Pola Hubungan Sosial Ekonomi Petani Kemenyan dengan Toke di Desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbahas

(1)

Pola Hubungan Sosial Ekonomi Petani Kemenyan dengan Toke di Desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbahas

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

Fransisca Carolina

110901039

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Pola Hubungan Sosial Ekonomi Petani Kemenyan dengan Toke si Desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbahas”, berawal dari ketertarikan penulis terhadap berbagai model pola hubungan sosial ekonomi yang terjadi antara toke dengan petani kemenyan hingga bertahannya pola hubungan sosial ekonomi dalam produksi kemenyan tersebut sampai saat ini. Pola hubungan yang terjalin antara petani dengan toke tidak hanya sebatas pada hubungan jual-beli kemenyan tapi meluas pada hubungan sosial yang berbeda antara toke, petani dan agen (toke kecil). Hubungan sosial ini terjalin dan terbagi dalam beberapa bentuk yakni pola hubungan sosial antara toke (besar dan kecil) dengan petani, dan pola hubungan sosial antara toke besar dengan petani sekaligus agen (toke kecil). Hubungan petani dengan toke disini seakan sudah terpola dan sudah menjadi suatu kebiasaan yang terjadi secara turun temurun dan menjadi budaya. Secara umum terdapat beberapa pola hubungan sosial ekonomi yang terjadi diantara pelaku ekonomi perdagangan hasil pertanian atau perkebunan seperti patron klien, eksploitasi dan mutualisme.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara serta studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisis dan informan dalam peneliti ini adalah petani kemenyan dan toke yang merupakan masyarakat adat Pandumaan sebagai informan kunci dan masyarakat lainnya yang dianggap mengetahui kondisi desa dan rumusan masalah pada penelitian ini. Interpretasi data dilakukan dengan pengolahan dari catatan maupun hasil wawancara setiap kali turun ke lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan hutan kemenyan di Desa Pandumaan masih sangat tradisonal dengan kearifan lokal yang membudaya pada masyarakat adat. Dalam proses pemasaran, petani menjual kemenyannya kepada toke yang ada di desa maupun keluar desa. Hubungan antara petani kemenyan dengan toke berawal dari proses jual-beli kemenyan yang berubah menjadi lebih intens dan saling menguntungkan. Hubungan antara petani kemenyan dengan toke membentuk sebuah pola hubungan yang unik. Hubungan ini terlihat dari tindakan petani yang menjual kemenyan bukan hanya pada satu toke saja tapi dengan beberapa toke dan melihat untung rugi dalam menjual kemenyan. Tindakan petani yang memikirkan keuntungan merupakan salah satu ciri dari pola mutualisme. Namun di sisi lain terdapat pola patron-klien dari hubungan keduanya, yakni toke sebagai penjamin subsistensi petani dengan memberikan pinjaman kepada petani ketika petani membutuhkan uang, dan juga mereka saling mengundang dalam merayakan pesta adat satu sama lain.

Alasan para petani memeinjam uang kepada toke adalah proses dan syarat/prosedur yang diberlakukan pemerintah akan kredit tersebut sangat menyulitkan petani dan memakan waktu yang lama ditaambah lagi dengan bunga yang diberikan oleh pihak bank. Sedangkan jika mereka meminjam modal kepada pemilik modal(toke), prosesnya bisa cepat tanpa syarat ataupun prosedur yang sulit. Hal itulah yang menyebabkan pola hubungan sosial ekonomi diantara keduanya masih tetap terjalin dan terus bertahan di desa tersebut


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izin dan kasih sayangnya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Pola Hubungan Sosial Ekonomi Petani Kemenyan dengan toke di Desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbahas ”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai Sarjana S1 Sosiologi di Departeman Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan dan nasehat baik moril maupun material dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. DR Badaruddin Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, selaku Dosen Pembimbing dan juga Dosen Pembimbing Akademik saya selama kuliah yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran dan masukan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, Msi selaku ketua jurusan Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Dr. Drs. Sismudjito, Msi selaku dosen penguji II saya.

4. Seluruh Dosen, staf dan pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Saya menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua Orang Tua tercinta M. Sinaga dan R. Munthe atas kasih sayang


(4)

meyelesaikan perkuliahan dan juga menyelesaikan skripsi ini dan juga kepada abang, kakak dan adik saya, Fernando Oktavianus Sinaga, Josephine Intan M. Sinaga, Veronica Angelina Sinaga yang sudah membantu dan memotivasi saya dalam menyelesaikan skripsi ini dan juga kepada seluruh keluarga.

6. Terimakasih kepada keluarga yang ada di Medan Op.Hariaty br Simatupang, Op.Purba, Tante Hariaty Eliana Purba, Tante Ruth M.Purba, Tante Fitri Indah S.Purba, Tante Mutiara A Purba dan Tulang Immanuel P. Purba.

7. Terima kasih juga saya ucapkan kepada seluruh masyarakat Pandumaan terkhusus untuk para informan untuk waktunya dan partisipasinya dalam penelitian skripsi ini.

8. Kepada Sahabat dan kawan seperjuangan penulis saat menghadapi masa-masa sulit dalam perkuliahan dan penyemangat selama masa-masa perkuliahan, terkhusus untuk Carlina Abrianingsih Panjaitan, Devi Sihotang, Elsa Elonika Tarigan, Erawati Siagian, Kathy Sabrina Togatorop dan Vera Novelina Sirait

9. Kepada sahabat dan saudara bagi penulis yang saya sayangi, Anggi Spadina Hanifani (Rusia), Debby Silvia (Jakarta), Dewi Larasati (Jakarta), Hertasari Dahlia (Jakarta) dan Putri W.S (Jakarta). Terimakasih untuk dukungan dan doanya, walaupun terpisah oleh jarak namun persahabatan ini masih tetap terjaga utuh dan semakin kompak setiap harinya.


(5)

10.Terimakasih kepada semua teman-teman mahasiswa/I Sosiologi stambuk 2011 atas semua kebersamaan dan juga pengalaman-pengalaman selama masa perkuliahan, terutama kepada Joan Naibaho, Repita Simamora, Defasari Simbolon, Angel Manihuruk, Elisabeth LR, Maiusna, Herliza, Ismi, Silvi P, Sarah, Emil, Andriani, Jhon, Wawan, Hendrik, Rio, Nahotmaasi, Rama Dona dan juga kawan-kawan PKL Bang Gabriel Sinaga, Hara,Aidil, Ekrad dan semua kawan-kawan sosiologi 2011 yang tak bisa saya sebut satu per satu.

11.Kepada keluarga besar IMASI (Ikatan Mahasiswa Sosiologi) FISIP USU, Abang/Kakak Senior dan Adik-adik Junior.

12.Kepada semua Teman-teman satu kost penulis “BERDIKARI 54”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca. Akhirnya penulis berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca terutama bagi penulis sendiri.

Medan 2015

Penulis

Fransisca Carolina


(6)

DAFTAR ISI Halaman

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR TABEL...v

DAFTAR GAMBAR...vi

DAFTAR LAMPIRAN...vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...6

1.3 Tujuan Penelitian...7

1.4 Manfaat Penelitian...7

1.4.1 Manfaat Teoritis...7

1.4.2 Manfaat Praktis...7

1.5 Definisi Konsep...8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Patron Klien...10

2.2 Hubungan Eksploitatif...14

2.3 Hubungan Mutualisme...17

2.4 Hutan Adat...20

BAB III METODE PENELITIAN 3.1Jenis Penelitian...24


(7)

3.2 Lokasi Peneltian...24

3.3 Unit Analisis dan Unit Informan...25

3.3.1 Unit analisis...25

3.3.2 Unit Informan...25

3.4 Teknik Pengumpulan Data...26

a. Observasi...27

b. Wawancara...27

c. Dokumentasi...27

3.5 Interpretasi Data...28

3.6 Keterbatasan Peneliti………...28

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian...29

4.1.1 Sejarah Singkat Desa Pandumaan...29

4.1.2 Lokasi dan Kondisi Desa...32

4.1.2.1 Kondisi Geografis Desa...32

4.1.2.2 Kondisi Topografi Desa...33

4.1.2.3 Keadaan Alam dan Tata Guna Tanah...34

4.1.3 Sejarah keberadaan Kemenyan di Pandumaan...35

4.1.4 Komposisi Penduduk...40

4.1.4.1 Komposisi Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin...40

4.1.4.2Komposisi Penduduk berdasarkan Agama...41

4.1.4.3 Komposisi Penduduk berdasarkan Suku...42

4.1.4.4 Komposisi Penduduk berdasarkan Pekerjaan...42


(8)

4.1.5.1 Sarana Pendidikan... ...43

4.1.5.2 Sarana Kesehatan...44

4.1.5.3 Sarana Peribadahan...44

4.1.5.4 Organisasi Masyarakat...45

4.1.6 Strukur Pemerintahan Desa...46

4.2 Kehidupan Masyarakat Tambak Kemenyan...47

4.2.1 Kondisi Sosial Ekonomi Petani...47

4.2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Toke...50

4.2.3 Profil Informan...52

4.3 Intepretasi Data...61

4.3.1 Kepemilikan Lahan dan Arti Hutan Adat... 61

4.3.2 Pola Hubungan Sosial Ekonomi...66

4.3.2.1 Hubungan Jual Beli...66

4.3.2.2 Hubungan Utang-Piutang...73

4.3.2.3 Hubungan Sosial Budaya………...76

4.3.3 Arti Toke Bagi Petani...79

4.3.4 Faktor Terbentuknya Pola Hubungan Sosial Ekonomi...83

4.3.5 Moral Ekonomi Petani vs Rasionalitas Petani...85

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan...90

5.2 Saran ...92

Daftar Pustaka...93


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Kondisi Geografis Desa... 33

Tabel 4.2 Keadaan Alam dan Tata Guna Tanah...35

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin...40

Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama...41

Tabel 4.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku...42

Tabel 4.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan...42

Tabel 4.7 Sarana Pendidikan...43

Tabel 4.8 Sarana Kesehatan...44


(10)

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 1. Kelembagaan Desa Pandumaan...45 Bagan 2. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Pandumaan...46 Bagan 3. Struktur Organisasi BPD...47


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Gambar alat penanaman dan penanaman kemenyan...97 Lampiran 2. Interview Guide ...101 Lampiran 3. Peta Hutan Kemenyan Desa Pandumaan...105


