Hubungan Eksploitatif TINJAUAN PUSTAKA

14 hubungan ekonomi, tetapi meluas hingga hubungan sosial. Umumnya terlihat pada kesediaan tauke untuk menjamin kebutuhan petani pada masa sulit misalnya: musim hujan dan kemarau yang panjang. Di sisi lain petani bersedia membantu tauke bila diperlukan tanpa mengharapkan imbalan apapun. 2 Kerjasama antarapetani karet dengan tauke berlangsung dalam proses produksi yang mana tingginya tingkat ketergantungan antara petani karet terhadap tauke karena didasarkan sama-sama mempunyai kepentingan.

2.2 Hubungan Eksploitatif

Hubungan patron klien yang dilihat Scott sebagai melindungi yang lemah, bagi Popkin adalah suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya murah, yaitu tenaga kerja. Petani diberi kesempatan untuk hal-hal kecil seperti mencari butir-butir padi yang tersisa agar mereka tidak meminta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Pada hakekatnya, Popkin dalam Kosala dan Kolega,2011 menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip moral melainkan prinsip rasional. Namun, teori “pilihan rasional” juga tak berlaku dalam kasus dimana perhitungan perorangan secara mudah atas untung-rugi bukan model yang tepat dalam pembuatan keputusan petani, juga ketika masalah “ free- riders ” tidak signifikan mempengaruhi perilaku kolektif. Premis dasar terciptanya pola hubungan eksploitasi disebabkan oleh adanya stratifikasi sosial, yakni adanya perbedaan status diantara pelaku ekonomi. Dikatakan lebih lanjut bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok yang sumber dayanya terbatas. Pihak yang mengeksploitasi semata- Universitas Sumatera Utara 15 mata mengejar apa yang mereka bayangkan menjadi kepentingan terbaik mereka.. Kelompok dengan sumber daya yang melimpah dan berkuasa dapat memaksakan sistem gagasan mereka terhadap seluruh masyarakat, sedangkan kelompok tanpa sumber daya mempunyai sistem gagasan yang dipaksakan terhadap mereka. Eksploitasi menurut Scott 1981:239 adalah bahwa ada individu, kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas keinginan orang lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pengertian ini ada dua cara eksploitasi. Pertama , harus dilihat sebagai suatu hubungan antara perorangan, dan ada pihak yang mengeksploitasi dan dieksploitasi. Kedua , merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya. Eksploitasi berbeda dengan resiprositas dalam hubungan patron klien. Resiprositas menurut Scott 1981:255 mengandung prinsip bahwa individu atau kelompok harus membantu mereka yang pernah membantunya atau jangan merugikannya. Artinya bahwa satu hadiah atau jasa yang diterima bagi si penerima menimbulkan satu kewajiban timbal-balik untuk membalas dengan hadiah atau jasa dengan nilai yang sebanding dikemudian hari. Dalam kaitan ini Malinowski dan Mauss, menemukan bahwa resiprositas berfungsi sebagai landasan bagi struktur persahabatan dan persekutuan dalam masyarakat- masyarakat tradisional Scott, 1994. Dalam pandangan ekonomi resiprositas menunjuk pada bentuk pertukaran yang ditanamkan secara sosial dalam masyarakat simetris yang berskala kecil Hettne, 2001:289. Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini maka konsep tersebut di atas berguna untuk mengidentifikasi pola hubungan yang terjadi antara petani kemenyan dengan toke apakah termasuk pola yang Universitas Sumatera Utara 16 eksploitatif pada petani Pandumaan. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan hubungan yang ekslpoitatif dilakukan oleh Purnamasari 2002:111 menunjukkan bahwa pertukaran sosial ponggawa-petambak penyakap merupakan bentuk pertukaran yang paling rentan sifat eksploitasi. Hasil penelitian ini adalah: 1. Ponggawa dengan aset produksi yang dimilikinya berada di posisi yang berpotensi mengeksploitasi, sedangkan petambak penyakap berpotensi untuk di eksploitasi karena posisinya lemah dengan aset produksi terbatas. Namun, selama kehidupan ekonomi dan subsistensi petambak penyakap belum terancam dan masih diperhatikan oleh ponggawanya, eksploitasi yang terjadi belum dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan, melainkan masih dimaknai bersifat resiprositas timbal-balik. 2. Hal ini karena hubungan ponggawa-petambak telah tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat petambak, dan belum tergantikan dalam kelembagaan formal bentukan pemerintah, disamping hubungan ponggawa-petambak tetap menjadi pilihan karena selain sesuai kebutuhan, prosesnya cepat berlangsung setiap saat dan tanpa batas waktu. Adapun penelitian yang masih berhubungan dengan pola eksploitatif adalah penelitian Alhada 2011 tentang konstruksi sosial buruh tani tembakau terhadap eksploitasi yang dilakukan majikannya di Desa Mayang, Kecamatan Mayang, KabupatenJember. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani yang bekerja keras setiap kali diminta untuk mengerjakan lahan pertanian milik majikan sangatlah pasrah terhadap keadaan yang ada. Tak ayalnya banyak sekali kita temui beberapa buruhtani bekerja sepanjang hari mendapat upah yang relatif minim. Pemberian upah yang tidak sebanding dengan kerja keras yang buruhtani Universitas Sumatera Utara 17 untuk menggarap lahan majikan ini nampaknya menimbulkan ketimpangan yang cukup berarti. Fenomena tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa hal misalnya: kuasa majikan yang cenderung bertindak sewenang-wenang, majikan menganggap bahwa posisi majikan lebih tinggi dibandingkan dengan posisi buruhtani, adanya pemikiran dari mayoritas buruhtani bahwa memang sudah sewajarnya buruh harus tunduk dan menuruti kemauan majikan tersebut merupakan suatu kesepakatan masyarakat di Desa Mayang dan tidak dapat diubah lagi.

2.3 Pola Mutualisme