Pengaruh industrialisasi dan pesantern Nahjussalam terhadap budaya politik masyarakat Kampung Panyawungan

(1)

¯2lµƒo

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA

POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk

artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada kebenaran hakiki.

Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.

Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa lalu.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai

ii   


(2)

Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.

2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis. Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan proposal skripsi ini.

3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing,

yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan bimbingan ini.

4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya

ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.

5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan

penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi eksistensi pondok.

7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul

Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah

iii   


(3)

iv   

8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika

bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis. Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.

Ciputat, 23 Juni 2010


(4)

pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di masyarakat. Sifat ekslusif pesantren Nahdjussalam menjadikan pesantren tidak lepas dari pengaruh-pengaruh luar seperti dampak-dampak industrialisasi dalam arti yang seluas-luasnya. Keberadaan pesantren dan industrialisasi di wilayah Panyawungan tentu akan memberi bentuk baru masyarakat dalam orientasi makna, nilai dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan.

Dari permasalahan dan asumsi di atas, menimbulkan pertanyaan; Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik masyarakat kampung panyawungan? Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh pesantren dan industrialisasi: dilihat dari aspek doktrin atau isi dan materi, dan dari apek generik seperti bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik seperti militan, utopis, terbuka, dan tertutup?

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dan menggunakan metode deskriftip kualitatif untuk menyajikan temuan-temuan yang ada di lapangan.

Industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen, akhlak dan nilai-nilai luhur. Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, dan tafsiran kultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari interaksi intersubjektif dalam masyarakat.

Masyarakat kampung Panyawungan tidak hanya turut pada ketentuan normatif semata, tapi mereka sudah mulai mempertimbangkan asas fungsional. Perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum elit” baik dalam posisi sebagai subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya juga berimplikasi pada proses transformasi “bawah” masyarakat dan lingkungannya.

i  


(5)

¯2lµƒo

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA

POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk

artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada kebenaran hakiki.

Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.

Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa lalu.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai

ii  


(6)

2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis. Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan proposal skripsi ini.

3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing,

yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan bimbingan ini.

4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya

ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.

5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan

penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi eksistensi pondok.

7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul

Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah

iii  


(7)

8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis. Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.

Ciputat, 23 Juni 2010

Mohamad Romdoni

iv  


(8)

ABSTRAKSI ... i 

KATA PENGANTAR ... ii 

DAFTAR ISI ... v 

DAFTAR DIAGRAM ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x 

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

A.1. Sejarah Pesantren ... 12

Dan Unsur-Unsur Pesantren  ... 15 

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Metodologi Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian dan Sejarah Pesantren ... 12

A.2. Tipelogi A.3. Sistem Nilai Pesantren  ... 17

B. Pengertian Industrialisasi  ... 18

B.1. Pengertian Industrialisasi ... 18

B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ... 20 

B.3. Industri Mempengaruhi Politik ... 23

C. Agama Dan Politik  ... 26

v  


(9)

2. Berdasarkan Orientasi ... 33

E. Ker BAB III GAMB PANYAWUNGAN A. Ga 2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual ... 49

3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik   ... 52

Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren ... 53

B. D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik ... 31

1. Berdasarkan Pola Otoritas  ... 31

3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ... 34

D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik ... 36 

angka Konseptual ... 37

ARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP. mbaran Umum Pesantren Nahdjussalam ... 43

A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren ... 43

1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ... 46

4. Kh. A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ... 54

2.1.Tradisi Pesantren ... 54

2.2.Sistem Nilai Pesantren ... 58

A.3. Ekonomi Pesantren ... 60

A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ... 62

A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ... 65

Kondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ... 68

vi  


(10)

B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk ... 72

BAB IV PERUBAH PANYAW

A. Arti

B. Usa

dan Jaminan Keberlangsungan Industri ... 80

D. Aren

Kam

Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan Pragmatis ... 90

PENUTUP

B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk ... 74 

AN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG UGAN

kulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ... 76 ha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren: Antara Pemberdayaan

C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ... 83 a Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat pung Panyawungan ... 86

D.1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan

Antar Elite yang Sudah Mapan ... 86

D.2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik Menarik

BAB V

A. Kesimpulan ... 98 B. Rekomendasi ... 100 DAFTAR PUSTAKA ...  

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...    

vii  


(11)

2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ... 46 

ni Afandi dan Bani Kholil ... 48 

iagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ... 89

iagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ... 90

Diagram Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Ba Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ... 48 

Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ... 49 

Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ... 59

D   D

viii  


(12)

a Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ... 71

Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ... 73  Tabel 3. Daftar Langgar ... 75   

 

Tabel 1. Daftar Nam

ix  


(13)

x  

Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ... 63 

Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ... 68 

Gambar 4. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ... 77

Gambar 5. Aktivitas Di Penyortiran Limbah ... 82 

Gambar 6. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ... 93

Gambar 7. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta  ... 97


(14)

ABSTRAKSI ... i 

KATA PENGANTAR ... ii 

DAFTAR ISI ... v 

DAFTAR DIAGRAM ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x 

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

A.1. Sejarah Pesantren ... 12

Dan Unsur-Unsur Pesantren  ... 15 

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Metodologi Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian dan Sejarah Pesantren ... 12

A.2. Tipelogi A.3. Sistem Nilai Pesantren  ... 17

B. Pengertian Industrialisasi  ... 18

B.1. Pengertian Industrialisasi ... 18

B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ... 20 

B.3. Industri Mempengaruhi Politik ... 23

v   


(15)

D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ... 28

D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik ... 31

1. Berdasarkan Pola Otoritas  ... 31

E. Kerangka Konseptual 37 BAB III GAMB PANYAW A. A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren  ... 49

1.3.Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik ... 52

1.4.Kh. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren .. 53

... 54

2.1.Tradisi Pesantren ... 54

B. K 2. Berdasarkan Orientasi ... 33

3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ... 34

D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik ... 36 

 ...  ARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP. UNGAN Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam ... 43

 ... 43

1.1.Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ... 46

1.2.Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ... 2.2.Sistem Nilai Pesantren ... 58

A.3. Ekonomi Pesantren ... 60

A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ... 62

A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ... 65

ondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ... 67

vi   


(16)

vii   

B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk

B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk ... 74  BAB IV

PENGA

A. Artikulasi P

B. dan

C. Pesa

Antar Elite yang Sudah Mapan ... 86

D.2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna : Tarik Menarik

Pragmatis ... 90 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan ... 99

 

 ... 72

RUH INDUSTRIALISASI PADA KAMPUNG PANYAWUNGAN  olitik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ... 76 Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren : Antara Pemberdayaan Jaminan Keberlangsungan Industri ... 80 ntren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ... 83

D. Arena Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat

Kampung Panyawungan ... 86

D.1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul : Aliansi Kepentingan

Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan

B. Rekomendasi ... 101 DAFTAR PUSTAKA ...  


(17)

Tabel 1. Daftar Nama Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ... 71

Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ... 73  Tabel 3. Daftar Langgar ... 75   

 

ix   


(18)

Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ... 63 

Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ... 68

Gambar 4. Peta Kampung Panyawungan ...  69

Gambar 5. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ... 78

Gambar 6. Aktivitas Di Penyortiran Limbah ... 83 

Gambar 7. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ... 93

Gambar 8. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta  ... 97

 

x   


(19)

Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ... 46 

Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil ... 48 

Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ... 48 

Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ... 49 

Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ... 59

Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ... 89

Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ... 90

viii   


(20)

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua Islam Nusantara telah diakui memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pesantren Nusantara telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya menjadi dinamisator dalam setiap proses sejarah nation and character building. Menurut Harry J. Benda, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial dan politik Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru dinobatkan bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang dapat

men-sah-kan pentasbihan.1 Oleh karenanya keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan

dari sejarah Indonesia, karena sejarah pesantren adalah sejarah Indonesia itu sendiri.2

Pesantren selain pengemban misi pewaris para Nabi dan penterjemah wahyu Tuhan terkait dengan peran keagamaan, ia juga memiliki pengaruh terhadap lingkungan masyarakatnya. Pesantren sebagai bagian dari institusi sosial, keagamaan, dan kultural tidak dapat dilihat sebagai sub-kultur dalam arti merupakan gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Meskipun pesantren mempunyai penggambaran kultural dengan karakternya yang khas, hal itu bukan       

1

Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta : Pustaka Jaya) 1983, h. 33   2

Hasan Muarif Ambari, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial di Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda Al-Khairiyah se Indonesia, Serang 1992, h. 2


(21)

berarti bahwa pesantren tertutup kepada pengaruh-pengaruh dari luar. Sebab pesantren sebagai milik dan bagian dari masyarakat tidak dapat melepaskan diri

dari kehidupan sosial dan komuinitas kemasyarakatan lainnya.3

Hal tersebut juga berlaku pada sejarah berdiri dan keberlangsunganya

pondok pesantren Nahdjussalam yang tidak terlepas dari peran masyarakat.