(12)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Pola Hubungan Sosial Ekonomi Petani Kemenyan dengan Toke si Desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbahas”, berawal dari ketertarikan penulis terhadap berbagai model pola hubungan sosial ekonomi yang terjadi antara toke dengan petani kemenyan hingga bertahannya pola hubungan sosial ekonomi dalam produksi kemenyan tersebut sampai saat ini. Pola hubungan yang terjalin antara petani dengan toke tidak hanya sebatas pada hubungan jual-beli kemenyan tapi meluas pada hubungan sosial yang berbeda antara toke, petani dan agen (toke kecil). Hubungan sosial ini terjalin dan terbagi dalam beberapa bentuk yakni pola hubungan sosial antara toke (besar dan kecil) dengan petani, dan pola hubungan sosial antara toke besar dengan petani sekaligus agen (toke kecil). Hubungan petani dengan toke disini seakan sudah terpola dan sudah menjadi suatu kebiasaan yang terjadi secara turun temurun dan menjadi budaya. Secara umum terdapat beberapa pola hubungan sosial ekonomi yang terjadi diantara pelaku ekonomi perdagangan hasil pertanian atau perkebunan seperti patron klien, eksploitasi dan mutualisme.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara serta studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisis dan informan dalam peneliti ini adalah petani kemenyan dan toke yang merupakan masyarakat adat Pandumaan sebagai informan kunci dan masyarakat lainnya yang dianggap mengetahui kondisi desa dan rumusan masalah pada penelitian ini. Interpretasi data dilakukan dengan pengolahan dari catatan maupun hasil wawancara setiap kali turun ke lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan hutan kemenyan di Desa Pandumaan masih sangat tradisonal dengan kearifan lokal yang membudaya pada masyarakat adat. Dalam proses pemasaran, petani menjual kemenyannya kepada toke yang ada di desa maupun keluar desa. Hubungan antara petani kemenyan dengan toke berawal dari proses jual-beli kemenyan yang berubah menjadi lebih intens dan saling menguntungkan. Hubungan antara petani kemenyan dengan toke membentuk sebuah pola hubungan yang unik. Hubungan ini terlihat dari tindakan petani yang menjual kemenyan bukan hanya pada satu toke saja tapi dengan beberapa toke dan melihat untung rugi dalam menjual kemenyan. Tindakan petani yang memikirkan keuntungan merupakan salah satu ciri dari pola mutualisme. Namun di sisi lain terdapat pola patron-klien dari hubungan keduanya, yakni toke sebagai penjamin subsistensi petani dengan memberikan pinjaman kepada petani ketika petani membutuhkan uang, dan juga mereka saling mengundang dalam merayakan pesta adat satu sama lain.

Alasan para petani memeinjam uang kepada toke adalah proses dan syarat/prosedur yang diberlakukan pemerintah akan kredit tersebut sangat menyulitkan petani dan memakan waktu yang lama ditaambah lagi dengan bunga yang diberikan oleh pihak bank. Sedangkan jika mereka meminjam modal kepada pemilik modal(toke), prosesnya bisa cepat tanpa syarat ataupun prosedur yang sulit. Hal itulah yang menyebabkan pola hubungan sosial ekonomi diantara keduanya masih tetap terjalin dan terus bertahan di desa tersebut


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik rakyat, dengan jenis tanaman kayu-kayuan, yang pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya yakni mayarakat adat atau oleh suatu badan usaha (Awang dan Kolega, 2001). Proses terjadinya hutan rakyat bisa dibuat oleh manusia, bisa juga terjadi adakalanya berawal dari upaya untuk merehabilitasi tanah-tanah kritis. Jadi hutan rakyat adalah semua hutan yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, namun dimiliki oleh rakyat.

Sumatera Utara memiliki potensi hutan yang besar dengan luasan yang menyebar di sepanjang daerah ini. Selain kayu, hutan Sumatera Utara memiliki potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang cukup tinggi, antara lain berupa kulit kayu, rotan, gondorukem, kemenyan, getah jelutung, minyak eukaliptus, dan getah-getahan. Beberapa jenis komoditi HHBK yang diproduksi oleh masyarakat telah mendapat perhatian dari pemerintah salah satunya adalah kemenyan. Kemenyan merupakan salah satu komoditi unggulan dan khas dari Sumatera Utara yang mempunyai nilai instrinsik dan bersifat mistis dalam budaya masyarakat Batak. Tanaman ini dapat digunakan juga sebagai tanaman reboisasi, penghara pabrik pulp, rehabilitasi lahan, sekat bakar, pohon ornamen dan jasa lingkungan berupa karbon. Kemenyan banyak tumbuh di hutan alam dan sebagian sudah dibudidayakan oleh masyarakat secara turun-temurun dengan pengololaan yang masih tradisional. Di Provinsi Sumatera Utara, tumbuhan kemenyan tersebar


(14)

di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Dairi, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Pakpak Barat (Antoko dan Kolega,2013).

Salah satu daerah yang memiliki potensi kemenyan di Sumatera Utara adalah Kabupaten Humbang Hasundutan.Kabupaten ini kaya dengan kemenyan dengan luas lahan 4.884 ha dan menghasilkan 859,31 ton per tahun (BPS Kabupaten Humbahas 2013). Luas lahan kemenyan di daerah ini mencapai 23,16% dari luas dataran, sehingga mayoritas masyarakat setempat berprofesi sebagai petani kemenyan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Kemenyan-kemenyan yang dihasilkan masyarakat di daerah ini kemudian dipasarkan di sentra perdagangan kemenyan baik di desa mereka, kecamatan, kabupaten dan juga dikirim ke berbagai daerah Indonesia maupun luar negeri.

Salah satu desa penghasil kemenyan di Kabupaten Humbahas adalah Desa Pandumaan. Areal hutan kemenyan di Desa Pandumaan diperkirakan seluas 1.379,27 Ha dengan jumlah penduduk kira-kira 400 kk (BPS Kabupaten Humbahas 2013). Pengelolaan hutan kemenyan yang diterapkan pada desa tersebut merupakan kearifan lokal masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dan sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Kearifan ini muncul dari kebiasaan masyarakat adat dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberadaan kemenyan yang bertahan sampai sekarang merupakan bukti bahwa sistem pengelolaan hutan kemenyan ini selain memiliki manfaat ekologi dan nilai-nilai sosial, juga mememiliki potensi dan prospek yang baik bila dilihat dari aspek ekonomi untuk dikembangkan kedepan.


(15)

Kebun kemenyan itu sendiri dibudidayakan dan diusahakan oleh petani yang mendapat bagian lahan hutan sesuai dengan kelompok marga-marga mereka sehingga disebut sebagai hutan adat. Hutan ini bukan milik pihak luar seperti pemerintah atau negara, melainkan hutan milik masyarakat adat yang berasal dari satu nenek moyang yang sama, atau juga sebagai pihak yang pertama kali ke daerah itu ataupun pembuka desa tersebut. Hutan adat ini memiliki aturan yang mengatur pemanfaatan lahan hutan untuk menjadi usaha budidaya kemenyan. Selain itu aturan adat juga mengatur pembagian wilayah tambak kemenyan untuk dapat dikelola, sehingga tidak sembarang orang atau petani yang boleh mengusahakan budidaya kemenyan.

Dalam proses produksi kemenyan itu sendiri mulai dari pengelolaan sampai kepada penjualan tidak lepas dari beberapa pihak yang berkepentingan di dalamnya, salah satunya adalah toke kemenyan. Pada Desa Pandumaan ini yang disebut sebagai toke adalah penduduk setempat atau penduduk dari desa tetangga yang memiliki lahan perkebunan dan mampu untuk mengelola kemenyan secara baik serta bekerja sebagai pengumpul kemenyan. Mereka yang tidak memiliki lahan pertanian dan melakukan pekerjaan alternatif sebagai pengumpul dari hasil perkebunan tersebut juga dapat disebut sebagai toke. Dari definisi tersebut dapat ditemukan bahwa ada dua pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan kemenyan tersebut. Petani sebagai pengelola sedangkan toke sebagai pengumpul maupun sebagai pemilik lahan. Munculnya dua peran yang berbeda tersebut menciptakan hubungan sosial-ekonomi diantara mereka.

Secara umum terdapat beberapa pola hubungan sosial ekonomi yang terjadi diantara pelaku ekonomi perdagangan hasil pertanian atau perkebunan


(16)

seperti patron klien, eksploitasi dan mutualisme. Dalam hubungan antara petani dan toke padaumumnyaakan terdapat hubungan ekonomi timbal balik dengan ikatan yang saling menguntungkan diantara mereka. Petani secara tidak langsung mulai merasa nyaman dan tergantung dengan keberadaan toke sementara toke membutuhkan hasil perkebunan (kemenyan)dari petani. Pola hubungan ini sering disebut dengan simbiosis mutualisme. Pola hubungan mutualisme ini bersifat dinamis, artinya petani tidak terikat oleh toke tetapi bebas memilih atau menjual hasil produksi mereka kepada toke-toke yang menawarkan harga hasil perkebunan yang tinggi dan berada di suatuwilayahtertentu (Hariyanto, 2014).

Selanjutnya pola hubungan lainnya adalah hubungan patron klien. Menurut Scott (1994) hubungan patron klien adalah suatu hubungan yang saling timbal balik dimana pihak klien (petani) mempunyai ketergantungan kepada patron (toke) akibat perlakuan patron dalam memberikan jaminan perlindungan dan subsitensi kepada pihak klien. Sedangkan menurut Wolf (1978:31) hubungan patron klien merupakan suatu hubungan yang mana mengalami suatu proses pertukaran yang khusus, di mana kedua belah pihak yang berhubungan itu mempunyai kepentingan yang berlaku bagi kedua belah pihak saja, yang mana pihak yang menjadi pihak status, kekayaan serta kekuatan yang lebih tinggi disebut patron sedang yang lebih rendah tingkatannya di sebut klien. Hubungan ini telah berlangsung dalam kurun waktu yang telah lama dan ada dua pihak atau lebih sebagai pelaku utama. Si Patron merupakan anggota masyarakat yang lebih beruntung dilihat dari status sosial ekonomi. Mereka inilah yang mempunyai modal dan cara berfikir yang lebih baik. Secara historis, hubungan ini bermula dari adanya pemberian barang atau jasa yang sangat berguna dan diperlukan dari


(17)

satu pihak ke pihak lain. Sedangkan bagi pihak klien, mereka merasa harus memberikan loyalitas mereka kepada patron sebagai rasa balas budi (resiprositas) terhadap perlindungan dan perlakuan patron kepadanya. Semua itu dilakukan demi terjaganya hubungan diantara keduanya.

Dari terjalinnya hubungan patron klien tersebut apabila petani membutuhkan uang untuk membiayai berbagai keperluan sehari-hari maupun biaya sekolah, petani kemudian meminjam uang kepada toke, dengan konsekuensi hasil panen mereka hanya dijual kepada toke yang memberinya pinjaman, bukan kepada toke yang lainnya. Bagi toke sendiri, hal ini juga menguntungkan karena dia sudah mendapatkan kepastian pasokan kemenyan dari petani tersebut. Tanpa mengikat petani tersebut dengan pinjaman uang, ia akan kesulitan untuk mendapatkan barang dagangannya karena harus bersaing dengan toke lainnya. Sebagai toke, dia harus selalu punya persediaan barang dagangan agar tidak mengecewakan pelanggan-pelanggannya dan tentu saja juga untuk kelancaran usahanya sendiri.

Selain pola hubungan patron-klien, terdapat juga hubungan yang eksploitatif. Pola hubungan eksploitatif adalah suatu kondisi dimana pemilik modal (toke) memiliki kendali yang kuat terhadap petani sehingga mereka memiliki kekuasaan untuk mengatur segalanya baik itu sistem pengupahan maupun sistem bagi hasil yang cenderung menguntungkan tuan tanah maupun toke. Dalam penelitian Purnamasari, dkk (2002) menunjukkan bahwa pertukaran sosial ponggawa-petambak penyakap merupakan bentuk pertukaran yang paling rentan sifat eksploitasi. Ponggawa dengan aset produksi yang dimilikinya berada di posisi yang berpotensi mengeksploitasi, sedangkan petambak penyakap


(18)

berpotensi untuk dieksploitasi karena posisinya lemah dengan aset produksi terbatas. Namun, selama kehidupan ekonomi dan subsistensi petambak penyakap belum terancam dan masih diperhatikan oleh ponggawanya, eksploitasi yang terjadi belum dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan, melainkan masih dimaknai bersifat resiprositas (timbal-balik).

Berdasarkan hasil observasi, peneliti melihat ada beberapa petani yang melakukan hubungan perdagangan kemenyan dengan satu toke dan terlihat begitu akrab dan mengarah pada pola patron klien. Sementara itu terlihat juga diantara petani kemenyan yang lain melakukan transaksi perdagangan kemenyan bukan hanya pada satu toke tetapi lebih dari dua bahkan tiga toke yang mengarah pada hubungan mutualisme. Dari berbagai interaksi dan pola hubungan sosial ekonomi yang telah dijelaskan diatas menjadi alasan dari peneliti untuk melihat dan meneliti bagaimana pola hubungan sosial ekonomi yang sesungguhnya terjadi pada petani kemenyan dan pengumpul (toke) di Desa Pandumaan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana pola hubungan sosial ekonomi yang terjadi diantara petani kemenyan dan toke?

b. Mengapa pola hubungan sosial ekonomi diantara toke dan petani kemenyan tersebut bisa terjadi hingga sekarang?


(19)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk menganalisis dan mengintepretasikan pola hubungan sosial ekonomi yang terjadi antara petani kemenyan dengan toke di Desa Pandumaan

b. Untuk melihat dan menjelaskan faktor terbentuknya pola hubungan sosial ekonomi yang terjadi antara petani kemenyan dengan toke di Desa Pandumaan

1.4 Manfaat Penelitian

Setiap penelitian mampu memberikan manfaat, baik itu untuk diri sendiri, orang lain, maupun ilmu pengetahuan. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitiaan ini diharapkan agar dapat menambah wawasan kajian illmiah dan referensi penelitian ilmiah selanjutnya khususnya bagi mahasiswa departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.

b. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan mengenai sosiologi ekonomi dan sosiologi lingkungan terkait dengan pola hubungan sosial antara petani dengan toke.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Menjadi sumbangan pemikiran terhadap lembaga pertanian dan kehutanan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.


(20)

b. Menjadi sumbangan pemikiran terhadap pemerintah daerah dan pusat dalam menetapkan kebijakan harga pasar dan mempercepat penerapan kebijakan tersebut agar kesejahteraan petani lebih meningkat.

c. Untuk memberikan masukan-masukan kepada pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang membutuhkannya terutama petani dan toke supaya memiliki organisasi atau kelompok tani yang bisa menjadi wadah penghubung untuk menghilangkan kesenjangan antara pengumpul (toke) dengan petani serta memajukan kesejahteraan diantara keduanya.

1.5 Definisi Konsep

Konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuksan penelitian. Konsep merupakan rangkaian pengertian logis yang dipakai untuk menentukan jalan pemikiran dalam penelitian untuk memperoleh permasalahan yang tepat. Dengan kata lain konsep adalah istilah-istilah yang mewakili atau menyatakan suatu pengertian tertentu.

Adapun konsep-konsep dalam penelitian ini adalah :

a. Pola hubungan sosial ekonomi adalah bentuk-bentuk hubungan sosial langsung yang terjadi antara satu individu dengan individu lainnya berkelanjutan dan mengarah pada aktivitas ekonomi. Dalam penelitian ini pola hubungan sosial ekonomi adalah suatu bentuk hubungan kerja sama yang terjalin diantara dua pihak atau lebih yang mengarah pada perdagangan kemenyan. Ada beberapa jenis pola hubungan sosial ekonomi yaitu patron-klien, eksploitasi dan mutualisme. 1) Patron klien dalam penelitian adalah suatu bentuk hubungan antar dua orang yang berbeda statusnya dimana patron (toke) memberikan jaminan perlindungan dan


(21)

klien (petani kemenyan) merasa bertanggung jawab untuk membalas perbuatan toke. 2) Eksploitasi dalam penelitian ini adalah tindakan toke yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari petani kemenyan. 3) Mutualisme dalam penelitian ini merupakan suatu bentuk hubungan yang dilakukan oleh dua orang yang mengutamakan keuntungan masing-masing dan dinilai setimpal atas apa yang dikerjakan.

b. Toke kemenyan dalam penelitian adalah orang yang menjalankan perniagaan sebagai pembeli kemenyan dari petani dan sebagai agen pemasaran kemenyan secara tunai maupun hutang.

c. Petani kemenyan dalam penelitian ini adalah orang yang melakukan kegiatan budidaya pohon kemenyan (marhaminjon) di areal sekitar hutan adat.

d. Resiprositas yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan kewajiban atau utang balas budi atas apa yang pernah diberikan sebelumnya oleh patron (toke) terhadap petani ketika mengalami musibah atau kesulitan keuangan dengan menunjukkan loyalitasnya kepada toke (patron).

e. Hutan adat dalam penelitian ini adalah hutan budidaya pepohonon dan diusahakan pada lahan yang setengah liar atau liar (hutan) yang ditanami tumbuhan kemenyan (hamijon) yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat atau kelompok marga maupun pembuka desa.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Patron Klien

Teori ini hadir untuk menjelaskan bahwa dalam suatu interaksi sosial masing-masing aktor melakukan hubungan timbal-balik. Hubungan ini dilakukan secara vertikal (satu aktor kedudukannya lebih tinggi) maupun secara horizontal (masing-masing aktor kedudukannya sama). Istilah „patron‟ berasal dari bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan

(power), status, wewenang dan pengaruh, sedangkan klien berarti bawahan atau

orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman, 2004:132).

Patron dan klien berasal dari suatu model hubungan sosial yang berlangsung pada zaman Romawi kuno. Seorang patronus adalah bangsawan yang memiliki sejumlah warga dari tingkat lebih rendah, yang disebut clients, yang berada di bawah perlindungannya. Meski para klien secara hukum adalah orang bebas, mereka tidak sepenuhnya merdeka. Mereka memiliki hubungan dekat dengan keluarga pelindung mereka. Ikatan antara patron dan klien mereka bangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal balik yang biasanya bersifat turun temurun (Pelras, 2009: 21).

Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari sebuah ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi


(23)

seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Adapun arus patron ke klien yang dideteksi oleh Scott (1994) berkaitan dengan kehidupan petani adalah:

1. Penghidupan subsistensi dasar yaitu pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocoktanam.

2. Jaminan krisis subsistensi, yaitu patron menjamin dasar subsistensi bagi kliennya dengan menyerap kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh permasalahan pertanian (paceklik dll) yang akan mengganggu kehidupan kliennya

3. Perlindungan dari tekanan luar

4. Makelar dan pengaruh. Patron selain menggunakan kekuatannya untuk melindungi kliennya, ia juga dapat menggunakan kekuatannya untuk menarik keuntungan/hadiah dari kliennya sebagai imbalan atas perlindungannya.

5. Jasa patron secara kolektif. Secara internal patron sebagai kelompok dapat melakukan fungsi ekonomisnya secara kolektif, yaitu mengelola berbagai bantuan secara kolektif bagi kliennya.

Adapun pertukaran dari klien ke patron, adalah jasa atau tenaga yang berupa keahlian teknisnya bagi kepentingan patron. Adapun jasa-jasa tersebut berupa jasa pekerjaan dasar/pertanian, jasa tambahan bagi rumah tangga, jasa


(24)

domestik pribadi, pemberian makanan secara periodik. Bagi klien, unsur kunci yang mempengaruhi tingkat ketergantungan dan loyalitasnya kepada patron adalah perbandingan antara jasa yang diberikannya kepada patron dan dan hasil/jasa yang diterimannya. Makin besar nilai yang diterimanya dari patron dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia melihat ikatan patron-klien itu menjadi sah dan legal.

Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan antara patron dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral tersendiri dimana didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Norma-norma tersebut akan bertahan jika patron terus memberikan jaminan perlindungan dan keamanan dasar bagi klien. Usaha-usaha tersebut kemudian dianggap sebagai usaha pelanggaran yang mengancam pola interaksi tersebut karena kaum elit/patronlah yang selalu berusaha untuk mempertahankan sistem tersebut demi mempertahankan keuntungannya. Hubungan ini berlaku karena pada dasarnya hubungan sosial adalah hubungan antar posisi atau status dimana masing-masing membawa perannya masing-masing. Peran ini ada berdasarkan fungsi masyarakat atau kelompok, ataupun aktor tersebut dalam masyarakat, sehingga apa yang terjadi adalah hubungan antar kedua posisi.

