Tabel 5.1. Prevalensi Maloklusi dari Beberapa Peneliti N
o Nama peneliti
Jml sampel
Lokasi Umur normal
maloklusi
1. Steigman 1983
783 Nazareth,Israel 13-15 10
90 2. Hamilah
1991 269 Condet,Jakarta 11-12 10,41
89,59 3. Dewanto
1986 639 Lombok
10-15 29,73 70,27
4. Gan-Gan 1997
380 Bandung 12-15 9,21
90,79 Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa selama 14 tahun prevalensi maloklusi masih
saja tetap tinggi. Hasil prevalensi maloklusi pada penelitian sebelumnya lebih tinggi dari hasil penelitian ini karena usia sampel yang diteliti berkisar dari 10 sampai 15 tahun,
pada masa itu adalah masa gigi bercampur dimana gigi susu dan gigi tetap bersamaan berada dirongga mulut sehingga kasus berjejal crowdeed pada gigi anterior sangat
banyak terjadi yaitu lebih dari 50 Dewanto,1993. Pada penelitian yang dilakukan pada remaja usia 15 sampai 18 tahun yang keadaan rongga mulutnya sudah tumbuh
semua gigi tetap kecuali molar 3, kemungkinan crowdeednya sudah berkurang, walaupun diantara semua ciri-ciri maloklusi kasus gigi berjejal masih tetap yang terbanyak. Hal ini
dapat dilihat pada persentase ciri-ciri maloklusi Tabel 4.8. Kasus gigi bejejal anterior rahang atas 30,75 dan anterior rahang bawah 41,89. Untuk kelainan hubungan gigi
dalam keadaan oklusi, jarak gigit overjet mempunyai persentase tertinggi yaitu 35,59, sesuai dengan hasil penelitian Hong 2001 yang menyatakan selama 25 tahun perubahan
terhadap keadaan maloklusi terjadi penambahan kasus gigi berjejal pada gigi anterior dan jarak gigit pada saat gigi berkontak.
5.3. Gambaran Perilaku
Kesehatan
Gambaran perilaku kesehatan remaja SMU Kota Medan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan tentang maloklusi, sikap, dan tindakan ke pelayanan kesehatan gigi.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Berdasarkan pengetahuan tentang maloklusi, lebih dari separuh remaja SMU sudah mengetahui apa itu kelainan susunan gigi-geligi maloklusi, tetapi hanya sepertiga yang
mengetahui tentang perawatan maloklusi. Namun berdasarkan tingkat pengetahuan secara keseluruhan pengetahuan remaja SMU Kota Medan tentang maloklusi
dikategorikan baik sebanyak 84,3. Terdapat perbedaan dengan penelitian Gan-Gan 1997 yang mempunyai pengetahuan baik sebesar 56. Hal ini mungkin disebabkan
bahwa remaja yang diteliti oleh peneliti sebelumnya adalah remaja SMP yang mempunyai pengetahuan yang lebih rendah dibandingkan remaja SMU dan karena
makin maraknya informasi yang berasal dari media, orang tua dan percakapan dengan teman–teman sebaya.
Berdasarkan sikap remaja SMU Kota Medan, dari pertanyaan-pertanyaan sikap tentang keyakinan lebih dari 60 remaja mempunyai keyakinan bahwa maloklusi dapat
dicegah, dirawat bahkan dapat juga mengganggu pergaulan sehari-hari. Dan secara keseluruhan 82,6 remaja mempunyai sikap yang positif terhadap pencegahan dan
perawatan maloklusi. Tetapi sikap yang baik tidak didukung oleh tindakan, remaja SMU Kota Medan yang melakukan perawatan maloklusi sebanyak 14,8. Hal ini berbeda
dengan teori ”reason action” Fisbern 1967 cit Rosdewati 2004 bahwa perilaku ditentukan oleh niat, dimana niat dipengaruhi oleh keyakinan seseorang yang merupakan
motivasi untuk melakukan suatu tindakan. Secara umum gambaran masyarakat terhadap kesehatan gigi dan mulut kurang menjadi prioritas, karena masalah gigi dan mulut
dianggap bukanlah penyakit yang menimbulkan kematian. Alasan diatas mungkin menjadi alasan pada remaja SMU Kota Medan , walaupun pengetahuan dan sikap tentang
maloklusi sudah baik tapi tidak memicu untuk melakukan perawatan terhadap maloklusi,
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
hal ini sesuai dengan penelitian Rosdewati 2004 yang menyatakan motivasi siswa terhadap tindakan perawatan kesehatan gigi dan mulut masih rendah , diketahui dari hasil
Performance Treatment Index PTI cukup rendah yaitu 13,3 disebabkan karena sikap dan tindakan petugas kesehatan gigi di puskesmas yang cenderung hanya melakukan
pencabutan dari pada memberikan usaha preventiv maupun promotiv dengan alasan bahwa pelayanannya tidak dapat dilakukan karena belum ada prosedur tetapnya,
minimnya sarana dan sumber daya yang kurang memadai.
5.4. Gambaran Kualitas