Menurut masyarakat sekitar, sebelum berdirinya sebuah pesantren dahulunya kampung tersebut merupakan perkampungan arena judi, seperti sabung ayam, adu domba, dan lain-lain. Tidak mudah pastinya mendirikan sebuah pesantren dengan latar belakang seperti disebut. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil ‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail fuqoro atau dukungan masyarakat umum.

Banyaknya pihak yang berkontribusi pada pendirian pesantren mejadikan pesantren ini bersifat inklusif dengan masyarakat sekitar dan saling memberi pengaruh satu sama lain.

Pondok pesantren Nahdjussalam, sudah satu abad lebih memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di masyarakat dengan mengacu kepada prinsip kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen, akhlak serta nilai-nilai luhur. Pondok pesantren Nahdjussalam telah berhasil menjadikan masyarakat kampung Panyawungan       

3

H.M Yacub., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung : Angkasa, 1985). 


(22)

menjadi masyarakat yang agamis, hal itu diketahui tidak hanya oleh masyarakat sekitar saja, masyarakat luar daerah pun banyak mengetahui hal itu karena luasnya jejaring pesantren tersebut.

Pengaruh pondok pesantren yang masuk kedalam sendi-sendi norma, budaya, dan sistem kemasyarakatan di kampung Panyawungan juga membawa pengaruh besar pada budaya politik masyarakat. Masyarakat kampung Panyawungan mempunyai tipe tatanan otoritas kharismatis yang menjadikan kyai serta pesantren sebagai legitimasi gagasan-gagasan, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Namun, kini pesantren Nahdjussalam mendapatkan tantangan dalam

membina masyarakatnya serta eksistensinya di masyarakat seiring dengan gempuran arus industrialisasi. Industrialisasi yang merebak di kawasan lingkar Panyawungan tidak pelak lagi membawa dampak positif yang sangat signifikan, seperti terbukanya lowongan pekerjaan, kemajuan perekonomian, percepatan pembangunan, dan lain-lain.

Namun industrialisasi yang berada di kawasan lingkar Panyawungan juga membawa sisi negatif yang berimbas pada kehidupan masyarakat, seperti urbanisasi yang tidak terkontrol, pencemaran lingkungan oleh limbah industri, dan lain-lain.

Urbanisasi yang tidak terkontrol membawa pengaruh besar terhadap sistem norma yang dianut oleh masyarakat sekitar, hal itu jelas tidak terbantahkan karena proses persentuhan antara budaya pendatang dan budaya lokal yang sangat cepat sehingga membawa perubahan dan memunculkan budaya baru dalam


(23)

masyarakat. Selain itu perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industrialis juga berimbas pada perubahan sistem kemasyarakatan yang bersandarkankan pada orientasi materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional, heterogen, dan pemuasan kebutuhan.

Dalam masyarakat modern tentu tipe tatanan otoritas pun berbeda dengan masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern bentuk tatanan otoritasnya adalah otoritas rasional atau legal berdasarkan pada sebuah kepercayaan atau “legalitas”. Aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu dengan dasar kompetisi. Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai

penjaga-penjaga sebuah tradisi.4

Dari permasalahan tersebut penelitian ini menjadi penting karena memungkinkan banyaknya permasalahan yang unik. Misalnya, sebagai apakah pesantren dalam memposisikan dirinya pada perubahan yang didorong oleh industrialisasi? Apakah ia memposisikan dirinya sebagai makelar budaya (cultural broker) yang didefinisikan oleh Greetz yang menurutnya, kyai berperan sebagai alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungannya, menularkan apa yang menurutnya berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Atau justru pesantren memposisikan dirinya seperti temuan Hiroko Hirokoshi, menurutnya, kyai berperan kreatif terhadap perubahan sosial. Bukan karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan       

4

Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, (Jakarta: Kanisius, 1994), h. 213 


(24)

justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan

yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.5

Meskipun hal itu tersentral pada seseorang, namun menurut penulis hal itu cukup relevan untuk dijadikan perbandingan mengingat otoritas kyai dalam sebuah pesantren hampir mutlak. Namun kebijakan seorang kyai juga tidak terlepas dari situsi dan kondisi internal yang melingkupi institusi yang dipimpinya, seperti aturan tertulis (tanbih), struktur kepengurusan, rentang generasi keluarga, dan lain-lain. Maka dengan alasan itu penulis lebih tertarik untuk meneliti keseluruhan institusi pesantren.

Selain kemungkinan permasalahan di atas, penelitian ini juga menjadi penting untuk melihat bentuk baru dari budaya politik masyarakat kampung Panyawungan yang dipengaruhi oleh budaya industrialisasi dan budaya tradisional. Pengaruh mana yang lebih dominan dan apakah bentuk baru tersebut membawa kemajuan atau kemunduran berdasarkan konsep masyarakat madani.

B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

Mengingat luasnya dampak perubahan yang di bawa oleh industrialisasi, sesuai dengan judul penulis hanya membatasi penelitian ini pada budaya politik masyrakat Panyawungan yang didasarkan pada perubahan orientasi makna, nilai

dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan6.

       5

Abdurahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial?,”dalam Hiroko Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. XVii 

6

Mary Grisez Kweit, Konsep dan Metode Analisa Politik Penerjemah Ratnawati, (Jakarta; Bina Aksara, 1986). 


(25)

Kajian budaya politik sama sekali berbeda dengan politik praktis. Dalam kajian budaya poltik ditelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk, operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak

menopangnya, dan seterusnya.7

Sedangkan untuk perumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik

masyarakat kampung Panyawungan ?

2. Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh pesantren

(tradisional) dan industri (modern); dilihat dari aspek doktrin (isi atau materi) dan dari aspek generik (bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka atau tertutup) ?

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN C.1. Tujuan

1. Untuk mengetahui perubahan pandangan politik yang ada di

masyarakat kampung Panyawungan.

2. Untuk mengetahui eksistensi pengaruh pondok pesantren dalam

perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri.

       7

Amalinda Safirani, Dari Negara Ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di Indonesia, Newsletter KUNCI No. 3, November 1999 


(26)

3. Sebagai bakti anak daerah dalam mengenal fenomena daerahnya serta menyumbangkan data eksistensi pesantren di kampung Panyawungan kepada pengguna dan pihak terkait, dalam hal ini pemerintah, pihak industri, maupun masyarakat umum untuk menjadikan pesantren sebagai mitra dalam program pembangunan dan pembrdayaan yang memberikan kontribusi besar pada masyarakat.

C.2. Kegunaan

1. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam rangka menghimpun dan

memperluas informasi tentang eksistensi dan dinamika pesantren yang tetap memberikan warna dalam ranah kehidupan.

2. Hasil penelitian ini juga bermanfaat terutama bagi kalangan pesantren

dalam menyikapi diri lebih terbuka pada perubahan dan menyiapkan diri agar tetap menjadi simpul jaringan bagi kebutuhan dan pemberdayaan masyarakat.

