17
B. Potensi Bahaya pada Produk Berbasis Tepung
Tepung merupakan salah satu contoh bahan pangan kering yang tidak mudah rusak. Tepung banyak digunakan dalam pembuatan produk IRTP Tabel 1. Meskipun memiliki tingkat resiko yang
rendah, namun tepung juga memiliki potensi untuk menimbulkan bahaya. Potensi bahaya pada produk berbasis tepung adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan Tepung yang Rusak
Tepung memiliki syarat mutu SNI yang berbeda-beda untuk masing-masing jenisnya. Adapun syarat mutu SNI yang dimaksud tertera pada SNI 3751:2009 untuk syarat mutu tepung
terigu, SNI 3549:2009 untuk syarat mutu tepung beras, SNI 01-4447-1998 untuk syarat mutu tepung ketan, dan SNI 3451-2011 untuk syarat mutu tepung tapioka. Ciri-ciri tepung yang rusak
antara lain berdasarkan faktor fisik adalah warna berubah menjadi kecoklatan, terdapat kutu atau serangga lainnya, serta terjadinya gumpalan-gumpalan pada tepung. Dalam syarat mutu SNI
tepung terigu, tepung beras, tepung tapioka, dan jenis tepung lainnya tercantum bahwa serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak tidak boleh ada dalam tepung.
Dari faktor kimia, tepung terigu yang rusak memiliki pH 5 dan kadar air 14.5; tepung beras yang rusak memiliki 5 pH 7 dan kadar air 13; tepung ketan yang rusak memiliki pH 4
dan kadar air 12; dan tepung tapioka yang rusak memiliki pH 4 dan kadar air 14. Sedangkan dari faktor mikrobiologi, tepung yang rusak biasanya terkontaminasi oleh bakteri
e scherecia coli,
b acillus cereus, dan kapang.
Pada industri rumah tangga biasanya kerusakan tepung diakibatkan karena kesalahan dalam penyimpanan penggudangan, belum menerapkan cara produksi pangan yang baik untuk industri
rumah tangga CPPB-IRT, proses produksi yang tidak higienis, dan tempat penyimpanan tepung yang tidak higienis. Menurut Rahayu dan Nababan 2011 sebagian besar IRTP belum menerapkan
CPPB sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, kesadaran, motivasi, kemampuan finansial, dan belum diterapkannya sistem manajemen formal pada IRTP.
Penyimpanan yang salah dapat mengakibatkan bahan pangan menjadi rusak dan terserang hama serangga bahkan tikus. Menurut Amy 2010, cemaran serangga pada tepung terjadi akibat
proses produksi tepung dan tempat penyimpanan tepung yang tidak higienis, serta kondisi tempat penyimpanan yang mendukung pertumbuhan kutu. Kutu yang mengkontaminasi tepung dapat
meninggalkan feces kotoran dan telur. Tepung yang sudah tercemar karena banyak mengandung larva akan berubah warna menjadi keabu-abuan dan cepat berjamur.
Telur-telur kutu atau serangga lainnya dapat tertinggal di dalam makanan sebelum atau setelah pengolahan. Untuk menghancurkan telur-telur serangga tersebut biasanya tepung
dilewatkan di dalam centrifuge. Benturan-benturan yang keras dari dinding centrifuge mengakibatkan telur-telur serangga menjadi pecah. Meskipun sudah pecah, telur-telur tersebut
masih tetap tertinggal di dalam tepung tetapi tidak dapat digunakan untuk memperbanyak diri Muchtadi 2008. Adanya kontaminasi serangga jelas sangat berkaitan dengan sanitasi sebagai
masalah utama yang selalu dihadapi dan kurang diperhatikan oleh industri rumah tangga. Kerusakan tepung sebenarnya dapat dicegah dengan mengendalikan faktor-faktor yang
dapat menyebabkan kerusakan tepung. Kerusakan tepung yang diakibatkan karena faktor fisik, kimia, dan mikrobiologi dapat dicegah dengan memperhatikan dan menerapkan cara penyimpanan
tepung yang baik dan benar. Menurut Bartono 2005 ada beberapa cara yang perlu diperhatikan agar tepung yang
disimpan dapat bertahan lama. Cara-cara tersebut antara lain, karung tepung yang di tumpuk di atas lantai harus dialasi papan atau penyangga, gudang harus mempunyai ventilasi yang baik yang
memungkinkan pertukaran udara segar di sekitar timbunan tepung, tepung harus terhindar dari
18 sinar matahari langsung, udara tidak boleh terlalu kering atau terlalu lembab, dan suhu berkisar
antara 19
o
C-24
o
C. Tepung mudah menyerap bau-bauan sehingga harus disimpan terpisah dari bahan-bahan yang mengeluarkan bau, seperti bensin, minyak tanah, rempah-rempah, bawang, dan
berbagai bumbu. Tepung yang akan disimpan harus sudah terbebas dari serangga. Selain itu pengambilan tepung harus diatur dengan sistem FIFO artinya tepung yang masuk terlebih dahulu
harus dikeluarkan atau digunakan lebih dulu atau FEFO artinya tepung yang masa kedaluwarsanya lebih pendek harus dikeluarkan lebih dulu. Oleh karena itu, kondisi ruang penyimpanan seperti
suhu dan letak dari ruang penyimpanan sangat penting untuk diperhatikan oleh IRTP agar tepung yang akan digunakan sebagai bahan baku produk terhindar dari kerusakan yang dapat berpotensi
menimbulkan bahaya dan akan mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan. Selain mengatur cara penyimpanan dan pengambilan tepung, faktor lain yang harus
diperhatikan adalah pemilihan bahan baku dari suplier produsen tepung yang baik, inspeksi pemeriksaan tepung saat penerimaan, dan memperhatikan kondisi tepung sebelum digunakan.
