Asal Muasal Suku Kei
                                                                                Secara  etimologi,  Larvul  Ngabal  berasal  dari  kata  Lar  yang  berarti Darah;   Vul  yang  artinya  Merah;  Nga  yang  berarti  Tombak;  Bal  yang
berarti  Bali. Jadi Larvul Ngabal artinya “Darah Merah” yang mengalir dari
tubuh sapi yang dibantai dengan tombak dari Bali.
7
Darah  merah  melambangkan  bahwa  Hukum  Larvul  itu  perasaan-atau pikiran  sehati  yang  berani,  agung  dan  gerak  masyarakat.  Dan  tombak  Bali
itu adalah lambang, bahwa Hukum Ngabal itu berpijak, tajam, kuat, agung dan  sakral.  Dengan  demikian,  terdapat  peribahasa  menyatakan
“Larvul inturak, Ngabal inadung”. Artinya Larvul menetapkan secara umum dasar-
dasar hukum  adat,  dan hukum  Ngabal  lebih mempertegas kekuatan hukum adat.
Secara keseluruhan hukum adat ini terdiri dari tujuh pasal, yakni:
8
Pasal  1. Uud entauk abnuhad. Berarti: “Kepala bersatu, bertumpu di
atas  pundak”,  artinya  di  mana  kepala  pergi  maka  seluruh  badannya  ikut. Maknanya,  kalau  kepala  berpikir,  bermaksud,  dan  bergerak,  maka  seluruh
bagian tubuh  yang lain ikut melaksanakan apa  yang dipikirkan oleh kepala dalam pengertian partisipasi. Kepala dalam konteks ini, adalah Duad atau
yang  Maha  Kuasa;  para  leluhur  moyang-moyang;  dan  tokoh-tokoh  adat, pemerintah  dan  orang  tua.  Kepala  masyarakat  atau  kepala  keluarga  harus
dihormati,  karena  mereka  bertugas  untuk  melindungi  keluarga  dan  juga masyarakat.  Dengan  demikian,  persekutuan  persatuan  dan  harmoni  dalam
masyarakat  dapat  dijamin,  kalau  kita  saling  menghargai  dan  saling
7
J. P. Rahail, Larvul Ngabal: Hukum Adat Kei, Jakarta: Yayasan Sejati, 1993, h. 13.
8
I.  J.  Kilmanun,  Hukum  Adat  Larvul  Ngabal  di  Kepulauan  Kei,  Tual:  Februari  1996. Tidak diterbitkan, h. 51-56.
mengakui  kewajiban  masing-masing,  sebagai  kepala  atau  pemimpin  dan sebagai anggota tubuh.
Tugas  perlindungan  mereka  sebagai  kepala  juga  dikuatkan  dengan ungkapan peribahasa Kei, yang dinyatakan sebagai Sob Duad, taflur flurut
Nit,  fo  hoar  towlai, artinya  “kita  meminta  berkat  dengan  berdoa  kepada
Tuhan, dan kita saling hormat-menghormati dengan mengingat pesan-pesan leluhur supaya kita selamat di dunia dan akhirat”.
Pasal 2. Lelad ain fo mahiling. Berarti : “Leher bersifat luhur, suci dan
murni”,  pengertian  kata-kata  ini  bermaksud  bahwa  hidup  dan  kehidupan diluhurkan  dan  bersifat  jujur.  Leher  bagi  orang  Kei  danggap  sebagai  pusat
hidup dan kehidupan yang bernafas, yang harus dilindungi atau dijaga. Pasal 3. Ul nit envil rumud.
Berarti: “Kulit membungkus tubuh kita”, ungkapan ini memiliki dua arti, pertama, harkat dan martabat manusia harus
dilindungi;  dan  kedua,  nama  baik  orang  lain  harus  dijaga  dan  dijunjung tinggi,  serta  kesalahan  yang  dilakukan  oleh  setiap  individu  harus  segera
dipulihkan  dan  ditebus.  Hal  ini  juga  dapat  diartikan  sebagai  kemampuan merahasiakan sesuatu tentang orang lain dan diri sendiri.
