history”. Asal katanya adalah historical bahasa Yunani yang berarti hasil penelitian dan sering dipergunakan oleh Herodotus pada abad kelima sebelum Masehi. Melalui kata Latin…historis, istilah tersebut menyebar luas dan menjadi historia bahasa Spanyol, ….historic Bahasa Belanda, histoire bahasa Prancis, ….history bahasa Inggris, storia bahasa Itali, dan seterusnya. Dalam bahasa Jerman semula diper gunakan istilah…geschichie yang berasal dari kata geschehen yang berarti “sesuatu yang terjadi”. Pada abad XVI istilah tersebut dipergunakan untuk menunjuk pada koleksi data sejarah. Pada abad XIX dan XX istilah historic dipergunakan untuk menunjukkan koleksi fakata kehidupan manusia dan perkembangannya. Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008 yang dapat menjadi pengalaman berarti dalam melakukan perbaikan-perbaikan ataupun pembelajaran untuk meningkatkan prestasi kejaksaan dalam hal penegakan hukum dan meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi hal-hal yang masih belum memuaskan bagi perjuangan dan gerak langkahnya dimasa kini dan masa yang akan datang. 46 Sejarah Jaksa Indonesia berawal di pertengahan abad kesembilan belas sewaktu pemerintah jajahan Belanda mengundangkan IR Inlandsh Reglement atau Reglemen Bumi Putera, dan RO Reglement op de Rechterlijke Organisatie atau Reglement Organisasi Peradilan. 47 IR merumuskan antara lain, hukum acara pidana, 46 H.R. Sadili Sastrawijaya, Lima Windu SEjarah Kejaksaan Republik Indonesia, 1945-1985, Jakarta : Panitia Penyusunan dan Penyempurnaan Sejarah Kejaksaan, 1985, hal. 4. 47 Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan, Depok : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000, hal. 119. Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tanggal 1 Oktober 1945, maka semua kantor kejaksaan yang dulunya masih “Chianbu” Departemen Dalam Negeri dipindahkan kembali ke dalam “Shihoobu” Departemen Kehakiman. Dengan kepindahan kantor-kantor kejaksaan ke dalam Departemen Kehakiman maka corak dan tugas kewajiban para jaksa yang telah diberikan kepadanya pada masa pemerintah militer Jepang tidak mengalami perubahan, oleh karena Peraturan Pemerintah tanggal 10 Oktober 1945 nomor : 2 telah ditentukan bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan yang dulu undang-undang Jepang dan undang-undang Hindia Belanda tetap berlaku sampai saatnya undang-undang itu diganti baru. Dengan demikian maka pada waktu proklamasi kemerdekaan RI, Jaksa menjabat penuntut umum pada Pengadilan Negeri. Bukankah menurut HIR pekerjaan “Openbaar Ministerie” pada tiap-tiap Pengadilan Negeri dijalankan oleh “Magistraat” dan perkataan-perkataan “Magistraat” harus diganti dengan “Jaksa”, sehingga Jaksa pada waktu itu dengan sendirinya menjadi penuntut umum pada Pengadilan Negeri. Berdasarkan Pasal 5 Osamu Seirei No. 2 tahun 1944 tidak ada ketua Saikoo Kensatsu Kyoku Jaksa Agung. Pekerjaan ketua Saikoo Kensatsu itu dilaksanakan oleh Gunseikanbu Shihobucoo Pejabat Kehakiman pada kantor pemerintah balatentara Jepang dan kemudian dilakukan oleh Gunseikanbu Cianbucoo Pejabat Keamanan pada kantor pemerintah balatentara Jepang yang mengkoordinasikan Kejaksaan dan Kepolisian berdasarkan Pasal 2 Osamu Seirei No. 49 tahun 1944. Dari ketentuan tersebut nampak bahwa istilah Openbaar Ministerie OM menurut Pasal 55 R.O. oleh Jepang diganti atau diterjemahkan sebagai Kejaksaan. Saat berdirinya negara RI mempunyai relevansi yang sangat penting bagi permulaan eksistensi Kejaksaan RI. Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 saat mulai berdirinya Kejaksaan Republik Indonesia secara yuridis-formal adalah bertepatan dengan saat mulai berdirinya negara RI yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945 itu dikemukakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku sebelum diganti dengan yang baru menurut ketentuan UUD terhitung sejak saat berdirinya negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008 sedangkan RO merumuskan badan penuntut umum 48 pada Pengadilan Bumi Putera maupun Pengadilan Golongan Eropa di Hindia Belanda. 