dari Banda, dan 56 jiwa berasal dari Ternate. Dan rata-rata para pendatang menetap sebagai pedagang di Kecamatan Dullah Selatan Kota Tual.
D. Asal Muasal Suku Kei
Sejarah  mencatat,  orang-orang  Kei  diyakini  berasal  dari  Bali.  Ini terjadi  saat  pengaruh  kerajaan  Islam  di  Jawa  mulai  menguat.  Para
bangsawan  dari  Hindu  di  kerajaan  Majapahit  menolak  pengaruh  tersebut dan  memilih  pindah  ke  Bali.  Kedatangan  mereka  pun  mendesak  penduduk
asli.  Sebagian  penduduk  asli  yang  merasa  terdesak  lalu  berlayar  ke  arah timur  untuk  menetap  di  Maluku  Tenggara  yang  lebih  subur  dibanding
pulau-pulau di Nusa Tenggara. Masyarakat  setempat  juga  menyebut  bahwa  nama  Kei  muncul  sejak
kolonialis Barat datang ke pulau tersebut. Menurut kisah ini, saat baru tiba di  pulau  itu,  orang-orang  Barat  tersebut  bertanya  apa  nama  pulau  tersebut.
Penduduk menjawabnya “bitkai” yang berarti “tidak tahu”. Sejak itu, Barat
menyebutnya sebagai Pulau Kei. Kebenaran kisah tersebut masih ditelusuri. Tapi di masa pemerintahan
Hindia  Belanda,  pulau  ini  dijadikan  sebagai  salah  satu  tempat  penting  di kawasan  Maluku,  terutama  Maluku  Tenggara.  Ketika  Ambon  dipilih
menjadi  pusat  penyebaran  agama  Kristen  Protestan  di  Maluku,  Kei dijadikan  sebagai  pusat  kaderisasi  agama  Kristen  Katolik  Roma.  Letak
persisnya  di  Kota  Langgur.  Kedatangan  orang-orang  Belanda  ke  wilayah
tersebut  diikuti  oleh  pendatang  keturunan  Tionghoa  yang  kemudian memegang kendali perekonomian.
3
Secara  umum,  masyarakat  Kei  terklasifikasi  dalam  dua  persekutuan adat,  yakni,  Lor  Sir  Ur  Siw  Siw  Ifaak  dan  Lor  Lim  Lim  Itel.  Secara
etimologis Lor berarti kumpulan orang banyak atau sekumpulan orang yang mendiami  wilayah  Ratschap  atau  kesatuan  masyarakat  hukum  adat
berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial.
4
Sedangkan Siw dan Lim menunjuk  pada  angka  9  sembilan  dan   5  lima.  Angka  ini  dipahami
sebagai  lambang  institusi  masing-masing  persekutuan.  Artinya  kuantitas massa yang banyak itu terorganisir dalam institusi tersebut.
5
Hukum  adat  Larvul  Ngabal  merupakan  gabungan  dari  dua  hukum adat,  yaitu  hukum  Larvul  yang  ditetapkan  di  Desa  Elaar,  Kei  Kecil  oleh
sembilan  Rat  raja  yang  kemudian  dikenal  dengan  nama  Ur  Siw,  dan hukum  adat  Ngabal  ditetapkan  di  Desa  Ler  Ohoilim,  Kei  Besar  oleh  lima
Rat raja yang kemudian bernama persekutuan Lor Lim. Selanjutnya, dalam proses  penaklukkan  dan  perluasan  wilayah  kekuasaan  dari  kedua
persekutuan  masyaraat  adat  ini,  kemudian  bersepakat  untuk  berdamai dengan  menggabungkan  kedua  hukum  adat  tersebut  menjadi  Larvul
Ngabal.
6
3
Usman  Ks,  dkk,  Merajut  Damai  di  Maluku:  Telaah  Konflik  Antarumat  1999-2000, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2000, h. 53.
4
B. Ter  Haar,  Asas-asas  dan Susunan  Hukum Adat,  Jakarta:  Pradiya  Paramita,  1953,  h. 16.
5
J.  A.  Pattikayhatu,  dkk,  Sejarah  Daerah  Maluku,  Ambon:  Departemen  Pendidikan  dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993, h. 16.
6
J.  A.  Pattikayhatu,  Sejarah  Pemerintahan  Adat  di  Kepulauan  Kei  Maluku  Tenggara,  h. 40-47.
Secara  etimologi,  Larvul  Ngabal  berasal  dari  kata  Lar  yang  berarti Darah;   Vul  yang  artinya  Merah;  Nga  yang  berarti  Tombak;  Bal  yang
berarti  Bali. Jadi Larvul Ngabal artinya “Darah Merah” yang mengalir dari
tubuh sapi yang dibantai dengan tombak dari Bali.
7
Darah  merah  melambangkan  bahwa  Hukum  Larvul  itu  perasaan-atau pikiran  sehati  yang  berani,  agung  dan  gerak  masyarakat.  Dan  tombak  Bali
itu adalah lambang, bahwa Hukum Ngabal itu berpijak, tajam, kuat, agung dan  sakral.  Dengan  demikian,  terdapat  peribahasa  menyatakan
“Larvul inturak, Ngabal inadung”. Artinya Larvul menetapkan secara umum dasar-
dasar hukum  adat,  dan hukum  Ngabal  lebih mempertegas kekuatan hukum adat.
Secara keseluruhan hukum adat ini terdiri dari tujuh pasal, yakni:
8
Pasal  1. Uud entauk abnuhad. Berarti: “Kepala bersatu, bertumpu di
atas  pundak”,  artinya  di  mana  kepala  pergi  maka  seluruh  badannya  ikut. Maknanya,  kalau  kepala  berpikir,  bermaksud,  dan  bergerak,  maka  seluruh
bagian tubuh  yang lain ikut melaksanakan apa  yang dipikirkan oleh kepala dalam pengertian partisipasi. Kepala dalam konteks ini, adalah Duad atau
yang  Maha  Kuasa;  para  leluhur  moyang-moyang;  dan  tokoh-tokoh  adat, pemerintah  dan  orang  tua.  Kepala  masyarakat  atau  kepala  keluarga  harus
dihormati,  karena  mereka  bertugas  untuk  melindungi  keluarga  dan  juga masyarakat.  Dengan  demikian,  persekutuan  persatuan  dan  harmoni  dalam
masyarakat  dapat  dijamin,  kalau  kita  saling  menghargai  dan  saling
7
J. P. Rahail, Larvul Ngabal: Hukum Adat Kei, Jakarta: Yayasan Sejati, 1993, h. 13.
8
I.  J.  Kilmanun,  Hukum  Adat  Larvul  Ngabal  di  Kepulauan  Kei,  Tual:  Februari  1996. Tidak diterbitkan, h. 51-56.