Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual
KOMUNIKASI INTRA DAN ANTARBUDAYA
MASYARAKAT MUSLIM KEI
DI KOTA TUAL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam
(S. Kom. I)
Oleh:
Nurul Ain Kabakoran NIM: 1110051000056
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/ 1435 M
(2)
(3)
(4)
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli penulis atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, April 2014
(5)
i
ABSTRAK
Nurul Ain Kabakoran 1110051000056
Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual Penelitian ini berupaya untuk mengetahui informasi mengenai pribadi seorang muslim Kei dalam berkomunikasi intra dan antarbudaya antarsesama masyarakat di Kota Tual manakah nilai yang paling menonjol antara nilai budaya dan nilai agama. Suku Kei adalah suku asli yang berasal dari Kota Tual-Maluku dan dikenal dengan adat istiadatnya yang kental serta menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma yang ada pada budaya dan adat istiadat tersebut. Namun di Kota Tual tidak semua penduduknya berasal dari suku Kei, ada juga pendatang yang berasal dari berbagai suku seperti bugis, jawa, padang, dan lain-lain.
Dari penjabaran di atas, maka penulis memunculkan pertanyaan, sebagai objek pembahasan skripsi ini, bagaimana komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual, bagaimana komunikasi intrabudaya masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-muslim Kei, serta bagaimana komunikasi antarbudaya masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota Tual tersebut.
Teori yang penulis gunakan adalah teori interaksi-simbolik yang dipelopori oleh George Herbert Blumer yang melanjutkan pemikiran dari George Herbert Mead. Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa manusia bertindak
terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka,
makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang
lain”, dan makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berlandaskan pada perspektif subjektif. Subjektif di sini bertujuan untuk mengetahui bagaimana individu menciptakan sesuatu, menginterpretasi, dan menegosiasikan makna serta melihat bagaimana mereka memandang realitas sosial sebagai interaksi sosial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat muslim Kei dapat berinteraksi dan menjalin komunikasi intra dan antarbudaya dengan baik, aman, dan damai. Pluralitas yang ada di tengah mereka tidak menjadi alasan penyebab timbulnya konflik, adapun konflik yang terjadi tersebut hanya dilakukan oleh pihak tertentu yang sengaja menggunakan isu ras atau kelompok sebagai pemicu konflik. Yang menjadi pegangan masyarakat Kei adalah hukum adat Larvul Ngabal, hukum adat yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat Kei dan di dalamnya tidak ada tradisi atau ritual yang bertentangan dengan syariat Islam. Kekeluargaan dan kekerabatan menjadi hukum adat mendasar yang dipegang oleh masyarakat Kei dengan falsafahnya “Ain Ni Ain” sehingga sesama masyarakat Kei dapat melakukan aktivitas komunikasi intrabudaya dengan harmonis walaupun berbeda dalam menganut agama dan sistem kepercayaan. Sedangkan yang membuat langgengnya aktivitas komunikasi antarbudaya adalah konsep ukhuwah islamiyah yang dipegang oleh masing-masing individu. Jadi keduanya saling mendukung dan memengaruhi antara nilai budaya dan nilai agama.
(6)
ii
SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada hambaNya sehingga skripsi yang berjudul “Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual” dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Tak lupa, shalawat dan salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi besar Muhammad SAW serta keluarga, sahabat, dan para pengikut hingga akhir zaman.
Penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai persyaratan dalam menyelesaikan program studi di jenjang Strata Satu (S1) di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Terselesaikannya skripsi ini juga tidak luput dari bantuan pihak luar. Izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Arief Subhan, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Suparto, M.Ed., Ph.D., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Drs. Jumroni, M.Si., selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Drs. Wahidin Saputra, M.A., selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum.
(7)
iii
3. Rachmat Baihaky, M.A., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam sekaligus berperan sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasehat yang tiada henti kepada penulis serta mendukung dan memberi banyak kemudahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Jazakumullah Ahsanal Jaza.
4. Umi Musyarofah, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, yang selalu membantu dan menyemangati penulis.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Barakallah Lakum Fii Kulli Haal.
6. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Pemerintah Kota Tual, Pemerintah Adat Kota Tual, Kementrian Agama Kota Tual, Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Tual, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tual, yang turut berperan dalam selesainya penelitian ini, khususnya kepada Walikota Tual Drs. Hi. M. M. Tamher, Kepala Kantor Kementrian Agama Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I., Tokoh Adat Kei Ahmad Tamherwarin, S.H dan Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I. Terima kasih telah meluangkankan waktu berharganya kepada penulis.
(8)
iv
mendoakan penulis, memberikan dukungan, dan berkorban harta, jiwa dan raga demi penulis. Semoga Allah selalu mengampuni, menjaga, dan menyayangi kalian.
10. Kakak dan Adik penulis, Kak Titi, Abang Wan, Ta El, Abang Be dan Dek Cici yang selalu menyemangati dan menginspirasi penulis.
11. Kakek dan Nenek, Om dan Bibi, Tata dan Abang serta Ponakan-ponakan yang selalu mencintai dan mendoakan penulis sehingga membuat penulis tak pernah merasa sendiri.
12. Guru-guru dan kawan seperjuangan penulis selama duduk di bangku MI, MTs, hingga MA yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan berbagi pengalaman dengan penulis.
13. Keluarga Ciputat Evav. Aunteput, M’piet, Deaudy, Kajee, Bundaeka, SJQung, LinglingNha, Ichaaku, Kak Anna, Dejiyah, Deistia, dan Adelia yang selalu bersama menikmati suka duka setiap hari di bumi Ciputat. 14. Sahabat terindah Ghafna, Vhy Vhe Vha Yha Khy Nha Nhy Shy dan Lha
terima kasih atas semangat dan dukungannya. Semoga abadi.
15. Tim Hore. Abangfah, Banggun, Tecken, Ilham, Kaablo, Radit, Zhaky, Bangojan, Bangamin, Banghadi, Bangalvin, Bangfik, Bangamzhy, dan Bangpatih yang tak pernah bosan membantu dan memberi semangat.
(9)
v
16. Kawan Seperjuangan. Ulva Midah Dwi Putri Faizah Chandra Hardiansyah Fauzi Ade Adam Tri, dan teman-teman seperjuangan KPI B angkatan 2010, yang telah melalui sebuah masa penuh kebahagiaan dengan penulis selama menuntut pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah.
17. Keluarga KKN Aksara, Paradise Dadut Bulbul Ale Caidi Puji Srohbenk Kaneng Balika Baina Tami Uyung, seluruh warga Cisarua, Pak Ujang, Ibu Maryati dan semuanya terima kasih atas kerja sama dan pengalamannya, terima kasih juga telah mengajarkan penulis arti dari sebuah pengabdian. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis akan menerima segala kritik dan saran dari pembaca sehingga dapat menjadi acuan pembelajaran bagi penulis. Akhirnya, penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sebagai bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya dan pembaca pada umumnya.