3. Menjadi kajian pustaka bagi penelitian lainnya mengenai etos

pesantren.

4. Mengembangkan penelitian bagi sarjana strata satu. Dan memberikan

sumbangsi pada kajian pranata sosial, budaya politik dan komunikasi antar budaya.


(27)

D. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian sosial keagamaan dengan menggunakan pendekatan sosio - historis. Adapun metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu setting kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode penelitian ini untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselididki (M. Nazir, 1988 : 63).

Sedangkan teknik pengumpulan dan analisa data dilakukan dengan cara; pengamatan dan wawancara untuk mendapatkan data primer. Pertama, Observasi (pengamatan). Pengamatan dilakukan untuk melihat fenomena dan gejala sosial yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya di lingkungan pesantren, yang meliputi kyai, santri dan di lingkungan masyarakat sekitar. Adapun waktu pegamatan sebenarnya telah terjadi begitu lama yaitu semenjak pemulis tinggal di lingkungan pesantren semasa sekolah SMA dan belajar mengaji di pesantren yang bersangkutan. Kedua, wawancara terencana-terbuka yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan yang lebih lengkap untuk menyempurnakan hasil pengamatan. Adapun sasarannya adalah kyai dan keluarga pesantren sebagai sumber untuk mendapatkan data primer.

Dalam perjalananya, hasil wawancara yang cukup signifikan untuk dimuat dalam skripsi ini hanya dari orang-orang tertentu seperti sesepuh pondok yaitu KH. Athoillah, dan Ustadz Tb. Bibin Sarbini. Selain itu, data signifikan juga


(28)

banyak diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat seperti bapak Iin Zaenal Muttaqin selaku Ketua RW, dan bapak Iwan Miftahul Fallah selaku Mantan Kepala Desa Cileunyi Wetan.

Wawancara dengan pelaku industri dijadikan sebagai data sekunder (pendukung) yang bisa digunakan untuk menjadi data pendukung dan pelengkap. Selain itu, data sekunder juga didapat dari Panitia Hari Besar Islam (PHBI) kampung Panyawungan, Karang Taruna, dan lembaga pemerintah setempat, seperti desa dan kecamatan.

E. TINJAUAN PUSTAKA

Penulis melakukan tinjauan pustaka dengan maksud memeriksa apakah fokus penelitian yang akan dikaji telah ada orang terdahulu yang melakukannya. Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan fokus yang sama persis dengan fokus penelitian yang akan dikaji. Namun ada penelitian yang ditemukan sedikit mirip dengan fokus penulis.

Aim Salim dari jurusan Penyiaran dan Penerangan Agama IAIN Sunan Gunung Djati (sekarang UIN) dalam penelitiannya “Relasi Antara Umara dan Ulama Di Desa Sukasari Kec. Tanjung Sari Kab. Sumedang (2001)” menemukan pengaruh seorang kyai yang sangat dominan dalam penentuan seorang kepala desa. Seorang calon kandidat kepala desa tidak akan diangkat sebelum mendapatkan izin dan restu dari kyai. Dalam kesimpulan penelitiannya kyai juga berperan penting dalam pembuatan kebijakan-kebijakan daerah tersebut, dan seperti menjadi dewan penasihat dalam lembaga-lembaga resmi dengan legitimasi total dari masyarakat.


(29)

Dra. Umdatul Hasanah dalam penelitian yang berjudul “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon (2008)”, menemukan bahwa pondok pesantren memberikan sumbangsih yang besar terhadap pembangunan masyarakat Cilegon. Namun sumbangsi yang diberikan pesantren dalam penelitiannya hanya menyentuh aspek-aspek religius masyarakat dan seolah pesantren tidak mempunyai andil dalam pembangunan yang sifatnya real. Namun menurut penulis hal itu wajar saja karena setiap pesantren mempunyai corak tersendiri yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, sejarah, lingkungan, dan psikologi pesantren dan masyarakatnya.

Penelitian tentang pesantren telah banyak dilakukan oleh para ahli, Clifford Gerertz misalnya telah memasukan kelompok pesantren (santri) menjadi salah satu kelas masyarakat, di samping priyayi dan abangan pada masyarakat Jawa. Tentu saja dengan setting masyarakat pesantren pada awal dasawarsa 1950-an, sudah lebih dari 30 tahun penelitian itu berlalu, tentu potret masa itu tidak bisa disamakan dengan potret pesantren masa kini. Pesantren bukan lagi lembaga yang tertutup, esoteris dan ekslusif. Bahkan Zamkhsari Dhofier dalam pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.8

       8

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES),


(30)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Demi mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan berdasarkan kesamaan dan kesesuaian yang ada di dalam skripsi ini. Skripsi ini terdiri dari lima BAB.

BAB I. Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodelogi penelitian yang berisi penjelasan metode yang akan digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, serta sistematika penulisan.

BAB II. Kajian teori yang menjabarkan pengertian pesantren, pengertian industrialisasi, hubungan agama dan politik, pengetian budaya politik, serta kerangka konseptual yang dijadikan pedoman dalam penulisan skripsi ini.

BAB III. Gambaran umum mengenai Pondok Pesantren Nahdjussalam dan kampung Panyawungan yang mencakup lokasi dan demografi.

BAB IV. Temuan data lapangan yang berkaitan dengan perubahan budaya politik masyarakat kampung Panyawungan.

BAB V. penutup yang mengemukakan hasil kesimpulan dari penelitian dan rekomendasi-rekomendasi baik bagi penelitian maupun tindakan.


(31)

BAB II

KERANGKA TEORI A. PENGERTIAN DAN SEJARAH PESANTREN

A.1. Sejarah Pesantren

Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India “shastri” dari akar kata “shastra” yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Di luar pulau Jawa lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti “surau” di Sumatra

Barat, “dayah” di Aceh, dan “pondok” di beberapa daerah lain.1

Menurut Nurcholis Madjid, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai acuan untuk melihat asal-usul perkataan santri. Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sansakerta yaitu kata “sastri” yang artinya melek huruf. Dapat dikatan bahwa kaum santri adalah kaum yang melek huruf, oleh karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab. Atau paling tidak seorang santri dapat membaca al-Qur’an. Pendapat kedua menyatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik”, artinya seorang yang menngabdi kepada guru. Cantrik selalu berada di mana gurunya tinggal, dengan tujuan dapat belajar darinya tentang suatu keahlian. Pola hubungan guru-cantrik melalui proses evolusi berubah menjadi guru-santri. Kata guru diganti dengan kata kyai dengan tujuan lebih mengkeramatkan,

       1


(32)

mensakralkan, dan memberi kharisma. Pada perkembangan selanjutnya di kenal dengan kyai-santri.2

Sedangkan tentang asal-usul dan munculnya pesantren di Indonesia

terdapat beberapa versi. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren

berasal dari tradisi islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Sebab Rasulullah sebelum melakukan dakwah secara terang-terangan, beliau membentuk kelompok pelopor yang melakukan pertemuan-pertemuan di kediaman al-Arqam Ibn Abi al-Arqam. Barangkali tempat perteuam pertama untuk bermusyawarah mengenai masalah-masalah agama dalam Islam. Kediaman al-Arqam ini

kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan ribath dan

halaqah-halaqah yang selanjutnya melembaga dalam tradisi tasawuf.

Pendapat pertama ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang melaksanakan amalan amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini disebut kiyai yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah bimbingan kiyai.

