Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007

(1)

ANALISIS HUBUNGAN MALOKLUSI DENGAN

KUALITAS HIDUP PADA REMAJA SMU

KOTA MEDAN TAHUN 2007

T E S I S

Oleh:

OKTAVIA DEWI

047023017/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 8


(2)

ANALISIS HUBUNGAN MALOKLUSI DENGAN KUALITAS HIDUP

PADA REMAJA SMU

KOTA MEDAN TAHUN 2007

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

OKTAVIA DEWI

047023017/AKK

.

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 8


(3)

Prevalensi maloklusi pada remaja di Indonesia masih tinggi, mulai dari tahun 1983 adalah 90% sampai tahun 2006 adalah 89%, sementara perilaku kesehatan gigi pada remaja khususnya tentang maloklusi masih belum cukup baik dan pelayanan kesehatan gigi belum optimal. Akibat yang ditimbulkan maloklusi bukan hanya mengganggu rasa sakit fisik saja bahkan perkembangan psikologis dan sosial yang secara keseluruhannya menganggu terhadap kualitas hidup remaja.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dan sampai seberapa besar maloklusi dapat mengganggu kualitas hidup pada remaja SMU di Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan disain cross sectional. Populasi adalah remaja yang berstatus sebagai pelajar SMU di Kota Medan, dengan jumlah sample sebanyak 413 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan status maloklusi berdasarkan Handicapping Malocclusion Assesment Index ( HMA Index). Analisis statistik dilakukan dengan uji statistik chi square dan regresi logistik ganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi maloklusi pada remaja SMU di kota Medan masih tergolong tinggi yaitu 60,5% dengan kebutuhan perawatan ortodonti yaitu 23%. Ada hubungan yang signifikan antara maloklusi dengan dimensi keterbatasan fungsi, rasa sakit fisik, ketidaknyamanan psikis,ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikis, ketidakmampuan sosial dan hambatan.

Sebagai kesimpulan ada hubungan yang signifikan antara maloklusi dengan kualitas hidup pada remaja SMU Kota Medan (p=0,003, PR = 3,227 dan CI 95%=3,061-20,425). Disarankan agar masalah maloklusi ditetapkan sebagai salah satu prioritas program kesehatan gigi dan mulut yang mengarahkan kegiatan kepada pelayanan promotif dan preventif.


(4)

ABSTRACT

Malocclusion prevalence in adolescences in Indonesia is still high, from 1983 is 90% to 2006 is 89%, meanwhile the habit of dental health in adolescences especially malocclusion is not adequate and dental health service is not optimal. Whereas the causes with are present malocclusion not only to disturb physical pain even the development of psychologic of live in adolescences.

The aim of the study was to know the relation of malocclusion of quality of live in senior high school adolescences in Medan city. This is analytic study with cross sectional design. The population were adolescences of senior high school student in Medan city with the total samples were 413 people. Data collection was performed with interview and examination of malocclusion status based on Handicapping Malocclusion Accesment Index (HMA Index). Statistical analysis was performed with statistical chi square test and double logistic regression.

The result of this study showed that malocclusion prevalence in senior High School adolescences in Medan city is relatively high that is 60.5% with the need of orthodontic treatment that is 23%. There were relations among malocclusion with functional limitation, physical pain, psychological discomfort, physical disability, psychological disability, social disability and handicap. The conclusion there was relation between malocclusion with quality of live in Senior High School adolescences in Medan city (p=0.003, PR = 3.227 and CI 95%=3.061-20.425). It was suggested that malocclusion problem was estabilished as one of the priority programs of oral and dental health with directed the activity to preventive and promotive services.

Key words : malocclusion, quality of live


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah atas rahmat dan ridho yang telah diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan Tesis dengan judul ”Analisis Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup pada Remaja SMU Kota Medan tahun 2007”

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian Tesis ini selain upaya penulis juga tak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Ibu Prof.Dr.Ir.Chairun Nisa,B.,Msc.,Direktur Sekolah Pascasarjana USU. 2. Bapak Dr.Drs.Surya Utama,MS., Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pasca sarjana USU.

3. Ibu Prof.Dr.drg.Nurmala Situmorang,Mkes., Ketua Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

4. Ibu Dra.Syarifah,MS., Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

5. Ibu dr Arlinda Sari Wahyuni,Mkes., Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.


(6)

6. Ibu Dr.Dra.Ida Yustina,Msi., dan Bapak Dr.Drs.Kintoko Rochadi,Mkes., selaku pembanding dan penguji yang juga telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk penyempurnaan tesis ini.

8. Seluruh Dosen dan Pegawai Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan. 9. Kepala Sekolah dan para guru SMUN 3, SMUN 4, SMU Harapan dan SMU Panca

Budi yang telah memberikan izin dan membantu penulis melaksanakan penelitian di sekolah.

10. Dekan FKG USU yang telah memberikan izin penulis untuk mengikuti program Magister.

11. Ketua Departemen dan seluruh staf IKGP/KGM yang telah banyak memberikan dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

12. Seluruh teman-teman mahasiswa Pascasarjana USU, yang telah memberikan sumbang saran, dorongan serta kerjasam yang baik selama mengikuti pendidikan. 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan sati persatu dalam pengantar ini.

Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada 1. Ayahanda Drs.Nurhadi dan Ibunda (Alm) Rosmalini yang telah berperan sangat besar

dalam mendidik dan membesarkan penulis.

2. Suami dr.Dasril Efendi,SpPD dan anak-anak tercinta Reyhan,Fadel dan Cica yang selalu memberikan dorongan dan kesabaran serta kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik.

Akhir kata izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekhilafan selama mengikuti pendidikan Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesehatan


(7)

Masyarakat USU ini dan semoga amalan-amalan yang telah diberikan kepada penulis dapat diberikan balasan yang berlipat ganda oleh Allah SWT, Amin ya Robbal Alamin.

Medan, 28 November 2007 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP A. IDENTITAS

Nama : Oktavia Dewi

Tempat/Tanggal Lahir: Padang, 15 Oktober 1970

Alamat : Komp. Puri Tanjung Sari no 12 Pasar I Tanjung Sari

Medan

Agama : Islam

Suami : dr.Dasril Efendi, SpPD

Anak : 1. Muhammad Reyhan

2. Fadel Muhammad 3. Raisha Daseviana

B. RIWAYAT PENDIDIKAN :

1. SD PPSP IKIP Padang, 1977-1982 2. SMPN 7 Padang, 1982-1985 3. SMAN 2 Padang, 1985-1988 4. FKG USU Medan, 1988-1993

C. RIWAYAT PEKERJAAN :

1. Staf pengajar FKG Baiturahmah, tahun 1994-1995 2. PTT puskesmas, 1995-1998


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRAC ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Permasalahan ... 7

Tujuan Penelitian ... 7

Hipotesis ... 8

Manfaat Penelitian ... 9

TINJAUAN PUSTAKA ... 10

Pengertian Maloklusi ... Penyebab Maloklusi ... 11

Akibat Maloklusi ... 13

Diagnosis Maloklusi ... 13

Hubungan Maloklusi dengan Kesehatan Mulut ... 14

Indeks Maloklusi ... 15

Pengertian Remaja ... 19

Pembagian dan Batasan Usia Remaja ... . 20

Perkembangan Masa Remaja ... 22

Perilaku Kesehatan ... . 26

Kebutuhan ... 27

Perilaku pencarian Pengobatan ... 27

Pendidikan Orang Tua ... 30

Konsep Sehat ... 32

Konsep Kualitas hidup ... 32

Landasan Teori ... 37

Kerangka Konsep ... 40

METODE PENELITIAN ... 42

Jenis Penelitian ... 42

Lokasi Penelitian ... 42

Waktu Penelitian ... 42


(10)

Variabel dan Definisi operasional ... 46

Metode Pengukuran ... 48

Analisis data ... 54

HASIL PENELITIAN ... 57

Deskripsi Lokasi Penelitian ... 57

Karakteristik Responden ... 58

Gambaran Pertilaku Kesehatan Responden ... 59

Gambaran Maloklusi... 62

Gambaran Kualitas Hidup ... 65

Hubungan Jenis Kelamin dengan Maloklusi ... 67

Hubungan Sosiodemografi, Perilaku Kesehatan dan Maloklusi dengan Dimensi Kualitas Hidup ... 67

Uji Dimensi Kualitas Hidup ... 74

Uji Dimensi Keterbatasan Fungsi... 76

Uji Dimensi Rasa sakit Fisik ... 77

Uji Dimensi Ketidaknyamanan Psikis... 79

Uji Dimensi Ketidakmampuan Fisik... 80

Uji Dimensi Ketidakmampuan Psikis ... 81

Uji Dimensi Ketidakmampuan Sosial ... 83

Uji Dimensi Hambatan ... 84

Uji Kualitas Hidup ... 86

PEMBAHASAN ... 89

Gambaran Sosiodemografi ... 89

Gambaran Maloklusi ... 89

Gambaran Perilaku Kesehatan ... 92

Gambaran Kualitas Hidup ... 93

Hubungan Sosiodemografi dengan Dimensi Kualitas Hidup ... 94

Hubungan Perilaku Kesehatan dengan Dimensi Kualitas Hidup... 96

Hubungan Maloklusi dengan Dimensi Kualitas Hidup ... 97

Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup ... 99

Keterbatasan Penelitian ... 100

KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

Kesimpulan ... 102

Saran ... . 104


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Oral Health Index Profile-49 ... 35

2. Karakteristik responden ... 56

3. Persentase remaja SMU menurut pengetahuan kesehatan gigi 58 4. Persentase remaja SMU berdasarkan tingkat pengetahuan tentang maloklusi... 58

5. Persentase distribusi sikap remaja SMU terhadap susunan gigi-geliginya... 59

6. Persentase remaja SMU berdasarkan sikap terhadap maloklusi 59 7. Persentase remaja SMU yang menerima pelayanan kesehatan gigi... 60

8. Distribusi maloklusi pada remajaSMU... 60

9. Persentase ciri-ciri maloklusi... 61

10. Persentasi kualitas hidup pada remaja SMU ... 63

11. Hubungan jenis kelamin dengan status maloklusi ... 64

12. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi keterbatasan fungsi ... 65

13. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi rasa sakit fisik ... 66

14. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidaknyamanan psikis ... 67

15. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan fisik ... 68

16. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan psikis ... 69


(12)

17. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi

dengan dimensi ketidakmampuan sosial ... 70 18. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi

dengan dimensi hambatan ... 71 19. Nilai p dan rasio prevalens variabel maloklusi, sosiodemografi dan

perilaku kesehatan gigi terhadap dimensi kualitas hidup ... 72 20. Persamaan regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku,

maloklusi terhadap dimensi keterbatasan fungsi ... 73 21. Uji interaksi maloklusi terhadap dimensi keterbatasan fungsi ... 73 22. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap dimensi

keterbatasan fungsi ... 74 23. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivaria regresi logistik ganda

variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap rasa sakit

fisik ... 74 24. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi

dan perilaku terhadap dimensi rasa sakit fisik... 75 24. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda

variabel sosiodemografi, perilaku dam maloklusi terhadap ketidak-

nyamanan psikis... 76 25. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadapdimensi

ketidanyamanan psikis ... 77 26. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda

variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketidak-

mampuan fisik... 77 27. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan

perilaku terhadap dimensi ketidakmampuan fisik ... 77 28. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda

variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketidak-

mampuan psikis ... 78 29. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan

Perilaku terhadap dimensi ketidakmampuan psikis ... 79 30. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap dimensi


(13)

ketidakmampuan psikis ... 79 31. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda

variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketidak-

mampuan sosial ... 80 32. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan

perilaku terhadap dimensi ketidakmampuan sosial... 80 33. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda

variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap hambatan.. 81 34. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan

Perilaku terhadap dimensi hambatan ... 82 35. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap dimensi

Hambatan... 82 36. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda

variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketujuh

dimensi kualitas hidup ... 83 37. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel model terhadap

kualitas hidup... 83 38. Pemeriksaan variabel konfonder hubungan maloklusi dengan kualitas

hidup ... ... 84 39. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap kualitas

hidup... 84 40. Hasil penelitian prevalensi maloklusi... 86


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan RI menunjukkan secara umum bahwa diantara penyakit yang dikeluhkan dan yang tidak dikeluhkan, prevalensi penyakit gigi dan mulut adalah yang tertinggi meliputi 60% penduduk. Gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan se-panjang hidup, peranannya cukup besar dalam mempersiapkan zat makanan sebelum absorbsi nutrisi pada saluran pencernaan, di samping fungsi estetis dan bicara. Berbagai penyakit maupun kelainan gigi dan mulut dapat mempengaruhi berbagai fungsi rongga mulut, salah satunya adalah kelainan susunan gigi atau yang disebut dengan maloklusi. Maloklusi merupakan kelainan gigi yang menduduki urutan kedua setelah penyakit karies gigi. Maloklusi adalah salah satu kelainan dentofasial yang kebanyakan bersifat morfogenik dan merupakan masalah di bidang kesehatan gigi dan akan terus menerus meningkat sehingga penelitian–penelitian dibidang ilmu kedokteran gigi masih tetap diperlukan (Dewanto, 1993).

Maloklusi adalah bentuk oklusi gigi yang menyimpang dari normal. Oklusi adalah hubungan kontak antara gigi geligi bawah dengan gigi atas waktu mulut ditutup. Oklusi dikatakan normal, jika susunan gigi dalam lengkung geligi teratur baik serta terdapat hubungan yang harmonis antara gigi atas dengan gigi bawah, hubungan seimbang antara gigi, tulang rahang terhadap tulang tengkorak dan otot sekitarnya yang dapat memberikan keseimbangan fungsional sehingga memberikan estetika yang baik. Penyimpangan tersebut berupa ciri–ciri maloklusi yang jumlah dan macamnya sangat bervariasi baik


(15)

pada tiap–tiap individu maupun sekelompok populasi. Ciri–ciri maloklusi di antaranya adalah: gigi berjejal (crowdeed), gingsul (caninus ektopik), gigi tonggos (disto oklusi), gigi cakil (mesio oklusi), gigitan menyilang (crossbite), gigi jarang (diastema).

Menurut penelitian Hong (2001) yang melakukan evaluasi terhadap perubahan maloklusi selama 25 tahun dengan menggunakan indeks skor Harry L Draker California Modification (HDL Cal Mod index) didapat bahwa terjadi penambahan yang signifikan pada kasus–kasus crowdeed pada gigi anterior dalam hubungan labio-lingual .

Akhir–akhir ini perhatian pada penelitian kuantitatif tentang akibat-akibat penyakit yang mempengaruhi fungsi, kenyamanan dan kemampuan untuk melakukan tugas sehari-hari sedang ditingkatkan. Tindakan ini merupakan bagian dari promosi kesehatan terutama dalam hubungan dengan ” hidup sehat sepanjang umur ” (healthy years of live). Organisasi kesehatan sedunia (WHO) merumuskan konsep sehat bukan hanya dengan tidak adanya penyakit dan kecacatan, melainkan juga mencakup keadaan sehat baik fisik, mental maupun sosial. Hal ini menunjukkan adanya suatu status yang harus ditingkatkan. Penelitian yang dilakukan hingga saat ini kebanyakan diarahkan pada akibat fisik yang ditinggalkan oleh penyakit, seperti penelitian morbiditas sehingga konsep sehat WHO tidak terukur. Penilaian menyeluruh terhadap hasil–hasil pelayanan kesehatan menjadi tidak tergambar, karena hanya mengukur prevalensi dan keparahan penyakit sedangkan gambaran fungsi, ketidaknyamanan secara psikis serta disabilitas tidak diperoleh. Telaah mengenai pengaruh kesehatan gigi dan mulut terhadap kualitas hidup masih sedikit dilakukan, sedangkan data prevalensi dan keparahan maloklusi yang bersifat klinis sudah banyak tersedia namun belum dapat menggambarkan korelasi yang jelas antara maloklusi dengan kualitas hidup (Situmorang, 2004).


(16)

Konsep kualitas hidup yang dimaksud dalam uraian ini dikembangkan dari konsep sehat WHO, yaitu respons individu dalam kehidupan sehari–hari terhadap fungsi fisik, psikis dan sosial akibat adanya maloklusi pada remaja. Konsep ini tidak hanya menekankan pada ada atau tidaknya penyakit tetapi juga menekankan pengukuran fungsi fisik yang berhubungan dengan pengunyahan, tidak adanya rasa sakit dan ketidaknyamanan , fungsi psikis seperti senyum dan daya tarik diri, fungsi sosial seperti kepercayaan pada diri sendiri sehingga mampu mengerjakan pekerjaan normal sehari– hari serta kepuasan terhadap kesehatan rongga mulut (Slade, 1994).

Menurut beberapa studi epidemiologi yang dilakukan pada remaja Amerika Serikat dilaporkan 11% remaja umur 12–17 tahun mempunyai oklusi normal, 34,8% mempunyai maloklusi ringan dan 25,2% mempunyai maloklusi yang berat sehingga beberapa kasus memerlukan perawatan (Dewanto, 1993). Penelitian Gan-Gan (1997) tentang maloklusi pada murid–murid SMP di wilayah Kotamadya Bandung me-nunjukkan prevalensi maloklusi telah mencapai 90,79%. Keadaan ini mencakup maloklusi berat 26,32%, maloklusi sedang 11,84% dan maloklusi ringan 11,84%. Hasil penelitian ini juga menunjukkan lebih dari separuh (54,4%) yang mengalami maloklusi mempunyai pengetahuan yang kurang tentang akibat maloklusi dan perawatannya.

Hasil penelitian Agusni (1998) pada anak Sekolah Dasar di Surabaya menunjukan 31% anak tidak memerlukan perawatan terhadap maloklusi, 45% memerlukan perawatan ringan dan 24% sangat memerlukan perawatan karena keadaan maloklusinya tergolong parah sehingga mengganggu kesehatan fisik dan kehidupan sosialnya. Di Kota Medan, prevalensi maloklusi pada 4 Sekolah Menengah Umum bahkan telah mencapai 83% (Marpaung, 2006).


(17)

Maloklusi dapat mengakibatkan beberapa gangguan atau hambatan dalam diri penderitanya . Dilihat dari segi fungsi, gigi crowdeed amat sulit dibersihkan dengan menyikat gigi, kondisi ini dapat menyebabkan gigi berlubang (caries) dan penyakit gusi (gingivitis) bahkan kerusakan jaringan pendukung gigi (periodontitis) sehingga gigi menjadi goyang dan terpaksa harus dicabut. Dari segi rasa sakit fisik, maloklusi yang berlebihan pada tulang penunjang dan jaringan gusi, kesulitan dalam menggerakkanrahang (gangguan otot dan nyeri), gangguan sendi temporomandibular, yang dapat menimbulkan sakit kepala kronis atau sakit pada wajah dan leher (Dewanto, 1993).

Dari segi hambatan sosial, maloklusi dapat mempengaruhi kejelasan bicara seseorang. Apabila ciri maloklusinya berupa disto oklusi akan terjadi hambatan pengucapan huruf p, b, dan m. Apabila ciri maloklusinya berupa mesio oklusi akan terjadi hambatan mengucapkan huruf s, z, t dan n. Dari segi psikis, maloklusi dapat mempengaruhi estetis dan penampilan seseorang. Penampilan wajah yang tidak menarik mempunyai dampak yang tidak menguntungkan pada perkembangan psikologis seseorang, apalagi pada saat usia masa remaja (Kustiawan,2003).

Masa remaja merupakan tahap penting dalam kurun kehidupan manusia karena merupakan masa peralihan dari masa kanak–kanak ke masa dewasa, terjadi perubahan fisik, mental dan psikososial yang cepat yang berdampak pada berbagai aspek kehidupannya. Pada masa ini remaja lebih mementingkan daya tarik fisik dalam proses sosialisasi (Sarwono, 2005). Beberapa penelitian yang melibatkan penampilan daya tarik penampilan wajah menyatakan bahwa ” Anatomi adalah takdir dan kecantikan adalah indah”. Kecantikan atau kesempurnaan fisik sangat didambakan oleh setiap remaja.


(18)

Remaja dapat merasa tidak puas terhadap penampilan wajahnya yang tidak hanya menyebabkan mereka merasa tertekan tapi juga akan menurunkan fungsinya dalam kehidupan sosial, keluarga, pekerjaan dan bahkan bisa menurunkan aktivitas belajar karena sering tidak masuk sekolah akibat malu untuk bertemu orang lain atau merasa dicemoohkan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya krisis ketidakpercayaan terhadap diri sendiri sehingga untuk masa depan dalam hal mencari pekerjaan, remaja ini akan mengalami hambatan, karena pada saat sekarang ini kebanyakan beberapa pekerjaan membutuhkan penampilan fisik dan wajah yang menarik (Dewanto,1993). Bahkan untuk kasus lebih jauh bisa terjadinya rasa putus asa yang parah sehingga remaja dapat mengakhiri hidupnya. Menurut Dibiase (2001), remaja yang menderita maloklusi merupakan korban penindasan (bullying) yang berupa ejekan dari teman sekolahnya sehingga mereka akan terganggu psi-kososialnya.

Pada umumnya masyarakat lebih mengagumi atau menyanjung seseorang yang mempunyai penampilan wajah yang menarik dan daya tarik itu dipandang sebagai sesuatu yang berhubungan dengan status sosial, harga diri dan kedudukan sosial yang sukses. Dalam hal ini penampilan yang kurang menarik dipandang sebagai sesuatu masalah kesehatan yang berarti dan kelainan susunan geligi dapat mempengaruhi daya tarik wajah yang berhubungan dengan kesehatan sosial (Dewanto, 1993).

