20 Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal
dilarang, kecuali ada ketentuannya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Sedangkan dalam urusan muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil
yang melarangnya.
Menurut Karim 2005 ketika suatu transaksi baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap
dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil Qur’an dan Hadist yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Dengan demikian dalam
bidang muamalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan. Penyebab terlarangnya sebuah transaksi adalah disebabakan faktor-faktor
sebagai berikut: Karim, 2007: 30. 2. Penyebab terlarangnya sebuah transaksi
a. Haram Zatnya Transaksi dilarang karena objek barang danatau jasa yang
ditransaksikan juga dilarang, misalnya minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Jadi transaksi jual beli minuman keras adalah haram,
walaupun akad jual belinya sah. Dengan demikian, bila ada nasabah yang mengajukan pembiayaan pembelian minuman kesras kepada benk
dengan menggunakan akad murabahah, maka walaupun akadnya tetapi transaksi ini haram karena objek transaksinya haram.
21 b. Haram Selain Zatnya
c. Tidak SahLengkap Akadnya Suatu transaksi yang tidak masuk dalam kategori haram li dzatiti
maupun haram li ghairihi, belum tentu serta-merta menjadi halal. Masih ada kemungkinan transaksi tersebut menjadi haram bila akad atas
transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap.
D. Murabahah
Menurut Perwataatmadja dan Antonio 1999: 106 Bai’ al-Murabahah adalah suatu perjanjian yang disepakati antara bank dan nasabah, dimana bank
menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah
sebesar harga jual bank harga beli bank plis margin keuntungan pada saat jatuh tempo.
Chapra 2000: 65 mengemukakan bahwa murabahah merupakan transaksi yang sah menurut ketentuan syariat Islam apabila risiko transaksi
tersebut menjadi tanggung jawab pemodal sampai penguasaan atsa barang possession telah dialihkan kepada naabah. Agar transaksi yang demikian sah
secara hukum, bank harus menandatangani 2 dua perjanjian yang terpisah. Perjanjian yang satu dengan pemasok barang dan perjanjian yang lain dengan
nasabah. Adalah tidak sah apabila bank hanya memiliki satu perjanjian saja, yaitu hanya dengan pemasok, dimana bank hanya bertindak sebagai pembayar
22 harga barang kepada pemasok barang untuk dan atas nama pembeli atau
nasabah. Bila transaksi dilakukan seperti itu, maka transaksi tersebut tidak berbeda dengan suatu transaksi yang didasarkan atas bunga yang dilarang
dalam Islam: fatwa MUI No. 1 tahun 2004. Al-Qur’an tidak pernah secara langsung membicarakan tentang
murabahah, meski di sana ada sejumlah acuan tentang jual beli, laba, rugi dan perdagangan. Demikian pula tampaknya tidak ada hadist yang memiliki
rujukan langsung kepada murabahah. Para ulama generasi awal, semisal Malik dan Syafi’I yang secara khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah adalah
hlaal, tidak memperkuat pendapat mereka dengan satu hadist pun. Al-Kaff tt, seorang kritikus murabahah kontemporer, menyimpulkan bahwa murabahah
adalah “salah satu jenis jual beli yang tidak dikenal pada zaman Nabi atau para sahabatnya.” Menurutnya para tokoh ulama mulai menyatakan pandapat
mereka tentang murabahah pada seperempat pertama abad kedua Hijriah, atau bahkan lebih akhir lagi. Mengingat tidak adanya rujukan baik di dalam Al-
Qur’an maupun Hadist sahih yang diterima umum, para pukoha harus membenarkan murabahah dengan dasar yang lain. Malik membenarkan
keabsahan dengan merujuk kepada praktik penduduk Madinah: Ada kesepakatan pendapat di sini Madinah tentang keabsahan seseorang yang
membelikan pakaian di kota, dan kemudian ia membawanya ke kota lain untuk menjualnya lagi dengan suatu keuntungan yang disepakati. Muhammad,
2002:119.