10 makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain Esti dan Prihatman
2000. Adapun contoh produk industri rumah tangga yang dihasilkan dari tepung tapioka adalah kue aci, kue telur gabus, bika ambon, kerupuk aci, kerupuk jengkol, kue seroja, dan kue semprong.
Tepung dan hasil olahnya merupakan salah satu jenis pangan yang diijinkan untuk memperoleh SPP-IRT. Dalam Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 disebutkan
bahwa produk IRTP berbasis tepung yang diijinkan untuk memperoleh SPP-IRT adalah bihun, biskuit, bagelan, dodol jenang galamai, kerupuk, kue brem, kue kering, makaroni, mie kering,
tapioka, tepung aren, tepung arcis, tepung beras ketan, tepung gandum bukan tepung terigu yang wajib SNI, tepung hunkuwe, tepung kedele, tepung kelapa, tepung kentang, tepung pisang, tepung
sagu, tepung sukun, roti bluder, rempeyek peyek, sohun, bakpao, bakpia pia, nika ambon, cakue, cendol, cimol, cone wadah es krim yang dapat dimakan edible, kulit lumpia pangsit, moci, molen
bolen, mutiara pacar cina, pilus, dan yangko.
D. Bahan Kimia dalam Produk Pangan
1. Bahan Tambahan Pangan BTP
BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi BPOM 2004. Sedangkan menurut
definisi Peraturan Menteri Kesehatan RI No.033 tahun 2012, BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. BTP yang diperkenankan untuk
digunakan di Indonesia berdasarkan peraturan tersebut dikelompokkan ke dalam jenis-jenis BTP yaitu antibuih, antikempal, antioksidan, bahan pengkarbonasi, garam pengemulsi, gas untuk kemasan,
humektan, pelapis, pemanis, pembawa carrier, pembentuk gel, pembuih, pengatur keasaman, pengawet, pengembang, pengemulsi, pengental, pengeras, penguat rasa, peningkat volume, penstabil,
peretensi warna, flavouring, perlakuan tepung flour treatment agent, pewarna, propelan, dan sekuestran.
Ketidakpahaman akan sifat dan karakteristik BTP dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaannya, misalnya penggunaan BTP berlebih dan penggunaan BTP yang keliru atau senyawa
yang tidak tergolongan BTP. Pemakaian yang berlebihan dan senyawa bukan BTP jelas akan membahayakan bagi kesehatan. Permasalahan utama dalam penggunaan BTP lebih terletak pada
masalah estetika dan dosis Wijaya dan Mulyono 2009. Menurut Winarno 2004, batas maksimum penggunaan BTP yang aman dapat dihitung berdasarkan nilai Acceptable Daily Intake ADI, jumlah
makanan harian yang dikonsumsi yang mengandung BTP, dan berat badan rata-rata dari konsumen dewasa dalam kilogram. ADI adalah batasan seberapa banyak konsumsi BTP yang dapat diterima dan
dicerna setiap hari sepanjang hayat tanpa mengalami resiko kesehatan. ADI dihitung berdasarkan berat badan konsumen.
2. Penyalahgunaan Bahan Kimia
Sering tidak disadari bahwa dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari ternyata banyak mengandung zat-zat kimia yang bersifat racun, baik sebagai pewarna, penyedap rasa, dan bahan
campuran lain. Zat-zat kimia ini sangat berpengaruh terhadap tubuh dalam level sel, sehingga dampak bagi tubuh akan diketahui dalam waktu yang lama setelah makanan dikonsumsi. Dampak negatif yang
bisa terjadi berupa kanker, kelainan genetik, cacat bawaan, dan lain-lain. Selain banyak tersedia di pasaran, bahan-bahan tersebut juga memiliki harga yang relatif murah. Berikut contoh