Pasal 4. Laar nakmut naa ivud. Be rarti: “Darah beredar atau terkurung
di  dalam  tubuh”,  makna  dari  pasal  ini  adalah  penghargaan  terhadap kehidupan.  Karena  itu,  keselamatan  setiap  orang  harus  dilindungi.  Hal  ini
berarti  dilarang  melakukan  tindakan  penganiayaan,  kekerasan,  dan kekejaman  kepada  orang  lain  atau  diri  sendiri,  yang  dapat  mengakibatkan
keluarnya darah dari dalam tubuh. Sama dengan “jangan membunuh”.
Pasal  5.  Reek  fo  kelmutun .  Berarti:  “Ambang  kamar  atau  kesucian
kaum wanita diluhurkan”,  ungkapan ini memiliki dua arti yakni, pertama, bahwa  kamar  tidur  dari  suami-isteri  atau  seorang  perempuan  tidak  boleh
dimasuki  oleh  orang  lain  yang  tidak  berhak;  kedua,  perempuan  juga dilambangkan  seperti  tanda  sasi  larangan  yang  tidak  boleh  diperlakukan
semena-mena. Artinya tidak boleh mengganggu seorang wanita dengan cara bersiul, mengedipkan mata, mencolek, dan bersuara keras kepadanya.
Pasal  6.  Moryaian  fo  mahiling .  Berarti:  “Tempat  tidur  orang  yang
sudah berumah tangga dan juga wanita bujang gadis adalah agung mulia”, hal  ini  juga  berkaitan  dengan  pasal  5,  bahwa  orang  lain  tidak  boleh
menggunakan  atau  tidur  di  tempat  tidur  orang  yang  sudah  menikah, termasuk tempat tidur seorang gadis.
Pasal  7.  Hirani  ntub  fo  in  ni,  it  did  entub  fo  it  did .  Berarti:  “Milik
orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita”. Pasal ini mengakui  kepemilikan pribadi, selama kepemilikan pribadi itu mempunyai
bukti atau ada sejarah argumentasi  yang dapat membuktikan kepemilikan tersebut.
Dapat dikatakan bahwa mekanisme lebih lanjut atau aturan pelaksana dari  hukum  adat  Larvul  Ngabal  seperti  yang  telah  diuraikan  di  atas,
dielaborasi  lagi  ke  dalam  3  tiga  bentuk  hukum  adat  Kei  yakni  hukum Nevnev;  hukum Hanilit, dan hukum Hawear Balwarin. Ketiga hukum adat
ini  masing-masing  terdiri  dari  7  pasal.  Bila  dipilahkan  pasal-pasal  dari hukum  Larvul  Ngabal  ke  dalam  ketiga  hukum  ini,  maka  pasal  1-4  adalah
hukum  Nevnev,  atau  hukum  perikemanusiaan,  penghargaan  terhadap kemanusiaan; pasal 5-6 adalah hukum Hanilit, atau hukum susila perilaku,
penghargaan  terhadap  perempuan;  dan  pasal  7  adalah  hukum  Hawear Balwarin atau hukum keadilan sosial.
9
Suku Kei menyebar di Kepulauan Kei seperti Pulau Nuhuyuut, Pulau Nuhurowa,  Pulau  Dullah,  Pulau  Tayando,  Pulau  Walir,  Pulau  Kur,  Pulau
Tam dan Pulau Mangur. Saat ini kepulauan Kei terbagi menjadi Kabupaten Maluku  Tenggara  dan  Kota  Tual,  dan  beberapa  kecamatan  di  dalamnya.
Kabupaten  Maluku  Tenggara  terdiri  dari  Kecamatan  Kei  Kecil  dan Kecamatan  Kei  Besar  sedangkan  Kota  Tual  terdiri  dari  Kecamatan  Pulau
Dullah  Selatan,  Kecamatan  Pulau  Dullah  Utara,  Kecamatan  Pulau  Kur, Kecamatan Pulau Tayando dan Kecamatan Pulau Tam.
10
                