Ciputat, April 2014
(10)
vi
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Metodologi Penelitian ... 9
F. Tinjauan Pustaka ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II LANDASAN TEORITIS A. Komunikasi dan Budaya ... 21
Komunikasi ... 21
Budaya ... 28
Komunikasi Sebagai Proses Budaya ... 32
B. Komunikasi Intrabudaya ... 35
C. Komunikasi Antarbudaya ... 40
D. Teori Interaksi-Simbolik ... 48
BAB III GAMBARAN UMUM A. Profil Kota Tual ... 57
B. Infrastruktur Wilayah Kota Tual ... 60
C. Kecamatan Dullah Selatan ... 65
D. Asal Muasal Suku Kei ... 67
(11)
vii
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISA DATA
A. Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei
di Kota Tual ... 78 Komunikasi Intrabudaya Masyarakat Muslim Kei dan
Masyarakat Non-muslim Kei di Kota Tual ... 80 Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei dan
Masyarakat Non-Kei Muslim di Kota Tual ... 93
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 99 B. Saran ... 100
DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN
(12)
1
A. Latar Belakang
Kota Tual adalah sebuah kota di Provinsi Maluku yang merupakan bagian dari negara Kepulauan Indonesia. Kota Tual pernah menjadi bagian dari Kabupaten Maluku Tenggara sebelum Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2007, Nomor 31 disahkan. Pembentukan Kota Tual sebagai daerah otonom pun pernah dipertentangkan secara hukum oleh beberapa pihak yang merasa tidak puas, kemudian berakhir di putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kota Tual tetap sah dan memenuhi syarat sebagai kota otonom. Kini Kota Tual telah berdiri sendiri dan pemerintahan kota di sana telah berjalan efektif.1
Penduduk asli Kota Tual adalah suku Kei sama halnya dengan Kabupaten Maluku Tenggara. Namun tidak semua penduduk di sana berasal dari suku asli Kei, melainkan juga berasal dari suku lain yang kemudian menetap di Kota Tual. Misalnya orang asal suku Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, Buton serta Ambon, yang menetap sebagai pedagang.
Secara khusus, keberadaan hidup masyarakat Kei di Kota Tual mungkin belum banyak dikenal. Namun dalam catatan sejarah lokal Kepulauan Kei memiliki keunikan yang terpancar dari kebudayaan lokalnya. Hal ini terlihat dari kekompakkan masyarakat Kei yang secara
1
BKPMD-Maluku, Gambaran Umum Kota Tual, Artikel ini diakses dari
“http://www.bkpmd-maluku.com/index.php/kabupatenKota/Kota-tual/gambaran-umum”, Pada: Rabu, 06 November 2013.
(13)
2
struktural tetap mempertahankan hukum adat tertingginya Larvul Ngabal. Suatu hukum adat yang di dalamnya mengatur semua aspek kehidupan manusia baik individu maupun komunitas adat Kei.
Dalam interaksi kehidupan sehari-hari pada masyarakat Kei, terdapat tiga nilai perekat, yakni: (1) Falsafah “Ain Ni Ain Hira Ni Fo Hira Ni It Did Fo It Did”, yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; (2) Falsafah “Foing Fo Kut Fauw Fo Banglu”. Nilai foing fo kut ini bermakna menghimpun beberapa mayang kelapa lalu diikat jadi satu, dengan tujuan mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi kehidupan. Sedangkan nilai fauw fo banglu bermakna kemampuan untuk
menciptakan “peluru” untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi
serangan; Dalam pengertian ini, peluru tidak bermakna modern, namun lebih pada pengertian tradisional yang mungkin dimaknai dalam bentuk mistis. Karena itu foing fo kut fauw fo banglu dapat juga dimaknai bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, dan (3) Falsafah “Vuut Ain Mehe Ni Ngivun,
Manut Ain Mehe Ni Tilur”, yang bermakna bahwa semua orang Kei berasal dari satu keturunan.2
Suku Kei merupakan salah satu suku yang dikenal dengan budaya dan adat istiadatnya yang kental, mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma yang ada pada budaya dan adat istiadat tersebut serta menjadikan budaya dan adat istiadat sebagai tonggak yang menopang seluruh dimensi kehidupan. Budaya dan adat istiadat mendapat tempat pertama bagi
2
Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari
“http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada: Rabu, 06 November 2013.
(14)
masyarakat Kei sebab sebelum adanya pemerintah dan datangnya agama di
Bumi Larvul Ngabal lembaga adat dan budaya adat Kei sudah terlebih dahulu berperan.3
Islam merupakan agama pertama yang menyentuh Kota Tual. Kemudian diikuti agama Kristen dan agama lainnya. Setelah agama datang, masyarakat Kei pun mulai memeluk agama sesuai keyakinannya tentang agama paling benar yang harus dianutnya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, salah satu nilai perekat yang ada pada masyarakat Kei adalah nilai kekeluargaan dan persaudaraan. Oleh karena itu, memudahkan masyarakat Kei dalam berinteraksi dan menjalin komunikasi dengan sesama sukunya. Baik sesama agama maupun berbeda agama. Misalnya sesama muslim Kei maupun antara muslim Kei dengan non-muslim Kei. Pola komunikasi seperti ini dikenal dengan komunikasi intrabudaya.
Tidak hanya itu, masyarakat Kei juga bisa berinteraksi dan menjalin komunikasi secara baik dan sehat dengan masyarakat luar adat Kei seperti masyarakat Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan Ambon. Padahal berbeda suku seperti ini tentu berbeda pula bahasa, budaya, dan adat istiadatnya.
Meskipun terdapat banyak perbedaan, masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-Kei (Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan Ambon) muslim tersebut dapat saling berinteraksi tinggal menetap di Kota
3
Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari
“http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada: Rabu, 06 November 2013.
(15)
4
Tual dan menjalankan aktivitas komunikasi antarbudaya setiap harinya. Keadaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya keyakinan, perkawinan dan perdagangan.
Adanya komunikasi yang terjalin antara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim mendorong penulis untuk lebih jauh mengetahui gambaran secara jelas mengenai pola komunikasi, penggunaan bahasa, prasangka dan stereotip
yang tumbuh dalam hubungan yang terjadi serta melihat berbagai bentuk kegiatan yang menunjang terbentuknya hubungan tersebut.
Dalam berkomunikasi, ada dua nilai yang disatupadukan sebagai seorang muslim Kei, yaitu nilai agama (Islam) dan nilai budaya (adat Kei). Kedua nilai kemudian memengaruhinya ketika berinteraksi dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei (Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan Ambon) yang beragama Islam. Nilai manakah yang lebih menonjol antara nilai Islam dan nilai adat Kei.
Untuk memahami interaksi antarbudaya, terlebih dulu kita harus memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi itu berlangsung, mengapa itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat-akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk memengaruhi dan memaksimal-kan hasil-hasil dari kejadian tersebut.4
4
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 12.
(16)
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan ber-komunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau di mana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi.5
Sedangkan budaya berkenaan dengan cara hidup. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.6 Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu
5
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 1. 6
(17)
6
masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada satu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. 7
Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memerhatikan, dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh pembendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.8
Komunikasi intrabudaya adalah komunikasi yang terjadi antara anggota yang berasal dari suatu kebudayaan yang sama. Sedangkan komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa, mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial.9
7
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 18.
8
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h. 19.
9
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 10.
(18)
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini penulis beri judul: “Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota
Tual”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim yang berada di Kota Tual, khususnya di Desa Tual Kecamatan Dullah Selatan. Dibatasi sebagai berikut:
Masyarakat asli Kei, terdiri dari beberapa pengurus atau tokoh adat
yang menjadi juru bicara keagamaan, pemerintahan, dan lembaga adat kebudayaan Kei. Guna memperkuat argumen dari adat.
Masyarakat muslim Kei dan non-muslim Kei yang berada di Desa Tual Kecamatan Dullah Selatan.
Masyarakat non-Kei muslim (masyarakat Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, Buton dan Ambon), yang berada di Desa Tual Kecamatan Dullah Selatan.