Untuk keperluan suluk ini kiyai menyediakan ruangan-ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di sekitar masjid. Di samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan       

2

Nurcholish Madjid, , Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta : Paramadina) 1997, hal 19 - 20  


(33)

kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengretahuan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh para pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan

berkembang menjadi lembaga pesantren.3

Kedua, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil-alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Tradisi penghormatan murid kepada guru yang pola hubungan antar keduanya tidak didasarkan kepada hal-hal yang sifatnya materi juga bersumber dari tradisi Hindu. Fakta lain yang menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di Negara-negara Islam lainnya. Sementara lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan di dalam masyarakat

Hindu dan Budha seperti di India, Myanmar dan Thailand.4

Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang asal-muasal pesantren, Wali Songo dipandang sebagai pemrakarsa berdirinya pesantren di Indonesia, dalam menyebarkan Islam dan mendirikan Ribath dan Halaqah-halaqah sebagai sarana pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Sebagaimana tersurat dalam sejarah Indonesia, Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam

       3

Ensiklopedi Islam , Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve) 2003, jilid 4 

4


(34)

yang berhasil merekrut murid untuk kemudian menjalankan dakwah di setiap penjuru negeri.5

A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren

Dilihat dari tipelogi dan klasifikasi pesanteren, dalam peraturan yang dikeluarkan oleh menteri agama nomor 3 tahun 1979, mengklasifikasikan pondok pesantren sebagai berikut :

1. Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan

bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau sorogan);

2. Pondok pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pelajaran

secara klasikal dan pengajaran oleh kiyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu, santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren;

3. Tipe C, yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama, sedangkan

para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) kiyai hanya mengawasi dan sebagai Pembina para santri tersebut;

4. Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok

pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.6

Dari sekian tipe pondok pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi para santrinya secara garis besar seringkali diklasifikasikan       

5

Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, (Jakarta : Dharma Bhakti), 1979, hal. 19 - 21  

6


(35)

dalam dua tipelogi. Pertama, tipe salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pendidikan dan pengetahuan keislaman, al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya yang merujuk pada kitab-kitab kalsik (kuning) dengan menggunakan cara-cara sebagaimana awal pertumbuhannya. Kedua, Tipe Khalafiyah, yaitu pondok pesantren di samping menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepesantrenan pada umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau madrasah).

Sedangkan dilihat dari unsurnya, Zamkhsari Dhofier dalam pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.7

Namun Saat ini pesantren dari sisi kelembagaan telah mengalami perkembangan dari yang sederhana sampai yang paling maju, sebagaimana yang dikemukakan Soedjoko Prasojo et al, ia menyebut setidaknya adanya lima macam pola pesantren. Pola 1 ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah kiyai. Pola 2 terdiri atas masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola 3 terdiri atas masjid, rumah kiyai, pondok dan madrasah. Pola 4 terdiri atas masjid. Rumah kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola 5 terdiri atas masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, gedung pertemuan, sarana olah raga, dan sekolah umum. Pesantren yang terakhir inilah yang sering disebut “pesantren moderen”, yang di samping itu juga memiliki fasilitas-fasilitas penunjang lainya.

       7

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES), 1985, hal. 5  


(36)

A.3. Sistem Nilai Pesantren

Sistem nilai yang digunakan oleh kalangan pesantren adalah yang berakar dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dari agama dipakai oleh mereka. Kalangan pesantren sendiri menamakan sistem nilai yang dipakainya itu

dengan ungkapan “Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah”.8

Menurut Nurcholish Madjid, Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah sendiri mengacu terutama pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab Sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan al- Asy’ari, dan kemudian banyak dipopulerkan melalui karya-kaarya Imam Ghazali. Mempelajari dan menghafal rumusan tentang dua puluh sifat Tuhan adalah salah satu inti dari teologi Asy’ari yang diamalkan oleh para santri.

Dalam hal fiqh, kaum santri mengikuti dan mewajibkan mengikuti

salah-satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzha fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam

Syafi’i. Taqlid adalah ciri utama dari madzhab ini dan beroposisi dengan faham

yang menganjurkan ijtihad.9

Dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrenya di desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u ‘l-Najah, sedangkan dalam hal

keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u ‘l-Tawfiq.10

Persoalan lain yang membedakan kaum santri dan kaum lainya ialah hal yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa atau lokal. Kaum santri       

8

Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina), 1997, hal. 31 

9

Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, hal. 33  10


(37)

menolak banyak sekali unsur-unsur adat lokal, tetapi mempertahankan sebagian lain dan kemudian diberi warna Islam. Salah satu adat yang masih dipertahankan kaum santri adalah sekitar selamatan. Yang dimaksud selamatan di sini adalah mendoakan orang yang telah meninggal dan bisaanya diakhiri oleh jamuan makan-makan oleh keluarga berkabung baik pada saat meninggalnya maupun setelahnya seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan haul. Dalam ritual itu bisaanya dibacakan tahlil, suatu ritus dalam bahasa Arab yang intinya membaca kalimat “La ilah-a illa ‘l-Lah”, dengan maksud berdoa untuk kebahagian orang yang telah meninggal.

Dalam hal kesenian, sejalan dengan kearaban yang ada dalam kitab-kitab yang dipelajari, maka kaum santri juga menerima dengan antusias berbagai kesenian yang berbau Arab. Yang paling umum mereka tampilkan adalah qasidah-qasidah mengenai kehidupan Nabi seperti karangan Diba’i dan Barzanji.

Segi lain yang membedakan kaum santri dengan kaum lainya adalah dalam hal berpakaian. Songkok atau tutup kepala secara umum dianggap sebagai pakaian kaum santri. Sarung juga merupakan pakaian yang dianggap sebagi simbol kaum santri sehingga tidak jarang kaum santri disebut sebagai “kaum sarungan”. 11

B. PENGERTIAN INDUSTRIALISASI B.1. Pengertian Industrialisasi

Menurut Henry Fratt sebagimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, industrialisasi didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi oleh       

11


(38)

penggunaan ilmu pengetahuan terapan. Ditandai dengan ekspansi besar-besaran dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasaran yang luas dari barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh urbanisasi

yang meningkat.12

Tekanan yang akan digambarkan sebagai acuan untuk penelitian ini adalah industri yang mempunyai tekanan pada proses perubahan sosial, yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari suatu sistem pra-industrial (agraris, misalnya) ke sistem sosial industrial. Masyarakat industrial menuntut dan melahirkan nilai-nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Dikehendaki atau tidak industrialisasi pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh masyarakat non-industrial. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai formal yang mendasari masyarakat industrial.

1) Kesenangan yang tertunda;

2) Perencanaan kerja atau tindakan masa mendatang;

3) Tunduk terhadap aturan-aturan birokratis;

4) Kepastian, pengawasan yang banyak terhadap kedetailan, dan

sedikit terhadap pengarahan;

5) Rutin dan dapat diramalkan;

6) Sikap instrumental terhadap kerja, dan

7) Kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan.13

       12

Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan), 1987, hal. 140  

13


(39)

Nilai-nilai di atas adalah adalah nilai yang berlaku pada waktu kerja yang diakui sah oleh masyarakat dan setiap orang diharuskan bertindakdengan mengikuti ketentuan-ketentuannya. Namun nilai-nilai tersebut menjadikan manusia menjadi layaknya mesin atau dehumanisasi. Dan dehumanisasi adalah penderitaan sekalipun sifatnya immaterial. Maka dalam masyarakat industrial selu ada kecenderungan untuk dapat bebas dari kondisi tersebut. Penyaluran keinginan tersebut secara resmi seperti hari libur, cuti, atau waktu senggang.

