Budidaya Ikan Patin dalam Keramba Jaring Apung KJA di Waduk

signifikan, karena saluran pencernaan dan hati sebagai penghasil enzim pencernaan akan selalu mendapatkan gangguan oleh pengaruh toksik logam yang masuk. Toksisitas logam berat pada saluran pencernaan terjadi melalui pakan yang terkontaminasi oleh logam berat. Toksisitas saluran pencernaan juga dapat terjadi melalui air yang mengandung dosis toksik logam berat. Sedangkan pengaruh logam berat pada hati yaitu menimbulkan gangguan sistem enzim di dalam hati ikan patin itu sendiri. Proses akumulasi logam berat dalam jaringan tubuh ikan patin terjadi setelah absorpsi logam berat dari air atau melalui pakan yang terkontaminasi. Dimana logam berat akan dibawa oleh sistem peredaran darah dan kemudian didistribusikan ke dalam jaringan tubuh. Sehingga penyebaran akumulasi logam berat pada ikan patin menjadi lebih merata hampir diseluruh organ tubuhnya. Apabila kandungan logam berat ini melebihi standar baku mutu kemanan pangan, maka prodak ikan patin ini akan berakibat buruk bagi yang mengkonsumsinya.

2.7. Budidaya Ikan Patin dalam Keramba Jaring Apung KJA di Waduk

Cirata Teknologi budidaya ikan patin dalam KJA telah berkembang di perairan Waduk Cirata dan telah terbukti meningkatkan jumlah produksi ikan budidaya. Perkembangan KJA di perairan waduk tidak terkendali contoh di Waduk Cirata mulai tahun 1988-1994 meningkat 140tahun Krismono, 1995, maka banyak dijumpai kematian ikan yang dipelihara di KJA misalnya; tahun 1993 di Waduk Saguling 1.042 ton, tahun 1994 di Waduk Cirata 1.039 ton, dan tahun 1996 di Waduk Jatiluhur ikan yang mati mencapai 1.560 ton dengan jenis ikan nila, mas, dan patin Krismono, 1995. Belajar dari pengalaman yang sudah terjadi diperlukan cara pengelolaan perairan waduk untuk budidaya ikan dalam KJA yang sesuai dengan daya dukung, sehingga dapat menekan angka kematian pada ikan. Beberapa keuntungan budidaya ikan patin dalam KJA adalah volume kecil dan padat tebar tinggi. Dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknologi yang sederhana. Manajemen pengelolaan cukup mudah, karena kondisinya terkontrol. Kerugian budidaya ikan dalam KJA diantaranya resiko lepasnya ikan patin ke waduk dan resiko pencemaran air yang tidak diharapkan. Untuk keberhasilan budidaya ikan patin di waduk, kualitas air menjadi faktor utama. Kualitas air sangat ditentukan oleh banyaknya variabel-variabel biologi, fisika, dan kimia yang mempengaruhi kesesuaian air untuk suatu penggunaan tertentu. Karena dalam kondisi ini metabolisme meningkat, sehingga nafsu makan juga naik. Apabila kondisi perairan menurun dapat menyebabkan kematian pada ikan patin yang dipeliharanya Purnamawati, 2002. Dalam budidaya ikan patin, kualitas air harus disesuaikan dengan kebiasaan ikan yang akan dibudidayakan. Menurut Slembrouck et al, 2005 budidaya ikan patin dalam KJA padat tebar 1,25 ekor ikan per m 2 , DO 5,9-8,1 mg.L -1 , suhu 25-31 C daya konduksi 35-75 µS dan pH 6-7. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur metabolisme serta penyebaran organisme dan mempengaruhi pada sifat fisik kimiawi perairan. Kenaikan suhu dapat menurunkan kandungan oksigen serta menaikan daya toksik yang ada dalam suatu perairan tertentu. Suhu juga berpengaruh langsung pada organisme perairan tertentu di dalam proses fotosintesis tumbuhan akuatik dan siklus reproduksi Sverdrup et al. 1961. Lebih jauh menurut Wardojo 1975, kenaikan suhu air sebesar 10 O C akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewani akuatik dua kali lebih banyak. Menurut Gunarso 1985, ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun hanya 0,03 O C. Sedangkan suhu air yang baik untuk budidaya ikan laut yaitu berkisar antara 27 O C—32 O C Mayunar el al.1995. Suhu air merupakan parameter terpenting yang memberikan pengaruh proses fisiologi terhadap ikan, seperti laju pernapasan, efisiensi makanan, pencernaan, pertumbuhan, prilaku, reproduksi, dan laju metabolisme di dalam tubuh ikan. Kenaikan temperatur akan meningkatkan laju metabolisme dan meningkatkan konsumsi oksigen dan aktivitas gerak ikan Beveridge 1996; Handojo 1994; Zonneveld et al. 1991, aktivitas makan, kebutuhan energi, maintenan, aktivitas enzim, difusi molekul-molekul kecil, fungsi membran, dan kecepatan sintesis protein Houlihan et al. 1993. Menurut Tarsim 2000 suhu air sangat berkaitan dengan konsentrasi oksigen dalam air dan laju konsumsi oksigen hewan air. Saputra et al. 2007 mengemukakan bahwa suhu air merupakan salah satu parameter kualitas air yang memegang peranan penting di dalam kehidupan dan pertumbuhan biota perairan. Suhu berpangaruh langsung pada organisme perairan terutama di dalam proses fotosintesis tumbuhan akuatik, proses metabolisme, dan siklus reproduksi. Tingkat keasaman pH adalah suatu ukuran untuk menyatakan besarnya konsentrasi ion hydrogen H + di dalam air Tebbut 1992 dalam Effendi 2003. Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Nila pH suatu perairan sangat ditentukan oleh CO 2 dan substansi asam. Phytoplankton dan tanaman air lainnya mengambil CO 2 selama berlangsungnya proses fotosintesis, sehingga pH perairan meningkat di siang hari dan kembali turun pada malam hari Boyd Licthkoppler 1982; Zonneveld et al. 1991. Mackereth et al. 1989 berpendapat bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH 5, alkalinitas dapat mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Larutan yang bersifat asam pH rendah bersifat korosif. Dalam keadaan tidak ada oksigen akan dihasilkan hidrogen sulfida H 2 S, amonia NH 3 , dan metana CH 4 . Hampir semua senyawa yang dihasilkan tersebut bersifat asam yang pada akhirnya akan menurunkan pH. Zat tersebut akan digunakan untuk proses fotosintesis, sehingga kandungan karbondioksida akan menurun, dan ion bikarbonat HCO 3 - akan berubah menjadi CO 2 dan ion OH - . Adanya dominasi ion hidroksil ini mengakibatkan pH air meningkat Prihadi, 2005. Pada pemeliharaan ikan, pH memiliki arti penting untuk diketahui karena nilai pH yang ekstrim dapat merusak permukaan insang sehingga menyebabkan kematian pada ikan. Selain alasan tadi, pH juga dapat meningkatkan efek toksik beberapa polutan seperti amonia, sianida, dan logam berat seperti aluminium Beveridge 1987. Boyd Licthkoppler 1982 menyatakan kisaran pH pada budidaya ikan adalah sebagai berikut: pH 4-11 adalah titik mati asam dan basa, pH antara 4-6, dan antara 9-10, ikan dapat hidup tapi pertumbuhannya lambat, sedangkan pH 6,5 dan 9 merupakan kisaran optimum bagi kehidupan ikan. Supaya ikan dapat tumbuh maksimal, pH harus tetap ideal dengan fluktuasi yang kecil Stickney 1993. Moss 1993 mengatakan jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya karbondioksida. Di dalam air karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat. Keadaan ini juga bisa terjadi jika 1 dari karbondioksida bereaksi dengan air, sehingga membentuk asam karbonat Cole 1988. Pada pembentukan asam karbonat tersebut akan dihasilkan ion hidrogen yang mengakibatkan pH perairan menurun. Kesadahan adalah gambaran kation divalen. Kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun membentuk endapan maupun dengan anion-anion yang terdapat di dalam air membentuk endapan atau karat pada peralatan logam. Pada perairan tawar, kation divalen yang paling berlimpah adalah kalsium dan magnesium, sehingga kesadahan pada dasarnya ditentukan oleh jumlah kalsium dan magnesium. Kalsium dan magnesium berikatan dengan anion penyusun alkalinitas, yaitu bikarbonat dan karbonat. Kesadahan diklasifikasikan berdasarkan dua kelompok, yaitu 1 berdasarkan ion logam metal dan 2 berdasarkan anion yang berasosiasi dengan logam. Berdasarkan ion logam, kesadahan dibedakan menjadi kesadahan kalsium dan kesadahan magnesium Effendi 2003. Oksigen terlarut merupakan parameter kimia yang paling kritis di dalam budidaya ikan. Oksigen dalam air terutama yang berasal dari udara melalui difusi dan hasil sampingan fotosintesis tumbuhan akuatik terutama fitoplankton Mayunar et al. 1995. Menurut Connel Miller 1995, proses fotosintesis menyebabkan peningkatan oksigen terutama siang hari dan mencapai maksimum pada sore hari, selanjutnya konsentrasi oksigen terlarut menurun menjelang malam hingga pagi hari oleh aktivitas respirasi organisme dan dekomposisi bahan organik. Sehingga oksigen terlarut menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup biota air. Menurut Boyd 2001 bahwa pemuatan dan pelepasan hemoglobin dengan oksigen diatur oleh tegangan oksigen. Karena hemoglobin melepaskan oksigen ke dalam jaringan tubuh. Kelarutan oksigen merupakan salah satu faktor kualitas air yang paling kritis dalam budidaya ikan di kolam, sehingga goncangan oksigen sedikit saja langsung dapat dirasakan oleh ikan. Kelarutan oksigen di perairan dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas, dan salinitas Boyd Licthkoppler 1982. Selanjutnya dinyatakan bahwa sumber oksigen di kolam berasal dari fotosintesis phytoplankton dan difusi dari udara, sedangkan penyebab utama berkurangnya kelarutan oksigen adalah karena respirasi plankton, respirasi ikan, respirasi organisme dasar, dan difusi ke udara. Oksigen terlarut merupakan salah satu komponen utama dari daya dukung lingkungan yang dihasilkan dari proses fotosintesis fitoplankton dan makrofita. Banyaknya oksigen terlarut dalam kolam merupakan salah satu parameter kualitas air yang paling peka untuk kehidupan ikan. Menurut Cholik et al. 1986 dan Sunarti 1992, bila konsentrasi oksigen terlarut tetap sebesar 3 atau 4 mgL untuk jangka waktu lama maka ikan akan menghentikan aktivitas dan pertumbuhannya akan berhenti.

3. METODOLOGI PENELITIAN