Teori Interaksi-Simbolik LANDASAN TEORITIS
yang bukan
struktur untuk
membekukan proses
adalah untuk
menghilangkan intisari hubungan sosial.
38
Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa 1 manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu
bagi mereka; 2 makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang la
in”; dan 3 makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung.
“Sesuatu” ini tidak mempunyai makna yang intrinsik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.
39
Bagi Blumer, “sesuatu” yang disebut juga “realitas sosial”, bisa berupa fenomena alam, artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun
nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas sosial, hubungan sosial “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi
volunteristik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental, yakni
memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan
arah tindakannya.
40
Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah
mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan
38
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2009, h. 147-148.
39
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 148.
40
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 148-149.
sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” sebagaimana yang dimaksudkan
kaum fungsionalis struktural, tid ak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam”
sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum reduksionis psikologis tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses
yang oleh Blumer disebut self-indication.
41
Menurut Blumer, proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya,
memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses simbolis interaksionisme dapat
didefinisikan sebagai “cara kita menginterpretasikan dan memberi makna
pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang lain”. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang
berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran.
42
Perspektif simbolis interaksionisme mendasarkan pandangan pada asumsi bahwa manusia mengembangkan satu set simbol yang kompleks
untuk memberi makna terhadap dunia. Karenanya maka muncul melalui interaksi manusia dengan lingkungannya.
Lingkungan pertama yang memengaruhi pembentukan makna adalah keluarga. Keluarga adalah
kelompok sosial terkecil dan individu yang mengembangkan konsep diri dan identitas melalui interaksi sosial tersebut.
43
41
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2009, h. 149.
42
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 149-150.
43
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 150.
Berdasarkan premis tersebut, maka cara terbaik untuk memahami seseorang adalah dengan memperhatikan lingkungan di sekitarnya, yakni di
mana ia tinggal dan dengan siapa ia berinteraksi.
44
Asumsi Pokok Interaksi-Simbolik
Ada sejumlah asumsi pokok dari teori ini,
45
yakni: a.
Individu dilahirkan tanpa punya konsep diri. Konsep diri dibentuk dan dikembangkan melalui komunikasi dan interaksi sosial.
b. Konsep diri terbentuk ketika seseorang bereaksi terhadap orang lain
dan melalui persepsi atas perilaku tersebut. c.
Konsep diri, setelah mengalami perubahan, menjadi motif dasar dari tingkah laku.
d. Manusia adalah makhluk yang unik karena kemampuannya
menggunakan dan mengembangkan simbol untuk keperluan hidupnya. Binatang menggunakan simbol dalam taraf yang amat terbatas,
sedangkan manusia selain menggunakan, juga menciptakan dan mengembangkan simbol.
e. Manusia beraksi terhadap segala sesuatu tergantung bagaimana ia
mendefinisikan sesuatu tersebut. Misalnya, bila kita sudah memandang si A sebagai pembohong, maka kita tidak akan percaya
apa yang dikatakan si A walaupun benar. f.
Makna merupakan kesepatakan bersama di lingkungan sosial sebagai hasil interaksi. Sebagai contoh, suatu produk media dianggap porno
44
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2009, h. 150.
45
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 150.
atau bukan tentu yang menilai adalah komunitas di mana media tersebut didistribusikan dan dikonsumsi. Maka dengan demikian, bisa
jadi suatu produk media dianggap porno di suatu kelompok masyarakat dan tidak porno bagi kelompok masyarakat lain.
George Herbert Mead dianggap sebagai bapak interaksionosme simbolis, karena pemikirannya yang luar biasa. Pemikiran Mead terangkum
dalam konsep pokok mengenai “mind”, “self” dan “society”.
46
Mead mendefinisikan mind sebagai fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi. Mind dalam hal
ini mirip dengan simbol, yakni sebagai hasil dari interaksi sosial. Hanya, mind terbentuk setelah terjadinya percakapan diri self-conversation, yakni
ketika seseorang melakukan percakapan diri yang juga disebut sebagai berpikir. Karenanya bagi Mead, berpikir tidak mungkin terjadi jika tidak
menggunakan bahasa.
