35
Tabel 4.2 Peruntukan Lahan Tanah
No. Peruntukan Penggunaan Tanah
Luas Ket.
1 Persawahan Penduduk
187 Ha
2 Tegalan Perladangan
178 Ha
3 Perkebunan
2.845 Ha
4 Pemukiman
45,10 Ha
5 Kolam Perikanan
9,50 Ha
6 Rumah Ibadah
5 Ha
7 Sekolah
5 Ha
8 Kantor Desa
0,01 Ha
9 Jalan Umum
22,50 Ha
10 Saluran Irigasi
5,60 Ha
11 Hutan Rakyat
1.379,27 Ha
Desa 4.681,98
Ha
Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Pandumaan, 2011 Peruntukanpenggunaan lahan paling banyak digunakan sebagai lahan
perkebunan kopi,sayur,buah dengan luas lahan 2.845 hektar disusul juga lahan untuk hutan adat
tombak haminjon
dengan luas mencapai 1.379,27 hektar serta perladangan dan sawah sebesar 178 hektar dan semua lahan tersebut dikelola dan
dibudidayakan masyarakat setempat dengan berbagai komoditas pertanian dan perkebunan seperti padi,kopi,kemenyan,buah-buahan,dll. Sisa dari lahan tersebut
diperuntukan sebagai lahan pemukiman, sarana dan fasilitas umum, jalan umum, irigasi dsb.
4.1.3 Sejarah Hadirnya Kemenyan di Desa Pandumaan
Menurut ketua adat ada cerita dibalik hadirnya
haminjon
kemenyan pada desa Pandumaan yang selalu diceritakan oleh leluhur mereka kepada setiap
keturunannya, agar setiap keturunan yang mewarisi
tombak haminjon
tersebut, tetap menghargai setiap tetes getah kemenyan serta terus mengelola
tombak
Universitas Sumatera Utara
36
haminjon
tersebut. Adapun cerita yang diyakini oleh warga Desa Pandumaan adalah sebagai berikut.
Konon, ada satu keluarga yang sangat miskin dan memiliki seorang putri yang sangat cantik jelita. Karena kemiskinan, keluarga ini pun terlilit hutang dan
tidak mampu membayarnya kepada Raja di kampung tersebut. Sebagai gantinya, sang Raja meminta putri yang cantik jelita dari keluarga miskin ini menjadi
isterinya. Tidak berdaya menolak permintaan Raja, maka kedua orangtua si putri membujuk putrinya agar bersedia menjadi isteri Raja, namun si putri menolak
meskipun kedua orangtuanya sudah mati-matian membujuk sambil menangis, bahkan mengancam akan bunuh diri, tetapi si putri tetap saja menolak hal
tersebut. Tidak tahan dengan paksaan orangtuanya, akhirnya si putri nekat lari ke hutan. Selama di hutan, si putri tidak henti-hentinya menangis memikirkan
nasibnya yang malang dan juga nasib keluarganya yang miskin. Hari demi hari demikian berlangsung, hingga kemudian dari tubuh si putri tersebut perlahan-
lahan tumbuh daun sehingga akhirnya menyerupai sebuah pohon. Setelah sekian lama si putri meninggalkan kampung, suatu waktu,
orangtua si putri bermaksud mencari putrinya ke hutan. Lelah mencari ke sana- sini tidak juga berhasil menemukan putrinya. Kemudian ia berisitirahat dengan
bersandar di bawah sebatang pohon yang sangat besar. Ketika sedang bersandar di bawah pohon, ia mengamati pohon tersebut dan merasa heran karena pohon
tersebut mengeluarkan cairan getah, bentuk pohon tersebut pun ketika diamati dengan seksama seperti menyerupai orang yang sedang menangis. Naluri orang
tua ini pun seperti berkata bahwa pohon tersebut adalah putrinya yang telah berubah wujud menjadi sebatang pohon. Dia pun mengelus dan mengusap pohon
Universitas Sumatera Utara
37 tersebut, layaknya perlakuan terhadap seorang anak yang sedang menangis.
Mendapat elusan tersebut, pohon itu pun semakin deras mengeluarkan cairan dan orang tua ini pun semakin yakin bahwa pohon tersebut merupakan perwujudan
dari putrinya. Selanjutnya, orang tua ini mencoba menampung cairan pohon tersebut dan
mencium aroma yang sangat harum dari cairan getah tersebut. Ia pun berpikir bahwa cairan ini pastilah memiliki nilai jual yang tinggi di kampung, kemudian
cairan tersebut mulai diramu dan digunakan sebagai obat. Selanjutnya, orangtua ini mengenal cairan itu dengan nama
haminjon
kemenyan. Sejak itu, kemenyan mulai dikenal warga desa. Pada masa itu masih banyak orang-orang tua yang
memiliki keahlian meramu obat tradisional, dan mereka pun menggunakan kemenyan sebagai bahan obat-obatan. Demikian juga halnya dengan
datu
dukun, sudah lama menggunakan kemenyan sebagai dupa. Sejak saat itu, masyarakat kampung pun mulai mencari tahu tentang
kemenyan. Mereka mengetahui bahwa kemenyan ternyata sangat dibutuhkan banyak orang dan nilainya harganya pun mahal. Maka, pekerjaan mencari dan
mengumpulkan getah kemenyan ini pun menjadi pekerjaan mereka sehari-hari. Konon menurut cerita dari hasil penjualan getah kemenyan ini akhirnya orang tua
si putri yang terlilit utang di atas dapat melunasi utangnya kepada Raja. Begitulah leluhur warga Pandumaan ketika menemukan pohon kemenyan.
