Komunikasi Antarbudaya LANDASAN TEORITIS

dan memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan budayanya. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau peristiwa. Cara-cara manusia berkomunikasi, keadaan- keadaan komunikasi, bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, perilaku- perilaku nonverbal merupakan respons terhadap fungsi budaya. 32 Komunikasi manusia terikat oleh budaya, sebagaimana budaya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya maka praktek dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut pun akan berbeda pula. Paling tidak ada tiga unsur sosial-budaya yang berhubungan dengan: persepsi, proses verbal dan proses nonverbal. Dan ke dalam persepsi yang dibentuk terhadap orang lain ketika berkomunikasi terhadap tiga unsur yang mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang dibangun, yaitu: sistem-sistem kepercayaan belief, nilai value, sikap attitude, pandangan dunia world view, dan organisasi sosial social organization. Ketika ketiga unsur utama ini memengaruhi persepsi manusia dan makna yang dibangun dalam persepsi maka unsur- unsur tersebut memengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subjektif. 33 32 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, h. 160. 33 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 160. Persepsi 34 Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Secara umum dipercaya bahwa orang-orang berperilaku sebagai hasil dari cara mereka mempersepsi dunia lingkungannya sedemikian rupa. Perilaku-perilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka. Artinya, kita merespons kepada suatu stimuli sedemikian rupa, sesuai dengan budaya yang telah diajarkan kepada kita. Budaya menentukan kriteria mana yang penting bagi kita mempersepsi sesuatu. Komunukasi antarbudaya, dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian. Untuk memahami dunia dan tindakan orang lain, kita harus memahami kerangka persepsinya.  Sistem Kepercayaan, Nilai dan Sikap Belief, Value and Attitude Kepercayaan secara umum dapat dipandang sebagai kemungkinan subjektif, yang diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek yang dipercaya dengan karakteristik yang membedakannya. Dalam komunikasi antarbudaya tidak ada hal yang benar atau salah sejauh hal-hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan. Budaya memainkan suatu peranan penting dalam pembentukan kepercayaan. 34 Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi, Jakarta: Bumi Aksara, 2013, h. 38-42. Nilai, adalah seperangkat aturan yang terorganisasikan untuk mem- buat pilihan-pilihan, dan mengurangi konflik dalam suatu masyarakat. Nilai- nilai memiliki aspek evaluatif dan sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Dimensi evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti, kemanfaatan, kebaikan, estetika, kebutuhan, dan kesengangan. Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan sikap. Sikap sebagai suatu kecenderungan yang diperoleh dengan belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu konteks budaya, artinya lingkungan kita membentuk sikap kita, kesiapan kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita.  Pandangan Dunia World View Unsur budaya ini, meskipun konsep dan uraiannya abstrak, merupakan salah satu unsur terpenting dalam aspek-aspek konseptual komunikasi antar- budaya. Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, dan masalah-masalah filosofis lainnya yang berkenaan dengan konsep makhluk. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling mendasar dari suatu budaya. Pandangan dunia memengaruhi kepercayaan, nilai, sikap, penggunaan waktu, dan banyak aspek budaya lainnya. Dengan cara-cara yang tak terlihat dan tidak nyata, pandangan dunia sangat memengaruhi komunikasi antar- budaya.  Organisasi Sosial Social Organization Ada dua unit sosial yang dominan dalam suatu budaya yang memengaruhi persepsi, yaitu keluarga dan sekolah. Keluarga paling berperan dalam mengembangkan anak selama periode awal formatif dalam kehidupannya, keluarga banyak memberi pengaruh budaya, bahkan pembentukkan sikap pertamanya sampai pemilihan atas barang mainannya. Keluarga juga membimbing anak dalam menggunakan bahasa, cara memperoleh kata hingga dialek. Keluarga juga memberikan persetujuan, dukungan, ganjaran, dan hukuman, yang memengaruhi nilai-nilai yang anak kembangkan dan tujuan-tujuan yang ingin ia capai. Sekolah, mempunyai tanggung jawab besar mewariskan dan memelihara suatu budaya. Sekolah merupakan penyambung penting yang menghubungkan masa lalu dan juga masa depan. Sekolah memelihara budaya dengan memberi tahu anggota-anggota budaya. Sekolah meng- ajarkan beragam ilmu pengetahuan. Sekolah mungkin menekankan revolusi yang berlandaskan perdamaian atau kekerasan. Namun, apapun yang diajarkan di sekolah sangat dipengaruhi oleh budaya di tempat sekolah itu berada. Proses-proses Verbal 35 Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan.  Bahasa Verbal Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang yang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar, yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya. Objek-objek, kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, dan perasaan-perasaan mempunyai suatu label atau nama tertentu semata-mata karena suatu komunitas orang, atas kehendak mereka, memutuskan untuk menamakan hal-hal tersebut demikian. Karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran. Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinterksi dengan orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa memengaruhi persepsi, menyalurkan, dan turut membentuk pikiran. 35 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010, h. 30-31.  Pola-pola Berpikir Pola-pola berpikir suatu budaya memengaruhi bagaimana individu- individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannya akan memengaruhi bagaimana setiap orang merespons individu-individu dari suatu budaya lain. Kita tak dapat mengharapkan setiap orang untuk meng- gunakan pola-pola berpikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat banyak pola berpikir dan belajar menerima pola-pola tersebut akan me- mudahkan komunikasi antarbudaya kita. Proses-proses Nonverbal 36 Proses-proses verbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses- proses nonverbal. Walaupun tidak terdapat kesepakatan tentang bidang proses nonverbal ini, kebanyakan ahli setuju bahwa hal-hal berikut mesti dimasukkan: isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu, dan suara.  Perilaku Nonverbal Sebagai suatu komponen budaya, ekspresi nonverbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Ke- banyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang dilambang- kan seringkali merupakan hal yang telah budaya sebarkan kepada anggota- 36 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010, h. 31-34. anggotanya. Budaya memengaruhi dan mengarahkan pengalaman- pengalaman, dan oleh karenanya budaya juga memengaruhi dan meng- arahkan kita: bagaimana kita mengirim, menerima, dan merespons lambang- lambang nonverbal tersebut.  Konsep Waktu Konsep waktu suatu budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa depan, dan penting atau kurang pentingnya waktu. Kita terikat oleh waktu dan sadar akan adanya masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya satu dengan budaya yang lainnya dan perbedaan-perbedaan tersebut memengaruhi komunikasi.  Penggunaan Ruang Cara kita mengatur ruang merupakan suatu fungsi budaya. Rumah kita, misalnya, secara nonverbal menunjukkan kepercayaan dan nilai yang kita anut.

