Karakteristik Karakteristik Demografi Subjek Penelitian
pajanan merokok dan alkohol yang merupakan salah satu faktor risiko pneumonia komunitas.
31,36
Akan tetapi dari data penelitian Malik 2012 bahwa walaupun ada perbedaan dalam frekuensi jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang signifikan
antara pasien pneumonia komunitas terhadap jenis kelamin.
31
4.2.3. Karakteristik Status Pernikahan Subjek Penelitian Tabel 4.3. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng
Tahun 2013-2014 Berdasarkan Status Pernikahan Variabel
Frekuensi n Persentase
Status Pernikahan
Belum Menikah 14
14,4 Menikah
74 76,3
Pernah Menikah 8
8,2 Tidak ada data
1 1,0
Dari hasil penelitian berdasarkan status pernikahan pasien, pasien yang memiliki status pernikahan sudah menikah menempati urutan tertinggi yaitu
sebanyak 74 pasien 76,3, diikuti oleh belum menikah sebanyak 14 pasien 14,4, dan yang pernah menikah sebanyak 8 pasien 8,2. Hal ini sesuai dengan
penelitian Almirall 2008 yang mana status pernikahan tersering pada penderita pneumonia komunitas adalah yang sudah menikah 66.
30,37
4.2.4. Karakteristik Tingkat Pendidikan Akhir Subjek Penelitian Tabel 4.4. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng
Tahun 2013-2014 Berdasarkan Tingkat Pendidikan Akhir Variabel
Frekuensi n Persentase
Tingkat Pendidikan
Tamat SD 18
18,6 Tamat SMP
9 9,3
Tamat SMA 41
42,3 Perguruan Tinggi
11 11,3
Tidak ada data 18
18,6
Untuk distribusi pasien pneumonia komunitas berdasarkan tingkat pendidikan akhir pada tabel 4.4., didapatkan pasien yang memiliki pendidikan
terakhir tamat SD 18,6 atau 18 pasien, tamat SMP 9,3 atau 9 pasien, tamat SMA 42,3 atau 41 pasien, perguruan tinggi termasuk D1, D2, D3, S1, S2, dan S3 11,3
atau 11 pasien, dan yang tidak ada data 18,6 atau 18 pasien. Dari hasil dari data penelitian berdasarkan tingkat pendidikan terakhir
menunjukkan tingkat pendidikan terakhir sekolah menengah atas SMA adalah yang terbanyak yaitu 41 pasien dari 97 pasien 42,3 dan yang terbanyak kedua
adalah tamat sekolah dasar SD sebanyak 18 pasien 18,6. Hal ini sesuai dengan penelitian Almirall 2008 bahwa tingkat pendidikan terbanyak pasien pneumonia
komunitas adalah tingkat pendidikan menengah 40,6, diikuti oleh tingkat pendidikan dasar 37,7, dan tingkat pendidikan tinggi 21,7.
29,30
Namun, menurut penelitian Torres 2013 bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir
semakin rendah risiko terjadinya pneumonia komunitas dibandingkan dengan pasien yang memiliki tingkat pendidikan terakhir rendah. Sehingga dalam
penelitiannya tingkat pendidikan akhir terbanyak adalah tingkat pendidikan terendah.
35
Hal serupa juga disampaikan oleh Teepe 2010, Almirall 2008, dan Schnoor 2007, serta Abdul 2012.
29,30,36,38,39
Bahkan pada penelitian Schnoor M,dkk2007 lebih spesifik lagi membahas tingkat pendidikan. Pada pasien yang
tingkat pendidikannya lebih atau sama dengan 12 tahun memiliki risiko terkena
pneumonia komunitas rendah, sebaliknya pasien yang memiliki tingkat pendidikan terakhirnya kurang atau sama dengan 9 tahun memiliki risiko terkena pneumonia
komunitas lebih tinggi.
38
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena adanya peningkatan kesadaran pada populasi tentang wajib belajar yang dicanangkan oleh
pemerintah. Sehingga tingkat pendidikan terakhir dalam populasi rata-rata tinggi. Adapun hubungan tingkat pendidikan terakhir terhadap keluaran
pengobatan pneumonia, tidak ada hubungannya. Seperti yang dinyatakan pada penelitian Izquierdo 2010 bahwa hasil dari pengobatan pneumonia tidak
berhubungan terhadap tingkat pendidikan terakhir pasien. Sehingga tingkat mortalitas tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan terakhir.
40
4.2.5. Karakteristik Pekerjaan Subjek Penelitian Tabel 4.5. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng
Tahun 2013-2014 Berdasarkan Pekerjaan Variabel
Frekuensi n Persentase
Pekerjaan
Tidak Bekerja 2
2,1 Ibu Rumah Tangga
31 32,0
Karyawan Swasta 33
34,0 Pegawai Negeri Sipil
5 5,2
Wiraswasta 8
8,2 Buruh
8 8,2
Petani 1
1,0 Pelajar
5 5,2
Tidak ada data 4
4,1
Untuk distribusi pasien pneumonia komunitas berdasarkan distribusi pekerjaan pada tabel 4.5., didapatkan pasien yang memiliki pekerjaan PNS 5,2
atau 5 pasien, karyawan swasta 34 atau 33 pasien, wiraswasta 8,2 atau 8 pasien, buruh 8,2 atau 8 pasien, petani 1 atau 1 pasien, pelajar 5 pasien, IRT 32 atau
31 pasien dan yang tidak bekerja 2,1 atau 2 pasien, dan tidak ada data 4,1 atau 4 pasien.
Dari data penelitian ini, diketahui frekuensi pekerjaan yang paling tinggi adalah karyawan swasta sebanyak 33 pasien 34, diikuti ibu rumah tangga
sebanyak 31 pasien 32. Berdasarkan data hasil penelitian ini, sosio-ekonomi populasi pasien berada pada golongan yang masih rendah, sehingga menjadi risiko
terhadap penyakit pneumonia komunitas. Hal ini sesuai dengan penelitian Abdul 2012 dan Loeb 2004, yang menyatakan adanya keterkaitan frekuensi penderita
pneumonia komunitas terhadap status sosio-ekonomi populasi. Pada penelitiannya didapatkan, pada status sosio-ekonomi yang rendah menggambarkan frekuensi
yang tinggi terjadinya pneumonia komunitas 68,75. Sehingga hubungan antara frekuensi pneumonia komunitas dan status sosio-ekonomi berbanding terbalik.
36,41
Hal ini kemungkinan disebabkan, pada golongan sosio-ekonomi rendah tidak mampu membayar biaya pengobatan sehingga memperberat penyakit dan
mempercepat kematian.
36
Namun pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara status sosio-ekonomi terhadap pneumonia komunitas. Seperti
pada dua penelitian Farr 2000 dengan judul yang berbeda, menyatakan bahwa diagnosis pneumonia komunitas dan status sosio-ekonomi tidak memiliki hubungan
antar keduanya.
42,43
Selain itu, status sosio-ekonomi juga tidak berpengaruh terhadap keluaran dari perawatan pneumonia komunitas seperti pada penelitian
Izquierdo 2010 di Barcelona, Spanyol menyatakan bahwa status sosio-ekonomi tidak memiliki hubungan terhadap keluaran pneumonia komunitas.
40
Hal serupa juga disampaikan oleh Vrbova 2005 di Ontario, Kanada bahwa status sosio-
ekonomi tidak berpengaruh terhadap frekuensi pneumonia komunitas dan tingkat mortalitasnya.
44
4.2.6. Karakteristik Jalur Masuk Subjek Penelitian Tabel 4.6. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng
Tahun 2013-2014 Berdasarkan Jalur Masuk Variabel
Frekuensi n Persentase
Jalur Masuk
Instansi Gawat Darurat IGD 77
79.4 Poli
20 20.6
Adapun distribusi pasien pneumonia komunitas berdasarkan jalur masuk ke RSUD pada tabel 4.6., didapatkan pasien yang masuk melalui IGD adalah sebanyak
79,4 atau 77 pasien, sedangkan yang masuk melalui poli sebanyak 20,6 atau 20 pasien.