Di Indonesia penelitian tentang kesehatan gigi dan mulut kebanyakan me-rupakan penelitian tentang prevalensi dan keparahan karies, penyakit periodontal dan maloklusi saja. Belum ada studi yang menggambarkan pengaruh maloklusi terhadap kualitas hidup, sementara untuk karies dan penyakit periodontal telah dilakukan penelitian sebelumnya di Kota Medan (Situmorang, 2004). Mengingat banyaknya masalah yang dapat


(19)

ditimbulkan akibat maloklusi pada remaja SMU, yang mementingkan penampilan estetis dan perkembangan untuk kehidupan sosial dengan teman sebayanya dalam rangka mencari identitas diri, maka diperlukan suatu penelitian analitik untuk mengetahui beban dan akibat maloklusi yang bukan saja berupa informasi tentang prevalensi, keparahan dan pengetahuan serta perilaku pencarian pengobatannya, melainkan untuk dapat mengetahui pengaruhnya dalam kehidupan sehari–hari. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Alasan-alasan pentingnya dilakukan penelitian pengaruh maloklusi terhadap kualitas hidup adalah : a. Tingginya prevalensi dan keparahan maloklusi dan akibat yang dapat dialami oleh

penderitanya terutama remaja SMU. Remaja yang menderita maloklusi akan mengalami hambatan dalam perkembangan psikologis dan kehidupan sosial dengan teman sebayanya.

b. Aspek kualitas hidup penting dalam menilai program kesehatan gigi dan mulut apalagi pencegahan maloklusi belum termasuk salah satu program peningkatan kesehatan gigi dan mulut dari Departemen Kesehatan RI, sementara pertemuan para pakar kedokteran gigi di North Carolina, USA (1996) menekankan pentingnya memasukkan aspek kualitas hidup dalam penilaian hasil program pelayanan kesehatan gigi dan mulut.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut ; ” Apakah maloklusi mempunyai hubungan dengan kualitas hidup remaja SMU dan seberapa besar hubungan tersebut ?


(20)

Tujuan Penelitian.

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui gambaran status sosiodemografi (jenis kelamin, pendidikan ibu, pekerjaan orang tua) pada remaja SMU Kota Medan.

b. Mengetahui gambaran karakteristik perilaku kesehatan (pengetahuan, sikap dan perilaku pencarian pengobatan/perawatan) tentang maloklusi pada remaja SMU Kota Medan.

c. Mengetahui prevalensi maloklusi pada remaja SMU Kota Medan.

d. Mengetahui prevalensi maloklusi menurut kebutuhan perawatannya pada remaja SMU Kota Medan.

e. Mengetahui tingkat keparahan maloklusi pada remaja SMU Kota Medan.

g. Menganalisis hubungan karakteristik sosiodemografi dengan dimensi kualitas hidup h. Menganalisis hubungan perilaku kesehatan dengan dimensi kualitas hidup.

i. Menganalisis keluhan keterbatasan fungsi akibat maloklusi . j. Menganalisis keluhan rasa sakit fisik akibat maloklusi.

k. Menganalisis keluhan ketidaknyamanan psikis akibat maloklusi.

l. Menganalisis keluhan disabilitas/ketidakmampuan fisik akibat maloklusi. m. Menganalisis keluhan disabilitas / ketidakmampuan psikis akibat maloklusi. n. Menganalisis keluhan disabilitas / ketidakmampuan sosial akibat maloklusi. o. Menganalisis keluhan hambatan/handikap akibat maloklusi.

p. Menganalisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup.


(21)

Berdasarkan tujuan penelitian, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : ”Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup remaja SMU Kota Medan”. Hipotesis diatas dijabarkan menjadi beberapa sub hipotesis yaitu:

a. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi keterbatasan fungsi. b. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi rasa sakit fisik.

c. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidaknyamanan psikis d. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidakmampuan fisik. e. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidakmampuan psikis. f. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidakmampuan sosial. g. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi hambatan.

1.5. Manfaat Penelitian.

Berdasarkan tujuan penelitian maka manfaat penelitian adalah :

a. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pembuat kebijakan di lingkungan Departemen Kesehatan khususnya bagian pelayanan kesehatan gigi di Puskesmas dan Upaya Kesehatan Gigi di Sekolah untuk mengoptimalkan pelayanan pencegahan maloklusi.

b. Sebagai pengembangan wawasan peneliti dalam bidang hubungan kesehatan gigi dengan kualitas hidup khususnya hubungan maloklusi pada remaja dengan kualitas hidup.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Maloklusi

2.1.1. Pengertian maloklusi

Pengertian oklusi menurut Dewanto (1993) adalah berkontaknya permukaan oklusal gigi geligi di rahang atas dengan permukaan oklusal gigi geligi di rahang bawah pada saat rahang atas dan rahang bawah menutup.

Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi geligi pada rahang atas (maksila) dan rahang bawah (mandibula) yang terjadi selama pergerakan mandibula dan berakhir dengan kontak penuh dari gigi geligi pada kedua rahang. Oklusi terjadi karena adanya interaksi antara dental system, skeletal system dan muscular system. Oklusi gigi bukan merupakan keadaan yang statis selama mandibula bergerak, sehingga ada bermacam macam bentuk oklusi misalnya : centrik, excentrix, habitual, supra-infra, mesial, distal, lingual (Daniel, 2000).

Dikenal ada 2 macam istilah oklusi yaitu (Dewanto, 1993):

a Oklusi ideal yaitu suatu konsep teoritis oklusi yang sukar atau bahkan yang tak mungkin terjadi pada manusia.

b. Oklusi normal yaitu suatu hubungan gigi geligi disatu rahang terhadap gigi geligi di rahang lain apabila kedua rahang tersebut dikatupkan dan condylus mandibularis berada pada fossa glenoidea.

Maloklusi adalah bentuk oklusi yang menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk normal. Maloklusi juga berarti kelainan ketika gigi-geligi atas dan bawah saling bertemu ketika menggigit atau mengunyah. Maloklusi dapat berupa


(23)

kondisi ”bad bite” atau sebagai kontak gigitan menyilang (crossbite), kontak gigitan yang dalam (overbite), gigi berjejal (crowdeed), gigitan menyilang (scisor bite) atau posisi gigi maju kedepan (protrusi). Hal ini dapat memberikan efek terhadap penampilan estetis, berbicara atau kenyamanan dalam mengunyah makanan (Daniel, 2000). Dalam penelitian ini maloklusi juga dapat diartikan dengan susunan gigi-geligi yang tidak teratur.

Dengan menggunakan skor Treatment Priority Index (TPI), Kelly & Harvey menginterpretasikan data United States Public Health Service (USPHS) untuk menunjukan bahwa 11% remaja umur 12–17 tahun mempunyai oklusi normal, 34,8% maloklusi ringan, 25,2% maloklusi nyata sehingga perlu dirawat. Dengan membandingkan prevalensi berbagai komponen morfologi maloklusi anak umur 6– 11 tahun dengan remaja umur 12–17 tahun maka dapat diketahui hubungan umur dengan perubahan maloklusi. Prevalensi tumpang gigit yang parah yang menyebabkan kerusakan jaringan mukosa mulut meningkat dari 4% pada anak umur 6–11 tahun menjadi 9 % pada remaja usia 12–17 tahun (Dewanto, 1993).

2.1.2. Penyebab maloklusi.

Maloklusi tidak disebabkan oleh satu faktor saja, ada beberapa faktor berbeda yang merupakan penyebabnya yaitu, genetik dan lingkungan. Menurut Proffit (1998) secara umum maloklusi disebabkan karena 2 faktor yaitu :


(24)

1. Herediter

2. Kelainan kongenital

3. Perkembangan dan pertumbuhan yang salah pada waktu prenatal dan postnatal 4. Penyakit–penyakit sistemik yang menyebabkan adanya kecenderungan kearah

maloklusi seperti: ketidakseimbangan kelenjar endokrin, gangguan metabolisme, penyakit-penyakit infeksi, malnutrisi.

5. Kebiasaan jelek, sikap tubuh yang salah dan trauma. b. Faktor–faktor pada gigi (intrinsik / lokal factor) :

1. Anomali jumlah gigi, terdiri dari adanya gigi berlebih (dens supernumerary teeth) dan tidak adanya gigi (anondontia).

2. Anomali ukuran gigi. 3. Anomali bentuk gigi.

4. Frenulum labii yang tidak normal. 5. Kehilangan dini gigi desidui. 6. Persistensi gigi desidui.

7. Terlambatnya erupsi gigi permanen. 8. Jalan erupsi yang abnormal.

9. Ankilosis. 10.Karies gigi.

11.Restorasi yang tidak baik.

2.1.3. Akibat maloklusi

Menurut Daniel (2000), maloklusi dapat menyebabkan beberapa gangguan pada penderitanya yaitu :


(25)

a. Masalah psikososial yang disebabkan karena gangguan estetis wajah.

b. Masalah dengan fungsi rongga mulut termasuk kesulitan dalam menggerakkan rahang (gangguan otot dan nyeri), gangguan sendi temporomandibular, gangguan pengunyahan, menelan dan berbicara.

c. Kemungkinan mendapatkan trauma yang lebih mudah, masalah penyakit periodontal atau kehilangan gigi.

Dibiase (2001) menyatakan beberapa kasus maloklusi pada anak remaja sangat berpengaruh terhadap psikolgis dan perkembangan sosial, yang disebabkan karena penindasan (bullying) yang berupa ejekan dan hinaan dari teman sekolahnya. Pengalaman psikis yang tidak menguntungkan dapat sangat menyakitkan hati sehingga remaja korban penindasan tersebut akan menjadi sangat depresi.

2.1.4. Diagnosis Maloklusi

Maloklusi sering ditemui selama pemeriksaan oleh dokter gigi, dapat terlihat ketika gigi berkontak pada saat menelan air ludah dan kepala ditengadahkan, dan jika ditemukan adanya maloklusi maka pemakaian rontgen photo dapat dilakukan untuk pemeriksaan lebih lanjut.

2.1.5. Hubungan maloklusi dengan kesehatan mulut

2.1.5.1. Hubungan maloklusi dengan gangguan fungsi mandibula. Mohlin menemukan gejala subjektif disfungsi mandibula dari 12% sampai 15% populasi yang diteliti, dengan prevalensi gejala klinis berkisar antara 18%–88% (Mc Lain & Proffit 1985). Dinyatakan juga bahwa maloklusi Angle klas II mempunyai hubungan dengan gejala klinis terhadap disfungsi mandibula. Ada juga beberapa bukti bahwa maloklusi merupakan predisposisi


(26)

terhadap kelainan fungsi gigi dan mulut pada orang dewasa. Helm dkk, melaporkan adanya korelasi yang bermakna antara jarak gigit yang besar (>9mm) dan gigitan terbuka anterior yang ditemukan pada remaja dengan ketidakpuasan kemampuan menggigit setelah dewasa. Gigitan silang berhubungan dengan kesukaran berbicara atau mengucapkan kata, hal ini disebabkan adanya gangguan dalam penutupan mandibula (Dewanto,1993). Berdasarkan penelitian oleh Sadowsky & BeGole (1994) menyatakan pada kelompok yang dirawat ortodonti mengalami masalah temporo mandibular joint yang lebih rendah dibandingkan kelompok orang yang tidak dirawat.