49 IR pada tahun 1941 menjadai HIR Herziene Inslanch Reglement, atau Reglement Bumi Putera yang Diperbaharui dan kemudian menjadi Reglement Indonesia yang Diperbaharui. HIR mengatur hukum acara perdata dan hukum acara pidana untuk pengadilan-pengadilan Bumi Puter sedangkan Jaksa Magistraat pada pengadilan tersebut berada di bawah tangan Residen atau Asisten Residen di kabupaten-kabupaten. Jabatan-jabatan tadi diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Setiap Magistraat membawahi beberapa jaksa Bumi Putera. 50 Sebaliknya, badan penuntut umum untuk pengadilan golongan Eropa, dipimpin oleh Procureur General, yaitu Jaksa Agung Hooggerechtshof yaitu 48 R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Jakarta : Pradnya Paramita, 1997, hal. 136. Pada tahun 1932 perluasan wewenang-wewenang Badan Penuntutan Umum diteladani dari Wetboek van Strafvordering, negeri Belanda yang baru. Asas-asas terpenting dari Reglement op de Strafvordering, Hindia Belanda, adalah : Badan Penuntutan Umum memegang monopoli penuntutan Pasal 27 Algemeine Bepalingen van Wetgeving, yang berakibat bahwa hanya pegawai-pegawai yang dengan ketentuan undang-undang diberi wewenang untuk hal itu, berhak mengadakan tuntutan. Demikian Pasal 55 R.O. menentukan, bahwa Badan Penuntut Umum diberi tugas menuntut segala perbuatan pidana. Hanyda dalam yang disebut perbuatan pidana atas pengaduan orang partikelir mempunyai sekedar pengaruh atas penuntutan, yakni penuntutan itu tidak mungkin jikalau yang berkepentingan tidak ingin mengajukan pengaduan. Openbaar Ministerie Badan Penuntutan Umum, meliputi seluruh pegawai yang diangkat pada pengadilan Eropa untuk memangku jabatan-jabatan Penuntut Umum, yakni pokrol Jenderal dan para advokat-jenderal pada Hoogerechtshop, para officier dan substituut officier van justice pada raad van justitite dan pegawai- pegawai penuntut umum pada politoierechter. Pada landgerecht tidak ada pegawai penuntut umum. Badan penuntutan adalah badan kesatuan. Pegawai-pegawai yang termasuk badan itu wajib mengikuti petunjuk-petunjuk dinas dari kepala-kepalanya mengenai hal melakukan jabatannya. Selanjutnya semua pegawai Badan Penuntutan Umum ada di bawah pokrol – jenderal Pasal 180 ayat 2 R.O. 49 Ibid, hal. 136 50 Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Persfektif Hukum, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 15. Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008 Mahkamah Agung Hndia Belanda di Batavia. 51 Di bawah Jaksa Agung adalah para Officieren van justitie, sebab itu badan penuntut umum ini termasuk korsa pegawai kehakiman judicia service, bukan pegawai negeri civil service. Menurut undang-undang, tugas kedua badan penuntut umum itu adalah mempertahankan undang-undang, melakukan penyidikan dan penyelidikan lanjutan, menuntut kejahatan dan pelanggaran dan melaksanakan putusan pengadilan pidana. 52 Fungsi lembaga kejaksaan pada masa pemerintahan kolonial Belanda antara lain adalah fungsi mengadili perkara dan fungsi untuk menerima dan mempersiapkan perkara. Kedudukan Jaksa yang berada di bawah Asisten Residen berdasarkan Inlandsch Reglement IR Stb. 1848 No. 16 secara formal diubah dengan diundangkannya HIR Herziene Inslanch Reglement, Stb. 1941 No. 44. Namun demikian, dalam realitasnya, kedudukan, tugas dan wewenang lembaga kejaksaan, dalam hal ini jaksa, tetap seperti berdasarkan pada HIR, yang masih berada di bawah Asisten Residen. Dengan demikian kedudukan jaksa masih sekedar sebagai asisten penuntut umum, karena yang memiliki kewenangan untuk menuntut adalah Asisten Residen. Tetapi yang perlu dicatat adalah, kedudukan jaksa yang berada di bawah 51 R.M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1996, hal. 31. 52 K. Wantjik Saleh, Intisari Yurisprudensi Pidana dan Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 1985, hal. 40. Intisari Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Pidana, Pelaksanaan Hukuman. Bahwa segala sesuatu mengenai pelaksanaan hukuman yang ditugaskan kepada Jaksa diserahkan kepada kebijaksanaan Jaksa. Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008 Hooggerechtshof, jadi berada di lingkungan Pengadilan Tinggi, berarti lembaga kejaksaan di lingkungan kekuasaan yudikatif. 