4.2.7. Karakteristik Lama Hari Inap Subjek Penelitian Tabel 4.7. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng
Tahun 2013-2014 Berdasarkan Lama Hari Inap Variabel
Frekuensi n Persentase
Lama Hari Inap
0-5 hari 30
30,9 6-10 hari
52 53,6
11-15 hari 12
12,4 16-20 hari
3 3,1
Dari tabel 4.7, diketahui bahwa pasien yang dirawat paling lama adalah pada rentang 6-10 hari dengan frekuensi 52 pasien 53,6, kemudian 0-5 hari 30 hari
30,9, 11-15 hari 12 pasien 12,4, dan 16-20 hari 3 pasien 3,1. Pada jurnal American Thoracic Society ATS terapi minimum untuk antibiotik adalah 5 hari,
namun pada British Thoracic Society BTS terapi antibiotik minimum 7 hari.
36,37
Pada penelitian Ghazipura 2013 dikatakan bahwa tidak ada bukti yang signifikan untuk perbedaan pemberian antibiotik baik yang diberikan lebih dari 7 hari maupun
kurang.
45
Hal serupa juga terdapat pada penelitian Dimopoulus 2008 bahwa tidak ada perbedaan efektivitas dan keamanan dari lamanya pemberian antibiotik pada
pasien pneumonia komunitas dewasa.
46
4.2.8. Karakteristik Indeks Massa Tubuh Subjek Penelitian Tabel 4.8. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng
Tahun 2013-2014 Berdasarkan Indeks Massa Tubuh Status Gizi
Frekuensi n Persentase
Underweight 18
18,6 Normal
53 54,6
Pre-ObesitasOverweight 10
10,3 Obesitas Derajat I
1 1,0
Obesitas Derajat II 1
1,0 Tidak ada data
14 14,4
Total 97
100
Pada tabel 4.8., hasil indeks masa tubuh IMT pada pasien CAP di RSUD Cengkareng tahun 2013 hingga 2014, didapatkan dari 97 pasien yang memiliki data
antropometri BB dan TB, terdapat jumlah yang lebih banyak pada pasien yang normal 54,6 53 pasien di ikuti pasien yang IMT underweight 18,6 18 pasien,
pasien pre-obesitasoverweight 10,3 10,3 pasien, pasien obesitas derajat I 1,0 1 pasien dan pasien obesitas derajat II 1,0 1 pasien.
Pada hasil penelitian, didapatkan indeks massa tubuh IMT pasien pneumonia komunitas lebih tinggi pada pasien yang memiliki IMT normal
sebanyak 54,6, kemudian yang tertinggi kedua adalah pasien yang memiliki IMT underweight sebanyak 18,6. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian
Bramley 2012 di mana IMT pasien pneumonia komunitas yang terbanyak adalah normal, namun terdapat perbedaan pada IMT terbanyak kedua, yaitu obesitas.
8
Penelitian Almirall 2008 yang membahas faktor-faktor risiko pneumonia juga mendapatkan IMT terbanyak pada pasien pneumonia komunitas adalah pasien
dengan IMT normal.
29
Kemudian apakah terdapat hubungan antara IMT terhadap risiko pneumonia komunitas. Hal ini terjawab pada penelitian Phung 2013 yang
pada hasil penelitiannya menyatakan terdapat keterkaitan antara risiko terjangkitnya CAP dengan status IMT. Namun yang bermakna hanya pada status
IMT underweight P0,01 dan obesitas berat P0,01.
47
Didukung dengan
penelitian Almirall 2008 yang mengatakan bahwa underweight merupakan salah satu faktor risiko pneumonia komunitas. Hal ini kemungkinan diakibatkan
defisiensi nutrisi atau penyakit lain yang mempengaruhi sistem imun. Namun pada status IMT overweight dan obesitas tidak didapatkan adanya hubungan untuk
meningkatkan faktor risiko pneumonia komunitas.
29,30
Lebih lanjut pada penelitian Lee 2015 mengaitkan IMT underweight berat BMI16kgm
2
dengan kematian dalam waktu 30 hari, yang di mana hasilnya bermakna P=0.005, sehingga status
IMT underweight berat merupakan salah satu risiko terjadinya kematian pada penderita pneumonia komunitas.
48