Jadi ada dua nilai yang dianut oleh seseorang dalam masyarakat industrial, yang resmi selama waktu kerja dan tidak resmi selama waktu senggang. Dapat pula dikatakan norma-norma resmi adalah publik life dan nilai-nilai waktu senggang adalah norma dalam private life. Atau ringkasnya, orang taat kepada aturan publik life untuk dapat menikmati nilai-nilai private life. Adapun perubahan nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja digambarkan secara sederhana oleh Herbert Marcuse sebagai berikut:

dari (nilai waktu senggang) Ke (nilai waktu kerja) kepuasan yang segera di dapat

kenikmatan kesenangan sikap reseptif tidak ada tekanan

Kepuasan yang tertunda Pengekangan kenikmatan Garapan atau kerja Sikap produktif

Ketertiban dan keamanan

B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat

Industri dalam arti luas, industri yang berkaitan dengan teknologi, ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pengaruh yang diberikan tersebut dapat berupa nilai-nilai dan pengaruh fisik terhadap


(40)

masyarakat. Berbicara industri adalah berbicara masalah proses mekanisasi yang berdampak pada skala luas produksi besar-besaran, spesialisasi dan pembagian kerja dengan merambah berbagai bidang seperti pertanian, energi, komunikasi, transportasi, dan lain-lain.

Menyertai perubahan di bidang ekonomi terjadi pula perubahan yang komplek dalam kelompok sosial dan proses sosial. Pada tahap proses indusstrialisasi bisaanya bergandengan dengan urbanisasi dan peningkatan mobilitas penduduk. Terdapat pula perubahan yang penting dalam adat kebisaaan dan moral masyarakat yang mempengaruhi penggolongan primer maupun sekunder, dimana penggolongan sekunder memainkan peranan yang sangat besar.yang sangat menonjol adalah pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh status pekerjaan, keahlian-keahlian para pekerja, terhadap kehidupan keluarga dan

kedudukan wanita, terhadap tradisi-tradisi dan terhadap konsumsi barang.14

Industri member input terhadap masyarakat sehingga membentuk sikap dan tingkahlaku yang tercermin dalam sikap bekerja. Weber mengatakan bahwa dengan adanya teknologi baru, diperlukan suatu nilai yang akan mengembangkan masyarakat menjadi masyarakat kapitalis tradisional; demikian juga jika hendak membangun masyarakat kapitalis modern diperlukan nilai-nilai tertenu. Masyarakat pada umumnya harus menerima posisi mereka baik dalam struktur industri maupun struktur sosial yang lebih luas lagi. Karena tingkat produksi tergantung pada tingkat konsumsi , masyarakat harus dibujuk untuk membeli

berbagai jenis barang dan jasa yang diproduksi oleh pihak industri.15 Mereka

       14

Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, hal. 140  15

S.R Parker, dkk., The Socilogy Of Industri Penerjemah G. Kartasapoetra (ttp : Bina Aksara, 1985),) hal. 93 


(41)

memiliki fungsi untuk memproduksi berbagai jenis barang dan jasa sekaligus meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa hasil produksi. Usaha dalam meningkatkan produksi dan konsumsi melibatkan nilai-nilai dalam tingkat “masyarakat makro”. Jika ada perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, walaupun hal itu bersifat lokal ia akan melahirkan perubahan dalam industri. Seperti contoh di kampung Panyawungan, dengan merebaknya industri textile di kampung tersebut, biaya hidup di kampung tersbut menjadi sangat tinggi, dan hal itu menyebabkan permintaan kenaikan gaji oleh buruh atau penambahan jam kerja sebagai alternatif.

Selain itu industri juga memiliki dampak pada perubahan fisik dalam masyarakat. Akibat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya industri bisa dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini seperti terjadi di wilayah kampung Panyawungan Kedatangan industri menjadikan kampung ini bukan lagi kampung yang hanya mengantungkan hidupnya dari bertani yang sifatnya subtantif tapi telah berevolusi menjadi masyarakat yang mempunyai banyak wilayah lapangan kerja, seperti menjadi buruh industri, penyedia jasa bagi pihak industri maupun buruh industri, dan lain-lain. Industri juga telah menjadikan harga tanah di wilayah ini menjadi sangat mahal. Kampung Panyawungan juga menjadi kampung sebagai penampung tenga kerja yang jumlahnya sangat fantastis, maka tidak heran apabila interaksi dengan berbagai macam budaya yang berbeda menjadikan masyarakat kampung Panyawungan kini tidak lagi bisa disamakan dengan keadaan masyarakat 30 tahun yang lalu.


(42)

B.3. Industri mempengaruhi Politik

Salah satu persoalan kekuasaan yang sangat relevan untuk masyarakat modern adalah hubungan antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuasaan politis. Di dalam sebuah masyarakat yang menjadi modern, perkembangan ilmu pengetahuan, teknolgi dan juga industri tidak terjadi dalam lingkungan yang terbatas melainkan meluas kedalam kehidupan yang luas.

Merujuk pada pemikiran Habermas, dalam tanggapan kritisnya terhadap Aldous Huxley, Habermas setuju bahwa hubungan antara dunia ilmu pengaetahuan dan dunia kehidupan sosial itu terdapat dalam identitas ilmu pengetahuan dengan kekuasaan, tetapi Habermas berpendapat bahwa hubungan kedua dunia itu tidak langsung. Kita tidak dapat begitu saja mempengaruhi dunia kehidupan sosial dengan membawa hipotesa-hipotesa atau teori-teori ilmiah. Hal itu karena perbedaan kedua dunia tersebut. Dunia ilmu pengetahuan adalah sturuktur-struktur hasil rekontruksi yang halus, dunia yang serba teratur dan dapat di kuantifikasi, dunia yang terbuka bagi pengalaman yang dapat di uji secara intersubjektif. Sedangkan dunia pengalaman sehari-hari atau disebut “dunia kehidupan sosial” adalah dunia pengalaman pribadi, dunia tempat manusia lahir, hidup, mati, dunia tempat mausia mencintai, membenci, kalah, menang, harapan dan putus asa. Dunia ilmu pengetahuan itu dingin, tenang penuh abstraksi-abttraksi halus, padat dengan klaim-klaim universal. Sedangkan dunia kehidupan

sosial itu bergoalak, konkrit, padat dengan pengalaman-pengalaman unik.16

       16

F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123 


(43)

Untuk menyatukan kedua kehidupan berbeda tersebut, menurut Habermas dibutuhkan sebuah medium, yaitu penrapan teknisnya (teknologi). Ketika pengetahuan ilmiah menjadi pengetahuan teknolgis, menurut Habermas, sifat kekuasaan dari ilmu pengetahuan menjadi efektif dalam dunia kehidupan. Dalam hal ini informasi-imformasi ilmiah ini dipakai untuk memperluas control teknis kita. Jadi pengetahuan tentang fisika atom, misalnya, tanpa penerapanya menjadi teknologi atom, tidak memiliki konsekwensi bagi penafsiran atas dunia kehidupan kita.

Dalam masyarakat industri dewasa ini pengetahuan teknis yang dihasilkan lewat penerapan ilmu pengetahuan menjadi teknologi telah merasuki apa yang disebut Habermas sebagai “kesadaran praktis” kita. Yang diacu oleh istilah ini adalah adalah kesadaran yang muncul melalui interaksi intersubjektif dalam masyarakat, seperti: nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, tafsiran kultural, dan seterusnya.

Pengetahuan teknis bukan lagi soal teknik-teknik pertukangan tradisional, melainkan sudah memperoleh bentuk informasi ilmiah yang dapat dipakai untuk teknologi. Habermas melihat bahwa dalam kemajuan teknis macam ini, tradisi-tradisi kebudayaan yang semula mengontrol tingkah laku sosial tidak lagi bisa

begitu saja mendifinisikan pemahaman-diri masyarakat modern.17

Seperti dikatakan di atas, bahwa industri erat kaitanya dengan ekonomi, dan seiring kemajuannya juga tidak lepas dari proses sosial. Berbeda dengan Habermas yang menilik kontelasi antara industri dan politik dari sisi ilmu terapan,       

17

F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123 


(44)

Kuntowijoyo melihat konstelasi antara industri dengan politik dengan menggunakan analisa ekonomi politik. Dalam bukunya “Paradigma Islam: interpretasi untuk aksi (2001)”, Kuntowijoyo menggambarkan tentang kuatnya modal swasta timur asing (khususnya Cina) dalam proses industrialisasi kontek Indonesia sangat menonjol. Bahkan sebagian dari usaha mereka dapat menyaingi usaha pemerintah. Akibatnya kaum menengah pribumi tergeser posisinya dalam usaha yang membutuhkan modal besar dan organisasi besar. Organisasi Sarekat Islam adalah organisasi yang berorientasi ekonomi politik dan mencoba melawan dominasi swasta asing.