penyalahgunaan bahan berbahaya pada produk pangan: a
Formalin
11 Formalin adalah nama dagang larutan formaldehida dalam air dengan kadar 36-40.
Formalin biasanya juga mengandung alkohol metanol sebanyak 10-15. Di pasaran formalin diperoleh dalam bentuk yang sudah diencerkan, yaitu kadar formaldehida 30, 20, dan 10
Winarno 2004. Konsentrasi yang tinggi dalam tubuh dapat menimbulkan reaksi kimia dengan hampir semua zat di dalam sel, sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan organ
tubuh. Kerusakan di dalam sel terjadi karena formalin mengkoagulasi protein yang terdapat pada protoplasma dan nukleus. Formalin yang terkonsumsi dalam jumlah yang berlebih dalam tubuh
akan bersifat toksik. Hal ini akan menyebabkan gangguan fisiologis dan metabolisme dalam tubuh Cahyadi 2006. Menurut International Programme on Chemical Safety, ambang batas aman
formalin di dalam tubuh adalah 1 mgL. Efek pemberian formaldehid per oral dengan dosis 100 mgkg berat badan selama 2 bulan melalui air minum pada hewan percobaan menunjukkan
terhambatnya pertumbuhan berat badan, produksi urin menurun, dan penipisan bagian depan lambung Saraswati dkk. 2009
. Menurut Rahayu dan Mulyani 2011, produsen makanan yang tidak bertanggung jawab
menggunakan formalin sebagai bahan tambahan untuk pengawet pada produk ikan asin, ikan basah, mi basah, tahu, ayam, buah-buahan dan lain-lainnya. Ciri-ciri produk mi basah berformalin
antara lain 1 tidak rusak sampai 2 hari pada suhu kamar 25
o
C dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es 10
o
C; 2 bau agak menyengat, bau formalin; 3 tidak lengket dan mi lebih mengkilap dibanding mi normal.
b Boraks
Menurut Winarno 2004, boraks merupakan garam Na
2
B
4
O
7
10 H
2
O yang banyak digunakan di berbagai industri non pangan, khususnya industri kertas, gelas, kayu, dan keramik.
Daya pengawet boraks disebabkan karena adanya senyawa aktif asam borat H
3
BO
3
. Larutan asam borat dalam air 3 banyak digunakan sebagai obat cuci mata yang dikenal sebagai
boorwater. Asam borat juga digunakan sebagai obat kumur, obat semprot hidung, dan salep luka. Tetapi bahan ini tidak boleh diminum atau digunakan pada luka luas karena beracun bila terserap
masuk tubuh. Boraks sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi atau kerupuk gendar. Di beberapa daerah di Jawa boraks dikenal dengan nama karak atau lempeng.
Boraks juga digunakan dalam pembuatan mi, lontong, ketupat, bakso, dan kecap. Menurut Cahyadi 2008, efek farmakologi dan toksisitas senyawa boron atau asam borat
merupakan bakterisida lemah. Walaupun demikian, pemakaian berulang atau absorpsi berlebihan dapat mengakibatkan toksik keracunan. Kematian pada orang dewasa dapat terjadi pada dosis
15-25 gram. Sedangkan kematian pada anak dapat terjadi pada dosis 5-6 gram. c
Metanyl Yellow Pewarna Kuning Metanyl Yellow merupakan pewarna kuning yang sering disalahgunakan sebagai pewarna
mi, tahu, kue basah, kerupuk, jeli, agar-agar, dan manisan mangga. Penggunaan metanyl yellow dilaporkan dapat merusak hati, kandung kemih, saluran pencernaan, dan kulit Kusmayadi dan
Sukandar 2009. Pemakaian pewarna ini harus diganti dengan pewarna alami dari kelompok karotenoid atau pewarna sintetis, seperti tartrazin, kuning kuinon, dan kuning FCF.