Tujuan dasar dari hubungan patron klien bagi klien yang sebenarnya adalah penyediaan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan. Apabila hubungan dagang/pertukaran yang menjadi dasar pola hubungan patron klien ini melemah karena tidak lagi memberikan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan maka klien akan mempertimbangkan hubungannya dengan patron menjadi tidak adil dan eksploitatif. Yang terjadi kemudian legitimasi bukanlah


(25)

berfungsi linear dari neraca pertukaran itu. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ada tuntutan dari pihak klien terhadap patronnnya untuk memenuhi janji-janji atau kebutuhan dasarnya sesuai dengan peran dan fungsinya.

Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini maka konsep tersebut di atas berguna untuk mengindentifikasi pola hubungan yang terjadi antara toke dengan petani kemenyan, apakah pola patron klien yang disebutkan Scott memang berlaku pada petani Pandumaan atau sudah mengalami pergeseran. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan patron klien dilakukan oleh Astuti (2012) yang berjudul “Relasi Sosial Petani dengan Buruh Tani Dalam Produksi Pertanian”. Penelitian ini mengkaji tentang relasi patron klien yang terjadi antara petani dengan buruh tani. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Relasi yang yang terjalin antara petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian tidak hanya relasi kerja melainkan relasi tersebut telah meluas pada relasi-relasi sosial yang berbeda-beda diantara petani dengan buruh tani. 2) Relasi sosial ini terjalin dalam berbagai bentuk yaitu relasi sosial petani dengan buruh tani bebas, relasi sosial petani dengan buruh tani langganan, dan relasi sosial petani dengan buruh tani tetap dan (3) Relasi sosial disini seakan sudah terpola dan sudah menjadi suatu kebiasaan yang terjadi secara turun temurun sejak lama.

Adapun penelitian lainnya yang membahas hubungan patron klien berasal dari Kurniawan dan Kolega (2011). Hasil penelitian ini adalah : 1) Pola hubungan Petani karet dengan tauke yang terjadi pada masyarakat petani Desa Muara Musu adalah hubungan produksi dan saling menguntungkan. Dalam melakukan hubungan patron klien ini antara petani karet dengan tauke tidak saja bermotifkan


(26)

hubungan ekonomi, tetapi meluas hingga hubungan sosial. Umumnya terlihat pada kesediaan tauke untuk menjamin kebutuhan petani pada masa sulit misalnya: musim hujan dan kemarau yang panjang. Di sisi lain petani bersedia membantu tauke bila diperlukan tanpa mengharapkan imbalan apapun. 2) Kerjasama antarapetani karet dengan tauke berlangsung dalam proses produksi yang mana tingginya tingkat ketergantungan antara petani karet terhadap tauke karena didasarkan sama-sama mempunyai kepentingan.

2.2 Hubungan Eksploitatif

Hubungan patron klien yang dilihat Scott sebagai melindungi yang lemah, bagi Popkin adalah suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya murah, yaitu tenaga kerja. Petani diberi kesempatan untuk hal-hal kecil seperti mencari butir-butir padi yang tersisa agar mereka tidak meminta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Pada hakekatnya, Popkin (dalam Kosala dan Kolega,2011) menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip moral melainkan prinsip rasional. Namun, teori “pilihan rasional” juga tak berlaku dalam kasus dimana perhitungan perorangan secara mudah atas untung-rugi bukan model yang tepat dalam pembuatan keputusan petani, juga ketika masalah “free- riders” tidak

signifikan mempengaruhi perilaku kolektif.

Premis dasar terciptanya pola hubungan eksploitasi disebabkan oleh adanya stratifikasi sosial, yakni adanya perbedaan status diantara pelaku ekonomi. Dikatakan lebih lanjut bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok yang sumber dayanya terbatas. Pihak yang mengeksploitasi


(27)

semata-mata mengejar apa yang mereka bayangkan menjadi kepentingan terbaik mereka.. Kelompok dengan sumber daya yang melimpah dan berkuasa dapat memaksakan sistem gagasan mereka terhadap seluruh masyarakat, sedangkan kelompok tanpa sumber daya mempunyai sistem gagasan yang dipaksakan terhadap mereka.

Eksploitasi menurut Scott (1981:239) adalah bahwa ada individu, kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas keinginan orang lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pengertian ini ada dua cara eksploitasi. Pertama, harus dilihat sebagai suatu hubungan antara perorangan, dan ada pihak yang mengeksploitasi dan dieksploitasi. Kedua, merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya. Eksploitasi berbeda dengan resiprositas dalam hubungan patron klien.

Resiprositas menurut Scott (1981:255) mengandung prinsip bahwa individu atau kelompok harus membantu mereka yang pernah membantunya atau jangan merugikannya. Artinya bahwa satu hadiah atau jasa yang diterima bagi si penerima menimbulkan satu kewajiban timbal-balik untuk membalas dengan hadiah atau jasa dengan nilai yang sebanding dikemudian hari. Dalam kaitan ini Malinowski dan Mauss, menemukan bahwa resiprositas berfungsi sebagai landasan bagi struktur persahabatan dan persekutuan dalam masyarakat-masyarakat tradisional (Scott, 1994). Dalam pandangan ekonomi resiprositas menunjuk pada bentuk pertukaran yang ditanamkan secara sosial dalam masyarakat simetris yang berskala kecil (Hettne, 2001:289).

Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini maka konsep tersebut di atas berguna untuk mengidentifikasi pola hubungan yang terjadi antara petani kemenyan dengan toke apakah termasuk pola yang


(28)

eksploitatif pada petani Pandumaan. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan hubungan yang ekslpoitatif dilakukan oleh Purnamasari (2002:111) menunjukkan bahwa pertukaran sosial ponggawa-petambak penyakap merupakan bentuk pertukaran yang paling rentan sifat eksploitasi. Hasil penelitian ini adalah: 1. Ponggawa dengan aset produksi yang dimilikinya berada di posisi yang berpotensi mengeksploitasi, sedangkan petambak penyakap berpotensi untuk di eksploitasi karena posisinya lemah dengan aset produksi terbatas. Namun, selama kehidupan ekonomi dan subsistensi petambak penyakap belum terancam dan masih diperhatikan oleh ponggawanya, eksploitasi yang terjadi belum dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan, melainkan masih dimaknai bersifat resiprositas (timbal-balik).

2. Hal ini karena hubungan ponggawa-petambak telah tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat petambak, dan belum tergantikan dalam kelembagaan formal bentukan pemerintah, disamping hubungan ponggawa-petambak tetap menjadi pilihan karena selain sesuai kebutuhan, prosesnya cepat (berlangsung setiap saat dan tanpa batas waktu).

Adapun penelitian yang masih berhubungan dengan pola eksploitatif adalah penelitian Alhada (2011) tentang konstruksi sosial buruh tani tembakau terhadap eksploitasi yang dilakukan majikannya di Desa Mayang, Kecamatan Mayang, KabupatenJember. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani yang bekerja keras setiap kali diminta untuk mengerjakan lahan pertanian milik majikan sangatlah pasrah terhadap keadaan yang ada. Tak ayalnya banyak sekali kita temui beberapa buruhtani bekerja sepanjang hari mendapat upah yang relatif minim. Pemberian upah yang tidak sebanding dengan kerja keras yang buruhtani


(29)

untuk menggarap lahan majikan ini nampaknya menimbulkan ketimpangan yang cukup berarti. Fenomena tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa hal misalnya: kuasa majikan yang cenderung bertindak sewenang-wenang, majikan menganggap bahwa posisi majikan lebih tinggi dibandingkan dengan posisi buruhtani, adanya pemikiran dari mayoritas buruhtani bahwa memang sudah sewajarnya buruh harus tunduk dan menuruti kemauan majikan tersebut merupakan suatu kesepakatan masyarakat di Desa Mayang dan tidak dapat diubah lagi.

2.3 Pola Mutualisme

Pola mutualisme merupakan suatu bentuk hubungan yang dilakukan oleh dua orang yang mengutamakan keuntungan masing-masing dan dinilai setimpal atas apa yang dikerjakan. Popkin (dalam Kosala, 2011) mengungkapkan tentang rasional ekonomi petani. Petani adalah orang-orang kreatif yang penuh perhitungan rasional.Ada beberapa perdebatan antara James Scott dan Samuel Popkin. Rasionalitas petani menurut Scott adalah moral ekonomi petani yang hidup di garis batas subsistensi, yaitu dengan norma mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko. Bagi Scott hal ini merupakan perilaku yang rasional.Namun Popkin melihat bahwa fenomena tersebut jangan diartikan sempit. Itu hanya terjadi dalam kondisi mendesak saja, sehingga mereka akan lebih memprioritaskan diri dan keluarga mereka. Popkin yakin, pada hakekatnya petani terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko, sepanjang kesempatan tersebut ada, dan hambatan dari pihak patron dapat diatasi.Intinya, Popkin mengkritik Scott dan menyakini bahwa petani pada hakekatnya ingin meningkatkan


(30)

ekonominya dan berani mengambil resiko. Bahkan, bila kesempatan terbuka maka mereka ingin mendapatkan akses ke pasar. Mereka ingin kaya, dan mampu menerapkan praktek untung rugi. Rasionalitas petani akan lebih menonjol jika ditunjang oleh adanya independensi petani, karena mampu mendorong tumbuhnya kreativitas. Perpaduan antara rasionalitas dan independensi mampu menumbuhkan keberanian menghadapi resiko.

Pola ini sesuai dengan teori Pilihan Rasional. Teori pilihan rasional Coleman (dalam Hariyanto,2014) merupakan tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (prefensi). Teori pilihan rasional memusatkan perhatiannya pada aktor. Aktor dilihat sebagai manusia yang memiliki tujuan atau maksud. Artinya aktor memiliki tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Aktorpun dipandang memiliki pilihan (nilai atau keperluan). Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor. Yang terpenting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor.

Relevan dengan tindakan rasional tersebut, Coleman (dalam Hariyanto, 2014) mengembangkan melalui teori pilihan rasional yang menyatakan bahwa, tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Pernyataan Coleman bersumber dari akar pemikiran ilmu ekonomi yang melihat aktor memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya, dan menyatakan bahwa basis minimal untuk sistem sosial


(31)

tindakan adalah dua orang aktor, masing-masing mengendalikan sumber daya yang menarik perhatian pihak yang lain. Perhatian satu orang terhadap sumber daya yang dikendalikan orang lain itulah yang menyebabkan keduanya terlibat dalam tindakan saling membutuhkan, terlibat dalam sistem tindakan. Selaku aktor yang mempunyai tujuan, masing-masing bertujuan untuk memaksimalkan perwujudan kepentingannya yang memberikan ciri saling bergantung atau ciri sistemik terhadap tindakan mereka.

Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan hubungan mutualisme dilakukan oleh Hariyanto (2014) menunjukkan bahwa petani sebagai aktor dan lahan sebagai sumber daya yang mana petani memiliki kuasa dan kepentingan. Jadi, hubungan diantara keduanya adalah kuasa dan kepentingan (Coleman, 2011:37). Sumber daya yang dimiliki oleh seorang petani memiliki daya tarik sendiri bagi orang lain untuk memilikinya. Proses terbentuknya pilihan rasional dalam konteks ini yaitu ketika seorang petani menyewakan lahannya untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya seperti biaya pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Lahan merupakan sumber daya yang dimiliki oleh petani yang mana petani memiliki kuasa dan kepentingan. Kuasa disini maksudnya petani pemilik lahan berhak untuk menggarap, menyewakan, atau bahkan menjual lahan tersebut untuk memenuhi kepentingan atau tujuannya. Ketika berbicara kepentingan, maka tidak semua sumber daya yang dimiliki petani bisa memenuhi kepentingannya. Masih ada beberapa sumber daya yang tidak dimiliki oleh petani dan dimiliki oleh orang lain sehingga untuk memilikinya diperlukan adanya pertukaran (transaksi) untuk memenuhi kepentingan dari masing-masing individu. Penyewaan lahan dilakukan karena petani sebagai pemilik lahan membutuhkan


(32)

uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sedangkan pihak penyewa membutuhkan lahan untuk memperluas lahan pertaniannya.

Konsep ini digunakan dalam penelitian ini untuk mengindentifikasi hubungan yang terjadi antara petani dengan toke. Apakah hubungan petani dengan kemenyan yang terjalin diantaranya hanya berdasarkan keuntungan saja atau mencari jaminan perlindungan dan subsistensi akibat sedikitnya bantuan yang diperoleh dari saudara mereka sendiri seperti yang dikatakan Scott (1994) dalam moral ekonomi petani.

2.4 Hutan Adat

Hutan adat adalah kawasan hutan yang dijadikan hutan larangan melalui keputusan masyarakat atas dasar kesepakatan bersama (Alfitri,2010). Pengawasan kawasan ini dilakukan oleh ketua adat, kelompok marga sertakepala desa. Hutan adat dijadikan sebagai aset perekonomian yang bisa dimanfaatkan oeh masyarakat untuk melakukan kegiatan berladang guna memenuhi kepentingan ekonomi keluarga berupa kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu masyarakat yang ingin memanfaatkan hutan adat yang bukan berasal dari desa/ menikah dengan masyarakat adat di desa tersebut, terlebih dahulu harus melapor dan mendapat izin dari Ketua adat sebagai kepala pemerintahan marga. Hutan adat pada prinsipnya dikelola oleh pemerintahan marga dengan aturan sebagai berikut:

1. Semua keluarga yang ingin membuka hutan marga berhak atas pengelolaan lahan seluas kemampuan membabat hutan. Jika suatu keluarga mampu membuka lahan seluas dua hektar, tetap diizinkan oleh ketua adat.


(33)

2. Keluarga yang membuka hutan tidak boleh menanam tanaman keras dengan alasan bahwa tanaman tersebut berumur pendek, sehingga bisa dilakukan penggiliran bagi keluarga lain.

3. Hasil dari tanaman dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bukan untuk dijual atau memperoleh keuntungan ekonomi.

4. Hutan adat yang sudah beberapa tahun (empat sampai lima tahun berturut-turut) ditanam oleh masyarakat harus dihutankan kembali (dibiarkan menjadi hutan) agar tanah hutan menjadi subur kembali

5. Keluarga yang menggunakan hutan adat diwajibkan membayar pajak marga dalam satu tahun, jika ingin melanjutkan kembali diharuskan mengajukan pengusulan ulang kepada Ketua adat.

6. Keluarga yang melanggar aturan adat dapat dikenakan sanksi adat sesuai dengan hukum adat yang ditetapkan oleh rapat dewan marga.

Dari keenam prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa pengelolaan hutan adat masih memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh sekelompok masyarakat adat, yaitu antara lain :

a. Masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang luas dan dijaga keseimbangannya.


(34)

b. Adanya hak penguasaan atau kepemilikan bersama komunitas atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan.

c. Adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumber daya hutan.

d. Adanya sistem pembagian kerja dan penegakan hutan adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar.

e. Ada mekanisme pemerataan distribusi hasil panen-panen sumber daya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat (Alfitri,2010).

Menurut hasil penelitian Silaya (2008) menyatakan : 1) Masyarakat Desa Walakone masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeens-chap)karena memiliki ikatan-ikatan kekeluargaan seperti marga, mata rumah, soa, dll.2) Masyarakat desa ini memiliki kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adat,memiliki wilayah hukum adat yang jelas, pranata serta perangkat hukum, khususnyaperadilan adat, yang masih ditaati. Selain itu masyarakatnya masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhanhidup sehari-hari.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Zoraya (2002) menyatakan: 1) Hutan Tana Toa diakui sebagai hutan adat yang berfungsi sebagai pengatur tata air, tempat pelaksanaan upacara adat (fungsi sosial) dan 2) menanam dua jenis pohon hingga tumbuh dengan baik untuk dimanfaatkan oleh masyarakat adat.


(35)

Kelestarian hutan dapat terjaga karena adanya patang yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat keamatoaan, adanya tokoh Amma Toa, ketegakan hukum, keteguhan dan ketaatan dalam melaksanakan ajaran pasang.

Dengan demikian keberadaan hutan adat merupakan warisan secara turun-temurun dari leluhur marga mereka. Para leluhur, mewariskan hutan tersebut untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para generasi mereka. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap ketersediaan sumber daya alam membuat masyarakat lokal sangat mematuhi aturan-aturan marga mereka terutama dalam hal pemanfaatan pepohonan (Wulandari dan Kolega,2010).


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisiatau berbagai fenomena realitas sosial yang ada didalam kehidupan masyarakat yang menjadi objek dalam penelitian ini dan berupaya untuk menarik realitas itu ke permukaan sehingga terlihat bagaimana realitas sosial yang sebenarnya ada dan sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Penelitian deskriptif umumnya bersifat apa adanya artinya, penelitian ini akan menceritakan fenomena apa sebenarnya yang ada dalam kehidupan masyarakat tersebut tanpa ada manipulasi data. Penelitian ini sifatnya hanya sekedar mengungkap fakta. Hasil penelitian lebih ditekankan pada pemberian gambaran secara objektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diselidiki. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam mengenai pola hubungan sosial ekonomi antara petani kemenyan dengan toke, di Desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Alasan pemilihan lokasi ini adalah karena di daerah ini merupakan areal hutan penghasil getah kemenyan terbesar di


(37)

bermata pencarian sebagai petani kemenyan. Adapun dalam penelitian ini, peneliti mencoba melihat bagaimana pola hubungan sosial ekonomi antara petani kemenyan dengan toke yang terjadi di Desa Pandumaan.

3.3 Unit Analisis dan Informan Penelitian

3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian keseluruhan unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007:51-52). Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah petani kemenyan dan toke serta masyarakat yang berada di Desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan.

3.3.2. Informan

Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan peneliti sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan peneliti (Bungin, 2007:76). Informan dapat dibagi menjadi dua yaitu informan kunci dan informan biasa. Penentuan informan kunci ini dilakukan dengan metode bola salju, yakni informan berikutnya ditentukan berdasarkan keterangan yang diperoleh dari informan sebelumnya yang dapat lebih menunjang tujuan penelitian yang bersangkutan. Adapun yang menjadi informan kunci dalam penelitian yaitu: a. Masyarakat setempat yang berprofesi sebagai petani kemenyan di lahan hutan

adat dengan mengintepretasikan bagaimana kegiatan mereka dalam bertani dapat menopang kondisi sosial dan ekonomi keluarga. Petani ini mencakup


(38)

lima petani yang mempunyai lahan kemenyan dan sudah lebih dari lima tahun dalam mengerjakan budidaya kemenyan.

b. Toke yang mencakup tiga toke kecil (agen) dan satu toke besar yang berada di sekitar desa

Adapun yang menjadi informan biasa dalam penelitian ini adalah:

Kepala Desa dan ketua adat setempat untuk memperoleh informasi mengenai lokasi informan yang ingin dituju serta sejarah munculnya hutan kemenyan. 3.4Data dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi dalam penelitian di lapangan, maka diperlukan adanya alat pengumpulan data. Dalam proses pengumpulan data dan informasi, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data agar mendapat kesesuaian dengan kebutuhan peneliti dalam mengolah data dan informasi yang diperoleh di lapangan. Data dalam sebuah penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian melalui observasi dan wawancara baik secara partisipatif maupun wawancara secara mendalam. Oleh karena itu untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan sebagai berikut:


(39)

a. Observasi merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian, dimana data penelitian itu dapat diamati oleh peneliti. Dalam arti data tersebut dihimpun melalui pengamatan peneliti melalui penggunaan pancaindra (Burhan Bungin, 2001: 142). Adapun yang menjadi bahan observasi dalam penelitian ini adalah pengamatan langsung kepada petani dan toke mengenai pola hubungan sosial ekonomi diantara keduanya yang berada di Desa Pandumaan.

b. Wawancara mendalam, yaitu proses tanya jawab secara langsung yang ditujukan terhadap informan dilokasi penelitian dengan menggunakan wawancara atau panduan wawancara serta menggunakan alat bantu perekam atau tape recorder jika memang dibutuhkan untuk memudahkan penelitian mengenai keseluruhan informasi yang diberikan informan. Wawancara terhadap informan ditujukan untuk memperoleh data dan informasi secara lengkap mengenai pola hubungan sosial ekonomi petani dan toke serta faktor pemicu pola hubungan diantara keduanya maupun dampak dari pola hubungan tersebut di Desa Pandumaan.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen yaitu, dengan mengumpulkan data dan mengambil dari buku-buku referensi, dokumen, majalah, jurnal, dan bahan-bahan dari situs internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.


(40)

3.5 Interpretasi Data

Menginterpretasikandata merupakan kegiatan mengorganisasikan data dalam susunan-susunan tertentu yang menuju pada kegiatan analisis data. Analisis data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik melalui pengamatan, wawancara atau catatan lapangan lainnya yang telah ada melalui penelitian terdahulu yang kemudian dipelajari dan ditelaah. Pada tahap selanjutnya adalah penyusunan data dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorikan dan diinterpretasikan secara kualitatif. Interpretasi data merupakan proses pengolahan data dimulai dari tahap mengedit data sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian diolah secara deskriptif berdasarkan apa yang terjadi dilapangan.