2.1.5.2. Hubungan maloklusi dengan penyakit periodontal. Untuk kasus penyakit periodontal yang ringan maloklusi bukan merupakan penyebab langsung yang utama, karena yang utama penyebab penyakit periodontal adalah plak. Tapi keadaan gigi yang berjejal dapat menyebabkan penumpukan plak akibat pembersihan gigi dan mulut yang tidak adekuat sehingga dapat menimbulkan penyakit periodontal (Bhalajh, 1998).

2.1.5.3. Hubungan maloklusi dengan karies gigi. Sama halnya dengan penyakit periodontal, maloklusi bukan merupakan penyebab utama dari karies gigi, karena yang penyebab utama karies gigi adalah plak. Keadaan gigi yang berjejal dapat menyebabkan penumpukan plak akibat pembersihan gigi dan mulut yang tidak adekuat sehingga dapat menimbulkan karies (Bhalajh, 1998).

2.1.6. Indeks Maloklusi

Istilah indeks menurut Toung dan Striffler ialah nilai numerik yang menjelaskan status relatif suatu populasi pada suatu skala bertingkat dengan batas atas dan batas bawah yang jelas. Hal ini dirancang agar mampu memberi kesempatan dan fasilitas untuk


(27)

dibandingkan dengan populasi lain yang telah dikelompokkan dengan kriteria dan metode yang sama (Agusni, 1998). Indeks maloklusi yang diperlukan ialah penilaian kuantitatif dan objektif yang dapat memberikan batasan adanya penyimpangan dari oklusi ideal yang masih dianggap normal, dan dapat memisahkan kasus–kasus abnormal menurut tingkat keparahan dan kebutuhan masyarakat.

Jamison H.D dan Mc Millan R.S (Agusni, 1998) menyatakan indeks ortodonti ideal yang dapat digunakan dalam studi epidemiologi memerlukan syarat–syarat tertentu, yaitu :

a. Indeks sebaiknya sederhana, akurat, dapat dipercaya dan dapat ditiru.

b. Indeks harus objektif dalam pengukuran dan menghasilkan data kuantitatif sehingga dapat dianalisis dengan metode statistik tertentu.

c. Indeks harus didesain untuk membedakan maloklusi yang merugikan dan tidak merugikan.

d. Pemeriksaan yang dibutuhkan dapat dilakukan dengan cepat oleh pemeriksa walaupun tanpa instruksi khusus dalam diagnosis ortodonti.

e. Indeks sebaiknya dapat dimodifikasi untuk sekelompok data epidemiologi tentang maloklusi dari segi prevalensi, insiden dan keparahan, contohnya frekuensi malposisi dari masing–masing gigi.

f. Indeks sebaiknya dapat digunakan pada pasien atau model studi. g. Indeks sebaiknya mengukur derajat keparahan maloklusi.

Beberapa indeks maloklusi secara kuantitatif dapat dikelompokan sebagai berikut: a. Master dan Frankel


(28)

Indeks ini digunakan untuk menghitung jumlah gigi yang berpindah atau berotasi secara kualitatif (ada atau tidak ada).

b. Malalignment Index (Mal)

Indeks ini digunakan untuk menilai keparahan gigi yang tidak teratur. Ciri oklusi yang dinilai ialah letak gigi yang berpindah atau berotasi secara kuantitatif. Gigi yang berpindah dinilai apakah lebih kecil atau lebih besar dari 1,5 mm dan gigi yang berotasi dinilai apakah berputar lebih kecil atau lebih besar dari 45o. Penilaian dilakukan dengan bantuan sebuah penggaris plastik kecil.

c. Handicapping Labio Lingual Deviation Index (HLD Index).

Indeks ini ditujukan kepada subjek yang dipilih dengan maloklusi yang parah atau berat dan adanya anomali wajah. Indeks ini dapat digunakan pada gigi permanen.

d. Occlusion Feature Index (OFI)

Ciri maloklusi yang dinilai adalah letak gigi berjejal, kelainan integritas tonjol gigi posterior, tumpang gigit, jarak gigit. Keuntungannya metode ini sederhana dan objektif serta tidak memerlukan perlatan diagnostik yang rumit, namun kurang praktis karena dalam menilai integritas tonjol hanya dengan memeriksa hubungan gigi posterior atas dan bawah sebelah kanan serta memerlukan latihan khusus dalam menentukan besarnya skor penilaian gigi berjejal anterior bawah.

e. Maloklusion Severity Estimate oleh Grainger.

Pengukuran dan pemberian skor dibuat untuk menilai jarak gigit, tumpang gigit, gigitan terbuka anterior, insisivus maksila yang tidak tumbuh, hubungan gigi molar satu permanen, gigitan silang posterior dan pergeseran letak gigi.


(29)

Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan normal oklusi. Penilaiannya adalah umur gigi, relasi gigi molar, tumpang gigit, jarak gigit, gigitan silang posterior, gigitan terbuka posterior, penyimpangan gigi, relasi gigi tengah dan adanya gigi insisivus atas. Indeks ini dapat digunakan pada masa gigi susu, gigi bercampur dan gigi permanen, namun bentuk penilaiannya rumit sehingga kurang praktis.

g. Treatment Priority Index (TPI)

Indeks ini merupakan modifikasi dari Malocclusion Severity Estimate untuk menentukan prioritas perawatan bagi sekelompok populasi dan digunakan untuk tujuan epidemiologi. Indeks dibuat untuk menilai jarak gigit, gigitan terbalik, tumpang gigit, gigitan terbuka anterior, gigi insisivus agenesis, disto oklusi, mesio oklusi, gigitan silang posterior dengan segmen gigi atas bukoversi, gigitan silang posterior dengan segmen gigi atas linguoversi, malpopsisi gigi individual dan celah langit-langit. Penggunaan indeks ini memerlukan bantuan sebuah penggaris pengukur.

h. Handicapping Malocclusion Assesment Index (HMA)

Salah satu indeks yang dianjurkan oleh para ahli yang telah mengevaluasi penggunaan indeks–indeks yang dianjurkan adalah indeks HMA oleh Salzman. Indeks HMA secara kuantitatif memberikan penilaian terhadap ciri–ciri oklusi dan cara menentukan prioritas perawatan ortodonti menurut keparahan maloklusi yang dapat dilihat pada besarnya skor yang tercatat pada lembar isian. Indeks ini digunakan untuk mengukur kelainan gigi pada satu rahang, dan mengukur ciri maloklusi yang merupakan kelainan dentofasial. Keuntungan penggunaan indeks ini adalah :

1). Mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi dan peka terhadap semua tingkatan maloklusi.


(30)

2). Penilaian renggang dan absen gigi posterior dicatat.

3). Jika metode dipelajari dengan baik, tidak diperlukan catatan lain dan skor keparahan maloklusi dapat dikalkulasi dengan cepat.

Selain keuntungan diatas, indeks ini juga dapat memenuhi persyaratan indeks yang dituliskan sebelumnya, diantaranya sederhana, objektif dalam pengukuran, dapat mengukur tingkat keparahan maloklusi, dapat diperiksa langsung pada pasien dan tidak menggunakan alat yang rumit. Kekurangan metode ini memerlukan latihan cara pemeriksaan untuk menyamakan persepsi pada pemeriksa.

2.2. Remaja

2.2.1. Pengertian Remaja

Perkataan remaja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu adolescence dan berasal dari kata Latin, adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau perkembangan menuju kematangan. Dalam arti yang lebih luas lagi, dikatakan bahwa pengertian remaja mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Sarwono, 2005).

Rice (1996) cit Rochadi mendefinisikan remaja sebagai suatu periode antara masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Pandangan serupa dikemukakan Lerner dan Hultsch (1983) cit Rochadi menyatakan bahwa perkembangan remaja adalah periode diantara rentang waktu dimana saat dianggap masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Dimasa remaja terjadi proses perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional. Perubahan fisik dan perkembangan seksual yang terjadi secara cepat juga disertai bertambahnya tuntutan masyarakat.


(31)

Pada tahun 1974, WHO memberikan defenisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam defenisi ini diungkapkan tiga kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi. Remaja adalah suatu masa ketika individu berkembang dari saat pertama kali menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Remaja juga merupakan individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa serta terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada yang relatif lebih mandiri (Sarwono, 2005).

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa dan dalam prosesnya terjadi perkembangan kematangan fisik, psikis dan sosial serta ber-tambahnya tuntutan masyarakat.

2.2.2. Pembagian dan Batasan Usia Remaja

Berbagai batasan usia dan pembagian masa remaja yang telah dikemukakan para ahli. Stone dan Church (1973) cit Rochadi membagi masa remaja menjadi remaja awal, remaja akhir dan dewasa muda. Remaja awal adalah suatu periode dari mulainya masa pubertas hingga kurang lebih satu tahun sesudah pubertas yaitu pada saat pola fisiologis berfungsi dengan stabil. Remaja akhir adalah periode sesudahnya dari remaja awal hingga usia yang dibolehkan untuk ikut pemilu, menyetir kendaraan atau saat mulai masuk kuliah. Dewasa muda adalah periode dari permulaan kuliah hingga usia awal dua puluhan.

Menurut Hurlock (1980) cit Rochadi secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian yaitu awal masa remaja dan akhir masa remaja. Awal masa remaja berlangsung


(32)

kira-kira dari 13 tahun hingga 16 tahun atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 tahun atau 17 tahun hingga usia 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum.

Santrock (2001) cit Rochadi juga membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Hanya saja, dinyatakan usia remaja awal sekitar 10-13 tahun dan usia remaja akhir berkisar antara 18-22 tahun. Mönks. (2001) cit Rochadi beranggapan bahwa usia remaja berlangsung antara umur 12 tahun dan 21 tahun dan terbagi atas tiga bagian, yaitu masa remaja awal antara 12-15 tahun, masa remaja pertengahan antara 15-18 tahun dan masa remaja akhir antara 18-21 tahun.

WHO menetapkan batas usia 10 sampai 20 tahun sebagai batasan usia remaja dimana usia 10 sampai 14 tahun sebagai remaja awal dan usia 15 sampai 20 tahun sebagai remaja akhir (Sarwono, 2005). Menurut Departemen Kesehatan (1997) masa remaja di Indonesia dibagi menjadi 2 kelompok usia yaitu remaja awal (13–15 tahun) dan usia remaja akhir (16–18 tahun).

Sarwono (2005) menyatakan banyak defenisi remaja berdasarkan aspek pandangan yang berbeda. Dari segi hukum di Indonesia hanya mengenal anak–anak dan dewasa. Hukum perdata misalnya memberikan batas usia 21 tahun (kurang dari 21 tahun asal sudah menikah) untuk menyatakan kedewasaan seseorang. Disisi lain, hukum pidana memberikan batasan 18 tahun sebagai usia dewasa

2.2.3. Perkembangan Masa Remaja

Berbagai perkembangan pada masa remaja dapat dilihat dari berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:


(33)

2.2.3.1. Perkembangan fisik. Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja me-rupakan gejala utama dari perkembangan remaja karena ada hubungannya dengan aspek lain dari perkembangan remaja. Perubahan fisik terdiri atas dua bagian, yaitu :

a. Perubahan eksternal, yang meliputi perubahan tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh, perubahan organ seks dan ciri-ciri seks sekunder.

b. Perubahan internal, yang meliputi perubahan sistem pencernaan, sistem pere-daran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin dan jaringan tubuh.

Turner dan Helms (1995) cit Rochadi menyebutkan remaja mengalami

karakteristik yang primer dan sekunder. Karakteristik seks primer adalah karak-teristik dari organ reproduksi sedangkan karakteristik seks sekunder adalah per-kembangan secara non-genital. Apabila karakteristik seks primer dan sekunder seorang individu telah matang maka ia memiliki kemampuan bereproduksi atau yang disebut dengan pubertas. Masa pubertas dimulai saat kelenjar di bawah otak mengirim pesan pada kelenjar seks untuk meningkatkan pengeluaran hormon. Hal-hal yang berhubungan dengan pubertas adalah gen, kesehatan dan lingkungan (Papalia dan Olds, 1995 cit Rochadi).

2.2.3.2. Perkembangan kognitif. Piaget dalam Turner dan Helms (1995) cit Rochadi menyebutkan perkembangan kognitif remaja ke dalam tahap formal operasional yaitu saat pemikirannya menjadi semakin rasional. Pada tahap ini remaja mulai mengembangkan pemikiran yang bersifat abstrak, hipotesis serta mampu melihat berbagai kemungkinan dalam pemecahan masalah yang dihadapi serta mulai memikirkan bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya. Dikatakan Sulaeman (1995) cit Rochadi bahwa pada masa remaja, seorang individu mengalami kematangan


(34)

secara intelektual dan cara berpikirnya mengalami perubahan serta mampu membentuk konsep-konsep. Pada masa ini terjadi pertambahan dalam kemampuan menggeneralisasi, pertambahan kemampuan-kemampuan berpikir tentang masa depan, mampu berpikir tentang hal-hal atau ide-ide yang lebih luas dan pertambahan kemampuan untuk berpikir dan berkomunikasi secara logis.

2.2.3.3. Perkembangan kepribadian. Pada tahap ini terjadi suatu konflik yang disebut konflik identity versus role confusion (Erikson, 1964 cit. Rochadi). Dimasa ini remaja sedang dalam proses pembentukan identitas diri yang merupakan masa dimana individu berharap dapat mengatakan siapa dirinya saat ini dan apa yang dikehendakinya di masa mendatang. Untuk membentuk identitas diri, remaja harus mengetahui dan mengorganisasi kemampuan, keinginan, minat dan hasrat mereka sehingga mereka mampu mengekspresikannya ke dalam konteks sosial. Freud dalam Turner dan Helms (1995) mengatakan pada masa ini remaja berada pada tahap genital dalam perkembangan kepribadiannya. Ciri-ciri yang mencolok dari tahap ini adalah adanya sublimasi dari perasaan-perasaan oedipal melalui ekspresi libido, yaitu dengan cara jatuh cinta dengan lawan jenis.

2.2.3.4. Perkembangan emosi. Secara tradisional, pada masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Pada masa perkembangan emosi terjadi ketidakstabilan emosi dimana individu mengalami perasaan-perasaan yang kontradiktif sifatnya, seperti sinis terhadap orang lain maupun terhadap kejadian tertentu, benci, perasaan cinta, apatis, peduli dan sebagainya (Rice, 1999). Meskipun emosi remaja


(35)

seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irrasional tetapi pada umumnya terjadi perbaikan perilaku emosional secara per-lahan.

2.2.3.5. Perkembangan sosial. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Diterangkan Greenberger, (1975) cit. Rochadi bahwa upaya yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan ataupun dukungan dan penolakan sosial serta seleksi pemimpin. Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai suatu kelompok, maka pengaruh teman sebaya lebih besar daripada pengaruh keluarga.

2.2.3.6. Perkembangan moral. Pada masa ini remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang telah ada pada masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Dalam diri seorang yang mempunyai moral yang matang selalu ada rasa bersalah dan malu. Hanya saja rasa bersalah berperan lebih penting daripada rasa malu dalam mengendalikan perilaku apabila pengendalian lahiriah tidak ada. Dalam kondisi demikian, individu akan merasa bersalah apabila menyadari bahwa perilakunya tidak memenuhi harapan sosial kelompoknya, sedangkan rasa malu timbul bila ia sadar akan penilaian buruk kelompok terhadap perilakunya. Perilaku yang dikendalikan rasa bersalah adalah perilaku yang dikendalikan dari dalam, sedangkan perilaku yang dikendalikan oleh rasa malu adalah perilaku yang dikendalikan dari luar.

Masa remaja merupakan tahap penting dalam kurun kehidupan manusia karena merupakan masa peralihan dari masa kanak–kanak kemasa dewasa. Pada masa ini terjadi


(36)

perubahan fisik, mental dan psikososial yang cepat yang berdampak pada berbagai aspek kehidupannya. Pada masa ini mereka lebih mementingkan daya tarik fisik dalam proses sosialisasi. Kecantikan atau kesempurnaan fisik sangat di-dambakan oleh setiap remaja. Remaja dapat merasa tidak puas terhadap penampilan wajahnya yang tidak hanya menyebabkan mereka merasa tertekan tapi juga akan menurunkan fungsinya dalam kehidupan sosial, keluarga, pekerjaan dan bahkan bisa menurunkan aktifitas belajar karena sering tidak masuk sekolah akibat malu untuk bertemu orang lain atau merasa dicemoohkan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya krisis ketidakpercayaan terhadap diri sendiri sehingga untuk masa depan dalam hal mencari pekerjaan, remaja ini akan mengalami hambatan, karena pada saat sekarang ini kebanyakan beberapa pekerjaan membutuhkan penampilan fisik dan wajah yang menarik.


(37)

2.3. Perilaku kesehatan.

Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai makna yang sangat luas antara lain mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berfikir tanggap dan emosi. Perilaku juga berarti aktifitas organisme, baik yang diamati secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Benyamin Bloom cit. Notoatmojo (2003), perilaku terdiri atas pengetahuan, sikap dan tindakan.

a. Pengetahuan.

Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang diketahui manusia tentang objek tertentu. Pengetahuan adalah pemberian bukti oleh seseorang melalui proses pengingatan atau pengenalan suatu informasi, ide atau fenomena yang diperoleh sebelumnya. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera pendengaran dan penglihatan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

b. Sikap

Sikap adalah kesiapan atau kesediaan untuk bertindak. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, tetapi merupakan suatu predisposisi untuk terjadinya suatu perilaku. Alport menguraikan sikap menjadi tiga komponen yaitu; 1) Komponen kognisi, yang berhubungan dengan keyakinan, ide dan konsep, 2) Komponen afeksi, yang menyangkut kehidupan emosional seseorang dan komponen konasi, yang merupakan kecendrungan bertingkah laku.


(38)

c. Praktek atau Tindakan ( practice )

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas.

2.4. Kebutuhan dan perilaku pencarian pengobatan

2.4.1. Kebutuhan

Dalam konsep tentang kebutuhan, ada empat jenis kebutuhan yaitu:

a. Kebutuhan Normatif, merupakan kebutuhan yang ditetapkan oleh seseorang ahli atau profesional sesuai dengan tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan standar sehingga menunjukkan kebutuhan itu ada. Kebutuhan normatif ini dapat berbeda, sesuai dengan penelitian yang dipakai antara satu orang dengan yang lainnya.

b. Kebutuhan yang dirasakan, merupakan kebutuhan yang diidentifikasikan orang-orang sebagai apa yang mereka inginkan. Kebutuhan jenis ini dapat terbatas banyaknya tergantung pada kesadaran dan pengetahuan orang tentang apa yang tersedia.

c. Kebutuhan yang dinyatakan, merupakan kebutuhan yang dirasakan dan telah diubah menjadi permintaan yang terungkap (demand). Kebutuhan yang diungkapkan dapat bertentangan dengan kebutuhan normatif oleh profesional.

d. Kebutuhan komparatif, jenis kebutuhan ini dapat dengan membandingkan kelompok–kelompok individu yang sama, contohnya ada kelompok yang sudah mendapat promosi kesehatan dan ada yang belum mendapatkan promosi kesehatan kemudian ditetapkan sebagai kelompok yang memiliki kebutuhan.


(39)

Penilaian kebutuhan akan perawatan keadaan maloklusi memerlukan suatu pengertian bahwa tanpa perawatan, maloklusi tersebut akan berakibat negatif, dan keadaan negatif tadi tidak akan terjadi jika kondisi tersebut dirawat. Tuntutan akan kebutuhan perawatan maloklusi ditentukan oleh gabungan dua faktor utama yaitu kebutuhan yang timbul dari masyarakat dan profesional dan sumber ekonomi yang tersedia untuk membiayai perawatan tersebut (Emilia, 2000).

2.4.2. Perilaku pencarian pengobatan

Perilaku pencarian pengobatan merupakan tindakan yang dilakukan seseorang saat mengalami gejala sakit, yang selanjutnya mengambil keputusan apakah akan mencari pengobatan profesional atau tidak. Perilaku pencarian pengobatan dapat dibedakan atas : a. Tidak bertindak apa – apa

Tidak bertindak apa-apa kemungkinan karena individu merasa penyakitnya bisa sembuh dengan sendirinya, atau menganggap tugas–tugas lain lebih penting daripada pergi mencari pengobatan. Alasan lain kemungkinan karena individu mengganggap penyakitnya adalah merupakan bagian dari hidupnya yang harus dijalani atau memang karena tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengubah situasi.

b. Bertindak mengobati sendiri.

Bertindak mengobati sendiri kemungkinan karena individu merasa bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman lalu pengobatan sendiri sudah dapat menyembuhkan penyakitnya.


(40)

Pengobatan tradisional antara lain pengobatan yang dilakukan oleh dukun.

d. Mencari pengobatan modern yang diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta. Mencari pengobatan modern dilakukan pada puskesmas, rumah sakit, dokter praktek dan balai pengobatan (Notoatmojo, 2003).

Dalam penelitian ini yang digunakan adalah konsep perilaku pencarian pengobatan profesional akibat adanya kebutuhan yang dirasakan dan telah berubah menjadi permintaan yang terungkap (demand). Seseorang mencari pengobatan tergantung dari tingkat keparahan keadaan maloklusi yang dirasakannya. Apabila maloklusi dirasakan sudah mengganggu aktifitas dan kehidupan sosial maka seseorang akan mencari pengobatan sebaliknya jika tidak mengganggu kehidupannya maka dia tidak melakukan tindakan apa–apa.

Anderson mengkategorikan faktor determinan dalam penggunaan pelayanan kesehatan dalam tiga kategori utama yaitu :

a. Karakteristik predisposisi, ciri–ciri individu yang digolongkan dalam ciri-ciri demografi (umur, jenis kelamin), struktur sosial (pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal) dan kepercayaan kesehatan (Health belief )

b. Karakteristik pendukung (Enabling), yaitu pendapatan, asuransi kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan.

c. Karakteristik kebutuhan (Need) yaitu kebutuhan yang dirasakan atau preceived (subject assessment) dan evaluasi atau diagnosa klinis.

Model Anderson dapat diilustrasikan pada gambar dibawah ini.


(41)

Demography Family resource Perceived

Social structure Communiy resources Evaluated

Health belief

Gambar 1. Model Penggunaan Pelayanan Kesehatan Menurut Anderson (Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Notoatmodjo , 2003).

2.5. Pendidikan Orang Tua

Orang tua khususnya ibu adalah faktor yang sangat penting dalam mewariskan status kesehatan bagi anak-anak mereka. Penelitian ini terkait dengan tingkat pendidikan serta pekerjaan ibu karena ibu merupakan tokoh kunci dalam keluarga. Caldwel mengemukakan bahwa posisi wanita sangat menentukan kesehatan keluarga. Bagi pasien yang masih muda biasanya alasan mengenai tuntutan pelayanan kesehatan giginya berasal dari anjuran yang diberikan oleh dokter gigi keluarga atau dokter gigi anak-anak dan keikut-sertaan ibunya, selain didapat dari teman sebaya ataupun media massa.

Tingkat pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Berdasarkan UU No.2. RI tahun 1989 mengenai pendidikan, maka bagi seluruh bangsa Indonesia diberlakukan wajib belajar 9 tahun, jadi anak-anak Indonesia diwajibkan mengikuti pendidikan sampai tamat SLTP sebagai pendidikan dasar sehingga pendidikan dasar/rendah terdiri atas SD dan SLTP, pendidikan menengah terdiri atas SMU dan pendidikan tinggi/akademi.


(42)

a) Kelas 1 : Pekerjaan yang membutuhkan pendidikan tingkat tinggi seperti dokter, jaksa, hakim, direktur bank, arsitektur, pengacara, direktur perusahaan, akuntan, notaris, manager perusahaan dan pekerjaan yang setaranya.

b) Kelas 2 : Pekerjaan keahlian yang membutuhkan pendidikan menengah seperti guru, perawat, bidan, apoteker, pemilik toko, pemilik salon, PNS, Pegawai swasta, teknisi,polisi, tentara, pramugari dan pekerjaan yang setaranya.

c) Kelas 3 : Pekerjaan yang mempunyai pendidikan dasar seperti supir, tukang jahit, pengrajin, montir, pelukis, penulis, pelayan toko, pelayan restoran, pelayan hotel, penjaga kasir, penjual sayur, satpam, tukang parkir dan pekerjaan setaranya.

d) Kelas 4 : Pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan dasar seperti buruh, pembersih jalan, pembantu rumah tangga, tukang cuci, pesuruh, buruh tani dan pekerjaan yang setaranya.

e) Kelas 5 : Tidak bekerja.

2.6. Konsep Sehat

Sehat pada umumnya dinyatakan menurut model medis atau model patologis, yaitu tidak adanya penyakit. Menurut Undang–Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 memberikan batasan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental dan sosial saja, tapi juga dapat diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia bekerja seperti anak– anak, remaja dan usila, berlaku produktif secara sosial diartikan mempunyai kegiatan, misalnya sekolah atau kuliah dan kegiatan pelayanan sosial bagi usila.


(43)

WHO menyarankan agar status kesehatan penduduk diukur dalam 3 hal yaitu 1) melihat ada tidaknya kelainan patofisiologis, 2) mengukur fungsi dan 3) penilaian individu atas kesehatannya. Dengan demikian untuk menggambarkan status kesehatan gigi dan mulut harus mencakup ada tidaknya penyakit, bagaimana status fungsi fisik (pengunyahan), fungsi psikis (rasa malu), fungsi sosial (peranan sosial sehari–hari) dan kepuasan terhadap kesehatannya. Dapat disimpulkan bahwa kesehatan ini perlu dicapai untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang.

2.7. Konsep Kualitas Hidup

Pada umumnya kualitas dapat didefenisikan sebagai tingkatan dari kesenangan. Kualitas hidup merupakan konsep yang lebih luas dari status kesehatan seseorang dan kesehatan sosial. Tidak ada konsensus yang pasti untuk defenisi kualitas hidup ini. Literatur menyatakan ada beberapa komponen yang terdapat dalam kualitas hidup yaitu kemampuan fungsional (meliputi kehidupan sehari-hari, kemampuan untuk bekerja), tingkat kualitas sosial dan interaksi dalam masyarakat, kesehatan psikologi, kesehatan fisik dan kepuasan hidup (Bowling, 2001).

Mendola dan Peligrini (2002) menyatakan bahwa kualitas hidup adalah prestasi individu dalam suatu situasi kesejahteraan sosial yang terbatas dalam kapasitas fisik. Shin dan Johnson menyatakan bahwa kualitas hidup terdiri dari kepentingan seseorang untuk memiliki kebahagiaan individu, kebutuhan, keinginan dan impian, keikutsertaan dalam berbagai aktivitas dan kepuasan terhadap diri sendiri dan orang lain (Bowling, 2001).


(44)

Dalam paradigma kesehatan masa kini, aspek kualitas hidup sebagai outcome dari intervensi suatu program perlu diperhatikan. Campbell (1990) menyatakan bahwa aspek kesehatan hanya merupakan salah satu domain dari 12 domains of life yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas hidup manusia seperti domain komunitas, pendidikan, kehidupan keluarga, persahabatan, perumahan, pernikahan, kebangsaan, rukun tetangga, diri sendiri, tingkat kehidupan dan pekerjaan (Rivani, 2004).

Pengukuran kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan ternyata telah dimulai dari tahun 1963 sampai sekarang ini, antara lain Health Utilities Index Mark 3 ( HUI-3) dengan atribut : (1) vision, (2) hearing, (3) speech, (4) ambulation, (5) dexterity, (6) emotion, (7) cognition & (8) pain dari Torrance 1972. Ada juga menurut Rosser Index 1982 yang disempurnakan oleh Centre for Health Economics, York University–York, Inggris 1994 dengan EuroQol–5D yang mengarah pada pengukuran 5 status kesehatan manusia yaitu (1) mobility, (2) self-care, (3) usual activities, (4) pain / discomfort & (5) anxiety/ depression (Rivani, 2004).

Di Indonesia juga dikembangkan model pengukuran kualitas hidup manusia Indonesia yang terkait dengan kesehatan yaitu Indonesia Health Related Quality of Live (INA-HRQol), yang menghasilkan 12 atribut status kesehatan yang terdiri dari dua bagian besar yang disebut atribut fisik (1) Mobilitas, (2) Aktifitas/kegiatan pribadi, (3) Aktifitas/kegiatan umum/sosial, (4) Pandangan/penglihatan, (5) Pendengaran, (6) Penciuman, (7) Rasa makanan, (8) Berbicara/komunikasi, (9) Pergerakan tangan, jari dan kaki, (10) Rasa sakit ditambah dengan atribut non fisik yaitu : (1) Emosi dan (2) Ingatan (Rivani 2004).


(45)

Konsep kualitas hidup yang dimaksud dalam penulisan ini dikembangkan dari konsep sehat WHO, yaitu respon individu dalam kehidupan sehari–hari terhadap fungsi fisik, psikis, dan sosial akibat maloklusi yang dialami individu. Konsep ini menekankan pentingnya pengukuran fungsi bukan hanya tidak adanya penyakit. Kualitas hidup diukur dengan menggunakan skala indeks Oral Health Impact Profile (OHIP-49) dari Slade. Indeks ini adalah salah satu instrumen yang mengukur persepsi masyarakat mengenai dampak sosial dari kelainan rongga mulut. Pertanyaan yang terdapat dalam OHIP sebanyak 49 pertanyaan yang dikelompokan dalam teori Locker. Dalam teori ini terdapat 7 dimensi yang merupakan dampak–dampak akibat kelainan gigi dan mulut yang mempengaruhi kualitas hidup, yaitu: keterbatasan fungsi, rasa sakit fisik, ketidaknyamanan psikologis, ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikologis, ketidakmampuan sosial dan hambatan (handicap) (Slade, 1993). Alat ukur OHIP dapat dilihat pada tabel 2.1. (tanda (*) tidak ditanyakan karena tidak berhubungan dengan maloklusi dan usia remaja)


(46)

Tabel 2.1. Oral Health Index Profile-49 (Slade, 1993)

No Dimensi Kualitas Hidup Butir Pertanyaan

1 Keterbatasan fungsi Sulit mengunyah Sulit mengucapkan kata

Menyadari ada yang salah pada gigi dan mulut Merasa wajah kurang menarik

Nafas bau Makanan sangkut

Tidak dapat mengecap dengan baik Pencernaan terganggu

Gigi palsu tidak pas * 2 Rasa sakit Sakit yang sangat dimulut

Sakit dirahang Sakit kepala Gigi ngilu Gigi sakit Gusi sakit

Tidak nyaman mengunyah Gigi palsu tidak nyaman * 3 Ketidaknyamanan psikis Khawatir

Merasa rendah diri Tegang

Merasa sangat menderita

Menyadari ada yang salah pada gigi dan mulut 4 Ketidakmampuan fisik Bicara tidak jelas

Kata–kata salah dimengerti

Tidak dapat merasakan enaknya makanan Tidak bisa menyikat gigi dengan baik Menghindari makanan tertentu Diet kurang memuaskan Menghindari tersenyum

Terhenti makan karena sakit gigi 5 Ketidakmampuan psikis Tidur terganggu

Merasa kesal Sulit merasa rileks

Depresi (hidup tidak bergairah) Sulit berkonsentrasi

Merasa malu

6 Ketidakmampuan sosial Menghindari keluar rumah Cepat marah

Sulit bersama orang lain Mudah tersinggung

Sulit mengerjakan pekerjaan sehari hari * 7 Hambatan Kesehatan memburuk

Keuangan memburuk Tidak mampu beramah tamah Hidup terasa kurang memuaskan Sama sekali tidak dapat berfungsi* Tidak dapat bekerja / belajar dengan baik 2.3. Landasan Teori


(47)

Maloklusi adalah kelainan susunan gigi geligi yang menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk normal pada rahang atas atau rahang bawah atau saat kedua rahang tersebut saling bertemu pada saat menggigit, mengunyah ataupun menelan. Ciri–ciri maloklusi diantaranya adalah kontak gigitan menyilang (crossbite), kontak gigitan yang dalam (overbite), gigi berjejal (crowdeed), gigitan menyilang (scisor bite) atau posisi gigi maju kedepan (protrusi). Maloklusi dapat disebabkan oleh intrinsik dan ekstrinsik faktor. Intrinsik faktor yaitu maloklusi yang berasal dari keadaan gigi itu sendiri seperti misalnya anomali jumlah, bentuk dan ukuran gigi, persistensi gigi susu, karies gigi, sedangkan ekstrinsik faktor yaitu maloklusi yang berasal dari luar gigi itu sendiri, misalnya herediter, kelainan kongenital, penyakit sistemik sehingga menyebabkan perkembangan pertumbuhan yang salah, kebiasaan jelek dan adanya trauma.

Maloklusi yang tidak dirawat sejak dini akan bertambah parah pada saat gigi permanen telah tumbuh sempurna yaitu pada masa remaja. Usia masa remaja di Indonesia berkisar 13 sampai dengan 18 tahun. Anak Sekolah Menengah Umum termasuk dalam batasan usia remaja akhir, terjadi perubahan fisik, mental dan psikososial yang cepat yang berdampak pada berbagai aspek kehidupannya. Pada masa ini mereka lebih mementingkan daya tarik fisik, terutama wajah dalam proses sosialisasi. Remaja dapat merasa tidak puas terhadap penampilan wajahnya yang tidak hanya membuat mereka tertekan tapi juga menurunkan fungsinya dalam kehidupan sosial, keluarga, dan bisa menurunkan aktifitas belajar. Dampak yang lebih parah adalah hilangnya semangat hidup karena ejekan/hinaan teman dilingkungan sekolahnya.


(48)

Dampak diatas merupakan ancaman terhadap kualitas hidup seorang remaja dalam menjalani hidup sehari–hari yang mungkin saja terjadi krisis ketidakpercayaan pada diri sendiri. Ancaman maloklusi terhadap kualitas hidup remaja berbeda antara satu remaja dengan remaja lainnya, hal ini juga dipengaruhi oleh adanya faktor sosiodemografis yang berupa umur, jenis kelamin dan kelas sosial (pendidikan ibu, pekerjaan ayah dan pendapatan keluarga). Selain itu perilaku kesehatan terutama kesehatan gigi tidak kalah juga berperan dalam cara pandang remaja terhadap pengaruh maloklusi terhadap kualitas hidupnya. Perilaku kesehatan gigi yang mempengaruhinya adalah pengetahuan remaja terhadap maloklusi, sikap remaja yaitu keyakinan remaja terhadap keadaan maloklusinya serta perilaku pencarian pengobatan/perawatan pada remaja yang merasakan suatu kelainan yang dialaminya.

Dalam hal konsep perilaku pencarian pengobatan/perawatan, dalam penelitian ini remaja mendapatkan dorongan untuk melakukan tindakan (mencari solusi sendiri, pengobatan tradisional atau alternatif maupun tidak melakukan apa–apa). Dorongan yang memicu remaja untuk bertindak dapat berasal dari media cetak/elektronik, lingkungan teman sebaya, orang tua ataupun anjuran dari tenaga profesional seperti petugas kesehatan. Pada gambar 2 menunjukan hubungan antara maloklusi dengan kualitas hidup.

Sosiodemografis :

1.umur 2.jenis kelamin 3.peer & reference

groups 4.kelas social

(pendidikan ibu, pekerjaan ayah dan

Pendorong untuk bertindak:

1. media cetak / elektronik 2. lingkungan teman

sebaya

3. dorongan orang tua 4. anjuran tenaga

Penyebab

1. Intrinsik factor 2. Ekstrinsik factor


(49)

Gambar 2. Kerangka Teori Analisis Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup.

. Maloklusi

Melakukan Perawatan maloklusi Ancaman thd

kualitas hidup

1.keterbatasan fungsi 2.rasa sakit fisik 3.ketidaknyamanan

psikis

4.ketidakmampuan fisik

5.ketidakmampuan psikis

6.ketidakmampuan sosial

7.hambatan

Perilaku Kesehatan Gigi

1.Pengetahuan 2.Sikap (keyakinan) 3.Perilaku perawatan


(50)

2.4. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan kepustakaan maka dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Gambar 3. Kerangka Konsep Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup

Kerangka konsep penelitian diturunkan dari kerangka teori yang bertujuan untuk dapat mengetahui hubungan maloklusi dengan kualitas hidup. Status sosiodemografi berhubungan dengan karakteristik perilaku kesehatan (pengetahuan, sikap dan perlaku pencarian perawatan) dengan arti bahwa semakin tinggi status sosiodemografi maka pengetahuan, sikap dan perilaku mencari perawatan akan kesehatan gigi lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai status sosiodemografi yang rendah. Pengetahuan berhubungan dengan persepsi kualitas hidup. Dalam penelitian ini status sosiodemografi dan perilaku kesehatan bertindak sebagai variabel perancu/konfonder.

Status Maloklusi

Perilaku kesehatan

Pengetahuan Sikap (keyakinan) Perilaku perawatan

Kualitas Hidup.

Keterbatasan fungsi Rasa sakit fisik

Ketidaknyamanan psikis Ketidakmampuan fisik Ketidakmampuan psikis Ketidakmampuan social Hambatan

Status Sosiodemografi

Jenis Kelamin Pendidikan ibu Pekerjaan orang tua


(51)

Variabel bebas utama adalah maloklusi dan variabel terikat adalah kualitas hidup. Untuk mengetahui hubungan maloklusi dengan kualitas hidup maka kontrol terhadap variabel konfondernya harus dilakukan pada analisis data.


(52)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan disain cross sectional, yaitu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor independen terhadap faktor dependen dengan menggunakan model observasi sekaligus pada suatu saat (Murti 1997). Pada disain penelitian ini informasi mengenai maloklusi diperoleh secara bersamaan dengan kualitas hidup.

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian.

3.2.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMU Kota Medan. Alasan untuk memilih daerah ini adalah karena remaja Kota Medan merupakan kelompok referensi (reference group) bagi para remaja Sumatera Utara.

3.2.2. Waktu penelitian

Penelitian ini dimulai dengan melakukan penelusuran pustaka dilanjutkan dengan penelitian untuk mengumpulkan data, pengolahan data, analisis data, penyusunan laporan penelitian, penulisan tesis, seminar hasil penelitian dan ujian komprehensif yang dimulai dari bulan Januari 2006 sampai Desember 2007.


(53)

3.3. Populasi dan sampel.

3.3.1.Populasi

Populasi adalah remaja yang berstatus pelajar siswa SMU Kota Medan yang berjumlah 116.038 orang dari 18 SMU Negeri dan 138 SMU Swasta yang ada di Kota Medan berdasarkan data pada Dinas Pendidikan Sumatera Utara tahun 2006. Alasan dipilihnya anak SMU untuk mewakili remaja adalah karena usia anak SMU yang berkisar antara 15 sampai 18 tahun merupakan remaja tahap akhir yang mulai mengembangkan pemikiran bagaimana pandangan orang terhadap penampilan dan bersosialisasi dengan teman sebaya. Mereka menghabiskan waktu sekitar tujuh jam sehari bahkan lebih di sekolah. Ini berarti bahwa hampir separuh waktunya setiap hari dilewatkan di sekolah. 3.3.2. Sampel.

3.3.2.1. Besar sampel. Karena terbatasnya biaya, tenaga dan waktu maka dilakukan pengambilan sampel. Besar sampel ditentukan dengan rumus beda proporsi pada populasi (Lameshow, 2001 ) :

n = [ Z1 – / 2 √ 2.P (1-P) + Z1 – / 2 √ P1 (1 -P1) + P2 (1-P2) ]2 (P1 - P2) 2

n = Jumlah sampel yang dibutuhkan

Z1 – / 2 = nilai baku normal berdasarkan error type I ( =0,05) yang ditentukan =1,

96 .

Z1 – / 2 = nilai baku normal berdasarkan error type II ( =0,2) yang ditentukan

=0,84

Power of Study = 80%

P1 = Proporsi tertinggi pada keluhan terhadap kualitas hidup yaitu makanan

sangkut = 66% (Situmorang, 2004 )

P2 = Proporsi yang diharapkan tidak lebih dari 15% dari P1 = 81%

P = Proporsi rata – rata p1 dan p2.

Berdasarkan penghitungan (lampiran 1) dengan menggunakan rumus di atas maka diperoleh besar sampel minimal 134 sampel. Oleh karena metode sampel pada penelitian ini adalah Stratified Cluster 2 tingkat respondennya dikelompokan atas 2 kelompok maka


(54)

jumlah sampel minimal dikalikan 2 menjadi 268. Karena yang diklaster adalah kelas maka semua murid yang hadir pada kelas terpilih pada hari penelitian di jadikan sebagai sampel sehingga besar sampel pada penelitian ini menjadi 413 orang.

3.3.2.2. Metode sampling menggunakan stratifikasi–kluster 2 tingkat. Satuan klaster pada penelitian ini adalah kelas X, XI, dan XII pada tiap sekolah dan strata adalah klasifikasi SMU negeri/swasta berdasarkan pembagian kecamatan Kota Medan. Secara administratif Kota Medan terbagi atas 21 kecamatan yang digolongkan menjadi 2 kategori yaitu lingkar dalam dan lingkar luar. Lingkar dalam terdiri dari 10 kecamatan yaitu Kecamatan Medan Baru, Medan Petisah, Medan Barat, Helvetia, Polonia, Medan Area, Medan Kota, Medan Maimun, Medan Timur dan Medan Deli. Lingkar luar terdiri dari 11 kecamatan yaitu Kecamatan Medan Tuntungan, Selayang, Sunggal, Johor, Denai, Perjuangan, Amplas, Tembung, Marelan, Labuhan dan Belawan.

Kota Medan terdiri dari 156 SMU negeri / swasta yang dapat dikelompokkan atas 104 SMU negeri/swasta yang berada dilingkar dalam dan 52 SMU negeri/swasta yang berada di lingkar luar (Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara, 2006). Pengelompokan ini berdasarkan perbedaan jenis informasi dan status sosial remaja SMU Kota Medan yang nantinya akan berpengaruh terhadap pengukuran kualitas hidup.

Pengambilan sampel dilakukan dengan 2 tahap. Tahap pertama, dari semua SMU negeri dan swasta dipilih 2 SMU negeri/swasta dari lingkar luar dan 2 SMU negeri/swasta dari lingkar dalam secara acak. SMU yang terpilih untuk lingkar dalam adalah SMUN 4 di Kecamatan Medan Petisah, SMU swasta Harapan di Kecamatan Medan baru. Untuk lingkar luar SMU yang terpilih adalah SMUN 3 di Kecamatan Medan labuhan dan SMU swasta Panca Budi di Kecamatan Sunggal.