Pasca 1965, pembangunan industri pada khususnya dan ekonomi pada umumnya, masih juga ditangani oleh pemerintah bersama modal swasta. Namun terdapat pendatang baru yang memasuki sektor usaha padat modal ini dari kalangan birokrat dan militer. Tentu saja hal itu disambut baik oleh pihak swasta dengan harapan mendapatkan jaminan keamanan dari kekuatan sosial macam PKI

atau radikalisme Islam.18 Sebaliknya, pihak pemerintah membutuhkan dana untuk

melakukan kegiatan politik-politiknya yang didukung oleh pihak pemilik modal. Singkatnya kancah maupun perjalanan politik bangsa kita juga tidak bisa lepas dari pengaruh industri.

Pandangan Habermas dan Kuntowijoyo di atas, sengaja penulis kemukakan karena menurut penulis hal ini cukup relevan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis. Industri sebagai konsekuensi kemajuan dari terapan ilmiah dan industri juga berkaitan langsung dengan hukum ekonomi,       

18

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan), 1991, hal. 176 


(45)

dengan sendirinya akan membentuk kesadaran interaksi intersubjektif dalam masyarakat. Masyarakat baik segi-segi nilai maupun fisik, dalam segi nilai, industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen,

akhlak dan nilai-nilai luhur.19 Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika,

pemahaman-diri, dan tafsiran cultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari interaksi intersubjektif dalam masyarakat.

C. AGAMA DAN POLITIK

Agama sebagai pengatur hubungan antar manusia dan juga hubungannya dengan Tuhan, pada dasarnya sudah berbekas pada individu, bagaimanapun dalam masyarakat yang sudah mapan atau belum, agama merupakan salah satu struktur institusional mempunyai nilai dan norma penting ang melengkapi keseluruhan sistem sosial.

Agama yang menyangkut kepercayaan beserta ritual-ritualnya yang menjadi pengalaman dalam masyarakat sehingga menimbulkan pengalaman tersendiri

Penelaahaan terhadap agama merupakan hal yang mesti dilakukan, karena pemahaman bagi pemeluknya sangat beragam dan bermacam-macam, menurut Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Imam dan Tobroni, agama merupakan landasan terbentuknya suatu masyarakat yang kognitif. Artinya, agama       

19


(46)

merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan

berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama.20 untuk itu dapat dikatakan

bahwa pada umumnya orang percaya pada agama yang bersifat holistik sebagai alat untuk mencerna kehidupan. Bahwa agama memberi panduan, nilai, moral, dan etika perilaku dalam bentuknya yang universal.

Apa yang diungkapakan dalam definsi prilaku, bahwasanya perilaku tidaklah akan tetap, dan pada suatu saat dapat mengalami pergerakan atau perubahan akan terlihat seiring dengan sosio-kulturalnya dan perkembangan seseorang tersebut.

Ada beerapa unsur pokok tujuan politik untuk mendapatkan kekuasaan yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antar manusia ataupun antara kelompok yaitu adanya unsur takut. adanya unsur rasa cinta, adanya unsur pemujaan dan

adanya unsur kepercayaan.21

Jadi prilaku politik adalah tingkah laku terorganisir dalam upaya mencapai tujuan politik dengan unsur-unsur yang sistematis, bagi David Easton, perilaku politik pertama terdri dari alokasi nilai-nilai yang kemudian pengapikasianya tersebut bersifat mengikat terhadap masarakat secara keseluruhan.

Identifikasi prilaku politik yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan adalah sebagai berikut:

       20

Imam Suprayogo dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama, (bandung: PT. Remaja Rosda Karya), h. 16 

21

Uswah, “Agama dan Politik : Studi Kasus Pada Dewan Pimpinan Pusat (Dpp)Partai Amanat Nasioanl”, ( Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Jakarta , 2007), h. 30 


(47)

1. Pengambilan keputusan;

2. Skala prioritas dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum; dan

3. Pengaturan dan pembagian sumber alokasi yang ada.

Dari ketiga tipe di atas untuk melaksanakanya memerlukan kekuasaan (power) dan kewenagnan (authority), untuk membina kerjasama maupun untuk melaksanakan konflik yang mungkin dalam proses itu akan terjadi. Banyak cara yang dilakukan seseorang dalam menyampaikan tujuannya seperti persuasi dan paksaan.

Bagaimanapun agama selalu membayang-bayangi proses kehidupan seseorang. Namun yang menjadi sorotan penting adalah gejala-gejala yang timbul dalam penguasaan sekelompok orang yang berkuasa terhadap berbagai kelompok rakyat banyak yang dipandang sebagai usaha penataan umat.

D. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK D.1 Pengertian Umum Budaya Politik

Ada banyak ahli politik yang mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat banyak konsep tentang budaya politik salah satu sarjana yang berpengaruh dan banyak memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan budaya politik adalah Gabriel A. Almond. Dalam karyanya yang ditulis bersama Sidney Verba berjudul The Civic Culture, Ia menyatakan, Istilah budaya politik terutama mnegacu pada orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagianya yang lain serta sikap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Adpun beberapa ahli lain menyatakan sebagai berikut:


(48)

1. Kay Lawson (1989) menyatakan: a political culture, that is, there is a set of overtly political values, which defines the situation in which political action takes place (suatu budaya politik, yaitu terdapatnya satu perangkat yang meliputi seluruh nilai-nilai politik, yang terdapat di seluruh bangsa).

2. Sidney Verba (1995) menyatakan: political culture is the sistem of

empirical beliefs, eksvressive simbol, and values, which define the situation in political action takes place (budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol eskpresif, dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan).

3. Alan R. Ball (1971) menyatakan: a political culture is composed of the

attitudes, beliefs, emotions and values society that relate to the political sistem and to political issus (budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri atas sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat yang

berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik).22

Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan cirri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Kegiatan politik juga saling memasuki dan mempengaruhi dengan dunia keagamaan, kegiatan ekonmi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas.

       22

Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php 


(49)

Gabriel A. Almond berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik besumber pada penalaran-penalaran yang sadar. Konsep budaya politik terdiri atas sikap, keyakinan, nilai-nilai dan keterampilan yang sedang berlaku pada seluruh anggota masyarakat termasuk pada kebisaaan yang hidup pada masyarakat.

Yang telah dipaparkan di atas adalah konsep dari budaya politik sedangkan untuk definisinya adalah sebagai berikut:

1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas

pengetahuan, adat-istiadat, takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menerima atau menolak nilai-nilai dan norma lain.

2. Budaya politik dapat diihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang

pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, dan nasionalisme. Yang kedua apek generik menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militant, utopis, terbuka, dan tertutup.

3. Hakikat dari ciri budaya olitik adalah prinsip dasar yang melandasi suatu

pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.

4. Bentuk budaya politk menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka

dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo


(50)

atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).23

Berdasarkan dari definisi tersebut, maka dapat ditarik beberapa batasan

konseptual tentang budaya politik. Pertama, konsep budaya politik lebih

mengedepankan aspek-aspek nonperilaku actual seperti orientasi, sikap,

nilai-nilai, dan kepercayaan-kepercayaan. Kedua, hal-hal yang diorientasikan dalam

budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari perbicaraan kaum politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen yang terdiri dari

komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Ketiga, budaya politik

merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran massif bukan pada tataran individu.

D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik 1. Berdasarkan Pola Otoritas

Gagasan mengenai norma-norma atau tatanan yang legitim mengenai masyarakat, Weber membuat tiga garis besar untuk tiga tipe ideal tatanan atau otoritas yang legitim. Pertama, Otoritas tradisional. Otoritas yang didasarkan pada penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan tersebut telah lama ada dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah dengan aturan-aturan tersebut. Dalam tatanan tradisional individu merasakan loyalitas terhadap masa lalu dan mereka yang mewakili masa lalu itu, sebuah

       23

Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php


(51)

loyalitas yang asal-usulnya seringkali berasal dari sebuah kepercayaan akan kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu.

Kedua, Otoritas kharismatis. Jenis tatanan ini dilegitimasikan dengan kualitas-kualitas pribadi terkemuka dari individu-individu yang luar bisaa yang kesuciannya, heroismenya atau keutamaannya memungkinkan mereka untuk memerintah sejumlah besar orang dalam hubungan-hubungan langsung. Kharisma dilukiskan sebagai kualitas-kualitas adimanusiawi yang seperti pada para nabi atau para pahlawan militer yang memungkinkan mereka untuk memaksakan gagasan-gagasan dan nilai-nilai mereka sendiri pada seluruh kelompok.

Ketiga, otoritas rasional atau legal. Otoritas jenis ini didasarkan pada sebuah kepercayaan akan ‘legalitas’ aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu menurut aturan-aturan yang masih lebih dulu lagi yang mendasari dia sehingga memiliki hal untuk memerintah. Di dalam tatanan yang rasional memungkinkan individu mengetahui aturan-aturan mana yang secara formal betul dan telah dipaksakan dengan sebuah prosedur yang diterima. Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga tradisi.

Distingsi-distingsi di atas dapat menjelaskan bahwa para penguasa dalam batas-batas tatanan mereka jika ingin mereka tidak ingin kehilangan kekuatannya untuk memerintah. Dalam otoritas tradisional misalnya, sang penguasa dituntut untuk mengikuti praktik-praktik yang lazim, seperti para pemimpin tradisi Watu Telu di Nusa Tenggara Timur yang melakukan puasa pada bulan tertentu; dalam kasus otoritas kharismatis seorang pemimpin harus menunjukan


(52)

adimanusiawinya, seperti kaisar Cina akan dipecat apabila di daerahnya terjadi banjir bandang yang akan mempermalukan dirinya; dalam otoritas legal pemimin

harus mematuhi hukum apabila ia ingin tetap berkuasa.24

2. Berdasarkan Orientasi

Setelah melihat pola otoritas dari seorang pemimpin, maka untuk menggolongkan orientasi warga negara terhadap kehidupan politik dan pemerintahanya berdasarkan dari sikap, nilai-nilai, informasi dan kecakapan politik. Orang yang melibatkan dirinya dalam kegiatan politik setidaknya dalam pemberian suara (voting) dan ketertarikan terhadap informasi politik dapat dinamakan sebagai budaya politik partisipan, sedangkan orang yang pasif dan hanya patuh terhadap pemerintah dengan ikut pemilu dinamakan politik subyek. Golongan ketiga adalah golongan yang sama sekali tidak menyadari adanya

pemerintahan dan politik, disebut budaya politik parokhial. 25

Menurut Almond, terdapat tiga model dalam kebudayaan politik atau model orientasi terhadap pemerintahan dan politik.

1) Masyarakat demokratis industrial.

Dalam sistem ini terdapat cukup banyak aktivis politik yang akan menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara yang besar selain itu juga terdapat banyak publik peminat politik yang selalu mendiskusikan secara kritis moral-moral kemasyarakatan dan

       24

Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial Terjemah F. Budi Hardiman (Jakarta: Kanisius, 1994), hal. 213-214 

25

Trubus Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan Pendekatanya, (Jakarta: Trisakti, 2006), hal. 278 


(53)

pemerintahan. Kelompok-kelompok yang selalu mengusulkan kebijaksanaan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka.

2) Sistem otoriter.

Dalam model ini terdapat beberapa kelompok masyarakat yang memiliki sikap politik berbeda. Kelompok organisasi politik dan partisipan politik berusaha menentang dan mengubah sistem melalui tindakan persuasif atau protes yang agresif.

3) Sistem demokratis pra-industial.

Dalam Negara dengan model seperti ini, hanya sedikit sekali partisipan yang terutama dari pofesional dan terpelajar. Kebanyakan dari warga Negara memiliki pengetahuan dan keterlibatan yang sangat terbatas dalam kehidupan politik.26

3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan

Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”toleransi”.

a. Budaya Politik Militan

       

Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat

  26

Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan Pendekatanya, hal. 278 


(54)

dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.

b. Budaya Politik Toleransi

Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.

Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :

a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut

Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi,


(55)

malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif

Struktur mental yang bersifat akomodatif bisaanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik

Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.


(56)

Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.

Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.

Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.

Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar

nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.27

E. KERANGKA KONSEPTUAL

Masalah industrialisasi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah modernisasi karena industrialisasi merupakan bagian dari modernisasi. Transformasi industrial mempunyai konsekwensi yang amat luas, karena industrialisasi merupakan proses perubahan sosial yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari sistem sosial pra industri (agraris) ke sistem sosial       

27

Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php


(57)

industrial. Terkait dengan hal ini dalam pandangan teori “ pattern Variables” yang dikembangkan Parsons, Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri dan moderen juga berarti perubahan dari :

a. Affectivity to affective neutrality, pengaruh langsung bagi perbahan ini bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang diperlukan , juga menandai hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat industrial yang bersifat contractual, impersonal dan calculating.

b. Particularism to universalism, Industrialisasi cenderung mengikis keekslusivan partikularistis seperti keekslusifan rasial, warna kulit maupun keturunan.

c. Ascriptions to achievement, dengan kata lain perubahan karena industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan prestise ke sistem penghargaan karena prestasi.

d. Diffuseness to specivicity, ialah perubahan dari sistem sosial yang berlingkup luas dan membatasi hubungannya pada hubungan yang bersifat khusus28.

Jadi Perubahan model pembangunan secara otomatis akan merubah berbagai aspek kehidupan dan sruktur masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya, institusi-institusi kemasyarakatan dan agama bahkan keluarga. Beberapa ahli telah memunculkan beberapa pendekatan dalam memotret dan menganalisis perubahan sosial dan pola hubungan masyarakat. Di antaranya yang       

28

Talcot Parsons and American Sosiologi, sebagaimana dikutip Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan) 1987, hal 141-142  


(58)

penulis anggap cukup. relevan diterapkan dalam kajian ini, di antaranya teori struktural fungsional dan teori Interactions medium yang diperkenalkan oleh Talcott persons (1937).

Dalam teori fungsional struktural memandang masyarakat secara makroskopis. Ada dua asumsi dasar dalam pendektan ini. Asumsi pertama adalah bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk dari sub strutur-sub struktur yang saling tergantung (interdependen) antara yang satu dengan yang lainnya sedemikian, sehingga perubahan pada satu bagian secara otomatis mempengaruhi bagian-bagian lainnya. Upaya analisis sosiologis dengan demikan menemukan apa mempengaruhi apa. Asumsi kedua, adalah bahwa setiap struktur atau aktifitas yang mapan (established) memiliki fungsi untuk mempertahankan aktifitas-aktifitas atau struktur lain dalam suatu sistem sosial. Beberapa contoh struktur dalam hal ini , keluarga, ekonomi, pendidikan, politik, agama, keluarga dan sebagainya29.

Pesantren dikenal sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indegenous). Sebagai lembaga indegenous , pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak bisa dipisahkan dengan komunitas lingkungannya.

Kenyataan ini dapat dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian pesantren pada satu lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi       

29

Soerjono soekanto, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat ( Jakarta : Rajawali) 1983  


(59)

pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, ibadah dan sebagainya. Sebaliknya pesantren pada umumnya melakukakan “membalas jasa” komunitas lingkungannya dengan bermacam cara, tidak hanya dalam bentuk memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial, kultural, dan ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks inilah pesantren dan kiyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai “ cultural brokers” dalam pengertian yang seluas-luasnya.30

Perubahan sosial, ekonomi, politik secara otomatis turut memberikan warna dan pengaruhnya terhadap eksistensi dan dinamika pesantren itu sendiri. Beberapa perubahan dalam internal pesantren dan hubungnnya dengan pengaruh luar adalah, perubahan menjadi sistem kelas. Namun demikian bukan berarti mendudukan pesantren sebagai obyek perubahan yang pasif, sebab pesantren juga merupakan institusi yang independen dan memiliki jati diri dan kekhasannya sendiri.

Pada sisi lain pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial dipandang memiliki posisi yang strategis dalam melakukan perubahan dan pembangunan bagi masyarakat sekitarnya, hal itu telah terbukti selama beberapa abad keberadaan pesantren dengan komitemen meneguhkan sosial kepada masyarakatnya. Pesantren memiliki modal yang kuat dalam melakukan interaksi dengan masyarakatnya.

Dalam pandangan teori “Interaksions medium” yang juga dikembangkan oleh Parsons yaitu model “media interaksi” (interactions medium). Media,       

30

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka jaya), 1981 


(60)

menurut Parsons adalah kapasitas perubahan sebuah masyarakat (kelompok) ketika berinteraksi dengan kelompok atau sektor masyarakat lain. Walaupun teori ini pada mulanya disusun berdasarkan analisis interaksi antara ego dan alter ego, namun kemudian juga digunakan untuk menganalisis pola interaksi lembaga, kelompok dan masyarakat. Oleh karenanya teori ini penulis pandang relevan untuk mengkaji pola hubungan antara pesantren tradisional dan sektor modern. Dalam hal ini ada empat media; pertama, Komitmen atau penyerapan nilai/gagasan dari luar yang benar dan relevan. Kedua, media Kekuasaan (power)

Ketiga, media pemanfaatan (utility) dan terakhir media pengaruh31.

Keempat media yang dikemukakan Parsons di atas setidaknya telah dimiliki pesantren dalam melakukan hubungan dan mengukuhkan pengaruhnya baik di kalangan internal pesantren maupun bagi masyarakat sekitarnya. Pada beberapa dasawarsa , kiyai yang umumnya pemilik dan pengelola pesantren memiliki power (kekuasaan) yang kadang melebihi kekuasaan pemerintah lokal. Bahkan dalam hal-hal tertentu pemerintah lokal seringkali meminta petunjuk dan

restu pihak pesantren atau kiyai dalam melaksanakan tugas dan kebijakannya.32

       31

Talcott Parsons, On The Theori if Sosial Interactions Media, sebagaimana dikutip Ivan Alhadar, “Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban Industri “ dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Kacher (ed) Dinamika Pesantren, (Jakarta : P3M), 1987 

32

Dra. Umdatul Hasanah, “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon” (Penelitian Block Grant IAIN Banten, 2008), h. 15 


(61)

Diagram 1 Kerangka Konseptual

 

kesederhanaan Kebersamaan Tradiisional Religius Homogen Akhlak dan nilai-nilai luhur

Materialis Hub. Fungsional Modern Kompetitif Rasional Heterogen Industrial

Budaya politik

?

Pesantren


(62)

BAB III

GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KAMPUNG PANYAWUNGAN

A. Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam

A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren

Sebelum berdirinya Pondok Pesantren, kampung Panyawungan merupakan sebuah perkampungan yang menjadi pusat arena judi. Judi yang paling dominan di kampung ini adalah judi sabung ayam. Masyarakat kampung Panyawungan pada saat itu merupakan masyarakat Jahiliyyah dalam arti bodoh atau buta terhadap agama.

Namun begitu, di kampung Panyawungan terdapat dua orang kaya raya yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi yang mempunyai keprihatinan terhadap umat, untuk itu mereka meminta kepada KH. Kholil dari kampung Bojong Malati ( + 1,5 km dari kampung Panyawungan ) untuk mengajar masyarakat dan mendirikan pondok.

Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil ‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail fuqoro atau dukungan masyarakat

umum.1

Pada mulanya, KH. Kholil menempati rumah Hj. Syarifah yang merupakan kerabat KH. Syarif. Untuk kelancaran Dakwah Islamiah, KH. Syarif

      

1


(63)

mewaqafkan tanahnya seluas 8000 M. untuk lingkungan pesantren dan sawah yang dikelola oleh KH. Kholil. Selain waqaf dari KH. Syarif, pesantren juga menerima waqaf dari yang lainya seperti dari Hj. Omok. Pada kedatangan awalnya, KH. Kholil telah membawa sekitar lima belas santri.2

Dengan dukungan empat elemen yang disebut di atas, perkembangan Pondok Pesantren Nahdjussalam berkembang pesat, hingga pada tahun 1917 pesantren tersebut telah memiliki elemen dasar pesantren seperti masjid, asrama, dan madrasah.

Empat elemen di atas juga menjadikan Pondok Pesantren Nahdjussalam bersifat inklusif terhadap masyarakat. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Nahdjussalam selalu mempunyai delegasi di luar kyai sepuh dan kyai pondok yang didedikasikan untuk membina masyarakat. Dari awal hingga saat ini, pesantren tersebut telah empat kali berganti kyai.

      

2


(64)

(65)

1.1 KH. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan

KH. Kholil lahir sekitar 1894 di Kampung Bojong Malati. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Eyang Husen dan Hj. St. Maemunah yang juga merupakan penyiar agama di kampung tersebut. Jika di kejar lebih jauh asal keluarganya, beliau merupakan keturunan ke enam dari Syeh Abdul Muhyi-Tasikmalaya (seorang penyebar Islam di Jawa Barat). Beliau belajar Islam semenjak dini dari orang tuanya yaitu Eyang Husen. Beranjak dewasa ia mengembara keberbagai pesantren di antaranya: Pesantren Kresek Garut, Pesantren Ciharashas, Pesantren Sukamiskin, dan Pesantren Banjar.

Keberhasilan pondok pesantren Nahdjussalam yang terus eksis hingga saat ini tidak lepas dari peran sang pendiri. Setelah masa perintisan 1916 – 1917, KH. Kholil mempunyai kesadaran penuh akan pentingnya pembangunan jejaring pesantren di tingkat lokal. Untuk itu KH. Kholil membangun jejaring pesantren dengan cara menikahkan adik-adik beliau dengan para santri terpilih atau tokoh-tokoh setempat yang dianggap mempunyai pengaruh.

Diagram. 2

Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil

Kh. Husyen Nahrowi + Hj. Siti Maemunah

Kh. Kholil Eye + H. . Khosim

Siti + H. Kharis

H. Sya’diyah + H. Juhro

Ket: Dalam diagram tersebut tidak semua keluarga dimasukan

Hj. Khuraisin + H. Daman


(1)

(2)

LAMPIRAN FOTO-FOTO

Jalanan menuju kampung Panyawungan Peresmian PT. Global Agro Semesta

Penulis saat mengumpulkan data bersama warga Ustadz Dede Abdul Kholik (kanan) dan Anggota Karang tarauna


(3)

gdf

Bapak

Desak

Drs. Iin Zai

kan Warga P

inal Abdin (

Pada Saat Kh

(Ketua RW houl Waw wancara den k Pengajian P

ngan KH. At kyai langgar

thoillah dann para

Para Kyai La Athoil

anggar Di KH llah


(4)

S

Ke-RW-a

yahriyahan K

an Sesaat Se KH. Athoill Keluarga Pe ebelum Berte lah esantren emu Peng Pen

gajian Anak--Anak Di Laaggar


(5)

Pondok Putri Anggota Karang Taruna dan Keluarga Pesantren


(6)

Perumahan Mutiara Cileunyi RT. 09 Kumpulan Keluarga Pesantren dengan Para Ustadz Langgar