3.6Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah. Terkait dengan keterbatasan waktu terutama pada informan membuat peneliti harus membuat jadwal pertemuan. Terlepas dari kendala diatas peneliti mneyadari keterbatasan dalam proses penelitian yang dilakukan. Meskipun demikian peneliti berusaha untuk melaksanakan peneletian semaksimal mungkin agar mendapatkan hasil yang akur


(41)

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Singkat Desa Pandumaan

Dalam sejarah Batak yang diwariskan secara turun temurun dan diakui sejak dahulu, wilayah Pollung sejak dulu dikenal dengan Tano Marbun. Hal ini bahkan sudah dituliskan dalam buku-buku Sejarah Batak, baik yang dituliskan oleh orang Batak sendiri maupun penulis dari sejarah Belanda. Dalam buku Pustaha Batak yang ditulis WM Hutagalung, dikatakan bahwa keturunan Toga Marbun yakni Lumban Batu, Banjar Nahor dan Lumban Gaol meninggalkan Dolok Imun menuju Bakkara. Dari Bakkara keturunan dari Toga Marbun berpencar naik ke dataran tinggi Humbang yang kemudian sering disebut dengan

Luat Marbun.

Hal senada juga ditulis dalam buku Masyarakat Adat dan Hukum Adat Batak Toba, bahwa kelompok Naipospos terbelah dua, belahan yang lebih tua dari pangkuan Toga Marbun yang mendiami suatu daerah yang agak luas di Humbang Utara dan juga mempunyai cabang di Bakkara. Cabang-cabang tunggal yang menjadi komponen dari marga, Lumban Batu dan Banjar Nahor menduduki wilayah Sanggaran dan Sihingkit di daerah kemenyan. Beberapa kelompok kecil Marbun juga dapat ditemui di bebarapa wilayah kecildi dataran tinggi Humbang diantaranya Sipituhuta.

Pollung merupakan tempat dimana keturunan dari ketiga anak Toga Marbun yang berangkat dari Bakkara kemudian mengadakan suatu upacara yang


(42)

Tempat tersebut kemudian dinamakan Pollung hingga saat ini. Di tempat tersebut mereka juga menanamtolu hau ( tiga pohon) sebagai pertanda bahwa mereka telah memanjatkan permohonannya. Pohon ini mereka namai dengan hau ni Lumban

Batu, hau ni Lumban Gaol dan hau ni Banjarnahor. Dari Pollung inilah keturunan

Toga Marbun berpencar ke beberapa desa di Tano Marbun seperti Aek Nauli, Hutajulu, Pancurbatu, Hutapaung, Pandumaan dan Sipituhuta.

Tano Marbun sendiri dibagi dalam dua wilayah, yaitu :

a. Marbun Habinsaran, meliputi Hutapaung, Pollung, Parsingguran, dan Pansur

ria-ria

b. Marbun Hasundutan, meliputi Hutajulu, Pancurbatu, Sipituhuta, Pandumaan

dan Aek Nauli

Menelusuri kembali silsilah yang diwariskan dari generasi ke generasi, tidak begitu sulit bagi kelompok masyarakat Batak yang masih menjalankan hukum adat dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini, masyarakat Pandumaan merupakan komunitas masyarakat adat dan masih menjalankan dan mengedepankan hukum adat, seperti dalam pengelolaan lahan dan tombak (hutan), penyelesaian konflik dan dalam pelaksanaan upacara atau ritual-ritual adat. Sehubungan dengan hal tersebut, silsilah juga masih dipahami atau diketahui sampai saat ini.

Adapun marga-marga yang ada dalam masyarakat adat Pandumaan adalah:

a.Lumban Batu, khususnya keturunan Op. Sada Pangulu Lumban Datu dengan istri boru Sianturi saat ini sudah 14-15 generasi menempati wilayah


(43)

b. Lumban Gaol, khususnya keturunan Raja Isampuna Lumban Gaol dan keturunan Raja Irumana Lumban Gaol (dari garis keturunan Op. Bahal Gaja Lumban Gaol), sampai saat ini sudah 13-14 generasi bermukim di Pandumaan c. Nainggolan, khususnya keturunan Op. Sohaginjangan Nainggolan yang sudah

bermukim di Pandumaan sampai 14 generasi.

d. Pandiangan, khususnya keturuna Op. Singaduan Pandiangan yang baik dari Urat Samosir dan menempati wilayah Pandumaan dan sudah memasuki generasi ke-13.

e. Sinambela, khususnya keturunan Raja Parhata Sinambela, generasi ke-10 Siraja Oloan bermukim di Desa Pandumaan dan juga sudah memasuki generasi ke-16.

f. Sihite, khususnya keturunan Guru Sinaingan Sihite, generasi ke-5 dari Siraja Oloan naik ke Bakkara dan langsung ke Pandumaan. Sampai dengan saat ini keturunan marga Sihite yang bermukim di Pandumaan memasuki generasi ke-12.

g. Manullang, Munthe dan Situmorang.

Berangkat dari sejarah, bahwa wilayah Pollung adalah Tano Marbun, maka dari marga-marga diatas, Lumban Batu dan Lumban Gaol adalah marga

Raja Bius. Oleh karena itu dalam setiap upacara adat yang digelar di dua Desa

(Pandumaan dan Sipituhuta) ini, kedua marga inilah yang berhak mendapat

jambar bius (penghargaan/penghormatan sebagai marga yang pertama kali


(44)

Oloan (Sinambela, Sihite dan Manullang) mendapatkan somba-somba, sedangkan marga-marga boru lainnya, mendapatkan jambar boru bius. Sebagai boru bius mereka juga diberi hak untuk menguasai tanah dan hutan kemenyan yang ada di wilayah tersebut.

Seiring perkembangan zaman, beberapa marga bertambah di desa tersebut antara lain: Purba, Manalu, Sitanggang, Sinaga, Sijabat, Harefa dan Siahaan. Kedatangan marga ini pada umumnya karena perkawinan, dimana marga-marga yang datang kemudian tersebut menikah dengan boru dari marga-marga-marga-marga di atas. Mereka juga diberi kesempatan untuk mengelola lahan dan tombak haminjon milik kedua desa tersebut sebagai tempat untuk mencari nafkah bukan untuk dijual. Untuk memperoleh kesempatan mengelola lahan dan hutan kemenyan tersebut, marga yang datang kemudian tersebut setelah membentuk keluarga baru dan hidup di sana, meminta kepada salah satu marga yang memiliki hak atas lahan dan tombak tersebut. Untuk meminta hak pengelolaan tanah/tombak tersebut seperti lazimnya dalam masyarakat adat batak ada tata cara adat yang harus dilakukan dengan melibatkan semua marga di atas.

4.1.2 Lokasi dan Kondisi Desa

4.1.2.1 Kondisi Geografis Desa

Desa Pandumaan terbentuk dari tiga dusun dan memiliki luas wilayah 4.681,98 hektar dengan perincian seperti terlihat pada Tabel 4.1


(45)

Tabel 4.1 Nama Dusun

No. Nama Dusun Luas Keterangan

1 Dusun I 1.506,90 Hektar

2 Dusun II 1.678,01 Hektar

3 Dusun III 1.497,07 Hektar

Desa Pandumaan 4.681,98 Hektar

Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Pandumaan, 2011

Desa Pandumaan berada di sebelah Barat daya Kantor Camat Pollung dengan batas-batas sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatas dengan : Desa Pansur Batu b. Sebelah Selatan berbatas dengan : Desa Aeknauli I c. Sebelah Timur berbatas dengan : Desa Sipituhuta

d. Sebelah Barat berbatas dengan :Desa Simataniari, Kecamatan Parlilitan

4.1.2.2 Kondisi Topografi Desa

Ketinggian atau topografi merupakan faktor yang penting dalam penyebaran kegiatan pertanian sehingga ketinggian merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam pembangunan pertaniaan. Ketinggian tempat dari permukaan laut berpengaruh terhadap suhu udara, yaitu setiap naik 100 m suhu akan turun rata-rata 0,6º C. Semakin tinggi suatu tempat itu menyebabkan daerah tersebut memiliki suhu yang rendah.

Kondisi dan jenis tanah yang terdapat di Desa Pandumaan adalah jenis tanah yang berasal dari tuf andesif yang menghasilkan tanah podsolik yang


(46)

relatif subur dimana tanah yang terdapat di Desa Pandumaan adalah kebanyakan tanah yang mengandung organik, akan tetapi perlu dioptimalkan khususnya teknik pengelolaan tanah dan budidaya tanaman yang cocok di Desa Pandumaan.

Lahan yang ada di Desa Pandumaan merupakan lahan yang cocok ditanami padi, tanaman pangan maupun tanaman tahunan (seperti kemenyan,kopi,dll), akan tetapi terdapat kecenderungan masyarakat Desa Pandumaan mengelola dan membudidayakan tanaman sayur-sayuran seperti tomat dan cabe yang sebagian besar tidak optimal hasilnya. Sebagian penanaman padi hanya ditanam di sawah yang sebagian sawah mengharapkan air hujan.Masyarakat belum beralih menanam padi gogo(di perladangan) atau dalam bahasa daerah disebut dengan eme darat, yang pada dasarnya mampu menghasilkan padi/beras yang bermutu. Peluang yang dapat diraih Desa Pandumaan khususnya di bidang pertanian adalah pengembangan tanaman perkebunan seperti kopi dan buah-buahan (nenas, jeruk, semangka, tiung/terong belanda, timun, dsb) serta penanaman sayur-sayuran yang pengelolaanya secara optimal dengan menyesuaikan kondisi tanah.

4.1.2.3 Keadaan Alam dan Tata Guna Tanah

Desa Pandumaan merupakan sebuah desa yang memiliki luas lahan 4.681,98 ha yang dikelilingi oleh perladangan, persawahan dan hutan kemenyan

(tombak haminjon) dan mayoritas masyarakat di Desa Pandumaan pada umumnya

berprofesi sebagai petani. Kondisi alam dan suhu yang sejuk mendorong pertumbuhan pertanian seperti kopi, buah-buahan dan kemenyan tumbuh dengan subur. Adapun penggunaan tanah di desa ini dapat dilihat pada Tabel 4.2


(47)

Tabel 4.2

Peruntukan Lahan/ Tanah

No. Peruntukan/ Penggunaan Tanah Luas Ket.