d Rhodamin B Pewarna Merah
Rhodamin B merupakan pewarna merah yang tidak boleh digunakan sebagai BTP, namun sering digunakan sebagai pewarna sirup, minuman ringan, makanan ringan, es doger, cendol, kue
basah, kerupuk, terasi, saus sambal, dan saus tomat Kusmayadi dan Sukandar 2009. Wijaya dan Mulyono 2009 menyatakan bahwa terdapat beberapa gejala keracunan akibat Rhodamin B antara
lain: 1 bila terhirup, akan menyebabkan iritasi saluran pernapasan; 2 bila terkena kulit,
12 menyebabkan iritasi kulit; 3 bila terkena mata, menyebabkan iritasi mata, mata memerah, dan
inflamasi pada kelopak mata; 4 bila tertelan, akan terjadi keracunan dan urin berwarna merah. Bahan kimia berbahaya lainnya yang termasuk dalam bahan tambahan yang dilarang
digunakan dalam pangan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.033 tahun 2012 tentang BTP adalah 1 asam salisilat dan garamnya; 2 dietilpirokarbonat; 3 dulsin; 4 kalium bromat; 5 kalium
klorat; 6 kloramfenikol; 7 minyak nabati yang dibrominasi; 8 nitrofurazon; 9 dulkamara; 10 kokain; 11 nitrobenzene; 12 sinamil antranilat; 13 dihidrosafrol; 14 biji tonka; 15 minyak
kalamus; 16 minyak tansi; 17 minyak sasafras. 3.
Residu Kimia dalam Kemasan Plastik Saat ini kemasan plastik sudah mendominasi industri makanan di Indonesia. Bahan kemasan
plastik dibuat menggunakan bahan mentah monomer yang tersusun sambung-menyambung menjadi bentuk polimer. Masalah yang timbul adalah adanya dua bahan plastik utama yaitu polyvinyl cloride
dan copolimer akrilonitril tinggi memiliki monomer-monomer yang cukup beracun dan diduga keras sebagai senyawa karsinogenik penyebab kanker. Beberapa monomer yang berbahaya adalah vynil
klorida, akrilonitril, betacrylonitril, vinylidene klorida serta styrene. Dalam plastik juga berisi beberapa aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisiko kimia plastik itu sendiri. Bahan
aditif yang ditambahkan tersebut disebut komponen non plastik berupa senyawa anorganik atau organik yang memiliki berat molekul rendah seperti filler, stabilizer, plasticizer, dan pewarna. Bahan
aditif ini pada umumnya bersifat racun Winarno 2004. Kelemahan kemasan plastik adalah adanya zat-zat monomer dan molekul kecil lain dari plastik
yang dapat bermigrasi ke dalam bahan makanan yang dikemas. Fenomena interaksi antara kemasan dengan bahan pangan merupakan hal penting. Fenomena tersebut salah satunya adalah proses transfer
atau migrasi senyawa-senyawa yang berasal dari kemasan ke dalam produk pangan khususnya kemasan yang berbahan dasar plastik BPOM 2005. Secara garis besar, interaksi produk pangan
dengan kemasannya meliputi 1 migrasi komponen kemasan ke dalam pangan; 2 permeabilitas gas dan uap air melaui kemasan; 3 penyerapan uap organik dari pangan ke bahan kemasan; 4 transfer
interaktif akibat dari transmisi cahaya; dan 5 flavor scalping sorbtion yaitu proses penyerapan rasa, aroma atau zat pewarna dari bahan pangan ke bahan kemasan. Interaksi ini terjadi karena adanya
kontak langsung antara bahan kemasan dengan produk pangan yang adanya di dalamnya. Interaksi antara kemasan dan pangan yang dikemas ini menimbulkan adanya pengaruh kesehatan dalam jangka
panjang bagi seseorang yang mengkonsumensi zat-zat kimia tersebut Anonim 2006. Menurut Winarno 2004, semakin tinggi suhu makanan yang dikemas, semakin banyak zat
plastik yang mengalami migrasi masuk bercampur dengan makanan, sehingga setiap mengonsumsi makanan tersebut maka secara tidak sadar zat-zat termigrasi tersebut juga ikut terkonsumsi dan
masuk ke dalam tubuh. Semakin lama disimpan, semakin terlampaui batas maksimumnya. Oleh karena itu, keterangan batas ambang waktu kadaluarsa bagi produk yang dikemas plastik perlu
diberitahukan secara jelas kepada konsumen.
IV. METODOLOGI