BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua Islam Nusantara telah diakui memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. Pesantren Nusantara telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya menjadi dinamisator dalam setiap proses sejarah nation and character building.
Menurut Harry J. Benda, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial dan politik
Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru dinobatkan bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang dapat men-
sah-kan pentasbihan.
1
Oleh karenanya keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari sejarah Indonesia, karena sejarah pesantren adalah sejarah Indonesia itu
sendiri.
2
Pesantren selain pengemban misi pewaris para Nabi dan penterjemah wahyu Tuhan terkait dengan peran keagamaan, ia juga memiliki pengaruh
terhadap lingkungan masyarakatnya. Pesantren sebagai bagian dari institusi sosial, keagamaan, dan kultural tidak dapat dilihat sebagai sub-kultur dalam arti
merupakan gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Meskipun pesantren mempunyai penggambaran kultural dengan karakternya yang khas, hal itu bukan
1
Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Jakarta : Pustaka Jaya 1983, h. 33
2
Hasan Muarif Ambari, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial di Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda Al-Khairiyah se Indonesia, Serang
1992, h. 2
berarti bahwa pesantren tertutup kepada pengaruh-pengaruh dari luar. Sebab pesantren sebagai milik dan bagian dari masyarakat tidak dapat melepaskan diri
dari kehidupan sosial dan komuinitas kemasyarakatan lainnya.
3
Hal tersebut juga berlaku pada sejarah berdiri dan keberlangsunganya pondok pesantren Nahdjussalam yang tidak terlepas dari peran masyarakat.
Menurut masyarakat sekitar, sebelum berdirinya sebuah pesantren dahulunya kampung tersebut merupakan perkampungan arena judi, seperti sabung ayam, adu
domba, dan lain-lain. Tidak mudah pastinya mendirikan sebuah pesantren dengan latar belakang seperti disebut. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang
mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil ‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau
donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil dalam konteks ini adalah lurah yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail
fuqoro atau dukungan masyarakat umum. Banyaknya pihak yang berkontribusi pada pendirian pesantren mejadikan
pesantren ini bersifat inklusif dengan masyarakat sekitar dan saling memberi pengaruh satu sama lain.
Pondok pesantren Nahdjussalam, sudah satu abad lebih memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di
masyarakat dengan mengacu kepada prinsip kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen, akhlak serta nilai-nilai luhur. Pondok pesantren
Nahdjussalam telah berhasil menjadikan masyarakat kampung Panyawungan
3
H.M Yacub., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, Bandung : Angkasa, 1985.
menjadi masyarakat yang agamis, hal itu diketahui tidak hanya oleh masyarakat sekitar saja, masyarakat luar daerah pun banyak mengetahui hal itu karena luasnya
jejaring pesantren tersebut. Pengaruh pondok pesantren yang masuk kedalam sendi-sendi norma,
budaya, dan sistem kemasyarakatan di kampung Panyawungan juga membawa pengaruh besar pada budaya politik masyarakat. Masyarakat kampung
Panyawungan mempunyai tipe tatanan otoritas kharismatis yang menjadikan kyai serta pesantren sebagai legitimasi gagasan-gagasan, aturan-aturan, dan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat. Namun, kini pesantren Nahdjussalam mendapatkan tantangan dalam
membina masyarakatnya serta eksistensinya di masyarakat seiring dengan gempuran arus industrialisasi. Industrialisasi yang merebak di kawasan lingkar
Panyawungan tidak pelak lagi membawa dampak positif yang sangat signifikan, seperti terbukanya lowongan pekerjaan, kemajuan perekonomian, percepatan
pembangunan, dan lain-lain. Namun industrialisasi yang berada di kawasan lingkar Panyawungan juga
membawa sisi negatif yang berimbas pada kehidupan masyarakat, seperti urbanisasi yang tidak terkontrol, pencemaran lingkungan oleh limbah industri, dan
lain-lain. Urbanisasi yang tidak terkontrol membawa pengaruh besar terhadap
sistem norma yang dianut oleh masyarakat sekitar, hal itu jelas tidak terbantahkan karena proses persentuhan antara budaya pendatang dan budaya lokal yang sangat
cepat sehingga membawa perubahan dan memunculkan budaya baru dalam
masyarakat. Selain itu perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industrialis juga berimbas pada perubahan sistem kemasyarakatan yang bersandarkankan pada
orientasi materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional, heterogen, dan pemuasan kebutuhan.
Dalam masyarakat modern tentu tipe tatanan otoritas pun berbeda dengan masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern bentuk tatanan otoritasnya
adalah otoritas rasional atau legal berdasarkan pada sebuah kepercayaan atau “legalitas”. Aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan
aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu dengan dasar kompetisi. Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-
individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga sebuah tradisi.
4
Dari permasalahan tersebut penelitian ini menjadi penting karena memungkinkan banyaknya permasalahan yang unik. Misalnya, sebagai apakah
pesantren dalam memposisikan dirinya pada perubahan yang didorong oleh industrialisasi? Apakah ia memposisikan dirinya sebagai makelar budaya cultural
broker yang didefinisikan oleh Greetz yang menurutnya, kyai berperan sebagai alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungannya, menularkan apa
yang menurutnya berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Atau justru pesantren memposisikan dirinya seperti temuan Hiroko
Hirokoshi, menurutnya, kyai berperan kreatif terhadap perubahan sosial. Bukan karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan
4
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, Jakarta: Kanisius, 1994, h. 213
justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan
yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.
5
Meskipun hal itu tersentral pada seseorang, namun menurut penulis hal itu cukup relevan untuk dijadikan perbandingan mengingat otoritas kyai dalam
sebuah pesantren hampir mutlak. Namun kebijakan seorang kyai juga tidak terlepas dari situsi dan kondisi internal yang melingkupi institusi yang
dipimpinya, seperti aturan tertulis tanbih, struktur kepengurusan, rentang generasi keluarga, dan lain-lain. Maka dengan alasan itu penulis lebih tertarik
untuk meneliti keseluruhan institusi pesantren. Selain kemungkinan permasalahan di atas, penelitian ini juga menjadi
penting untuk melihat bentuk baru dari budaya politik masyarakat kampung Panyawungan yang dipengaruhi oleh budaya industrialisasi dan budaya
tradisional. Pengaruh mana yang lebih dominan dan apakah bentuk baru tersebut membawa kemajuan atau kemunduran berdasarkan konsep masyarakat madani.
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH