hal ini sesuai dengan penelitian Rosdewati 2004 yang menyatakan motivasi siswa terhadap tindakan perawatan kesehatan gigi dan mulut masih rendah , diketahui dari hasil
Performance Treatment Index PTI cukup rendah yaitu 13,3 disebabkan karena sikap dan tindakan petugas kesehatan gigi di puskesmas yang cenderung hanya melakukan
pencabutan dari pada memberikan usaha preventiv maupun promotiv dengan alasan bahwa pelayanannya tidak dapat dilakukan karena belum ada prosedur tetapnya,
minimnya sarana dan sumber daya yang kurang memadai.
5.4. Gambaran Kualitas
Hidup
Laporan SKRT 2004 menyatakan secara umum diantara penyakit yang dikeluhkantidak dikeluhkan penduduk di Indonesia, prevalensi penyakit gigi dan mulut
adalah yang tertinggi, meliputi 60 penduduk dan maloklusi berada pada urutan kedua setelah karies. Keadaan ini diikuti dengan adanya keluhan–keluhan sehubungan dengan
kesehatan gigi. Pada penelitian ini dijumpai keluhan tertinggi dari tujuh dimensi kualitas hidup yang sering dirasakan oleh responden yaitu rasa sakit pada gigi 64,41, mudah
tersinggung 47,22, merasa malu 43,58, takut tersenyum 42,13, sadar ada masalah pada gigi 41,40, tidak mampu mengecap dengan baik 35,1 dan tidak
dapat belajar dengan baik 20,82. Dilihat dari persentase keluhan-keluhan yang sering dirasakan, sebagian besar yang dikeluhkan adalah masalah estetis, hal ini didukung oleh
penelitian Mandall dkk 1999 pada remaja umur 14–15 tahun yang malu untuk tersenyum dan selalu berusaha untuk menutup mulutnya karena masalah maloklusi.
5.5. Hubungan sosiodemografi dengan dimensi kualitas hidup.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Hubungan sosiodemografi dengan kualitas hidup dapat dilihat dari jenis kelamin, pendidikan ibu dan pekerjaan orang tua dengan dimensi kualitas hidup. Berdasarkan
hubungan jenis kelamin dengan dimensi kualitas hidup ternyata ada hubungan bermakna antara jenis kelamin pada 0,05 dengan ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan
psikis dan ketidak mampuan sosial. Remaja perempuan akan lebih sering mengeluh dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan ini mungkin disebabkan remaja perempuan
lebih sensitif terhadap perubahan dalam hidupnya dan lebih mempunyai perhatian terhadap masalah yang menyangkut estetis. Hal ini didukung oleh penelitian Onyeaso,
dkk 2005 yang melaporkan bahwa wanita lebih banyak melakukan perawatan keadaan maloklusinya dibandingkan laki-laki karena merasa tidak nyaman dengan bentuk
wajahnya. Berdasarkan hubungan pendidikan ibu dengan kualitas hidup ternyata hanya dengan
keterbatasan fungsi, ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan psikis dan ketidak mampuan sosial yang menunjukan ada hubungan. Hal ini mungkin disebabkan karena
semakin rendah pendidikan ibu maka anak remajanya akan lebih merasakan gangguan dari segi psikis dan sosial, sebaliknya mereka lebih toleran terhadap adanya rasa sakit
yang dialaminya. Berdasarkan hubungan pekerjaan orang tua dengan kualitas hidup, ternyata
menunjukan hubungan dengan keterbatasan fungsi, ketidaknyamanan psikis, ke tidakmampuan psikis dan hambatan. Hal ini mungkin disebabkan karena
pengklasifikasian pekerjaan orang tua berdasarkan tingkat pendidikan dan seiring dengan pendapatan, ternyata semakin tinggi tingkat pekerjaan orang tua maka keluhan terhadap
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
dimensi kualitas hidup semakin berkurang karena secara tidak langsung tingkat sosialnya akan semakin tinggi.
5.6. Hubungan Perilaku