adalah perusahaan perkebunan. Berdirinya perusahaan-perusahaan yang mengatasnamakan Harrison dan Crossfield, menjadikan taraf perusahaan menjadi
perusahaan yang besar dan multi internasional dengan nama baru Harrison Crossfield Ltd, yang berpusat di London, Inggris.
2.2 Areal Perkebunan
Sistem perkebunan pada dasarnya sudah lama dikenal di Indonesia yang didahului oleh perkebunan swasta. Pada tahun 1857, di Indonesia sendiri yang
masih berada di tangan pemeintah Belanda, perkebunan swasta di Indonesia sudah memiliki peraturan keagrariaan. Peraturan tersebut mengatur tentang
penggunaan lahan perkebunan dan tanaman produksi
13
. Indonesia adalah salah satu negara yang memberikan kesempatan besar
kepada pengusaha untuk membuka lahan perkebunan. Tahun 1938, dalam hal ini Indonesia belum merdeka, jumlah perusahaan perkebunan swasta sudah mencapai
jumlah 243 perkebunan besar, yang sebagian di antaranya terdapat di pulau Sumatera. Perusahaan tersebut pada dasarnya adalah milik pengusaha Inggris,
Belanda, Cina dan negara Eropa lainnya.
14
Dalam mendapatkan tanah, cara yang dilakukan oleh para pengusaha- pengusaha asing di Indonesia ada dua cara. Hal ini didasarkan pada kedudukan
negara-negara tersebut di Indonesia, misalnya pengusaha Belanda yang negaranya adalah sebagai penjajah proses perolehan tanah didapatkan dengan
12
Arship Lonsum yang berjudul Iktisar keuangan tahunan P.T PP. London Sumatra, Halaman 1.
13
Syamsul Bahri, Bercocok Tanaman Tanaman Perkebunan Tahunan, Malang: Gajah Mada University Press. 1996, Hlm.2
Universitas Sumatera Utara
melanggengkan kekuasaan, sedangkan pengusaha-pengusaha lainnya memperoleh tanah dengan melakukan perjanjian kontrak ataupun melalui kesepakatan kepada
pemilik tanah. Kesempatan berusaha yang didapatkan para pengusaha-pengusaha asing di
Indonesia pada dasarnya dilakukan kepada penguasa setempat Di Sumatera Timur, pengusaha asing melakukan pendekatan terhadap Sultan. Hal ini dilakukan
adalah sebagai bukti bahwa pengusaha adalah sekaligus pemilik tanah yang mempunyai hak khusus melakukan perjanjian dengan orang asing ataupun kepada
para pengusaha Asing di Sumatera Timur. Tanah yang sering dijadikan sebagai lahan kontrak oleh para penguasa
pada umumnya adalah tanah yang penduduknya sangat jarang ataupun wilayah yang ditempati oleh kelompok suku pendatang, yaitu masyarakat yang datang dari
Jawa dan masyarakat Asia lainnya. Tanah yang ditempati oleh masyarakat pendatang ataupun masyarakat Asia lainnya pada dasarnya terpisah dari status
tanah yang mereka tempati
15
. Sultan mempunyai hak penuh dalam mengelola tanah tersebut, sedangkan
masyarakat yang menempati tanah Sultan tunduk pada peraturan yang dikeluarkan oleh Sultan. Ketika perusahaan atau perkebunan dibuka di atas areal yang
ditempati masyarakat, maka masyakat yang sudah tinggal lama di wilayah tersebut pada umumnya akan menetap di areal itu dan bekerja sebagai buruh
dalam perkebunan ataupun perusahaan yang didirikan di sekitarnya.
14
Ibid., Hlm. 3
15
Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan: Mambi. 1991, Hlm. 39
Universitas Sumatera Utara
Proses kontrak tanah oleh Sultan kepada para pengusaha, dilakukan dengan dasar hukum yang jelas. Tujuan pembentukan peraturan agraria ini adalah
memperjelas status tanah yang dijadikan sebagai lahan perkebunan oleh para pengusaha.
Permasalahan pertanahan yang akan dikontrak dan dijadikan sebagai lahan perkebunan pada dasarnya diatur dalam peraturan-peraturan agraria yang sudah
dibentuk oleh sultan bersama dengan orang Eropa lainnya di Sumatera Timur
16
. Harrison dan Crossfield, mendapatkan lahan yang akan dijadikan sebagai
areal perkebunan juga diperoleh berdasarkan kesepakatan dengan sultan Zelfbestuur , dengan perjanjian para pengusaha akan memperoleh hak guna usaha
dalam jangka waktu yang disepakati dengan kata lain adalah kesepakatan Concessie
17
. Tanah yang disepakati sebagai wilayah perkebunan adalah wilayah yang
tergabung dengan wilayah Sumatera Timur. Harrison dan Crossfield, pertama kali mendapatkan lahan perkebunan di daerah Deli Serdang dengan lama kontrak
selama 60 tahun
18
. Lahan yang didapatkan oleh Harrison dan Crossfield adalah lahan yang masih baru, belum pernah dijadikan sebagai lahan perkebunan oleh
masyarakat ataupun kesultanan. Lahan yang diperoleh Harrison dan Crossfield segera ditanami dengan tanaman perkebunan, yakni kakao, teh, kopi, dan terutama
karet. Hal ini dilakukan sebagai penyamaan dengan perkebunan-perkebunan lainnya di Sumatera Timur, yang menjadikan karet sebagai tanaman utama
perkebunan.
16
Ibid. Hlm 40.
Universitas Sumatera Utara
Sesudah kemerdekaan, atau sebelum tahun 1964, lahan-lahan yang dimiliki oleh Harrison dan Crossfield beberapa kali mendapat ancaman penarikan
kembali dari pihak pemerintah Indonesia. Hal ini terjadi dikarenakan waktu perolehan tanah yang perkebunan masih didasarkan pada perjanjian kontrak
kepada para Sultan di Sumatera Timur, atau dalam hal ini bukan pemerintah Indonesia.
Salah satu babakan yang paling berat dihadapi oleh Harrison dan Crossfield, adalah masa nasionalisasi milik pengusaha Asing di Indonesia tahun
1960, yang difokuskan kepeda perusahaan-perusahaan milik pengusaha dan pemerintah Belanda. Proses pemilikan yang dinilai tidak sesuai dengan proses
yang sebenarnya terhadap aset-aset negara oleh Belanda diharuskan ditarik kembali dan dikelola oleh negara Republik Indonesia.
Proses hukum yang jelas terhadap tanah-tanah yang dikontrak oleh Harrison dan Crossfield melepaskan lahan–lahan yang mereka miliki dari
penarikan nasionalisasi. Di sisi lain ternyata perusahaan Harrison Crossfield LTD, memberikan keuntungan kepada pemerintah dan kehidupan sosial yang ada
di Sumatera Utara sesudah Merdeka. Perusahaan Harrison Crossfield LTD. yang berpusat di London tetap berjalan seperti biasanya. Lahan-lahan perkebunan
yang dimiliki oleh Harrison Crossfield LTD, tetap beroperasi meski hanya mengalami perubahan hukum kontrak.
Hukum kontrak yang baru terhadap lahan-lahan yang dimiliki oleh Harrison Crossfield LTD didasarkan pada hukum pemerintah Indonesia, bukan
17
Arsip P.T. PP London Sumatra yang berjudul, Sejarah PT London Sumatra, Hlm 1
Universitas Sumatera Utara
hukum kesultanan. Dasar kontrak terhadap lahan perkebunan Harrison Crossfield LTD adalah Undang-undang Pokok Agraria UU No. 5 Thun 1960
yang isinya adalah hak perusahaan dalam mengelola lahan-lahan yang sudah dikontrak sebelumnya, yakni sebelum Indonesia merdeka
19
. Lahan perkebunan milik Harrison dan Crossfield sampai akhir tahun 1960-
an terdapat pada kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara, seperti kabupaten Asahan, Deli Serdang dan Labuhan Batu, meliputi beberapa kompleks
perkebunan seperti, Dolok, Gunung Melayu, Begerpang dan perkebunan lainnya. Luas perkebunan sebelum tahun 1960-an telah mencapai ±14.000 hektar.
20
2.3 Tanaman Produksi