agendanya adalah terwujudnya supremasi hukum.
77
Di sisi lain, jaksa agung adalah “a man of law”yang dalam sistem kita dapat digambarkan sebagai abdi hukum, abdi
negara dan abdi masyarakat yang tidak mengabdi pada presiden dengan kepentingan politiknya.
Dalam mewujudkan agenda reformasi yaitu supremasi hukum, rasanya kita memerlukan seorang jaksa agung dengan kualifikasi sebagai abdi hukum, yang
memiliki tingkat profesionalisme yang tinggi dan tepat disertai sifat yang jujur.
78
2. Jaksa
Dalam UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 8 ayat 1 dinyatakan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh jaksa agung. Sedangkan
pengertian jabatan fungsional jaksa dirumuskan dalam UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 4 sebagai jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan
yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Mengingat jaksa mempunyai kualifikasi sebagai pejabat fungsional, maka bagi
77
Frans E. Likadja, Daniel Bessie, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988, hal. 9, lihat juga UU No. 15 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, pada dasarnya telah ditetapkan berbagai kebijakan yang mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional dalam mewujudkan supremasi hukum dan
pemerintahan yang baik. Program-program tersebut adalah : 1. Program pembentukan peraturan perundang-undangna; 2. Program pemberdayaan lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya;
3 Program penuntasan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme serta pelanggaran hak asasi manusia; 4. Program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum.
78
Moh. Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1998, hal. 22. Ciri menonjol hukum otonom adalah terikatnya masyarakat secara kuat pada prosedur.
Elit penguasa tidak lagi leluasa menggunakan kekuasaan karena ada komitmen masyarakat untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan tata cara yang diatur. Dengan mengacu pada Marryman, Abdul
Hakim Garuda Nusantara mengemukakan 3 tiga macam tradisi hukum yang kemudian dikaitkan dengan strategi pembangunan hukum. Ada 2 dua macam strategi pembangunan hukum yang
akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya yaitu pembangunan hukum “ortodoks” dan pembangunan hukum “responsif”, lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik
Hukum Indonesia, Jakarta : Yayasan LBHI, 1988, hal. 26-34.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
seseorang untuk dapat diangkat menjadi jaksa harus memenuhi syarat yang lebih dari syarat bagi pegawai negeri. Syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 9 UU No. 16
Tahun 2004 tersebut adalah : 1. Pertama-tama harus lulus penyaringan sebagai pegawai negeri;
2. Setidak-tidaknya harus memiliki diploma sarjana hukum dan; 3. Lulus dari pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.
Sebagai pejabat fungsional, jaksa tidak boleh mempunyai jabatan atau pekerjaan rangkap dan untuk itu jaksa memperolah tunjangan jabatan fungsional di
samping mendapat gaji sebagai pegawai negeri vide Pasal 11 jo Pasal 17 UU No. 16 Tahun 2004.
Karena kualifikasinya sebagai pejabat fungsional, maka terhadap seorang jaksa dituntut mampu menunjukkan performance yang lebih baik nilainya dari pada
seorang pegawai negeri pada umumnya. Bilamana performance yang lebih itu tidak mampu ditunjukkan, maka seorang jaksa dapat diberhentikan dengan hormat atau
diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 jo Pasal 13 UU No. 16 Tahun 2004. Pemberhentian ini dilakukan oleh jaksa agung, karena
beberapa hal, diantaranya : 1. Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatan fungsional jaksa, karena :
a. Permintaan
sendiri. b. Sakit jasmani atau rohani terus menerus.
c. Telah mencapai usia 62 enam puluh dua tahun. d.
Meninggal dunia.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
e. Tidak cakap dalam melaksanakan tugas. 2. Jaksa diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan fungsional jaksa, bila ia :
a. Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugaspekerjaannya; c. Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
d. Melanggar sumpah atau janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ; atau
e. Melakukan
perbuatan tercela.
3. Dari UU No. 16 Tahun 2004 tersebut sebetulnya telah tegas dan jelas disyaratkan bahwa seorang jaksa adalah seorang yang profesional. Profesionalisme jaksa
inilah yang menjadi dasar bahwa jaksa diberi kualifikasi jabatan fungsional. Apabila seorang jaksa ternyata tidak dapat menunjukkan profesionalismenya,
maka ia berhadapan dengan sanksi yang cukup berat, yaitu diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat jabatan jaksa status pegawai
negeri tetap. Sanksi ini sebenarnya merupakan garda penjaga bagi profesionalisme jaksa.
Dalam hubungan ini, ada satu hal lagi yang berkaitan dengan profesionalisme jaksa, yaitu privillege right as an advantage of favor. Jaksa dengan keahliannya
dalam bidang hukum, dengan statusnya mewakili kekuasaan negara sebagai penuntut umum yang dilengkapi dengan kekuasaan atau wewenangnya secara legal dapat
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
melanggar hak asasi manusia menangkap, menahan, menyita dan sebagainya
79
, kemudian menyatakan dirinya sebagai kelompok profesionalisme yang secara legal
formal diakui dengan UU No. 16 Tahun 2004. Hal ini kemudian menimbulkan privillege bagi jaksa, misalnya usia pensiun jaksa 62 tahun, mendapat tunjangan
jabatan fungsional dan sebagainya. Mengacu dengan program ini, lembaga kejaksaan telah membentuk Komisi
Kejaksaan yang membina profesionalisme jaksa untuk memenuhi pesan-pesan yang berkaitan dengan pembinaan profesionalisme jaksa dan sanksi terhadap jaksa yang
tidak profesional vide Peraturan Presiden RI No. 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI. Maka, oleh karenya jaksa harus kembali pada etika jaksa seperti yang
tercantum dalam tata krama adyaksa,
80
yaitu bahwa sebenarnya jaksa itu adalah abdi hukum atau a man of law sekaligus abdi negara dan abdi masyarakat.