1 Persawahan Penduduk 187 Ha

2 Tegalan/ Perladangan 178 Ha

3 Perkebunan 2.845 Ha

4 Pemukiman 45,10 Ha

5 Kolam/ Perikanan 9,50 Ha

6 Rumah Ibadah 5 Ha

7 Sekolah 5 Ha

8 Kantor Desa 0,01 Ha

9 Jalan Umum 22,50 Ha

10 Saluran Irigasi 5,60 Ha

11 Hutan Rakyat 1.379,27 Ha

Desa 4.681,98 Ha

Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Pandumaan, 2011

Peruntukan/penggunaan lahan paling banyak digunakan sebagai lahan perkebunan kopi,sayur,buah dengan luas lahan 2.845 hektar disusul juga lahan untuk hutan adat (tombak haminjon) dengan luas mencapai 1.379,27 hektar serta perladangan dan sawah sebesar 178 hektar dan semua lahan tersebut dikelola dan dibudidayakan masyarakat setempat dengan berbagai komoditas pertanian dan perkebunan seperti padi,kopi,kemenyan,buah-buahan,dll. Sisa dari lahan tersebut diperuntukan sebagai lahan pemukiman, sarana dan fasilitas umum, jalan umum, irigasi dsb.

4.1.3 Sejarah Hadirnya Kemenyan di Desa Pandumaan

Menurut ketua adat ada cerita dibalik hadirnya haminjon (kemenyan) pada desa Pandumaan yang selalu diceritakan oleh leluhur mereka kepada setiap keturunannya, agar setiap keturunan yang mewarisi tombak haminjon tersebut, tetap menghargai setiap tetes getah kemenyan serta terus mengelola tombak


(48)

haminjon tersebut. Adapun cerita yang diyakini oleh warga Desa Pandumaan adalah sebagai berikut.

Konon, ada satu keluarga yang sangat miskin dan memiliki seorang putri yang sangat cantik jelita. Karena kemiskinan, keluarga ini pun terlilit hutang dan tidak mampu membayarnya kepada Raja di kampung tersebut. Sebagai gantinya, sang Raja meminta putri yang cantik jelita dari keluarga miskin ini menjadi isterinya. Tidak berdaya menolak permintaan Raja, maka kedua orangtua si putri membujuk putrinya agar bersedia menjadi isteri Raja, namun si putri menolak meskipun kedua orangtuanya sudah mati-matian membujuk sambil menangis, bahkan mengancam akan bunuh diri, tetapi si putri tetap saja menolak hal tersebut. Tidak tahan dengan paksaan orangtuanya, akhirnya si putri nekat lari ke hutan. Selama di hutan, si putri tidak henti-hentinya menangis memikirkan nasibnya yang malang dan juga nasib keluarganya yang miskin. Hari demi hari demikian berlangsung, hingga kemudian dari tubuh si putri tersebut perlahan-lahan tumbuh daun sehingga akhirnya menyerupai sebuah pohon.

Setelah sekian lama si putri meninggalkan kampung, suatu waktu, orangtua si putri bermaksud mencari putrinya ke hutan. Lelah mencari ke sana-sini tidak juga berhasil menemukan putrinya. Kemudian ia berisitirahat dengan bersandar di bawah sebatang pohon yang sangat besar. Ketika sedang bersandar di bawah pohon, ia mengamati pohon tersebut dan merasa heran karena pohon tersebut mengeluarkan cairan (getah), bentuk pohon tersebut pun ketika diamati dengan seksama seperti menyerupai orang yang sedang menangis. Naluri orang tua ini pun seperti berkata bahwa pohon tersebut adalah putrinya yang telah


(49)

tersebut, layaknya perlakuan terhadap seorang anak yang sedang menangis. Mendapat elusan tersebut, pohon itu pun semakin deras mengeluarkan cairan dan orang tua ini pun semakin yakin bahwa pohon tersebut merupakan perwujudan dari putrinya.

Selanjutnya, orang tua ini mencoba menampung cairan pohon tersebut dan mencium aroma yang sangat harum dari cairan (getah) tersebut. Ia pun berpikir bahwa cairan ini pastilah memiliki nilai jual yang tinggi di kampung, kemudian cairan tersebut mulai diramu dan digunakan sebagai obat. Selanjutnya, orangtua ini mengenal cairan itu dengan nama haminjon (kemenyan). Sejak itu, kemenyan mulai dikenal warga desa. Pada masa itu masih banyak orang-orang tua yang memiliki keahlian meramu obat tradisional, dan mereka pun menggunakan kemenyan sebagai bahan obat-obatan. Demikian juga halnya dengan datu (dukun), sudah lama menggunakan kemenyan sebagai dupa.

Sejak saat itu, masyarakat kampung pun mulai mencari tahu tentang kemenyan. Mereka mengetahui bahwa kemenyan ternyata sangat dibutuhkan banyak orang dan nilainya (harganya) pun mahal. Maka, pekerjaan mencari dan mengumpulkan getah kemenyan ini pun menjadi pekerjaan mereka sehari-hari. Konon menurut cerita dari hasil penjualan getah kemenyan ini akhirnya orang tua si putri yang terlilit utang di atas dapat melunasi utangnya kepada Raja.

Begitulah leluhur warga Pandumaan ketika menemukan pohon kemenyan. Mereka meyakini bahwa pohon kemenyan tersebut merupakan ciptaan Tuhan yang mereka sebut dengan haminjon jalangan na tinompa ni ompu mula jadi


(50)

Berdasarkan keyakinan ini, dan karena memang pada kenyataannya dari hasil kemenyanlah warga Pandumaan bisa menghidupi keluarganya dan mereka mulai merawat kemenyan ini dengan sungguh-sungguh.Selanjutnya mereka membudidayakan kemenyan ini. Buah (lata) kemenyan yang banyak terdapat disekitar pohon kemenyan ini kemudian mereka tanami di lahan tersebut, di sela-sela pohon alam lainnya dan di areal yang masih kosong hingga sampai saat ini .

Wilayah adat bagi masyarakat adat Batak meliputi pemukiman, perladangan, persawahan, padang rumput/ tempat penggembalaan ternak, sungai

dan tombak (hutan). Hutan menjadi tempat mereka mencari nafkah,khususnya

kaum bapak. Nenek moyang mereka pun memberikan nama atas tombak (hutan) tersebut, antara lain:

1. TombakHaminjon (hutan kemenyan) Dolok Ginjang, disebut Dolok Ginjang

karena merupakan puncak tertinggi dari semua tombak yang ada di sana, berbatasan dengan Tombak Simataniari Parlilitan dan Tombak Aek Nauli.

2. Tombak Haminjon Lombang Nabagas, disebut demikian karena tombak itu

dikelilingi oleh lembah/ jurang yang dalam.

3. Tombak Haminjon Sipitu Rura, disebut demikian karena tombak itu dikelilingi

pitu rura ( tujuh sungai).

Adapun batas-batas tombak ini adalah:

a. Sebelah Barat: Tombak milik Simataniari Parlilitan b. Sebelah Timur: Desa Pandumaan

c. Sebelah Selatan: Tombak Aek Nauli d. Sebelah Utara: Tombak Pancur Batu


(51)

Ketiga tombak tersebut selama ini dikelola secara adat oleh masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta sejak nenek moyang mereka sampai saat ini. Pengelolaan tombak haminjon dilakukan secara bersama dan bergotong royong. Dalam satu kelompok yang akan mengolah tombak, biasanya mereka terdiri dari 20 orang. Pada zaman dahulu mereka akan tinggal di tombak selama 1-2 minggu dengan membawa perbekalan dan tinggal di sebuah sopo (pondok). Masyarakat adat Pandumaan sangat sadar pentingnya menjaga kelestarian hutan (tombak), apalagi selama ini ketergantungan mereka pada hutan yang sangat tinggi, tidak hanya untuk menunjang kebutuhan ekonomi tetapi tombak juga memiliki berbagai aspek yang sangat berhubungan dengan erat dengan budaya dan tradisi masyarakat di kedua desa tersebut.

Di era kolonial, Belanda membuat sebuah kebijakan garis batas lahan yang ditanami oleh masyarakat dengan haminjon. Kebijakan pembatasan tersebut, menjadikan hampir seluruh haminjon yang telah ditanami masyarakat secara turun temurun masuk dalam area pembatasan. Pembatasan hanya menyisakan 1/3 wilayah dari luas lahan yang ada. Kopala nagari saat itu (generasi ke-7) mengatakan tidak mungkin membatasi masyarakat untuk berkebun. Berdasarkan penelusuran generasi, peristiwa penolakan yang disampaikan oleh kepala nagari tersebut sekitar tahun 1840. Tidak pernah ada larangan dari pemerintah kolonial bagi masyarakat untuk mengelola kemenyan yang mereka miliki. Pada tahun 1932-1940 Belanda membuat kebijakan penataan kawasan hutan. Kebijakan tersebut lebih dikenal dengan register 41.


(52)

pemerintah kolonial. Penataan ini merupakan langkah pendahuluan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) 1982. Kebijakan ini menegaskan kebijakan pembatasan yang dikeluarkan di era kolonial. Wilayah diluar register 41 tersebut, statusnya di jadikan APL (Areal Penggunaan Lain).

4.1.4 Komposisi Penduduk

4.1.4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah penduduk di Desa Pandumaan adalah 1.100 Jiwa. Dari data tahun 2010-2011, tercatat jumlah penduduk Desa Pandumaan sebanyak 295 KK. Untuk desa Pandumaan, jenis kelamin perempuan lebih besar dibandingkan dengan perempuan dimana laki-laki berjumlah 500 Jiwa dan perempuan berjumlah 600 Jiwa. Dari jumlah tersebut ada sekitar 100 selisih perempuan dan laki-laki. Komposisi penduduk Desa Pandumaan berdasarkan jenis kelamin terlihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3

Komposisi Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin

No Nama Dusun Jumlah Penduduk Frekuensi Lk (%) Frekuensi Pr (%) Total

1 Dusun I 203

(40,35)

300 (59,65%)

503

2 Dusun II 142

(41,76%)

198 (58,24%)

340

3 Dusun III 155

(60,31%)

102 (39,69%)

257

Jumlah 500

(45,45%)

600 (54,55%)

1100 Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Pandumaan, 2011


(53)

Dimana dari data tersebut dapat kita lihat bahwa jumlah laki-laki di Desa Pandumaan sebesar 45,45% dari jumlah penduduknya. Sedangkan untuk jumlah perempuannya sebesar 54,55% dari jumlah penduduknya. Dimana tingkat perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 1,2 dimana jumlah perempuan sedikit lebih banyak dari pada jumlah laki-laki di desa ini.