47
Self, menurut Mead adalah proses yang tumbuh dalam keseharian sosial yang membentuk identitas diri. Perkembangan self tergantung pada
bagaimana seseorang melakukan role taking pengambilan peran dari orang lain. Esensi self bagi Mead adalah reflexivity, yakni bagaimana kita
merenung ulang relasi dengan orang lain untuk kemudian memunculkan adopsi nilai dari orang lain.
48
46
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2009, h. 160.
47
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 163.
48
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 164.
Society menurut Mead adalah kumpulan self yang melakukan interaksi dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa hubungan personal,
kelompok intim, dan komunitas.
49
Istilah Pokok Teori Interaksi-Simbolik
50
Identities identitas, yakni pemaknaan diri dalam suatu pengambilan peran. Bagaimana kita memaknai diri kita itulah proses pembentukan
identitas, yang kemudian disinergikan dengan lingkungan sosial. Language bahasa, yakni suatu sistem simbol yang digunakan
bersama di antara anggota kelompok sosial. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi dan representasi. Karenanya bahasa memiliki empat komponen,
yakni subjek, objek, simbol, dan referen yang berkorelasi sebagai berikut: Simbol
Subjek Objek
Simbol adalah rangkaian bunyi yang menunjuk sesuatu. Subjek adalah pengguna dari simbol. Objek adalah sesuatu yang ditunjuk oleh simbol.
Referen adalah penghubung dari simbol, subjek, dan objek. Looking glass self cara melihat diri, yakni gambaran mental sebagai
hasil dari mengambil peran orang lain. Misalnya kita berbicara dengan
49
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2009, h. 165.
50
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 158-160.
Referen
atasan atau orang tua kita, maka kita juga harus bisa memosisikan diri kita pada posisi atasan atau orang tua kita tersebut. Sehingga, dengan demikian
kita memperoleh gambaran tentang apa yang orang lain nilai tentang diri kita.
Meaning makna, yakni tujuan dan atribut bagi sesuatu. Meaning ditentukan oleh bagaimana kita merespon dan menggunakannya.
Mind pikiran, yakni proses mental yang terdiri dari self, interaksi, dan refleksi, berdasarkan simbol sosial yang didapat.
Role taking bermain peran, yakni kemampuan untuk melihat diri seseorang sebagai objek, sehingga diperoleh gambaran bagaimana dia lain
melihat orang lain tersebut. Ketika kita bermain peran dengan memerankan lawan bicara misalnya, maka kita akan memperoleh gambaran seperti apa
perlakuan yang diharapkan oleh lawan bicara kita tersebut. Self concept konsep diri, yakni gambaran yang kita punya tentang
siapa dan bagaimana diri kita yang dibentuk sejak kecil melalui interaksi dengan orang lain. Konsep diri bukanlah sesuatu yang tetap.
Self-fulfilling prophecy harapan untuk pemenuhan diri, yakni tendensi bagi ekspektasi untuk memunculkan respon bagi orang lain yang
diantisipasi oleh kita. Masing-masing dari kita memberi pengaruh bagi orang lain dalam hal bagaimana mereka melihat diri mereka.
Komunikasi dan Budaya Sebagai Proses Interaksi Simbolik
Pemahaman komunikasi dan budaya dengan segala praktisnya merupakan proses keseharian manusia. Komunikasi tidak bisa dipisahkan
dari seluruh proses kehidupan nyata manusia. Budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana, budaya berkenaan dengan bentuk fisik serta
lingkungan sosial yang memengaruhi perilaku seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia berinteraksi menggunakan
bahasa baik verbal maupun nonverbal. Bahasa disebut sebagai simbol pada saat berinteraksi. Oleh karenanya, proses interaksi simbolik tidak lepas dari
pemahaman-pemahaman manusia mengenai komunikasi dan kebudayaan yang berpengaruh terhadap perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh
individu.
57