81
79
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 295. Adanya kekuasaan dan wewenang pada setiap masyarakat, merupakan gejala yang wajar.
Walaupun terwujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu sendiri, karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut pandangan masyarakat yang bersangkutan. Setiap masyarakat
memerlukan suatu faktor pengikat dan pemersatu yang terwujud dalam diri seseorang atau sekelompok orang-orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang tadi. Sebagai suatu proses, baik kekuasaan
maupun wewenang merupakan suatu pengaruh yang nyata atau potensial.
80
Etika berasal dari bahasa Yunani yang berarti ethos atau mos-moris : kebiasaan dan terutama tingkah laku. Etika menilai tindakan manusia yang bersifat baik dan buruk. Tindakan itu
seakan-akan keluar dari manusia, dilakukan dengan sadar atas pilihan, dengan satu kata sengaj. Faktor kesengajaan ini mutlak untuk penilaian baik dan buruk. Objek material etika adalah manusia,
sedangkan objek formalnya adalah tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja, Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta : Rieneka Cipta, hal. 13-15. Memang harus diakui bahwa
bagaimanapun manusia itu pada umumnya tahu akan adanya baik dan buruk. Akan tetapi kesadaran moral ini tidak selalu ada pada manusia. Lebih jauh dijelaskan bahwa pengetahuan tentang baik dan
buruk itu disebut kesadaran etis atau kesadaran moral.
81
E .Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Buku Ichtiar, 1975, hal. 6. Hukum adalah suatu gejala sosial. Tiada masyarakat yang tidak mengenal hukum. Hukum itu berusaha
membawa jaminan bagi seseorang, bahwa kepentingannya diperhatikan oleh tiap orang lain.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Pasal 8 ayat 3 dan 4 UU No. 16 Tahun 2004 sebenarnya harus menjadi pondasi bagi setiap jaksa dalam melaksanakan fungsinya dan profesinya. Pasal
tersebut mengatakan bahwa jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan
kesusilaan dan wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat,
82
sehingga dapat dicapai supremasi hukum yang ideal.
83
Jaksa wajib menegakkan hukum, sedang di dalam hukum yang ditegakkan itu di dalamnya terkandung etika hukum yang juga harus ditegakkan. Jadi, menegakkan
hukum sebenarnya berarti pula penegakan etika hukum enforcement of ethics law.
84
Realitas kehidupan masyarakat Indonesia memahamkan hukum sebagai suatu piranti perjuangan serba manfaat untuk mencapai perikehidupan mulia. Paham ini
82
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ini bearti hakim harus menemukan hukum. Di dalam hukum perdata dan hukum adat, masalah penemuan hukum sudah
merupakan hal yang biasa. Sedangkan hukum pidana berlaku asas legalitas. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tidak menyebutkan tidak berlaku kewajiban hakim untuk menggali hukum
yang hidup bagi hukum pidana. Dengan demikian hakim dalam menangani perkara pidana tetap dapat menemukan hukum, hanya saja tidka menggunakan analogi. Hakim tetap dapat menemukan hukum
dan menggali hukum dengan cara melakukan penafsiran. Dengan demikian, kewajiban untk menggali dan memahami nilai-nilai hukum ini merupakan kewajiban bagi hakim dan jaksa sebagai pihak yang
terlibat langsung dalam proses peradilan.
83
Supremasi Hukum di Indonesia, diakses dari situs : http:www.groups.yahoo.comgroupindonesia-frmessage1481, terakhir diakses pada tanggal 30
November 2007. Supremasi hukum di Indonesia cuma pemanis bibir penguasa saja. Lihat saja kinerja insstitusi hukum Menkumdang, Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Kepolisian Negara. Lembaga-
lembaga ini terkesan lemah dan “kurang vitamin” menahan runtuhnya supremasi hukum. Karena itu, tak heran bila masyarakat menilai berbagai peristiwa hukum yang digelar kejaksaan tidak lebih dari
rangkaian tontonan hukum yang semu. Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir dari penegakan keadilan di Indonesia belum dapat diharapkan. Begitupun polisi sebagai aparan hukum, masih banyak
yang “nakal”, sehingga penegakan supremasi hukum di Indonesia masih jauh dari harapan.
84
Frans Magnis Suseno menyatakan bahwa sanksi atas pelanggaran kode etik pada umumnya identik dengan sanksi terhadap pelanggaran norma-norma agama, kesusilaan atau sopan santun.
Sekalipun demikian, secara intern, suatu organisasi profesi dapat pula memberikan sanksi yang telah disepakati bersama kepada anggotanya yang melanggar. Frans Magnis Suseno, Pokok-Pokok Filsafat
Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1995, hal. 248.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
memuat pengakuan ontologik bahwa hukum yang baik adalah yang mencerminkan realitas atas rasa keadilan masyarakata, bukan keadilan menurut konsep dari lembaga
pembentuk hukum.
85
3. Organisasi Kejaksaan