KERANGKA KONSEPTUAL KERANGKA TEORI

Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif cognitive orientations dan orientasi afektif affective oreintatations. Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut. Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya. Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya. Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek- obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. 27

E. KERANGKA KONSEPTUAL

Masalah industrialisasi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah modernisasi karena industrialisasi merupakan bagian dari modernisasi. Transformasi industrial mempunyai konsekwensi yang amat luas, karena industrialisasi merupakan proses perubahan sosial yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari sistem sosial pra industri agraris ke sistem sosial 27 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari httpwww.scribd.comindex.php industrial. Terkait dengan hal ini dalam pandangan teori “ pattern Variables” yang dikembangkan Parsons, Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri dan moderen juga berarti perubahan dari : a. Affectivity to affective neutrality, pengaruh langsung bagi perbahan ini bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang diperlukan , juga menandai hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat industrial yang bersifat contractual, impersonal dan calculating. b. Particularism to universalism, Industrialisasi cenderung mengikis keekslusivan partikularistis seperti keekslusifan rasial, warna kulit maupun keturunan. c. Ascriptions to achievement, dengan kata lain perubahan karena industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan prestise ke sistem penghargaan karena prestasi. d. Diffuseness to specivicity, ialah perubahan dari sistem sosial yang berlingkup luas dan membatasi hubungannya pada hubungan yang bersifat khusus 28 . Jadi Perubahan model pembangunan secara otomatis akan merubah berbagai aspek kehidupan dan sruktur masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya, institusi-institusi kemasyarakatan dan agama bahkan keluarga. Beberapa ahli telah memunculkan beberapa pendekatan dalam memotret dan menganalisis perubahan sosial dan pola hubungan masyarakat. Di antaranya yang 28 Talcot Parsons and American Sosiologi, sebagaimana dikutip Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, Bandung : Mizan 1987, hal 141-142 penulis anggap cukup. relevan diterapkan dalam kajian ini, di antaranya teori struktural fungsional dan teori Interactions medium yang diperkenalkan oleh Talcott persons 1937. Dalam teori fungsional struktural memandang masyarakat secara makroskopis. Ada dua asumsi dasar dalam pendektan ini. Asumsi pertama adalah bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk dari sub strutur-sub struktur yang saling tergantung interdependen antara yang satu dengan yang lainnya sedemikian, sehingga perubahan pada satu bagian secara otomatis mempengaruhi bagian-bagian lainnya. Upaya analisis sosiologis dengan demikan menemukan apa mempengaruhi apa. Asumsi kedua, adalah bahwa setiap struktur atau aktifitas yang mapan established memiliki fungsi untuk mempertahankan aktifitas-aktifitas atau struktur lain dalam suatu sistem sosial. Beberapa contoh struktur dalam hal ini , keluarga, ekonomi, pendidikan, politik, agama, keluarga dan sebagainya 29 . Pesantren dikenal sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia indegenous. Sebagai lembaga indegenous , pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak bisa dipisahkan dengan komunitas lingkungannya. Kenyataan ini dapat dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian pesantren pada satu lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi 29 Soerjono soekanto, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat Jakarta : Rajawali 1983 pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, ibadah dan sebagainya. Sebaliknya pesantren pada umumnya melakukakan “membalas jasa” komunitas lingkungannya dengan bermacam cara, tidak hanya dalam bentuk memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial, kultural, dan ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks inilah pesantren dan kiyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai “ cultural brokers” dalam pengertian yang seluas-luasnya. 30 Perubahan sosial, ekonomi, politik secara otomatis turut memberikan warna dan pengaruhnya terhadap eksistensi dan dinamika pesantren itu sendiri. Beberapa perubahan dalam internal pesantren dan hubungnnya dengan pengaruh luar adalah, perubahan menjadi sistem kelas. Namun demikian bukan berarti mendudukan pesantren sebagai obyek perubahan yang pasif, sebab pesantren juga merupakan institusi yang independen dan memiliki jati diri dan kekhasannya sendiri. Pada sisi lain pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial dipandang memiliki posisi yang strategis dalam melakukan perubahan dan pembangunan bagi masyarakat sekitarnya, hal itu telah terbukti selama beberapa abad keberadaan pesantren dengan komitemen meneguhkan sosial kepada masyarakatnya. Pesantren memiliki modal yang kuat dalam melakukan interaksi dengan masyarakatnya. Dalam pandangan teori “Interaksions medium” yang juga dikembangkan oleh Parsons yaitu model “media interaksi” interactions medium. Media, 30 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa, Jakarta : Pustaka jaya, 1981 menurut Parsons adalah kapasitas perubahan sebuah masyarakat kelompok ketika berinteraksi dengan kelompok atau sektor masyarakat lain. Walaupun teori ini pada mulanya disusun berdasarkan analisis interaksi antara ego dan alter ego, namun kemudian juga digunakan untuk menganalisis pola interaksi lembaga, kelompok dan masyarakat. Oleh karenanya teori ini penulis pandang relevan untuk mengkaji pola hubungan antara pesantren tradisional dan sektor modern. Dalam hal ini ada empat media; pertama, Komitmen atau penyerapan nilaigagasan dari luar yang benar dan relevan. Kedua, media Kekuasaan power Ketiga, media pemanfaatan utility dan terakhir media pengaruh 31 . Keempat media yang dikemukakan Parsons di atas setidaknya telah dimiliki pesantren dalam melakukan hubungan dan mengukuhkan pengaruhnya baik di kalangan internal pesantren maupun bagi masyarakat sekitarnya. Pada beberapa dasawarsa , kiyai yang umumnya pemilik dan pengelola pesantren memiliki power kekuasaan yang kadang melebihi kekuasaan pemerintah lokal. Bahkan dalam hal-hal tertentu pemerintah lokal seringkali meminta petunjuk dan restu pihak pesantren atau kiyai dalam melaksanakan tugas dan kebijakannya. 32 31 Talcott Parsons, On The Theori if Sosial Interactions Media, sebagaimana dikutip Ivan Alhadar, “Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban Industri “ dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Kacher ed Dinamika Pesantren, Jakarta : P3M, 1987 32 Dra. Umdatul Hasanah, “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon” Penelitian Block Grant IAIN Banten, 2008, h. 15 Diagram 1 Kerangka Konseptual kesederhanaan Kebersamaan Tradiisional Religius Homogen Akhlak dan nilai- nilai luhur Materialis Hub. Fungsional Modern Kompetitif Rasional Heterogen Industrial Budaya politik ? Pesantren

BAB III GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN

KAMPUNG PANYAWUNGAN A. Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren Sebelum berdirinya Pondok Pesantren, kampung Panyawungan merupakan sebuah perkampungan yang menjadi pusat arena judi. Judi yang paling dominan di kampung ini adalah judi sabung ayam. Masyarakat kampung Panyawungan pada saat itu merupakan masyarakat Jahiliyyah dalam arti bodoh atau buta terhadap agama. Namun begitu, di kampung Panyawungan terdapat dua orang kaya raya yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi yang mempunyai keprihatinan terhadap umat, untuk itu mereka meminta kepada KH. Kholil dari kampung Bojong Malati + 1,5 km dari kampung Panyawungan untuk mengajar masyarakat dan mendirikan pondok. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil ‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil dalam konteks ini adalah lurah yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail fuqoro atau dukungan masyarakat umum. 1 Pada mulanya, KH. Kholil menempati rumah Hj. Syarifah yang merupakan kerabat KH. Syarif. Untuk kelancaran Dakwah Islamiah, KH. Syarif 1 Wawancara pribadi dengan ustadz Bibin, Bandung, 15 April 2010