Keadaan Masyarakat Kei di Kota Tual
terlibat dalam perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan orang lain dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini
sebenarnya mau mengangkat derajat semua orang sebagai saudara yang harus dihargai, dilayani dan diperhatikan.
Terdapat beberapa prinsip dan sikap hidup orang Kei, yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, sikap rela menolong, istilah yang dipakai untuk menjelaskan sikap hidup orang Kei ini ialah maren. Maren berarti bekerja bersama-sama.
Sikap dasar untuk menolong sesama ini terjadi secara spontan, tanpa undangan resmi. Misalnya, membuka kebun baru, mendirikan rumah
termasuk masjid atau gereja, pesta perkawinan atau kematian. Semua orang yang merasa terkait dalam kekerabatan bekerja bersama-sama. Jadi
ada semacam kerelaan dari setiap orang untuk membantu sesama demi kekerabatan yang telah terjalin. Sikap rela menolong ini pada dasarnya
dilakukan demi kelestarian hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, ada perasaan wajib untuk menolong sesama.
Kedua, sikap percaya bahwa orang lain akan membantu. Sikap ini erat kaitannya dengan sikap rela menolong yakni dengan membatu orang lain,
dia sendiri percaya bahwa orang lain juga akan membantu setiap usaha dan pekerjaannya.
Ketiga, sikap hormat dan taat kepada atasan. Ketaatan dan penghargaan kepada atasan menjadi kebiasaan di seluruh daerah. Atasan
menurut pandangan orang Kei adalah orang yang dapat mempersatukan
suatu kelompok kekerabatan. Dia memiliki kekuasaan dan merupakan representasi hukum yang mengatur seluruh kosmos. Seorang atasan lebih
merupakan unsur transenden, mengatasi seluruh kolektivitas. Oleh karena itu, kedudukannya dihormati dan ditaati.
Dan keempat, sikap tahu berterima kasih. Dalam bahasa Kei kata terima kasih berarti “tet ya”. Istilah ini memiliki makna yang sangat
mendalam, artinya “karena kebaikanmu, engkau saya tempatkan dalam lubuk hati agar engkau dekat dengan saya”. Jadi hakikat dari ucapan terima
kasih orang Kei adalah kebaikan orang lain perlu dibalas dengan sikap yang mengeratkan hubungan sosial.
Bentuk-bentuk kekerabatan masyarakat Kei seperti yang telah dijelaskan di atas, memiliki beberapa kesamaan gagasan dasar yakni sikap
hidup kolektif, semangat solidaritas, dan kekeluargaan, mengutamakan suatu persaudaraan yang diikat dalam keluarga. Perjanjian adat
mengkondisikan semua orang untuk saling membantu dan menganggap orang lain sebagai keluarga sendiri. Semua orang terikat dalam relasi
kekeluargaan tanpa membedakan agama. Berdasarkan itu, ada dua hal yang perlu diuraikan:
Pertama. Kebersamaan yang berpusat pada keluarga. Hubungan antar pribadi selalu didasark
an atas hubungan “saudara”. Semua orang dilihat sebagai saudara dari satu keluarga. Hal ini jelas dalam struktur keluarga ala
Kei lewat istilah “Teteen fo teteen, yanyanat fo yanyanat, ya an fo ya an,
warin fo warin, yan ur fo yan ur, mang ohoi fo mang oho i”. Ini bermakna
bahwa keluarga Kei memiliki struktur yang memaksa setiap anggota keluarga untuk memiliki status sendiri. Inti dari struktur ini adalah
menempatkan orang tua sebagai atasan dan anak sebagai bawahan. Satu kecenderungan dasar masyarakat Kei dalam menelusuri hubungan
kekeluargaan dalam pergaulan, misalnya, lewat pertanyaan “siapa orang tuamu”, kesimpulan yang selalu diambil adalah “kamu dan saya adik-
kakak”, meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah dalam arti sempit. Cara seperti ini sama saja dengan menempatkan orang lain dalam struktur
keluarganya. Kedua. Sikap kolektif orang Kei. Dalam tindakan kolektif sosial
orang Kei selalu memprioritaskan aspek hukum, bahkan memutlakkannya. Di dalam kehidupan bersama, hukum adat selalu dijunjung tinggi di atas
segalanya. Keataatan terhadap hukum ini didasarkan pada cita-cita agar kekerabatan semakin terwujud. Itulah suatu kecenderungan dalam sikap
kolektif orang Kei. Namun perlu dipahami bahwa kekerabatan karena ketaatan kepada hukum bukan berarti sikap legalistis, yang berarti taat
kepada hukum demi hukum itu, tetapi ketaatan orang Kei kepada hukum demi kekerabatan. Peraturan, perjanjian, dan kesepakatan yang diikat dalam
hukum harus ditaati agar kekerabatan bisa bertahan, apabila aturan atau hukum dilanggar, maka akibatnya kekerabatan atau kekeluargaan menjadi
“ternodai, renggang, bahkan bisa hilang terputus. Masyarakat Kei memiliki bahasa tersendiri, bahasa Kei. Bahasa ini
merupakan bagian dari 10 bahasa besar Maluku yang disebut Siwalima.
Ciri-ciri logat bicara orang Kei selalu menggunakan suara keras dengan nada tinggi. Kata-kata yang digunakan hanya terdiri dari satu, dua atau tiga
suku kata saja, yang umumnya dilafalkan dengan akhiran huruf “h”, seperti valbehe bagaimana, anbehe siapa, dan o mehe kamu sendiri. Logat
orang Kei juga mengandung perbendaharaan Portugis, contonhnya lenso sapu tangan, nyora atau signora nyonya, kader kursi, divan tempat
tidur, dan lain-lain. Meskipun komposisi penduduk yang ada di Kota Tual sangat
heterogen, namun masyarakat Kei selalu dapat saling berinteraksi intra dan antarbudaya dengan baik dan harmonis.
78