Dan juga pembatasan terhadap ruang dan waktu kegiatan, seperti pergaulan sehari-hari dan acara ritual adat tertentu.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah tersebut disusun dalam kerangka pertanyaan sebagai berikut:
(19)
8
Bagaimana komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei
di Kota Tual?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual.
D. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan atau masukan guna membantu para penulis dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang mengkaji studi komunikasi intra dan antarbudaya serta memberikan kontribusi pada aspek kebudayaan itu sendiri.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khusunya pada bidang komunikasi intra dan antarbudaya yang ada hubungannya dengan Program Studi Komunikasi.
(20)
E. Metodologi Penelitian 1. Perspektif
Perspektif sering juga disebut paradigma, kadang disebut pula mazhab pemikiran (school of thought) adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Perspektif adalah definisi situasi atau seperangkat gagasan yang melukiskan karakteristik situasi dan memungkinkan meng-ambil tindakan. Suatu spesifikasi jenis tindakan yang layak dan masuk akal dilakukan orang. Perspektif dijadikan sebagai standar nilai yang me-mungkinkan orang dapat dinilai (kriteria untuk penilaian).10
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan perspektif subjektif. Istilah lain dalam perspektif ini adalah humanistik, interpretif, fenomenologis, konstruktivis, konstruksionis, naturalistik, interaksionis, interaksional, kualitatif, induktif, holistik, kontemporer, dinamis, dan lain-lain.
Perspektif subjektif menganggap bahwa pengetahuan tidak mem-punyai sifat objektif dan sifat yang tetap. Perspektif subjektif bersifat interpretif dan makna dinegosiasikan. Menurut perspektif ini, realitas sosial dianggap sebagai interaksi sosial yang bersifat komunikatif. Pendekatannya
kreatif, individu menciptakan apa yang ada “di luar sana”. Perspektif ini berpendapat bahwa setiap manusia bersifat unik dan fenomena sosial bersifat sementara serta polisemik (multimakna).
10
Handout Perkuliahan Gun Gun Heryanto, Ilmu, Konsep, Teori dan Pespektif: Sebuah Landasan Memahami Kerangka Berpikir, KPI UIN Jakarta: Sosiologi Komunikasi Massa, 2010.
(21)
10
Adapun aliran teori komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah aliran interaksionis. Aliran ini memandang kehidupan manusia sebagai proses interaksi; seluruh struktur sosial akan eksis dan dibentuk secara terus-menerus melalui interaksi; aliran ini memfokuskan pada bagaimana bahasa digunakan dalam menciptakan struktur sosial dan bagaimana bahasa serta sistem simbol lainnya diproduksi; Menurut aliran ini makna tidaklah objektif, melainkan diciptakan oleh masyarakat dalam tindakan komunikasi; dan pengetahuan bersifat situasional tidak universal.11
Salah satu contoh teori dalam aliran interaksionis adalah teori interaksi simbolik. Teori inilah yang kemudian digunakan oleh penulis dalam penelitian ini.
2. Metode dan Pendekatan Penelitian
Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.12 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya.13
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Di mana data-data yang telah diperoleh di-deskripsikan terlebih dahulu dan kemudian dianalisis. Hanyalah
11
Handout Perkuliahan Gun Gun Heryanto, Ilmu, Konsep, Teori dan Pespektif: Sebuah Landasan Memahami Kerangka Berpikir, KPI UIN Jakarta: Sosiologi Komunikasi Massa, 2010.
12
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 9.
13
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 56.
(22)
kan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Metode deskriptif ialah menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Dengan suasana alamiah dimaksudkan bahwa penulis terjun ke lapangan. Ia tidak berusaha memanipulasi variabel.14
3. Subjek dan Objek Penelitian
Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu yang berkaitan dengan apa dan siapa yang ditelaah.15 Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah warga masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim yang tinggal di Desa Tual Kecamatan Dullah Selatan, Kota Tual.
Adapun yang menjadi objek penelitiannya adalah pola komunikasi yang terjadi pada masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim dalam kajian komunikasi intra dan antarbudaya.
4. Waktu dan Tempat Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu mengadakan
preliminary research atau pratinjau penelitian. Peninjauan sebelum penelitian dilakukan pada November 2013-Januari 2014, sepanjang itu penulis mencari tahu dan menelaah tentang gejala-gejala serta fenomena yang terjadi pada masyarakat setempat dan membaca serta memperdalam
14
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 24-25.
15
(23)
12
kajian ilmu yang berhubungan dengan komunikasi antarbudaya untuk memperkuat teori yang digunakan dalam penelitian. Sedangkan proses penelitian dan penggarapannya dilakukan pada Februari 2014-April 2014.
Adapun tempat yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini adalah Desa Tual, Kecamatan Dullah Selatan, Kota Tual.
5. Sumber dan Jenis Data
Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, penulis menggunakan data primer dan data sekunder.
a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari nara sumber melalui observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis di lapangan.
b. Data sekunder adalah data yang penulis peroleh dari sumber-sumber tertulis seperti yang terdapat dalam buku, jurnal, dokumentasi atau arsip-arsip dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Data sekunder tidak hanya berupa tulisan tetapi juga berupa data yang diperoleh dari informan yang mengetahui informasi tentang apa yang sedang diteliti serta mendukung penelitian tersebut.
6. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi
Secara luas, observasi atau pengamatan berarti kegiatan untuk me-lakukan pengukuran.16 Proses pengumpulan data primer dengan cara
16
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 69.
(24)
pengamatan langsung dan melakukan pencatatan terhadap objek-objek terkait. Yang termasuk dalam teknik observasi adalah interaksi (perilaku) yang terjadi di antara subjek yang diriset.17 Dalam hal ini penulis mengobservasi atau melakukan pengamatan terhadap masyarakat muslim Kei ketika berkomunikasi intra dan antarbudaya dengan sesama masyarakat selama Februari-Maret 2014.
b. Wawancara
Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewancara (pengumpul data) kepada nara sumber, dan jawaban-jawaban nara sumber dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recoprder).18 Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya.19 Dalam penelitian ini penulis memperoleh data dari nara sumber dengan cara wawancara atau tanya jawab langsung bersama Bapak Drs. Hi. M. M. Tamher, M.M selaku Walikota Tual, Bapak Ahmad Tamherwarin, S.H selaku tokoh adat Kei, Bapak Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I selaku Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Tual, dan Bapak Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I selaku pejabat yang mewakili Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Tual.
17
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 110.
18
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 67.
19
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 100.
(25)
14
c. Dokumentasi
Penggunaan data dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan data-data tentang berbagai hal yang berhubungan dengan komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual. Misalnya peta wilayah dan struktur pemerintahan yang penulis peroleh dari arsip Pemerintah Daerah Kota Tual. Teknik dokumentasi ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi dan data-data sekunder yang berhubungan dengan fokus penelitian.
7. Analisis dan Interpretasi Data
Data yang terkumpul dalam wawancara mendalam dan dokumen-dokumen diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori tertentu.
Dalam analisis data, penulis menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan menganalisis setiap data atau fakta yang diperoleh dari lapangan secara mendalam dan menyeluruh kemudian data atau fakta tersebut diinterpretasikan dan dilaporkan, diterangkan serta disimpulkan secara luas.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, penulis juga mengadakan tinjauan pustaka. Dengan mengadakan studi pustaka ke Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Penulis melakukan studi pustaka ini guna memastikan apakah ada kesamaan judul atau tema penelitian terdahulu dengan penelitian yang penulis lakukan. Penulis kemudian menemukan beberapa skripsi yaitu:
(26)
1) Ahmad Syukri, menulis: “Komunikasi Antarbudaya: Studi pada Pola Komunikasi masyarakat suku Betawi dengan Madura di Kelurahan
Condet Batu Ampar”.
Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi yang terjadi antara suku budaya Betawi dan Madura lebih banyak menggunakan pola komunikasi antarpribadi dan kelompok, dalam kegiatan sehari-hari, sedangkan komunikasi kelompok digunakan jika ada acara-acara tertentu.
Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian Ahmad adalah warga suku Betawi dan Madura di Kelurahan Condet Batu Ampar. Sedangkan subjek penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya.
2) Raden Dimas Anugrah Dwi Satria, menulis “Komunikasi Antar -budaya Masyarakat Adat Baduy Luar dengan Masyarakat Luar Adat
Baduy di Banten”.
Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi yang berlangsung antara suku adat Baduy dan suku luar adat Baduy seperti dalam pergaulan sehari-hari, dan acara-acara ritual tertentu baik komunikasi verbal maupun non-verbalnya.
(27)
16
Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian Dimas adalah masyarakat perkampungan Kaduketug Baduy Luar dan masyarakat luar Baduy. Sedangkan subjek penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya, nilai-nilai komunikasi dan budaya yang terkandung di dalamnya.
3) Siti Asiyah, menulis: “Pola Komunikasi Antar Umat Beragama: Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04
Kelurahan Mekarsari Tangerang”.
Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi antarbudaya yang terjadi antara warga etnis Tionghoa dengan Muslim Pribumi di kelurahan Mekarsari Tangerang dalam kegiatan sehari-hari dan acara-acara tertentu.
Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian Siti adalah warga etnis Tionghoa dengan Muslim Pribumi di kelurahan Mekarsari Tangerang. Sedangkan subjek penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim
(28)
di Kota Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini, yaitu dengan membagi menjadi beberapa bab, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORITIS
Pengertian komunikasi dan budaya, pengertian komunikasi intrabudaya, pengertian komunikasi antarbudaya, dan teori interaksi simbolik.
BAB III GAMBARAN UMUM
Profil Kota Tual, infrastruktur wilayah Kota Tual, profil Kecamatan Dullah Selatan Kota Tual, asal muasal suku Kei, dan keadaan masyarakat Kei di Kota Tual.
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Penyajian data-data yang diperoleh dari penelitian, berikut analisis-nya. Yaitu mengenai komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual.
BAB V PENUTUP
(29)
18
BAB II
LANDASAN TEORITIS
Tema tentang komunikasi bukan hal baru, namun ia lebih menarik setelah
dihubungkan dengan konsep “antarbudaya”. Istilah antarbudaya (interculture)
pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language. Karena Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaan konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya sistem ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya.1
Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice) pada 1960. Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurut Berlo, komunikasi akan berhasil jika manusia memerhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu:
sources, message, channel, receiver. Faktor-faktor yang menentukan (source) dan penerima (receiver) ialah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan kebudayaan. Pada pesan (message) perlu diperhatikan isi, perlakuan pesan, dan perlambangan; sedangkan pada saluran (channel) faktor yang perlu diperhatikan sangat tergantung atas pilihan saluran yang sesuai misalnya (mata) melihat, (telinga) mendengar, (tangan) meraba atau memegang, (hidung) membaui, dan (lidah) mengecapi.
1
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 1.
(30)
Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda. Paling tidak, karya Hall dan Berlo tersebut telah merangsang para pakar sosiologi, antropologi, psikologi untuk meneliti komunikasi antarbudaya selama dasawarsa 1950-1960-an.2
Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada 1970-1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat.
“Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi antarbudaya dalam Interbational Journal of Intercultural Relations
pada tahun 1977.
Pada tahun 1979 Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak itu banyak ahli mulai
2
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 1-2.
(31)
20
melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya, misalnya penelitian Asante dan kawan-kawan pada tahun 1980-an.
Pada akhir 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang
“Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst,
disusul tahun 1988 oleh Kim dan Gundykunst, sedangkan tema metode penelitian ditulis oleh Gundykunst dan Kim tahun 1984.
Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerjasama antarbudaya ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintas budaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988, dan terakhir komunikasi/ bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey dan Korzenny, tahun 1988.
Pada tahun 1990-an, studi-studi komunikasi antarbudaya diperluas meliputi pula studi diplomasi antarbangsa, misalnya Penelitian Komunikasi Kemanusiaan, Monograf Komunikasi, Jurnal Komunikasi, Jurnal Komunikasi Internasional dan Relasi Antarbudaya, Jurnal Studi Tentang Orang Kulit Hitam, dan Jurnal Bahasa dan Psikologi Sosial.3
McLuhan merupakan orang pertama yang memberikan tekanan ulasan pada hubungan/ komunikasi antarbangsa karena melihat gejala makin meningkatnya hubungan dan ketergantungan antarbangsa. Dari gagasan McLuhan itulah lahir
konsep “Tatanan Komunikasi dan Informasi Dunia Baru” yang memengaruhi
3
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 2-3.
(32)
perkembangan sebuah penelitian tentang perbedaan budaya antaretnik, rasial dan golongan di semua bangsa. Faktor-faktor tersebut telah menyulut pesatnya perkembangan teori dan penelitian yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya.4
A. Komunikasi dan Budaya Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Harold Lasswell, mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.5
Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses pearlihan dan pertukaran informasi itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun nonverbal yang dipahami bersama.6
4
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 1-3.
5
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 9-10.
6
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 5.
(33)
22
Ilmu komunikasi, apabila diaplikasikan secara benar akan mampu mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok, antar-suku, antarbangsa, dan antarras, membina kesatuan dan persatuan umat manusia penghuni bumi.
Pentingnya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat komunikasi. Manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia secara tidak kodrati harus hidup bersama manusia lain, baik demi kelangsungan hidupnya, keamanan hidupnya, maupun demi keturunannya. Jelasnya manusia hidup bermasyarakat. Masyarakat bisa berbentuk kecil, sekecil rumah tangga yang hanya terdiri dari dua orang suami isteri, bisa berbentuk besar, sebesar kampung, desa, kecamatan, kabupaten atau kota, propinsi, dan negara.
Semakin besar suatu masyarakat yang berarti semakin banyak manusia yang dicakup, cenderung akan semakin banyak masalah yang timbul, akibat perbedaan-perbedaan di antara manusia yang banyak itu dalam pikirannya, perasaannya, kebutuhannya, keinginannya, sifatnya, tabiatnya, pandangan hidupnya, kepercayaannya, aspirasinya, dan lain sebagainya.
Dalam pergaulan hidup manusia di mana masing-masing individu satu sama lain beraneka ragam itu terjadi interaksi, saling memengaruhi demi kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Terjadilah saling mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam bentuk percakapan.
(34)
Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.
Dalam “bahasa” komunikasi pernyataan dinamakan pesan (message), orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator)
sedangkan orang yang menerima pernyataan diberi nama komunikan
(communicate). Untuk tegasnya, komunikasi berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang (symbol). Kongkretnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, lambang adalah bahasa.7
Gambar 1. Unsur-unsur dalam proses komunikasi
7
Onong U. Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 27-28.