D. Teori Interaksi-Simbolik

“Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Penggambaran diri manusia melalui pepatah pendek ini cukup substansial sifatnya. Dikatakan demikian, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang ber- interaksi. Bahkan interaksi itu tidak melulu eksklusif antar manusia, tetapi juga inklusif dengan seluruh mikrokosmos. Termasuk interaksi manusia dengan seluruh alam. Singkatnya, manusia selalu mengadakan interaksi. Setiap interaksi mutlak membutuhkan sarana tertentu. Sarana menjadi medium simbolisasi dari apa yang dimaksudkan dalam sebuah interaksi. Oleh sebab itu, tidaklah jauh dari benar manakala para filsuf merumuskan diri manusia dalam konsep animal simbolicum makhluk simbolik selain animal sociosus makhluk berteman, berelasi dan konsep tentang manusia lainnya. 37 Teori interaksionisme-simbolis dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge Herbert Mead dan George Herbert Blumer. Awal perkembangan interaksionisme simbolis dipelopori oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalamannya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikutnya menghindarkan kuantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. Masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, 37 Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2009, h. 147. yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan intisari hubungan sosial. 38 Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa 1 manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka; 2 makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang la in”; dan 3 makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” ini tidak mempunyai makna yang intrinsik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis. 39 Bagi Blumer, “sesuatu” yang disebut juga “realitas sosial”, bisa berupa fenomena alam, artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas sosial, hubungan sosial “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental, yakni memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. 40 Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan 38 Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2009, h. 147-148. 39 Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 148. 40 Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 148-149.