diketahui secara spasial kemungkinan peletakan blok-blok lahan pertanian, dan fasilitas terbangun.
Analisis curah hujan harian bulanan, kualitas tanah, ketersediaan air, bentukan alami dalam tapak, dilakukan untuk menentukan jenis usaha tani yang
dapat dikembangkan. Analisis view dilakukan untuk memanfaatkan view menarik dalam tapak atau di luar tapak sebagai sajian yang menarik. Konsentrasi
pengunjung dapat ditempatkan menghadap view menarik. Analisis potensi pengunjung dan preferensinya membantu dalam penyiapan pengembangan lokasi.
Analisis utilitas exisiting di dalam tapak atau di sekitar tapak, akan memberi gambaran tingkat ketersedian utilitas bagi lokasi yang akan dikembangkan.
4.5 Analisis Kondisi Ekologi
4.5.1 Aspek Biofisik Tapak
Berdasarkan Peta Topografi Kawasan Gunung Leutik, diketahui kondisi topografi bervariasi dari bergelombang sampai bergunung. Ketinggian tempat
diketahui bervariasi dari titik terendah di daerah sungai yaitu 156m dpl hingga titik tertinggi yaitu puncak Gunung Leutik pada ketinggian 188m dpl Gambar
16. Kelas kemiringan lereng dijumpai bervariasi dari agak datar 3-8 sampai bergunung 35. Lahan datar dan landai terutama terdapat pada lahan unit I
atau area pendidikan dan pemukiman pesantren serta Unit III atau area persawahan Kampung Gunung Leutik. Pada kemiringan agak datar sampai
berbukit dijumpai sawah irigasi dan non irigasi dengan sistem teras. Pada kemiringan 8–15 dijumpai pertanian lahan kering jagung dan palawija dan
sayuran, sedangkan tanaman perkebunan dan tanaman hutan rakyat di lokasi penelitian dijumpai pada kemiringan 15 ke atas. Keragaman bentukan lahan
seperti bukit, sungai, dan area pertanian merupakan potensi sebagai objek wisata pada kawasan. Faktor yang perlu diperhatikan adalah konservasi lahan dan
keselamatan pengunjung terkait dengan kondisi lahan sebagai bahan pertimbangan kenyamanan beraktivitas wisata. Pola drainase berperan dalam
ketersediaan air atau suplai air di lokasi. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui pola drainase menyerupai percabangan pohon dendritic, dan bersifat radial
ditinjau dari beberapa titik percabangan tertinggi yang menjadi cabang pertemuan
aliran-aliran antara Sungai Cinangneng yang berada di dalam kawasan dengan Sungai Ciampea yang mengalir di sekitar kawasan. Aliran sungai berlangsung
sepanjang tahun sehingga dapat menjadi sumber air yang terus menerus dan berpotensi sebagai penunjang aktivitas permukiman, pertanian, peternakan,
perkebunan, dan perikanan tambak yang terdapat di dalam kawasan. Kondisi ini merupakan nilai positif dan menunjang pengembangan agrowisata di dalam
kawasan. Berdasarkan data iklim dengan kurun waktu 5 tahun, diketahui rata-rata
curah hujan bulanan di kawasan berkisar antara 226-332 mm dan termasuk dalam kategori Bulan Basah 200 mm per bulan sepanjang tahun. Rata-rata curah
hujan harian 7.5-11.0 mm yang lebih tinggi dari rata-rata penguapan 3.8-4.1 mm, menyebabkan ketersediaan air untuk tanaman tercukupi dan intensitas
penyiraman tanaman di kawasan perencanaan dikategorikan tidak intensif. Rata-rata suhu udara maksimum mencapai 31.7 ºC dengan kelembaban
relatif udara mencapai 83, kondisi tersebut tergolong tidak nyaman. Curah hujan yang tinggi setiap bulan, menyebabkan periode cuaca cerah menjadi lebih
sempit, sehingga dapat berdampak mengurangi waktu beraktifitas di ruang terbuka. Keberadaan pohon-pohon penaung dan sheltermerupakan faktor penting
terkait dengan kondisi cuaca kawasan untuk memberikan kenyamanan beraktifitas pada obyek-obyek wisata yang direncanakan. Kelembaban relatif udara dengan
rata-rata persentase di kawasan di atas 80, menjadi pertimbangan untuk penyediaan ruang-ruang terbuka, dan koridor pergerakan angin yang dapat
menurunkan kelembaban udara. Sistem hidrologi di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh karakteritik
badan air terutama oleh daerah aliran sungai yang ada. Faktor tataguna lahan, kemiringan lahan yang sangat bervariasi maupun panjang lereng yang secara
alami ataupun buatan ikut berperan. Aliran air bersumber dari rawa yang bervegetasi pohon kirai, dan dari jaringan sistim irigasi desa. Air bersih dalam
kawasan pesantren bersumber dari WTP Water Treatment Plant Pesantren yang menggunakan air baku dari Sungai Ciampea. Pada Unit II peternakan dan
Perkampungan Gunung Leutik, air bersih yang digunakan berasaldipompa dari
air tanah. Untuk keperluan pelayanan pengunjung wisata kapasitas WTP pesantren perlu diperbesar sesuai keperluan untuk pelayanan.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bogor, tanah pada kawasan berasal dari aluvium gunung berapi berumur kuarter atau sedimentasi batuan beku atas yang
tergolong masih muda Qva. Adapun bahan induknya terdiri dari Tuf Andesit. Bahan induk ini bersifat andesitik atau intermedier netral mendominasi
pembentukan jenis tanah di lokasi penelitian. Berdasarkan Tim Peneliti Tanah Daerah JABOTABEK 1980, jenis tanah yang terbentuk di lokasi adalah
Latosol Coklat dan Latosol Coklat Kemerahan atau sepadan dengan ordo tanah Inceptisol USDA, 1968. Penyebaran tersebut terlihat akibat perbedaan topografi
dan posisi dalam lereng. Latosol Coklat dijumpai pada tempat-tempat yang masih tertutup vegetasi pohon yang ditanam maupun alami, sedangkan Latosol Coklat
Kemerahan dijumpai pada lereng-lereng yang sudah terbuka maupun pada yang intensif digunakan untuk pertanaman lahan kering.
4.5.2 Aspek Kesesuaian Fisik Lahan Pertanian