4.1.4.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

Semua penduduk Desa Pandumaan juga telah menganut beberapa agama yang telah diakui di negara Indonesia. Dimana penduduk ini dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan agama yang dianutnya, yang terlihat pada Tabel 4.4

Tabel 4.4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No Nama

Dusun

Agama

Islam Protestan Katolik Hindu Budha

1 Dusun I - 482 21 - -

2 Dusun II - 325 15 - -

3 Dusun III - 239 18 - -

Jumlah - 1046 54 - -

Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Pandumaan, 2011

Dari tabel 4.4 dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk di Desa Pandumaan beragama Kristen Protestan dengan jumlah 1046 umat dengan persentase (95%) dan juga pemeluk agama katolik pada Desa Pandumaan adalah 54 umat dengan persentase (5%) sehingga banyak rumah ibadah seperti gereja yang dapat kita temukan di Desa Pandumaan.


(54)

4.1.4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Tabel 4.5

Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Suku

No. Nama Dusun Batak Jawa Melayu Minang Dll

1 Dusun I 503 - - - -

2 Dusun II 340 - - - -

3 Dusun III 257 - - - -

Jumlah 1100 - - - -

Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Pandumaan, 2011

Apabila ditinjau dari komposisi penduduk berdasarkan Tabel 4.5 dapatdisimpulkan bahwa penduduk Desa Pandumaan 100% asli suku batak toba dan tetap menjalankan kehidupan sehari-hari berdasarkan adat istiadat dan kebiasaan penduduk sesuai dengan norma adat yang berlaku pada Desa Pandumaan. Hal ini dipertegas dengan bahasa daerah yang diterapkan sebagai bahasa pengantar sehari-hari, namun tidak jarang mereka menggunakan bahasa Indonesia jika berada di luar desa.

4.1.4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Tabel 4.6

Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No. Nama Dusun

Profesi

Petani Pedagang PNS TNI/POLRI Dll

1 Dusun I 488 10 4 1 -

2 Dusun II 331 8 1 - -

3 Dusun III 251 5 1 - -

Jumlah 1060 23 6 1 -


(55)

Pekerjaan masyarakat desa ini mayoritas berada pada pekerjaan sebagai Petani, dimana dari data Tabel 4.6 dapat kita lihat bahwa jumlah petani 96,36% dari jumlah penduduknya. Sedangkan sebagian kecil masyarakat desa ini bekerja sehari-harinya pada bidang pekerjaan lainnya seperti Pegawai Negeri Sipil, Pedagang, TNI, POLRI dengan persentase 3,64%.

4.1.5 Deskripsi Fasilitas dan Prasarana yang ada di Desa Pandumaan 4.1.5.1 Sarana Pendidikan

Tabel 4.7 Sarana Pendidikan

No. Kategori Nama Dusun Jumlah

1 PAUD Dusun II 1

2 SD Dusun III 1

3 SMP - -

4 SMA - -

Jumlah - 2

Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Pandumaan, 2011

Berdasarkan data Tabel 4.7, sarana pendidikan di Desa Pandumaan masih minim. Hal ini terlihat pada sarana pendidikan yang hanya satu bangunan PAUD dan satu Sekolah Dasar (SD). Bagi anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan mereka ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) mereka harus ke luar desa, seperti di Desa Hutajulu, Desa Hutapaung, Desa Doloksanggul, dll.


(1)

7. Apakah bapak menganggap bahwa pekerjaan bapak sebagai toke membuat bapak berhak untuk mengendalikan petani dalam hal menentukan kapan petani bisa berhenti bekerja sama dengan bapak?

8. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pernyataan “toke yang mengendalikan harga pasar kemenyan”? Mengapa demikian?

9. Bagaimana tanggapan bapak mengenai toke yang memberikan penawaran harga kemenyan yang rendah kepada petani yang berhutang pada toke?

10.Bagaimana hubungan kerja sama antara bapak dengan petani kemenyan bisa terjalin hingga sampai saat ini?

11. Berapa lama bapak menjalin hubungan penjualan kemenyan dengan petani sampai saat ini?

12. Apakah yang bapak terima dengan menjalin hubungan kerjasama dengan petani?

13. Apakah hubungan bapak dengan petani hanya sebatas hubungan kerja? Apakah ada hubungan lain diluar hubungan kerja? Mengapa demikian?

14. Apakah ada interaksi yang terjadi antara toke dengan petani diluar dari hubungan kerja?

15. Seberapa sering bapak bertemu atau berhubungan dengan petani?

16. Apakah bapak pernah mengalami perselisihan dnegan petani? Mengapa demiikian?


(2)

17.Apakah bapak mudah mengizinkan petani untuk tidak bekerja sama dengan bapak lagi setelah sekian lama hubungan tersebut terjalin?

18. Siapakah yang menetapkan harga kemenyan petani?

19. Apakah bapak pernah menaikkan harga kemenyan petani?

20. Bagaimana pendapat bapak mengenai harga kemenyan terhadap pemenuhan kebutuhan petani?

B. Faktor Terbentuknya Pola Hubungan Sosial Ekonomi

21. Bagaimanakah hubungan kerjasama penjualan kemenyan antara bapak dengan petani bisa terjalin hingga sampai saat ini?

22. Apakah penting membangun relasi yang erat dengan petani? Apa alasannya?

PETANI

Nama :

Usia :

Agama :

Lama Bekerja : Tempat Tinggal :

A. Kepemilikan Lahan dan Arti Hutan Marga

1. Apakah bapak memiliki lahan tambak kemenyan secara pribadi atau keluarga?


(3)

3. Apakah disini banyak petani yang menggarap lahan sendiri atau menyewa lahan? Jika banyak petani menyewa lahan, berapa harga sewa lahan tersebut dalam setahun?

4. Apa arti hutan kemenyan bagi bapak?

5. Bagaimana sistem pembagian lahan tambak kemenyan di Desa ini Pak? 6. Apakah bapak memiliki lahan tambak secara pribadi?

7. Berapa kali panen kemenyan dalam setahun?

8. Apakah lahan kemenyan disini sudah banyak dikonversi menjadi tanaman lain seperti kopi?

9. Bagaimana bapak dan petani disini menjaga keberadaan lahan kemenyan di hutan marga ini?

10.Apakah ada aturan atau upacara dalam menggunakan lahan di sekitar area hutan marga ini?

B. Pola Hubungan Sosial Ekonomi

11.Berapa banyak toke yang ada di Desa ini Pak baik toke kecil dan toke besar?

12.Apakah bapak hanya berhubungan dengan satu toke?

13.Berapa banyak toke yang bapak pilih untuk menjadi penampung hasil kemenyan?

14.Apakah yang bapak terima dengan menjalin hubungan kerjasama dengan toke?

15.Bagaimana menurut pendapat bapak jika toke mengendalikan harga pasaran kemenyan?


(4)

16.Bagaimana tanggapan bapak mengenai perlakuan toke yang memberikan harga yang rendah kepada petani yang berhutang pada toke tersebut? 17.Apakah yang diperintahkan toke sampai saat ini bapak lakukan dengan

sukarela?

18.Apakah yang diperbuat toke terhadap bapak dengan toke bisa terjalin hingga sampai saat ini?

19.Apakah ada perubahan hubungan kerjasama dalam hal penjualan kemenyan dari sebelumnya atau tidak ada perubahan (statis) yang bapak rasakan?

20.Apakah hubungan bapak dengan toke hanya sebatas perdagangan kemenyan saja?

21.Apakah toke pernah mengajak bapak untuk mengunjungi rumah pada saat ada acara?

C. Arti Toke Bagi Petani

22.Bagaimana seorang itu disebut sebagai toke?

23.Menurut bapak sendiri, apa makna dan fungsi toke itu sendiri?

24.Bagaimana perlakuan toke terhadap bapak khususnya para petani yang bekerjasama atau memiliki hubungan perdagangan kemenyan di Desa ini? 25.Bagaimana tanggapan bapak mengenai kedudukan sosial toke di Desa ini?

D. Faktor Terbentuknya Pola Hubungan Sosial Ekonomi


(5)

27. Apakah penting membangun relasi yang erat dengan toke? Apa alasannya?

E. Moral Ekonomi vs Rasionalitas Petani

28.Apakah dengan bekerja sebagai petani cukup untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga?

29.Selain bertani, apakah bapak memiliki pekerjaan sampingan lainnya? 30.Apa yang bapak lakukan ketika hasil sadapan kemenyan dari lahan bapak

sedikit?

31.Apakah pernah bapak meminjam uang kepada toke ketika bapak membutuhkan uang banyak?

32.Apakah bapak hanya menjalin hubungan dan tergantung dengan satu toke saja?

33.Apakah toke pernah memberikan bantuan dengan bapak? Jika iya, apa yang bapak berikan untuk membalas bantuaan dari toke?

34.Apakah bapak selalu mengundang toke ketika bapak mengadakan acara atau pesta?

35.Apakah bapak pernah ada niat untuk mengganti toke yang lain? Apa alasannya?

36.Apakah bapak sering berkunjung ke rumah toke?

37.Apakah hubungan bapak dengan toke hanya sebatas hubungan penjualan kemenyan saja atau ada hubungan yang lain di luar hubungan perdagangan kemenyan?

38.Apakah yang diperintahkan toke sampai saat ini bapak lakukan dengan sukarela?


(6)

39.Bagaimana menurut pendapat bapak jika toke mengendalikan harga pasaran kemenyan?

40.Bagaimana tanggapan bapak mengenai toke yang melarang bapak atau petani untuk memutus hubungan perdagangan kemenyan?

41.Apa pendapat bapak mengenai toke yang memberikan harga penawaran yang rendah terhadap petani yang berhutang kepadanya?

42.Apakah petani yang berhutang kepada toke, bisa lepas dari hubungan kerja dengan toke mereka apabila bisa membayar hutang?

43.Menurut bapak, apa yang membuat petani tidak bisa lepas dari perlakuaan toke yang sewenang-wenang terhadap petani?

44.Apakah hubungan bapak dengan toke berdasarkan perhitungan untung rugi?

45.Apa alasan bapak menjalin hubungan penjualan kemenyan dengan beberapa toke?

46.Bagaimana bapak membagi hasil getah kemenyan bapak dnegan beberapa toke ?

47.Apakah hubungan bapak dengan toke hanya dalam hubungan penjualan saja? Pernahkan bapak bertemu dengan toke di luar hubungan kerja atau di rumah toke?