a Kelas 1 : Pekerjaan yang membutuhkan pendidikan tingkat tinggi seperti dokter,
jaksa, hakim, direktur bank, arsitektur, pengacara, direktur perusahaan, akuntan, notaris, manager perusahaan dan pekerjaan yang setaranya.
b Kelas 2 : Pekerjaan keahlian yang membutuhkan pendidikan menengah seperti guru,
perawat, bidan, apoteker, pemilik toko, pemilik salon, PNS, Pegawai swasta, teknisi,polisi, tentara, pramugari dan pekerjaan yang setaranya.
c Kelas 3 : Pekerjaan yang mempunyai pendidikan dasar seperti supir, tukang jahit,
pengrajin, montir, pelukis, penulis, pelayan toko, pelayan restoran, pelayan hotel, penjaga kasir, penjual sayur, satpam, tukang parkir dan pekerjaan setaranya.
d Kelas 4 : Pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan dasar seperti buruh,
pembersih jalan, pembantu rumah tangga, tukang cuci, pesuruh, buruh tani dan pekerjaan yang setaranya.
e Kelas 5 : Tidak bekerja.
2.6. Konsep Sehat
Sehat pada umumnya dinyatakan menurut model medis atau model patologis, yaitu tidak adanya penyakit. Menurut Undang–Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992
memberikan batasan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Hal ini
berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental dan sosial saja, tapi juga dapat diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau
menghasilkan secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia bekerja seperti anak– anak, remaja dan usila, berlaku produktif secara sosial diartikan mempunyai kegiatan,
misalnya sekolah atau kuliah dan kegiatan pelayanan sosial bagi usila.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
WHO menyarankan agar status kesehatan penduduk diukur dalam 3 hal yaitu 1 melihat ada tidaknya kelainan patofisiologis, 2 mengukur fungsi dan 3 penilaian
individu atas kesehatannya. Dengan demikian untuk menggambarkan status kesehatan gigi dan mulut harus mencakup ada tidaknya penyakit, bagaimana status fungsi fisik
pengunyahan, fungsi psikis rasa malu, fungsi sosial peranan sosial sehari–hari dan kepuasan terhadap kesehatannya. Dapat disimpulkan bahwa kesehatan ini perlu dicapai
untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang.
2.7. Konsep Kualitas Hidup
Pada umumnya kualitas dapat didefenisikan sebagai tingkatan dari kesenangan. Kualitas hidup merupakan konsep yang lebih luas dari status kesehatan seseorang dan
kesehatan sosial. Tidak ada konsensus yang pasti untuk defenisi kualitas hidup ini. Literatur menyatakan ada beberapa komponen yang terdapat dalam kualitas hidup yaitu
kemampuan fungsional meliputi kehidupan sehari-hari, kemampuan untuk bekerja, tingkat kualitas sosial dan interaksi dalam masyarakat, kesehatan psikologi, kesehatan
fisik dan kepuasan hidup Bowling, 2001. Mendola dan Peligrini 2002 menyatakan bahwa kualitas hidup adalah prestasi
individu dalam suatu situasi kesejahteraan sosial yang terbatas dalam kapasitas fisik. Shin dan Johnson menyatakan bahwa kualitas hidup terdiri dari kepentingan seseorang untuk
memiliki kebahagiaan individu, kebutuhan, keinginan dan impian, keikutsertaan dalam berbagai aktivitas dan kepuasan terhadap diri sendiri dan orang lain Bowling, 2001.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam paradigma kesehatan masa kini, aspek kualitas hidup sebagai outcome dari intervensi suatu program perlu diperhatikan. Campbell 1990 menyatakan bahwa aspek
kesehatan hanya merupakan salah satu domain dari 12 domains of life yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas hidup manusia seperti domain komunitas,
pendidikan, kehidupan keluarga, persahabatan, perumahan, pernikahan, kebangsaan, rukun tetangga, diri sendiri, tingkat kehidupan dan pekerjaan Rivani, 2004.