53 Kedudukan lembaga kejaksaan di lingkungan kekuasaan yudikatif beralih ke lingkungan kekuasaan eksekutif setelah keluarnya UU No. 15 Tahun 1961 Pasal 2 ayat 1 sampai ayat 4, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. 54 Sementara itu di dalam penjelasan pasal tersebut pada ayat 2 dinyatakan bahwa, untuk kesempurnaan tugas-tugas penuntutan, Jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalma bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai kepada akhir, yang seluruhnya itu harus dilakukan atas dasar hukum. 55 Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat 2 dinyatakan bahwa : “untuk kepentingan penuntutan perkara Jaksa Agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam lingkungan daerah hukumnya, mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat penyidik dengan mengindahkan hierarki”. 53 Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985, hal. 87, Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik, Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 1994, hal. 55, Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Cet. 1, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hal. 18-19. 54 UU No. 15 Tahun 1961 Pasal 2 ayat 1 sampai ayat 4, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI menjelaskan sebagai berikut : 1. Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang dan menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana; 2. Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara; 3. Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; 4. Melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan oleh sesuatu peraturan negara. 55 Osman Simanjuntak, Tehnik Penuntutan dan Upaya Hukum, Jakarta : Grasindo, 1995, hal. 29. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh Hakim di sidang pengadilan Pasal 1 butir 7 KUHAP. Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008 Perluasan kewenangan kejaksaan juga diberikan oleh Pasal 10 UU No. 15 Tahun 1961 yaitu, mengenai inisiatif kejaksaan apabila menerima laporan terjadinya suatu tindak pidana. Inisiatif yang dilakukan oleh kejaksaan terutama adalah menghubungi pihak Polri dan kemudian bersama-sama melakukan penyidikan. Kewenangan yang demikian besar dimiliki oleh kejaksaan tidak terlepas dari kedudukannya yang istimewa di lingkungan kekuasaan eksekutif. Selaras dengan kekuasaan rezim pemerintahan orde baru yang berciri militeristik, perebutan kewenangan yang dimulai sejak awal kemerdekaan RI mencuat kembali. Hal ini ditandai dengan dipangkasnya kewenangan kejaksaan RI dengan keluarnya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal dengan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Pemangkasan Hooggerechtshof kewenangan itu dilanjutkan dengan dibentuknya UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. KUHAP dibentuk berdasarkan perkembangan ilmu hukum pidana modern yang intinya mengatakan, bahwa usaha penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merjupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya hukum pidana. 56 56 Djoko Prakoso, Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini, Cet. 1, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984, hal. 13. Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman. Kalau orang mendengar kata “hukuman”, biasanya yang dimaksud adalah penderitaan yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum pidana. Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama apabila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa, kemerdekaan atau kebangsaannya. Dalam pandangan masyarakat, orang yang telah dikenakan pidana seolah-olah mendapat cap, baha orang tersebut dipandang sebagai orang yang jahat, yang tidak baik atau orang yang tercela. Prof. Sudarto, SH mengemukakan : “pidana tidak hanya tidak enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudahnya orang yang dikenai pidana itu masih merasakan akibatnya yang berupa “cap” oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008 Dengan demikian, politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum, dan hal itu dilaksanakan melalui Sistem Peradilan Pidana Terpadu Integrated Criminal Justice System. Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana tersebut ditopang oleh 4 empat sub sistem, yaitu : sub sistem Kepolisian, sub sistem Kejaksaan, sub sistem Pengadilan dan sub sistem Lembaga Permasyarakatan. 57 Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana yang diadopsi dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, wewenang kejaksaan dipangkas hanya mengenai tugas penuntutan saja. Tugas-tugas di bidang penyidikan dan penyidikan dan penyelidikan yang sebelumnya keluar KUHAP dimiliki juga oleh kejaksaan, diberikan kepada Polri yang merupakan satu-satunya lembaga penyidikan dan penyelidikan. 58 Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. Meski demikian, menilik tugas dan wewenangnnya masing-masing, tugas pencegahan kejahatan secara spesifik telah terkait dengan sub sistem kepolisian. Sementara tugas ketiga lebih disebut “stigma”. Jadi, orang tersebut mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah- oleh dipidana seumur hidup. 57 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, ed. 1, cet. I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 24. 58 [POLICY] JSI – Polisi dan Jaksa, http:www.hamline.eduapakabarbasisdata200109050028.html, terakhir diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Dalam sistem peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat Morris, 1982. Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008 terkait dengan sub sistem lembaga pemasyarakatan. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa pada tahap prajudisial dan pengadilan pada tahap judicial. 59 Secara keseluruhan mengenai tugas-tugas kejaksaan dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu pertama, tugas yudisial, dan kedua, tugas non-yudisial. Jika diperhatikan, tugas kejaksaan yang terpangkas hanyalah tugas di bidang penyidikan dan penyelidikan, dalam tindak pidana umum yang masuk dalam bidang tugas yudisial. Meskipun demikian tugas yudisial kejaksaan sebenarnya bertambah, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1991 jo UU No. 16 Tahun 2004, kejaksaan mendapat kewenangan sebagai pengacara pemerintah atau negara. Pasal 27 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1991 menyatakan bahwa, “ di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Tugas ini sekarang dipertanyakan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan tugas ini dengan argumennya bahwa, tugas ini merupakan salah satu indikasi bahwa kejaksaan merupakan alat pemerintah. Tugas kejaksaan di bidang non yudisial tetap seperti semula, tidak ada yang dikurangi dan tugas-tugas itu memerlukan perhatian yang besar dari lembaga 59 Ibid. Hubungan polisi dan jaksa sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana. Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas, penyalahgunaan wewenang, tmpah tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi di masyarakat, serta kegagalan mencapai tugas menyelesaikan kejahatan di masyarakat, perlu ada suatu hukum yang di dalamnya antara lain memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan tugas penegakan hukum pidana, bagaimana tatacara penegakannya, apa saja tugas dan kewajibannya, serta sanksi apa bila ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara atau tugas di kewenangannya. Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008 Kejaksaan. Tugas kejaksaan non yudisial itu adalah, berdasarkan Pasal 2 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1961 disebutkan bahwa, kejaksaan mempunyai tugas mengawasi aliran kepercayaan masyarakat yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, atau biasa dikenal dengna tugas PAKEM. Kewenangan kejaksaan itu diadopsi lagi dalam UU No. 5 Tahun 1991 dalam Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Di masa rezim orde baru, kedudukan kejaksaan tidak mandiri dan dalam melaksanakan fungsinya tidak inpenden. Memasuki era reformasi saat ini masyarakat luas mengharapkan lembaga kejaksaan dapat melaksanakan fungsinya dengan independen. Mengenai hal itu sering kali dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan yang harus mandiri, tetapi apakah memang untuk dapat