Media
Message
Encoding Sender
Response Feedback
Noise
Receiver Decoding
(35)
24
Komponen/ unsur-unsur dalam proses komunikasi adalah sebagai berikut:8
Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang. Encoding: Penyandian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang. Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator. Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan. Decoding: Pengawasandian, yaitu proses dimana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator. Response: Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterpa pesan. Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau kepada komunikator. Dan Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.
Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah, dan meneliti kegiatan-kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup
(scope)-nya dan banyak dimensinya. Berikut ini penjenisan komunikasi berdasarkan konteksnya:9
8
Onong U. Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 18-19.
9
Onong U. Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 52-56.
(36)
a. Bidang Komunikasi
Yang dimaksudkan dengan bidang komunikasi di sini adalah bidang kehidupan manusia, di mana di antara jenis kehidupan yang satu dengan jenis kehidupan yang lain terdapat perbedaan yang khas; dan kekhasan ini menyangkut pula proses komunikasi. Berdasarkan bidangnya, komunikasi meliputi jenis-jenis antara lain: komunikasi sosial (social communication), komunikasi organisasional/ manajemen (organization/ management communication), komunikasi bisnis (bussiness communication), komunikasi politik (political comunication), komunikasi internasional
(international communication), komunikasi antarbudaya (intercultural communication), komunikasi pembangunan (development communication)
dan komunikasi tradisional (traditional communication).
Selain jenis-jenis bidang komunikasi di atas, dalam berbagai literatur tidak jarang kita jumpai lain-lainnya, misalnya family communication,
health communication, dan sebagainya, yang sebenarnya merupakan salah satu aspek dari salah satu bidang komunikasi yang tercantum di atas.
b. Sifat Komunikasi
Ditinjau dari sifatnya, komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut: komunikasi verbal (verbal communication), mencakup komunikasi lisan
(oral communication) dan komunikasi tulisan (written communication).
Komunikasi nirverbal (nonverbal communication), mencakup komunikasi kial (gestural/ body communication), komunikasi gambar (pictorial
(37)
26
communication), dan lain-lain. Komunikasi tatap muka (face-to-face communication) dan komunikasi bermedia (mediated communication). c. Tatanan Komunikasi
Yang dimaksud dengan tatanan komunikasi adalah proses komunikasi ditinjau dari jumlah komunikan, apakah satu orang, sekelompok orang, atau sejumlah orang yang bertempat tinggal secara tersebar. Berdasarkan situasi komunikan seperti itu, maka diklasifikasikan menjadi bentuk-bentuk sebagai berikut: komunikasi pribadi (personal communication) yaitu komunikasi seputar diri seseorang baik itu sebagai komunikator maupun sebagai komunikan, komunikasi pribadi mencakup komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) dan komunikasi antarpribadi (interpersonal communication). Komunikasi kelompok (group communication), mencakup komunikasi kelompok kecil (small group communication) yakni ceramah (lecture), forum, simposium (symposium), diskusi panel (panel discusson), seminar, curahsaran (brainstorming); lain-lain dan komunikasi kelompok besar (large group communication/ public speaking). Komunikasi massa (mass communication), mencakup komunikasi media massa cetak/ pers (printed mass media communication)
yakni surat kabar (daily) dan majalah (magazine), dan komunikasi media massa elektronik (electronic mass media communication) yakni radio, televisi, film, dan lain-lain. Komunikasi medio (medio communication), mencakup surat, telepon, pamflet, poster, spanduk; dan lain-lain (media yang tidak termasuk media massa).
(38)
d. Tujuan komunikasi
Adapun tujuan dalam komunikasi adalah untuk mengubah sikap (to
change the attitude), mengubah opini/ pendapat/ pandangan (to change the opinion), mengubah perilaku (to change the behaviour) dan mengubah masyarakat (to change the society).
e. Fungsi Komunikasi
Fungsi komunikasi adalah untuk menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain) dan memengaruhi (to influence).
f. Teknik Komunikasi
Istilah teknik berasal dari bahasa Yunani “technikos” yang berarti keterampilan atau keperigelan.
Berdasarkan keterampilan berkomunikasi yang dilakukan komunikator, teknik komunikasi diklasifikasikan menjadi: komunikasi informatif (informative communication), komunikasi persuasif (persuasive communication), komunikasi pervasif (pervasive communication), komunikasi koersif (coersive communication), komunikasi instruktif
(instructive communication), dan hubungan mausiawi (human relations)
g. Metode Komunikasi
Istilah metode atau dalam bahasa Inggris “method” berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti rangkaian yang sistematis dan yang merujuk kepada tata cara yang sudah dibina berdasarkan rencana yang pasti, mapan, dan logis pula.
(39)
28
Atas dasar pengertian di atas metode komunikasi meliputi kegiatan-kegiatan yang terorganisasi, antara lain: jurnalisme/ jurnalistik
(journalism), mencakup jurnalisme cetak (printed journalism) dan jurnalisme elektronik (electronic journalism), hubungan masyarakat
(public relation), periklanan (advertising), propaganda, perang urat syarat
(psychological warfare), perpustakaan (library); dan lain lain.
Demikianlah dimensi-dimensi komunikasi yang menjadi cakupan ilmu komunikasi manusia yang luas.
Budaya
Dubbs dan Whitney mendefinisikan budaya sebagai “the system of
learned, cultural traits (contexts of meaning and guidelines for behaviour shared by members of a society)”.10 “Sistem belajar, ciri-ciri budaya (konteks makna dan pedoman perilaku bersama dari anggota suatu
masyarakat)”.
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal”.11
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colere. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu colere kemudian culture, diartikan
10
Patrick J. Dubbs and Daniel D. Whitney, Cultural Contexts: Making Anthropology Personal, (America: United States of America, 1938), h. 27.
11
(40)
sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Seorang antropolog E. B. Taylor mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.12
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran (image), struktur, aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan dan per-buatan/ tindakan yang dibagikan di antara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat.13
Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang dibangun oleh keseluruhan sistem sosial karena keintiman hubungan timbal balik, kesejawatan dan kesetiakawanan, keramahtamahan, kekeluargaan dari kelompok kecil, kelompok etnik, organisasi dan bahkan oleh seluruh masyarakat.14
Tujuh unsur kebudayaan yag dianggap sebagai culture universals, yaitu:15
12
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 150. 13
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 4.
14
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 4. 15
(41)
30
Pertama, peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor, dan sebagainya); Kedua, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian perternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya);
Ketiga, sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem politik, sistem hukum, sistem perkawinan); Keempat, bahasa (lisan maupun tulisan); Kelima, kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya); Keenam, sistem pengetahuan; dan Ketujuh, religi (sistem kepercayaan).
Nilai budaya terbagi menjadi enam, sebagai berikut:16
Nilai teori. Ketika manusia menetukan dengan objektif identitas benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.
Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan ekonomi yang senantiasa maju disebut aspek progresif dari kebudayaan.
Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep
16
Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 123-124.
(42)
kekudusan dan ketakziman kepada yang mahagaib, maka manusia mengenal nilai agama.
Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari kebudayaan.
Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti pikirannya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa.
Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas.
Kebudayaan sebagai konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa
“keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti
dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol itu mewakili struktur aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan namun konsep-konsep itu sendiri tidak bisa dipisahkan berhubung fungsi setiap konsep itu saling berhubungan. 17
17
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 4-5.