(55)

Tahap kedua adalah memilih kelas pada SMU terpilih secara acak (kelas X, XI dan XII), karena tiap tingkatan kelas terdiri dari kelas paralel maka dilakukan pemilihan kelas yaitu untuk SMU yang berada di lingkar dalam yaitu SMUN 4 terpilih kelas X7, XIIPA3 dan XIIIPS2 serta SMU Swasta Harapan yaitu kelas X3, XIIPS3 dan XIIIPA3 . Untuk SMU yang berada dilingkar luar terpilih SMUN 3 Medan dengan kelas X1, XIIPS1 dan XIIIPS1 serta SMU Swasta Panca Budi Medan dengan kelas X2, XIIPA1 dan XIIIPA3. Agar diperoleh data yang akurat tentang keluhan yang dirasakan oleh karena adanya maloklusi, maka siswa yang terpilih sebagai sampel adalah siswa yang sehat secara fisik dengan arti tidak menderita cacat jasmani.

3.4. Metode dan Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan di sekolah responden dengan metode wawancara dan pemeriksaan status maloklusi. Wawancara menggunakan kuesioner terstruktur berisi pertanyaan mengenai status sosiodemografi, karakteristik perilaku kesehatan gigi dan penilaian responden tentang kualitas hidup. Pengumpulan data dilapangan dilakukan oleh peneliti dibantu enam orang mahasiswa Kedokteran Gigi USU yang sedang menjalani kepaniteraan klinik dibagian Kesehatan Gigi Masyarakat. Agar tidak terjadinya kesalahan pengukuran maka kepada pengumpul data dilakukan pelatihan dan kalibrasi sehingga diperoleh persepsi dan interpretasi yang sama dan konsisten. Setelah data dikumpul maka dilakukan editing, dibuat struktur data, file data, data entry dan dianalisis dengan bantuan perangkat lunak pogram komputer.


(56)

Berdasarkan variabel penelitian, maka dapat dirumuskan beberapa defenisi operasional penelitian sebagai berikut :

a. Jenis kelamin adalah pria atau wanita yang dapat mempengaruhi persepsi pada remaja SMU terhadap keadaan maloklusi yang berdampak pada perbedaan tingkatan kualitas hidupnya.

b. Pendidikan ibu adalah pendidikan terakhir ibu yang diambil melalui jalur sekolah secara formal terdiri atas: tidak sekolah/tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tamat SMU, tamat perguruan tinggi/akademi.

c. Pekerjaan orang tua, terutama pekerjaan ayah, jika ayahnya sudah tidak ada maka diambil pekerjaan ibu, dan apabila ayah dan ibu juga sudah tidak ada maka diambil pekerjaan wali yang menanggung hidup responden. Terdiri atas lima klasifikasi berdasarkan tingkat pendidikan yaitu :

1). Kelas 1 : pekerjaan yang membutuhkan pendidikan tingkat tinggi seperti dokter, jaksa, hakim, direktur bank, arsitektur, pengacara, direktur perusahaan, akuntan, notaris, manager perusahaan dan pekerjaan yang setara.

2). Kelas 2 : pekerjaan keahlian yang membutuhkan pendidikan menengah seperti guru, perawat, bidan, apoteker, pemilik toko, pemilik salon, PNS, pegawai swasta, teknisi, polisi, tentara, pramugari dan pekerjaan yang setara.

3). Kelas 3 : pekerjaan yang mempunyai pendidikan dasar seperti supir, tukang jahit, pengrajin, montir, pelukis, penulis, pelayan toko, pelayan restoran, pelayan hotel, penjaga kasir, penjual sayur, satpam, tukang parkir dan pekerjaan setara.


(1)

18. Keinginan untuk merawat kelainan susunan ya tidak gigi berasal dari diri saya sendiri.

19. Saya merasa kelainan susunan gigi yang ya tidak saya alami dapat mengganggu pergaulan saya.

20. Saya merasa kelainan susunan gigi dapat ya tidak dicegah dan diatasi dengan melakukan perawatan.

PERTANYAAN PERILAKU KESEHATAN

21. Apakah anda pernah melakukan kunjungan ke tempat pelayanan kesehatan gigi dalam kurun waktu 1 tahun terakhir ini ?

a. Pernah b. Tidak pernah

22. Apakah anda pernah menjalani perawatan maloklusi ?

a. Pernah, sudah selesai perawatan b. Pernah, sedang perawatan c. Tidak pernah


(2)

(3)

PERTANYAAN ORAL HEALTH IMPACT PROFILE ( OHIP )

Seberapa seringkah anda mengalami masalah dibawah ini selama satu tahun terakhir ( lingkari nomor jawaban anda )

A. Pertanyaan Keterbatasan fungsi

Pernah Sangat sering Hampir tiap minggu Sering Hampir tiap bulan Kadang-kadang Lebih dari 2Xsetahun Hampir tak pernah 1 – 2 X setahun Keterbatasan

fungsi

1 2 3 4

Tidak pernah

5

23 Pernahkah sulit mengunyah makanan karena ada masalah pada gigi mulut atau rahang anda ?

1 2 3 4 5

24 Pernahkah sulit mengucapkan kata-kata karena ada masalah pada gigi, mulut dan rahang anda?

1 2 3 4 5

25 Pernahkah melihat ada yang salah pada gigi anda?

1 2 3 4 5

26 Pernahkah anda merasa wajah anda kurang menarik karena ada masalah pada gigi, mulut dan rahang anda

? 1 2 3 4 5

27 Pernahkah anda merasa nafas anda bau karena ada masalah pada gigi dan mulut anda

1 2 3 4 5

28 Pernahkah anda merasa tidak mampu mengecap makanan dengan baik, karena ada masalah dengan gigi

dan mulut anda

1 2 3 4 5

29 Pernahkah makanan sangkut digigi anda ?

1 2 3 4 5

30 Pernahkah anda merasa pencernaan terganggu karena ada masalah pada gigi anda ?

1 2 3 4 5 B. Physical Pain

Pernah Sangat sering Hampir tiap minggu Sering Hampir tiap bulan Kadang kadang Lebih dari 2Xsetahun Hampir tak pernah

1 – 2 X setahun

Sakit fisik

1 2 3 4

Tidak pernah

5

31 Pernahkah anda merasakan sakit yang hebat pada sendi rahang karena ada masalah pada gigi anda ? 1 2 3 4 5

32. Pernahkah anda sakit kepala karena masalah gigi atau rahang anda ?

1 2 3 4 5

33 Pernahkah anda sakit gigi ?


(4)

34 Pernahkah anda sakit pada gusi anda?

1 2 3 4 5

35 Pernahkah anda merasa tidak enak mengunyah makanan karena masalah dengan gigi anda ?

1 2 3 4 5 C. Psychological discomfort

Pernah Sangat sering Hampir tiap minggu Sering Hampir tiap bulan Kadang kadang Lebih dari 2 X setahun Hampir tak pernah

1 – 2 X setahun Ketidaknyamana

n psikis

1 2 3 4

Tidak pernah

5

36 Pernahkah anda merasakan kuatir karena masalah gigi anda ?

1 2 3 4 5

37 Pernahkah anda sadar sendiri bahwa ada masalah dengan gigi dan rahang anda ?

1 2 3 4 5

38 Pernahkah anda merasa rendah diri dengan bentuk gigi, rahang dan muka anda ?

1 2 3 4 5

39 Pernahkah anda mengalami ketegangan karena ada masalah pada gigi anda ?

1 2 3 4 5

D. Physical disability

Pernah Sangat sering Hampir tiap minggu Sering Hampir tiap bulan Kadang kadang Lebih dari 2 X setahun Hampir tak pernah

1 – 2 X setahun

1 2 3 4

Tidak pernah

5

40 Pernahkah anda sulit berbicara karena ada masalah dengan gigi dan rahang anda ?

1 2 3 4 5

41 Pernahkah orang salah mengerti kata-kata yang anda ucapkan karena ada masalah pada gigi, mulut dan rahang anda ?

1 2 3 4 5

42 Pernahkah anda merasa tidak dapat merasakan enaknya makanan karena ada masalah pada gigi atau mulut anda ?

1 2 3 4 5


(5)

43 Pernahkah anda mengalami kesulitan menyikat gigi karena masalah susunan gigi anda ? 1 2 3 4 5

44 Pernahkah anda takut tersenyum karena ada masalah pada gigi dan mulut anda ?

1 2 3 4 5

E. Psychological disability

Pernah Sangat

sering Hampir tiap minggu

Sering Hampir tiap

bulan

Kadang kadang Lebih dari 2 X setahun

Hampir tak pernah

1 – 2 X setahun

1 2 3 4

Tidak pernah

5

45 Apakah tidur anda terganggu karena ada masalah pada gigi dan rahang anda ? 1 2 3 4 5

46 Pernahkah anda kesal karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ?

1 2 3 4 5

47 Pernahkah anda merasa tidak santai karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ?

1 2 3 4 5

48 Pernahkah anda merasa tertekan atau putus asa karena ada masalah dengan gigi dan mulut anda ? 1 2 3 4 5

49 Pernahkah anda merasa susah berkonsentrasi karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5

50 Pernahkah anda merasa malu karena ada masalah dengan gigi dan mulut anda ?

1 2 3 4 5

F. Sosial disability

Pernah Sangat

sering Hampir tiap minggu

Sering Hampir tiap

bulan

Kadang kadang Lebih dari

2 X setahun

Hampir tak pernah

1 – 2 X setahun

1 2 3 4

Tidak pernah

5

51 Apakah menjadi malas keluar rumah karena ada masalah pada gigi dan rahang anda ?

1 2 3 4 5


(6)

52 Pernahkah anda cepat marah karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ?

1 2 3 4 5

53 Pernahkah anda merasa sulit bergaul karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ?

1 2 3 4 5

54 Pernahkah anda merasa mudah tersinggung karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ?

1 2 3 4 5

55 Pernahkah anda merasa sulit melakukan pekerjaan sehari – hari karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ?

1 2 3 4 5

G. Handicap

Pernah Sangat

sering Hampir tiap minggu

Sering Hampir tiap

bulan

Kadang kadang Lebih dari 2 X setahun

Hampir tak pernah

1 – 2 X setahun

1 2 3 4

Tidak pernah

5

56 Pernahkah anda merasa kesehatan anda secara umum memburuk karena ada masalah pada gigi dan rahang anda ?

1 2 3 4 5

57 Pernahkah anda atau orang tua anda harus membayar mahal karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ?

1 2 3 4 5

68 Pernahkah anda merasa tidak mampu beramah tamah dengan orang lain karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ?

1 2 3 4 5

59 Pernahkah anda merasa secara umum hidup terasa menjadi tidak enak karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ?

1 2 3 4 5

60 Pernahkah anda merasa tidak dapat belajar dengan baik karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ?

1 2 3 4 5