Pengukuran kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan ternyata telah dimulai dari tahun 1963 sampai sekarang ini, antara lain Health Utilities Index Mark 3 HUI-3
dengan atribut : 1 vision, 2 hearing, 3 speech, 4 ambulation, 5 dexterity, 6 emotion, 7 cognition 8 pain dari Torrance 1972. Ada juga menurut Rosser Index
1982 yang disempurnakan oleh Centre for Health Economics, York University–York, Inggris 1994 dengan EuroQol–5D yang mengarah pada pengukuran 5 status kesehatan
manusia yaitu 1 mobility, 2 self-care, 3 usual activities, 4 pain discomfort 5 anxiety depression Rivani, 2004.
Di Indonesia juga dikembangkan model pengukuran kualitas hidup manusia Indonesia yang terkait dengan kesehatan yaitu Indonesia Health Related Quality of Live
INA-HRQol, yang menghasilkan 12 atribut status kesehatan yang terdiri dari dua bagian besar yang disebut atribut fisik 1 Mobilitas, 2 Aktifitaskegiatan pribadi, 3
Aktifitaskegiatan umumsosial, 4 Pandanganpenglihatan, 5 Pendengaran, 6 Penciuman, 7 Rasa makanan, 8 Berbicarakomunikasi, 9 Pergerakan tangan, jari dan
kaki, 10 Rasa sakit ditambah dengan atribut non fisik yaitu : 1 Emosi dan 2 Ingatan Rivani 2004.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Konsep kualitas hidup yang dimaksud dalam penulisan ini dikembangkan dari konsep sehat WHO, yaitu respon individu dalam kehidupan sehari–hari terhadap fungsi
fisik, psikis, dan sosial akibat maloklusi yang dialami individu. Konsep ini menekankan pentingnya pengukuran fungsi bukan hanya tidak adanya penyakit. Kualitas hidup diukur
dengan menggunakan skala indeks Oral Health Impact Profile OHIP-49 dari Slade. Indeks ini adalah salah satu instrumen yang mengukur persepsi masyarakat mengenai
dampak sosial dari kelainan rongga mulut. Pertanyaan yang terdapat dalam OHIP sebanyak 49 pertanyaan yang dikelompokan dalam teori Locker. Dalam teori ini terdapat
7 dimensi yang merupakan dampak–dampak akibat kelainan gigi dan mulut yang mempengaruhi kualitas hidup, yaitu: keterbatasan fungsi, rasa sakit fisik,
ketidaknyamanan psikologis, ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikologis, ketidakmampuan sosial dan hambatan handicap Slade, 1993. Alat ukur OHIP dapat
dilihat pada tabel 2.1. tanda tidak ditanyakan karena tidak berhubungan dengan maloklusi dan usia remaja
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 2.1. Oral Health Index Profile-49 Slade, 1993
No Dimensi Kualitas Hidup Butir
Pertanyaan
1 Keterbatasan fungsi
Sulit mengunyah
Sulit mengucapkan kata Menyadari ada yang salah pada gigi dan mulut
Merasa wajah kurang menarik Nafas bau
Makanan sangkut Tidak dapat mengecap dengan baik
Pencernaan terganggu Gigi palsu tidak pas
2 Rasa sakit
Sakit yang sangat dimulut Sakit dirahang
Sakit kepala Gigi ngilu
Gigi sakit Gusi sakit
Tidak nyaman mengunyah Gigi palsu tidak nyaman
3 Ketidaknyamanan psikis Khawatir
Merasa rendah diri Tegang
Merasa sangat menderita Menyadari ada yang salah pada gigi dan mulut
4 Ketidakmampuan fisik
Bicara tidak jelas Kata–kata salah dimengerti
Tidak dapat merasakan enaknya makanan Tidak bisa menyikat gigi dengan baik
Menghindari makanan tertentu Diet kurang memuaskan
Menghindari tersenyum Terhenti makan karena sakit gigi
5 Ketidakmampuan psikis
Tidur terganggu Merasa kesal
Sulit merasa rileks Depresi hidup tidak bergairah
Sulit berkonsentrasi Merasa malu
6 Ketidakmampuan sosial
Menghindari keluar rumah Cepat marah
Sulit bersama orang lain Mudah tersinggung
Sulit mengerjakan pekerjaan sehari hari
7 Hambatan Kesehatan
memburuk Keuangan memburuk
Tidak mampu beramah tamah Hidup terasa kurang memuaskan
Sama sekali tidak dapat berfungsi Tidak dapat bekerja belajar dengan baik
2.3. Landasan Teori