(43)
32
Apa yang disebut dengan “keseluruhan” tersebut menerangkan bahwa kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol hasil ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan anggota kelompok yang diwujudkan dalam proses komunikasi antaranggota kelompok tersebut. Pada akhirnya “isi kebudaya
-an” itu diadaptasi ke dalam suatu proses yang disebut “adaptasi budaya”
yang terjadi tatkala para individu atau kelompok menggunakan peta persepsi yang mereka miliki lalu membangun suatu gambaran atau struktur kognisi tentang dunia lingkungan mereka. Struktur kognisi tersebut dijelaskan melalui proses komunikasi budaya, misalnya intrabudaya, antarbudaya, lintas budaya, dan lain-lain.18
Komunikasi Sebagai Proses Budaya
Asumsi dasarnya adalah komunikasi merupakan suatu proses budaya. Artinya, komunikasi yang ditujukan pada orang atau kelompok lain tak lain adalah sebuah pertukaran kebudayaan. Misalnya, Anda berkomunikasi dengan suku Aborigin Australia, secara tidak langsung Anda sedang berkomunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu milik Anda untuk menjalin kerjasama atau memengaruhi kebudayaan lain. Dalam proses tersebut terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah bahasa. Sedangkan bahasa adalah alat komunikasi. Dengan demikian, komunikasi juga disebut sebagai proses budaya.19
18
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 5.
19
(44)
Jika ditinjau secara lebih konkrit, hubungan antara komunikasi dengan isi kebudayaan akan semakin jelas: 20
Dalam mempraktikkan komunikasi manusia membutuhkan peralatan-peralatan tertentu. Secara minimal komunikasi membutuhkan sarana berbicara, seperti mulut, bibir dan hal-hal yang berkaitan dengan bunyi ujaran. Ada kalanya dibutuhkan tangan dan anggota tubuh lain (komunikasi nonverbal) untuk mendukung komunikasi lisan. Ditinjau secara lebih luas dengan penyebaran komunikasi yang lebih luas pula, maka digunakanlah peralatan komunikasi massa, seperti televisi, surat kabar, radio, dan lain-lain.
Komunikasi menghasilkan mata pencaharian hidup manusia. Komunikasi yang dilakukan lewat televisi misalnya, membutuhkan orang yang digaji untuk “mengurusi” televisi.
Sistem kemasyarakatan menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi, misalnya sistem hukum Indonesia. Sebab, komunikasi akan efektif manakala diatur dalam sebuah regulasi agar tidak melanggar norma-norma masyarakat.
Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik manakala menggunakan bahasa sebagai alat penyampai pesan kepada orang lain. Wujud banyaknya bahasa digunakan sebagai alat komunikasi menunjukkan bahwa bahasa sebagai isi atau wujud dari komunikasi. Bagaimana
20
(45)
34
penggunaan bahasa yang efektif, memakai bahasa apa, siapa yang menjadi sasaran adalah manifestasi dari komunikasi sebagai proses budaya.
Sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan merupakan substansi yang tak lepas dari komunikasi. Ilmu pengetahuan ini juga termasuk ilmu tentang berbicara dan menyampaikan pendapat. Bukti bahwa masing-masing pribadi berbeda dalam penyampaian, gaya, pengetahuan yang dimiliki, menunjuk-kan realitas tersebut.
Komunikasi sebagai proses budaya tak bisa dipungkiri menjadi objektivasi (meminjam istilah Berger) antara budaya dengan komunikasi. Proses ini meliputi peran dan pengaruh komunikasi dalam proses budaya. Komunikasi adalah proses budaya karena di dalamnya ada proses seperti layaknya sebuah proses kebudayaan, punya wujud dan isi serta kompleks keseluruhan. Sesuatu dikatakan komunikasi jika ada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya. Kebudayaan juga hanya bisa disebut kebudayaan jika ada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya yang membentuk sebuah sistem.21
Hubungan antara komunikasi dan budaya penting dipahami untuk memahami komunikasi intra dan antarbudaya, karena melalui budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Masyarakat memandang dunia melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan oleh budayanya.
21
(46)
B. Komunikasi Intrabudaya
Istilah komunikasi intrabudaya nampaknya kurang populer di dalam kategorisasi ilmu komunikasi. Sitaram dan Cogdell telah meng-identifikasi komunikasi intrabudaya sebagai komunikasi yang berlangsung antara para anggota kebudayaan yang sama namun tetap menekankan pada sejauh mana perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai budaya yang mereka miliki bersama. 22
Lewis dan Slade mengemukakan komunikasi intrabudaya adalah “shared interpersonal communication between members of the same
cultures”.23
Analisis komunikasi intrabudaya selalu dimulai dengan mengulas keberadaan kelompok/ subbudaya dalam satu kebudayaan, juga tentang nilai subbudaya yang dianut. Jadi studi intrabudaya memusatkan perhatian pada komunikasi antara anggota subbudaya dalam satu kebudayaan. Komunikasi intrabudaya pun bisa dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat efektivitas pengiriman, penerimaan dan pemahaman bersama atas nilai yang ditukar di antara partisipan komunikasi yang kebudayaannya homogen. 24
22
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 9.
23
Glen Lewis and Christina Slade, Critical Communication, (Australia: Prentice Hall Australia, 1994) h. 123.
24
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 9.
(47)
36
Kebudayaan
Gambar 2. Komunikasi Intrabudaya
Gambar di atas menunjukkan komunikasi intrabudaya yang dilakukan di antara individu-individu anggota kelompok subbudaya (1) s/d (4).
Subbudaya atau subkultur adalah suatu komunitas rasial, etnik, regional, ekonomi atau sosial yang memerlihatkan pola perilaku yang membedakannya dengan subkultur-subkultur lainnya dalam suatu budaya atau masyarakat yang melingkupinya.25 Subbudaya adalah kelompok kecil yang mungkin non-konformis, subkelompok dalam budaya lokal (host culture/ pribumi).
a. Kerangka Rujukan Komunikasi Intrabudaya 26 Hubungan Antara Masyarakat dan Kebudayaan
Hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan yang paling realistis ditunjukkan melalui keberadaan kebudayaan sebagai wadah untuk memper-tahankan masyarakat dari pelbagai ancaman yang menghadang mereka.
25
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 19.
26
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 10-11.
(1) (3)
(48)
Kebudayaan bisa menginformasikan tentang nilai suatu dan beberapa peristiwa yang terjadi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Kebudayaan mengajarkan kepada setiap manusia tentang apa yang harus dibuat oleh generasi manusia.
Wajarlah kalau setiap kelompok budaya selalu menciptakan hubungan
intrabudaya yang “mewajibkan” generasi yang lebih tua mensosialisasi nilai
perilaku-perilaku budaya baik secara bertahap maupun dipercepat melalui institusi sosial kepada generasi berikut.
Dalam kehidupan dikenal institusi-institusi seperti agama, pendidikan, rekreasi, kesehatan serta institusi-institusi lain yang merupakan pranata kebudayaan yang menjamin perilaku manusia. Proses sosialisasi melalui institusi sosial tersebut telah memungkinkan manusia dimasukkan ke dalam lingkungan sosial dan kemasyarakatan. Jadi, setiap hubungan antarmanusia dalam satu kebudayaan selalu diatur dengan sosialisasi indoktrinasi dan instruksi nilai-nilai.