Mereka meyakini bahwa pohon kemenyan tersebut merupakan ciptaan Tuhan yang mereka sebut dengan
haminjon jalangan na tinompa ni ompu mula jadi nabolon
pohon kemenyan besar yang diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Universitas Sumatera Utara
38 Berdasarkan keyakinan ini, dan karena memang pada kenyataannya dari hasil
kemenyanlah warga Pandumaan bisa menghidupi keluarganya dan mereka mulai merawat
kemenyan ini
dengan sungguh-sungguh.Selanjutnya
mereka membudidayakan kemenyan ini. Buah
lata
kemenyan yang banyak terdapat disekitar pohon kemenyan ini kemudian mereka tanami di lahan tersebut, di sela-
sela pohon alam lainnya dan di areal yang masih kosong hingga sampai saat ini . Wilayah adat bagi masyarakat adat Batak meliputi pemukiman,
perladangan, persawahan, padang rumput tempat penggembalaan ternak, sungai dan
tombak
hutan. Hutan menjadi tempat mereka mencari nafkah,khususnya kaum bapak. Nenek moyang mereka pun memberikan nama atas tombak hutan
tersebut, antara lain: 1.
TombakHaminjon
hutan kemenyan
Dolok Ginjang
, disebut
Dolok Ginjang
karena merupakan puncak tertinggi dari semua tombak yang ada di sana, berbatasan dengan Tombak Simataniari Parlilitan dan Tombak Aek Nauli.
2.
Tombak Haminjon Lombang Nabagas,
disebut demikian karena tombak itu dikelilingi oleh lembah jurang yang dalam.
3.
Tombak Haminjon Sipitu Rura
, disebut demikian karena tombak itu dikelilingi
pitu rura
tujuh sungai. Adapun batas-batas tombak ini adalah:
a. Sebelah Barat: Tombak milik Simataniari Parlilitan
b. Sebelah Timur: Desa Pandumaan
c. Sebelah Selatan: Tombak Aek Nauli
d. Sebelah Utara: Tombak Pancur Batu
Universitas Sumatera Utara
39 Ketiga tombak tersebut selama ini dikelola secara adat oleh masyarakat
adat Pandumaan dan Sipituhuta sejak nenek moyang mereka sampai saat ini. Pengelolaan tombak haminjon dilakukan secara bersama dan bergotong royong.
Dalam satu kelompok yang akan mengolah tombak, biasanya mereka terdiri dari 20 orang. Pada zaman dahulu mereka akan tinggal di tombak selama 1-2 minggu
dengan membawa perbekalan dan tinggal di sebuah
sopo
pondok. Masyarakat adat Pandumaan sangat sadar pentingnya menjaga kelestarian hutan
tombak
, apalagi selama ini ketergantungan mereka pada hutan yang sangat tinggi, tidak
hanya untuk menunjang kebutuhan ekonomi tetapi tombak juga memiliki berbagai aspek yang sangat berhubungan dengan erat dengan budaya dan tradisi
masyarakat di kedua desa tersebut. Di era kolonial, Belanda membuat sebuah kebijakan garis batas lahan yang
ditanami oleh masyarakat dengan
haminjon
. Kebijakan pembatasan tersebut, menjadikan hampir seluruh
haminjon
yang telah ditanami masyarakat secara turun temurun masuk dalam area pembatasan. Pembatasan hanya menyisakan 13
wilayah dari luas lahan yang ada. Kopala nagari saat itu generasi ke-7 mengatakan tidak mungkin membatasi masyarakat untuk berkebun. Berdasarkan
penelusuran generasi, peristiwa penolakan yang disampaikan oleh kepala nagari tersebut sekitar tahun 1840. Tidak pernah ada larangan dari pemerintah kolonial
bagi masyarakat untuk mengelola kemenyan yang mereka miliki. Pada tahun 1932-1940 Belanda membuat kebijakan penataan kawasan hutan. Kebijakan
tersebut lebih dikenal dengan register 41. Pada tahun 1970-an pemerintah membuat garis batas yang menegaskan
kembali garis batas disekitaran kawasan register 41 yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
40 pemerintah kolonial. Penataan ini merupakan langkah pendahuluan yang
dilakukan oleh pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan TGHK Tata Guna Hutan Kesepakatan 1982. Kebijakan ini menegaskan kebijakan pembatasan yang
dikeluarkan di era kolonial. Wilayah diluar register 41 tersebut, statusnya di jadikan APL Areal Penggunaan Lain.
4.1.4 Komposisi Penduduk 4.1.4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin