BAB II KERANGKA TEORI
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH PESANTREN
A.1. Sejarah Pesantren
Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India
“shastri” dari akar kata “shastra” yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Di luar pulau Jawa
lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti “surau” di Sumatra Barat, “dayah” di Aceh, dan “pondok” di beberapa daerah lain.
1
Menurut Nurcholis Madjid, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai acuan untuk melihat asal-usul perkataan santri. Pertama adalah pendapat yang
menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sansakerta yaitu kata “sastri” yang artinya melek huruf. Dapat dikatan bahwa kaum santri adalah kaum yang
melek huruf, oleh karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab. Atau paling tidak seorang santri dapat membaca al-Qur’an. Pendapat kedua
menyatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik”, artinya seorang yang menngabdi kepada guru. Cantrik selalu berada di mana gurunya
tinggal, dengan tujuan dapat belajar darinya tentang suatu keahlian. Pola hubungan guru-cantrik melalui proses evolusi berubah menjadi guru-santri. Kata
guru diganti dengan kata kyai dengan tujuan lebih mengkeramatkan,
1
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2003, Jilid 4
mensakralkan, dan memberi kharisma. Pada perkembangan selanjutnya di kenal dengan kyai-santri.
2
Sedangkan tentang asal-usul dan munculnya pesantren di Indonesia terdapat beberapa versi. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren
berasal dari tradisi islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Sebab
Rasulullah sebelum melakukan dakwah secara terang-terangan, beliau membentuk kelompok pelopor yang melakukan pertemuan-pertemuan di kediaman al-Arqam
Ibn Abi al-Arqam. Barangkali tempat perteuam pertama untuk bermusyawarah mengenai masalah-masalah agama dalam Islam. Kediaman al-Arqam ini
kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan ribath dan halaqah- halaqah yang selanjutnya melembaga dalam tradisi tasawuf.
Pendapat pertama ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang
melaksanakan amalan amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini disebut kiyai yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk
selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah
bimbingan kiyai. Untuk keperluan suluk ini kiyai menyediakan ruangan-ruangan khusus
untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di sekitar masjid. Di samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan
2
Nurcholish Madjid, , Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan Jakarta : Paramadina 1997, hal 19 - 20
kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengretahuan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh para pengikut tarekat ini kemudian dinamakan
pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.
3
Kedua, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil-alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di
Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada
masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Tradisi penghormatan murid
kepada guru yang pola hubungan antar keduanya tidak didasarkan kepada hal-hal yang sifatnya materi juga bersumber dari tradisi Hindu. Fakta lain yang
menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di Negara-negara Islam lainnya. Sementara
lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan di dalam masyarakat Hindu dan Budha seperti di India, Myanmar dan Thailand.
4
Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang asal-muasal pesantren, Wali Songo dipandang sebagai pemrakarsa berdirinya pesantren di
Indonesia, dalam menyebarkan Islam dan mendirikan Ribath dan Halaqah-halaqah sebagai sarana pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Sebagaimana tersurat
dalam sejarah Indonesia, Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam
3
Ensiklopedi Islam , Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve 2003, jilid 4
4
Ensiklopedi Islam , jilid 4
yang berhasil merekrut murid untuk kemudian menjalankan dakwah di setiap penjuru negeri.
5
A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren
Dilihat dari tipelogi dan klasifikasi pesanteren, dalam peraturan yang dikeluarkan oleh menteri agama nomor 3 tahun 1979, mengklasifikasikan pondok
pesantren sebagai berikut : 1.
Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan
pengajaran yang berlangsung secara tradisional sistem wetonan atau sorogan;
2. Pondok pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pelajaran
secara klasikal dan pengajaran oleh kiyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu, santri tinggal di asrama lingkungan pondok
pesantren; 3.
Tipe C, yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama, sedangkan para santrinya belajar di luar madrasah atau sekolah umum kiyai
hanya mengawasi dan sebagai Pembina para santri tersebut; 4.
Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.
6
Dari sekian tipe pondok pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi para santrinya secara garis besar seringkali diklasifikasikan
5
Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, Jakarta : Dharma Bhakti, 1979, hal. 19 - 21
6
H. Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, Bandung : Humaniora, 2006, h. 43-44
dalam dua tipelogi. Pertama, tipe salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pendidikan dan pengetahuan keislaman, al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya
yang merujuk pada kitab-kitab kalsik kuning dengan menggunakan cara-cara sebagaimana awal pertumbuhannya. Kedua, Tipe Khalafiyah, yaitu pondok
pesantren di samping menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepesantrenan pada umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal sekolah atau
madrasah. Sedangkan dilihat dari unsurnya, Zamkhsari Dhofier dalam
pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu
pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.
7
Namun Saat ini pesantren dari sisi kelembagaan telah mengalami perkembangan dari yang sederhana sampai yang paling maju, sebagaimana yang
dikemukakan Soedjoko Prasojo et al, ia menyebut setidaknya adanya lima macam pola pesantren. Pola 1 ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah
kiyai. Pola 2 terdiri atas masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola 3 terdiri atas masjid, rumah kiyai, pondok dan madrasah. Pola 4 terdiri atas masjid. Rumah
kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola 5 terdiri atas masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, gedung pertemuan, sarana
olah raga, dan sekolah umum. Pesantren yang terakhir inilah yang sering disebut “pesantren moderen”, yang di samping itu juga memiliki fasilitas-fasilitas
penunjang lainya.
7
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai Jakarta : LP3ES, 1985, hal. 5
A.3. Sistem Nilai Pesantren
Sistem nilai yang digunakan oleh kalangan pesantren adalah yang berakar dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dari agama dipakai oleh
mereka. Kalangan pesantren sendiri menamakan sistem nilai yang dipakainya itu dengan ungkapan “Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah”.
8
Menurut Nurcholish Madjid, Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah sendiri mengacu terutama pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu
ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab Sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan al- Asy’ari, dan kemudian banyak dipopulerkan melalui karya-kaarya
Imam Ghazali. Mempelajari dan menghafal rumusan tentang dua puluh sifat Tuhan adalah salah satu inti dari teologi Asy’ari yang diamalkan oleh para santri.
Dalam hal fiqh, kaum santri mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah- satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzha fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i,
Hanafi, dan Hambali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam Syafi’i. Taqlid adalah ciri utama dari madzhab ini dan beroposisi dengan faham
yang menganjurkan ijtihad.
9
Dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri terutama yang pesantrenya di desa-desa banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u ‘l-Najah, sedangkan dalam hal
keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u ‘l-Tawfiq.
10
Persoalan lain yang membedakan kaum santri dan kaum lainya ialah hal yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa atau lokal. Kaum santri
8
Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997, hal. 31
9
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, hal. 33
10
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, h. 33
menolak banyak sekali unsur-unsur adat lokal, tetapi mempertahankan sebagian lain dan kemudian diberi warna Islam. Salah satu adat yang masih dipertahankan
kaum santri adalah sekitar selamatan. Yang dimaksud selamatan di sini adalah mendoakan orang yang telah meninggal dan bisaanya diakhiri oleh jamuan
makan-makan oleh keluarga berkabung baik pada saat meninggalnya maupun setelahnya seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari,
dan haul. Dalam ritual itu bisaanya dibacakan tahlil, suatu ritus dalam bahasa Arab yang intinya membaca kalimat “La ilah-a illa ‘l-Lah”, dengan maksud
berdoa untuk kebahagian orang yang telah meninggal. Dalam hal kesenian, sejalan dengan kearaban yang ada dalam kitab-kitab
yang dipelajari, maka kaum santri juga menerima dengan antusias berbagai kesenian yang berbau Arab. Yang paling umum mereka tampilkan adalah qasidah-
qasidah mengenai kehidupan Nabi seperti karangan Diba’i dan Barzanji. Segi lain yang membedakan kaum santri dengan kaum lainya adalah
dalam hal berpakaian. Songkok atau tutup kepala secara umum dianggap sebagai pakaian kaum santri. Sarung juga merupakan pakaian yang dianggap sebagi
simbol kaum santri sehingga tidak jarang kaum santri disebut sebagai “kaum sarungan”.
11
B. PENGERTIAN INDUSTRIALISASI