Hirarki, Kekuasaan dan Dominasi
Setiap kebudayaan selalu memiliki prinsip kebudayaan yang mengatur hirarki dan status kekuasaan. Hirarki dalam suatu masyarakat berbudaya selalu menggambarkan dan menerapkan proses pemeringkatan peranan-peranan anggota masyarakat mulai dari yang paling tinggi sampai terendah. Bukankah dalam masyarakat ada istilah: raja hutan, raja gunung, peniti raksasa, peniti emas, lain daun, bangsawan, rakyat jelata, orang pinggiran, orang kecil, dan lain-lain? Istilah-istilah tersebut merupakan “frase” yang
(49)
38
menunjukkan bahwa dalam masyarakat ada kelompok elit yang mendapat pengakuan atau yang berkuasa dan ada kelompok masyarakat yang dikuasai. Status yang tinggi biasa diidentifikasikan dengan kekuasan puncak yang memberikan kemungkinan bagi kelompok yang ada di bawah untuk melihat ke atas. Kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori puncak selalu mendominasi kelompok bawah. Mereka diberikan kekuasaan karena dianggap sakti, suci, mempunyai kekuasaan khusus, bijaksana, menjadi sumber material dan moral. Mereka disebut kelompok elit karena memiliki pengetahuan, pengalaman, dapat dipercaya, dan lain-lain. Setiap kebudayaan selalu memberikan tempat khusus kepada mereka untuk
memegang tampuk “puncak” pimpinan organisasi sosial karena hanya
mereka yang diasumsikan bisa memelihara institusi sosial masyarakat. Setiap anggota suatu masyarakat yang berbudaya mengetahui hubungan antara yang mempunyai kekuasaan dengan yang dikuasai.
b. Nomenklatur Komunikasi Intrabudaya 27 Konsep Nondominasi
Perlu diketahui bahwa komunikasi intrabudaya merupakan suatu gejala yang selalu ada dalam konteks kebudayaan tertentu. Kebudayaan juga mengajarkan konsep nondominasi yang mengatur nomenklatur siapa-siapa yang tidak mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat tertentu.
Kumpulan orang-orang nondominasi pun berada dalam suatu konstelasi yang secara historis atau tradisional tidak mempunyai akses atau
27
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 12-13.
(50)
pengaruh terhadap dominasi kebudayaan. Jadi, mereka tidak memiliki dominasi sosial, politik, hukum, ekonomi dan struktur keagamaan serta organisasi sosial lain.
Beberapa contoh di dalam kebudayaan tertentu, kaum wanita, wadam, orang tua jompo, kulit hitam, orang pendatang/ orang luar; tidak mempunyai
“nama” dan peranan yang luas dalam masyarakat. Mereka dianggap orang “aneh”, mempunyai perilaku menyimpang, penghambat, abnormal yang berbeda dengan orang lain dan masyarakat yang memiliki dominasi tertentu.
Mereka merupakan “orang dalam yang tersingkir” dan yang terjajah, atau
mereka merupakan suku bangsa asli yang dijajah oleh suku bangsa sendiri. Meskipun mereka tidak penting dalam kategori perhatian dan komunikasi intrabudaya namun perilaku mereka tetap dikontrol sebagai anggota
masyarakat intrabudaya agar mereka tidak mendewakan “ideologi”
subbudaya yang mengancam kebudayaan kelompok yang lebih besar.
Geopolitik
Masalah kekuasaan, dominasi dan nondominasi dalam masyarakat dapat dikaitkan dengan geopolitik. Proses untuk menyingkirkan kelompok nondominasi atau tidak berkuasa dilakukan melalui diskriminasi dan segregasi atas wilayah pemukiman dan pekerjaan.
Di dalam terminologi geopolitik, kaum nondominasi itu telah ditetapkan geopolitiknya. Misalnya dengan menetapkan wilayah geografis tertentu sebagai pusat pemukiman, kekuasaan, dominasi dalam bidang politik, ekonomi dan perdagagan, serta pendidikan. Mereka yang berkuasa
(51)
40
selalu berasal dari kebudayaan dominan dalam masyarakat. Jadi, hubungan intrabudaya selalu didasarkan pada sikap diskriminasi geopolitik dan lain-lain.
C. Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya lebih menekankan pada komunikasi antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda. Lewis dan Slade menyebutkan komunikasi antarbudaya adalah “face-to-face communication between people from differing cultural
backgrounds”.28
(Komunikasi tatap muka antara orang-orang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda).
Kebudayaan A Kebudayaan B
Kebudayaan C
Gambar 3. Komunikasi Antarbudaya
Gambar ini menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah kegiatan komunikasi antarpribadi yang dilangsungkan di antara para anggota kebudayaan yang berbeda.29
28
Glen Lewis and Christina Slade, Critical Communication, (Australia: Prentice Hall Australia, 1994) h. 122.
29
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 13.
C
B A
(52)
Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya menurut Devito, kita perlu memerhatikan hal-hal berikut: 1) Orang yang berbeda berkomunikasi secara berbeda; 2) Melihat cara perilaku masing-masing budaya sebagai sistem yang mungkin tetapi bersifat arbitrer; 3) Cara kita berpikir tentang perbedaan budaya mungkin tidak ada kaitannya dengan cara kita berperilaku.30
Setiap masyarakat majemuk yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang berbeda selalu menghadapi masalah etnosentrisme. Perbedaan itu merupakan akibat dari perbedaan folkways yang mereka miliki kemudian dapat mencuat dalam bentuk perpecahan yang mengarah ke disintegrasi antarbudaya. Untuk mencegah terjadinya disintegrasi, maka komunikasi (antarpribadi, kelompok, organisasi, publik, dan massa) bertujuan membagun makna-makna yang sama terhadap setiap pesan yang berfungsi menumbuhkan integrasi dan solidaritas antarsuku-bangsa. 31
Praktek komunikasi dalam masyarakat majemuk biasanya dilakukan di antara komunikator dengan komunikan yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Karena itu, kajian terhadap komunikasi antarbudaya harus diletakkan dalam kerangka konsep kebudayaan dan komunikasi.
Menurut Porter dan Samovar, untuk mengkaji komunikasi antarbudaya perlu dipahami hubungan antara kebudayaan dengan komunikasi. Melalui pengaruh budayalah manusia belajar berkomunikasi,
30
Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 4.
31
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 157.
(53)
42
dan memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan budayanya. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau peristiwa. Cara-cara manusia berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi, bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, perilaku-perilaku nonverbal merupakan respons terhadap fungsi budaya. 32
Komunikasi manusia terikat oleh budaya, sebagaimana budaya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya maka praktek dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut pun akan berbeda pula. Paling tidak ada tiga unsur sosial-budaya yang berhubungan dengan: persepsi, proses verbal dan proses nonverbal. Dan ke dalam persepsi yang dibentuk terhadap orang lain ketika berkomunikasi terhadap tiga unsur yang mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang dibangun, yaitu: sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude), pandangan dunia (world view), dan organisasi sosial (social organization). Ketika ketiga unsur utama ini memengaruhi persepsi manusia dan makna yang dibangun dalam persepsi maka unsur-unsur tersebut memengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subjektif. 33
32
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 160.
33
(54)
Persepsi 34
Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Secara umum dipercaya bahwa orang-orang berperilaku sebagai hasil dari cara mereka mempersepsi dunia (lingkungannya) sedemikian rupa. Perilaku-perilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka. Artinya, kita merespons kepada suatu stimuli sedemikian rupa, sesuai dengan budaya yang telah diajarkan kepada kita. Budaya menentukan kriteria mana yang penting bagi kita mempersepsi sesuatu.
Komunukasi antarbudaya, dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian. Untuk memahami dunia dan tindakan orang lain, kita harus memahami kerangka persepsinya.
