Jual Beli TINJAUAN PUSTAKA

22 harga barang kepada pemasok barang untuk dan atas nama pembeli atau nasabah. Bila transaksi dilakukan seperti itu, maka transaksi tersebut tidak berbeda dengan suatu transaksi yang didasarkan atas bunga yang dilarang dalam Islam: fatwa MUI No. 1 tahun 2004. Al-Qur’an tidak pernah secara langsung membicarakan tentang murabahah, meski di sana ada sejumlah acuan tentang jual beli, laba, rugi dan perdagangan. Demikian pula tampaknya tidak ada hadist yang memiliki rujukan langsung kepada murabahah. Para ulama generasi awal, semisal Malik dan Syafi’I yang secara khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah adalah hlaal, tidak memperkuat pendapat mereka dengan satu hadist pun. Al-Kaff tt, seorang kritikus murabahah kontemporer, menyimpulkan bahwa murabahah adalah “salah satu jenis jual beli yang tidak dikenal pada zaman Nabi atau para sahabatnya.” Menurutnya para tokoh ulama mulai menyatakan pandapat mereka tentang murabahah pada seperempat pertama abad kedua Hijriah, atau bahkan lebih akhir lagi. Mengingat tidak adanya rujukan baik di dalam Al- Qur’an maupun Hadist sahih yang diterima umum, para pukoha harus membenarkan murabahah dengan dasar yang lain. Malik membenarkan keabsahan dengan merujuk kepada praktik penduduk Madinah: Ada kesepakatan pendapat di sini Madinah tentang keabsahan seseorang yang membelikan pakaian di kota, dan kemudian ia membawanya ke kota lain untuk menjualnya lagi dengan suatu keuntungan yang disepakati. Muhammad, 2002:119. 23 Murabahah itu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. Fatwa No. 04DSN-MUIIV2000. Transaksi Murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakat. Misalnya, seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan ketentuan tertentu. Berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase dari harga pembeliannya, misalnya 10 atau 20. Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan margin yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate of profit-nya keuntungan yang ingin diperoleh. Karim, 2007:113. Menurut M. Syafi’I Antonio 2001:101 bai’ al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ al-murabahah penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Misalnya, pedagang eceran membeli computer dari grosir dengan harga Rp 10.000.000,00, kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp750.000,00 dan ia menjual kepada si pembeli dengan harga Rp 10.750.000,00. Pada 24 umumnya si pedagang eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan yang akan diambil pedagang eceran, serta besarnya angsuran jika memang akan dibayar secara angsuran. Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia barang penjual dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah sama dengan yang terdapat dalam Fiqih, sedangkan syarat-syarat lain seperti barang, harga dan pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank. Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan margin yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Karakteristiknya adalah penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Suatu jual beli dalam Islam sedikitnya harus memenuhi syarat bahwa ada penjual ba’i, pembeli musytari, barang yang diperjualbelikan, harga saman dan ijab qabul atau biasa juga disebut dengan akad jual beli. Institut Bankir Indonesia, 2001: 66. Tujuan nasabah melakukan jual beli dengan bank adalah karena suatu alasan bahwa nasabah tidak memiliki uang tunai modal untuk bertransaksi 25 langsung dengan supplier. Dengan melakukan transaksi dengan bank sebagai lembaga keuangan, maka nasabah dapat melakukan jual beli dengan pembayaran tangguh atau diangsur. Jika murabahah dilakukan dengan cara pembayaran angsuran, maka yang timbul dari transaksi ini adalah piutang uang. Artinya, penjual ba’i akan memiliki piutang uang sebesar nilai transaksi atas pembeli musytari punya utang uang sebesar nilai transaksi kepada penjual. Pada pengertian murabahah diatas disebut adanya “keuntungan yang disepakati”, karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberitahu si pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut. Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memiliki barang tanpa harus menyediakan uang tunai terlebih dahulu. Sebenarnya bank syariah cenderung melakukan akad murabahah karena bank ingin memproleh pendapatan yang tetap fixed income dari tingkat margin murabahah yang telah ditentukan di depan. Bank syariah sebagai mudharib dapat memberikan nisbah bagi hasil yang cukup menarik bagi para deposan atau penabung mudharabah shahibul mal. Semakain tinggi margin yang diminta bank kepada nasabah atau pembeli murabahah, berarti semakain besar pula pendapatan bank syariah yang dapat dibagikan kepada shahibul malnya. Pada gilirannya sumber dana mudharabah yang dapat dihimpun dapat dipertahankan jumlahnya, atau malah semakin meningkat.