melaksanakan tugas dengan independen diperlukan kemandirian, hal tersebut perlu kajian yang lebih mendalam lagi. Independensi tidak identik dengan mandiri karena banyak lembaga yang mandiri tetapi dalam melaksanakan fungsinya tetap tidak independen, contohnya adalah lembaga-lembaga negara di masa rezim pemerintah orde baru, oleh karena itu, penyelesaian yang terbaik untuk masalah independen adalah dengan menetapkan hal tersebut di dalam sebuah undang-undang. Di Indonesia sebutan “jaksa” sudah berabad-abad lamanya digunakan dan berasal dari bahasa Sanksekerta adhyaksa. Sebutan purba ini dipakai untuk gelar pendeta paling tinggi di kerajaan-kerajaan Hindu Pulau Jawa, dan terutama dipakai Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008 pemerintah VOC di abad ke-16 ditulis sebagai “j – a – x – a”. 60 Sejak zaman itu sampai dengan pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1942, “jaxa” dan kemudian “djaksa” dipakai sebagai sebutan untuk para Pejabat Hukum Bumi Putera yang hampir sama dengan seorang magistrate. Sejak zaman pendudukan Militer Jepang 1942-1945, “jaksa” pada masa itu ditulis “djaksa” adalah gelar bagi para pejabat hukum yang berwenang menuntut perkara-perkara pidana. Kejaksaan adalah merupakan suatu institusi penegak hukum. 61 Sedangkan jaksa adalah person atau pribadi yang berada dalam lingkup kejaksaan yang diberi tugas-tugas khusus untuk melakukan penuntutan dan penyidikan dalam perkara- perkara tertentu vide Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004. 62 Keberadaan kejaksaan di dalam perjalanan kehidupan kenegaraan RI seperti telah dijelaskan di atas, pernah berada di lingkungan kekuasaan yudikatif pada masa kerajaan dan sebelum kemerdekaan. Dimaksud dengan kata Adhyaksa yang khas 60 A. Zainal Abidin Farid dan Amier Syarifuddin, Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan di Beberapa Negara, Makalah, 1977, hal. 5. 61 R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, cet. Ke-3, Jakarta : Pradnya Paramita, 1978, hal. 153. Pengertian Jaksa menurut konsep dari R. Tresna, adalah sebagai berikut : “bahwa nama Jaksa atau Yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia diberikan kepada pejabata yang sebelumnya pengaruh hukum Hindu masuk di Indonesia, sudah biasa melakukakan pekerjaan sama. 62 Saherodji, Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan dalam Administrasi Peradilan di Indonesia Desertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Administrasi, Jakarta : 1973, hal. 170. Pandangan cendikiawan kejaksaan yaitu Dr. Saheroji, bahwa : “kata jaksa berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pengawas superintedant atau pengontrol yaitu pengawas soal-soal kemasyarakatan”. Lihat juga Lampiran Surat Keputusan Jaksa Agung RI, tahun 1978 yang menyatakan bahwa pengertian Jaksa ialah : “Jaksa asal kata seloka satnya adhy wicaksana yang merupakan trapsila adyaksa dan mempunyai arti serta makna sebagai berikut : “satya, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun sesama manusia. Adhi, kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga, dan terhadap sesama manusia. Wicaksana, bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya. Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008 Indonesia terutama adalah hakim, berlainan dengan jaksa saat ini yang penuntut umum. Kedudukan dan fungsi jaksa diatur dalam undang-undang tentang Kejaksaan RI, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Penuntut umum yang dikenal sekarang adalah warisan pemerintah kolonial Belanda yang bersumber dari Pemerintah Prancis. Meskipun demikian, minimal ada dua kesamaan baik kedudukan maupun fungsinya, yaitu : 1. Kedudukan Adyaksa ada di bawah raja-raja, selanjutnya di masa kolonial kedudukannya di bawah Residen atau Asisten Residen, dan di masa kemerdekaan, kedudukan jaksa ada di lingkungan kekuasaan eksekutif. 2. Salah satu fungsi jaksa adalah di bidang keagamaan demikian juga jika diperhatikan Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Pokok Kejaksaan yang mengatur atua memberi wewenang hal yang sama.

B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Proses Penegakan Hukum