Sistem Kepercayaan, Nilai dan Sikap (Belief, Value and Attitude)
Kepercayaan secara umum dapat dipandang sebagai kemungkinan subjektif, yang diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek yang dipercaya dengan karakteristik yang membedakannya.
Dalam komunikasi antarbudaya tidak ada hal yang benar atau salah sejauh hal-hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan. Budaya memainkan suatu peranan penting dalam pembentukan kepercayaan.
34
Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 38-42.
(55)
44
Nilai, adalah seperangkat aturan yang terorganisasikan untuk mem-buat pilihan-pilihan, dan mengurangi konflik dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai memiliki aspek evaluatif dan sistem kepercayaan, Nilai-nilai dan sikap. Dimensi evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti, kemanfaatan, kebaikan, estetika, kebutuhan, dan kesengangan.
Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan sikap. Sikap sebagai suatu kecenderungan yang diperoleh dengan belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu konteks budaya, artinya lingkungan kita membentuk sikap kita, kesiapan kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita.
Pandangan Dunia (World View)
Unsur budaya ini, meskipun konsep dan uraiannya abstrak, merupakan salah satu unsur terpenting dalam aspek-aspek konseptual komunikasi antar-budaya. Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, dan masalah-masalah filosofis lainnya yang berkenaan dengan konsep makhluk. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling mendasar dari suatu budaya.
Pandangan dunia memengaruhi kepercayaan, nilai, sikap, penggunaan waktu, dan banyak aspek budaya lainnya. Dengan cara-cara yang tak terlihat dan tidak nyata, pandangan dunia sangat memengaruhi komunikasi antar-budaya.
(56)
Organisasi Sosial (Social Organization)
Ada dua unit sosial yang dominan dalam suatu budaya yang memengaruhi persepsi, yaitu keluarga dan sekolah. Keluarga paling berperan dalam mengembangkan anak selama periode awal (formatif) dalam kehidupannya, keluarga banyak memberi pengaruh budaya, bahkan pembentukkan sikap pertamanya sampai pemilihan atas barang mainannya.
Keluarga juga membimbing anak dalam menggunakan bahasa, cara memperoleh kata hingga dialek. Keluarga juga memberikan persetujuan, dukungan, ganjaran, dan hukuman, yang memengaruhi nilai-nilai yang anak kembangkan dan tujuan-tujuan yang ingin ia capai.
Sekolah, mempunyai tanggung jawab besar mewariskan dan memelihara suatu budaya. Sekolah merupakan penyambung penting yang menghubungkan masa lalu dan juga masa depan. Sekolah memelihara budaya dengan memberi tahu anggota-anggota budaya. Sekolah meng-ajarkan beragam ilmu pengetahuan. Sekolah mungkin menekankan revolusi yang berlandaskan perdamaian atau kekerasan. Namun, apapun yang diajarkan di sekolah sangat dipengaruhi oleh budaya di tempat sekolah itu berada.
(57)
46
Proses-proses Verbal 35
Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan.
Bahasa Verbal
Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang yang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar, yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya. Objek-objek, kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, dan perasaan-perasaan mempunyai suatu label atau nama tertentu semata-mata karena suatu komunitas orang, atas kehendak mereka, memutuskan untuk menamakan hal-hal tersebut demikian. Karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran.
Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinterksi dengan orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa memengaruhi persepsi, menyalurkan, dan turut membentuk pikiran.
35
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 30-31.
(58)
Pola-pola Berpikir
Pola-pola berpikir suatu budaya memengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannya akan memengaruhi bagaimana setiap orang merespons individu-individu dari suatu budaya lain. Kita tak dapat mengharapkan setiap orang untuk meng-gunakan pola-pola berpikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat banyak pola berpikir dan belajar menerima pola-pola tersebut akan me-mudahkan komunikasi antarbudaya kita.
Proses-proses Nonverbal 36
Proses-proses verbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses ini sering dapat diganti oleh proses-proses nonverbal. Walaupun tidak terdapat kesepakatan tentang bidang proses nonverbal ini, kebanyakan ahli setuju bahwa hal-hal berikut mesti dimasukkan: isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu, dan suara.
Perilaku Nonverbal
Sebagai suatu komponen budaya, ekspresi nonverbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Ke-banyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang dilambang-kan seringkali merupadilambang-kan hal yang telah budaya sebardilambang-kan kepada
36
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 31-34.
(59)
48
anggotanya. Budaya memengaruhi dan mengarahkan pengalaman-pengalaman, dan oleh karenanya budaya juga memengaruhi dan meng-arahkan kita: bagaimana kita mengirim, menerima, dan merespons lambang-lambang nonverbal tersebut.
Konsep Waktu
Konsep waktu suatu budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa depan, dan penting atau kurang pentingnya waktu. Kita terikat oleh waktu dan sadar akan adanya masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya satu dengan budaya yang lainnya dan perbedaan-perbedaan tersebut memengaruhi komunikasi.
Penggunaan Ruang
Cara kita mengatur ruang merupakan suatu fungsi budaya. Rumah kita, misalnya, secara nonverbal menunjukkan kepercayaan dan nilai yang kita anut.
D. Teori Interaksi-Simbolik
“Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Penggambaran diri
manusia melalui pepatah pendek ini cukup substansial sifatnya. Dikatakan demikian, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang ber-interaksi. Bahkan interaksi itu tidak melulu eksklusif antar manusia, tetapi juga inklusif dengan seluruh mikrokosmos. Termasuk interaksi manusia
(60)
dengan seluruh alam. Singkatnya, manusia selalu mengadakan interaksi. Setiap interaksi mutlak membutuhkan sarana tertentu. Sarana menjadi medium simbolisasi dari apa yang dimaksudkan dalam sebuah interaksi. Oleh sebab itu, tidaklah jauh dari benar manakala para filsuf merumuskan diri manusia dalam konsep animal simbolicum (makhluk simbolik) selain
animal sociosus (makhluk berteman, berelasi) dan konsep tentang manusia lainnya. 37
Teori interaksionisme-simbolis dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge Herbert Mead dan George Herbert Blumer. Awal perkembangan interaksionisme simbolis dipelopori oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalamannya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikutnya menghindarkan kuantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. Masyarakat dan diri dipandang sebagai proses,
37
(61)
50
yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan intisari hubungan sosial. 38
Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka; (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial
seseorang dengan orang lain”; dan (3) makna tersebut disempurnakan
melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” ini tidak mempunyai makna yang intrinsik. Sebab, makna yang
dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis. 39
Bagi Blumer, “sesuatu” yang disebut juga “realitas sosial”, bisa
berupa fenomena alam, artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun
nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas sosial, hubungan sosial “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental, yakni memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. 40
Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan
38
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 147-148. 39
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 148. 40
(62)
sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia
tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan
kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. 41
Menurut Blumer, proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses simbolis interaksionisme dapat didefinisikan sebagai “cara kita menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang
lain”. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang
berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran. 42
Perspektif simbolis interaksionisme mendasarkan pandangan pada asumsi bahwa manusia mengembangkan satu set simbol yang kompleks untuk memberi makna terhadap dunia. Karenanya maka muncul melalui interaksi manusia dengan lingkungannya. Lingkungan pertama yang memengaruhi pembentukan makna adalah keluarga. Keluarga adalah kelompok sosial terkecil dan individu yang mengembangkan konsep diri dan identitas melalui interaksi sosial tersebut. 43
41
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 149. 42
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 149-150. 43
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)