Parameter yang harus diperhatikan dalam hal ini antara lain, tepung harus memiliki bentuk halus atau tidak ada gumpalan, bau yang normal tidak berbau apek tidak berbau asing, warna putih
khas tepung, tidak boleh ada benda asing, dan tidak boleh ada kutu serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak. Bila pada saat inspeksi pemeriksaan tepung
didapatkan tepung yang tidak memenuhi syarat, maka tepung tersebut tidak boleh digunakan karena akan berpotensi menimbulkan bahaya dan akan mempengaruhi mutu produk yang
dihasilkan. 2.
Penyalahgunaan Bahan Berbahaya, BTP Berlebih, dan Cemaran Mikroba selama Proses Pengolahan Produk Berbasis Tepung
Pada dasarnya produk tepung memiliki tingkat bahaya yang rendah apabila IRTP yang menghasilkan produk tersebut menerapkan Cara Produksi Pangan yang Baik CPPB. Penyebab
utama produk tepung menjadi bahaya biasanya karena penyalahgunaan bahan-bahan berbahaya pada pengolahan pangan. Saat ini banyak produsen nakal yang memproduksi produk berbasis
tepung dengan penambahan Bahan Berbahaya BB seperti pewarna Rhodamin B atau metanil yellow yang digunakan pada produk kerupuk, formalin pada produk mi, dan boraks pada produk
bakso. Berdasarkan data hasil pengawasan PJAS pada IRTP tahun 2010, masih ditemukan
beberapa sampel yang mengandung bahan berbahaya seperti formalin, boraks, dan Rhodamin B. Data lengkap hasil pengawasan PJAS tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 . Data penyalahgunaan bahan berbahaya pada PJAS tahun 2010
Jenis bahan berbahaya
BB Total
sampel Jumlah
sampel MS
Jumlah sampel TMS Jelly
Minuman Es
Kudapan Makanan ringan
Mi Bakso
Rhodamin B 2643
2579 1
5 22
36 -
- Boraks
2056 1914
- -
- 97
14 31
Formalin 2056
1998 -
- -
17 36
5 MS : memenuhi syarat
TMS : tidak memenuhi syarat
19 Sampel yang memenuhi syarat MS adalah makanan yang tidak mengandung bahan
berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba. Sedangkan sampel yang tidak memehuhi syarat TMS adalah makanan yang mengandung bahan berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba
yang apabila dikonsumsi dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sampel TMS untuk setiap jenis bahan berbahaya yang ditemukan lebih sedikit
dibandingkan dengan sampel MS. Meskipun demikian, kondisi ini tetap harus diperhatikan mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan-bahan berbahaya yang digunakan, misalnya
keracunan. PJAS merupakan makanan yang dikonsumsi oleh anak sekolah. PJAS juga berkontribusi
dalam memberikan asupan energi dan gizi bagi anak-anak usia sekolah. Tingkat keamanan PJAS yang masih buruk, jika tidak ditanggulangi akan memperparah masalah rendahnya status gizi
anak-anak sekolah. Apalagi dampak mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan kimia berbahaya secara terus menerus baru akan terlihat dalam jangka panjang. Hal ini akan berdampak
pada kualitas Sumber Daya Manusia SDM Indonesia pada masa yang akan datang. Andarwulan 2009 menyatakan bahwa kualitas SDM yang menjadi penggerak pembangunan di masa yang
akan datang ditentukan oleh pengembangan SDM saat ini, termasuk pada usia sekolah. Pembentukan kualitas SDM sejak masa sekolah akan mempengaruhi kualitasnya pada saat mereka
mencapai usia produktif. Dengan demikian, kualitas anak sekolah penting untuk diperhatikan karena masa ini merupakan masa pertumbuhan anak dan sangat pentingnya asupan zat gizi serta
keamanan makanan yang dikonsumsi di sekolahnya. Pada Tabel 2 terlihat kandungan Rhodamin B positif ditemukan pada produk jelly,
minuman, es, dan kudapan makanan ringan. Boraks dan formalin positif ditemukan pada produk kudapan makanan ringan, mi, dan bakso. Produk pangan yang paling banyak mengandung boraks
adalah kudapan makanan ringan sebanyak 97 sampel dan produk yang paling sedikit mengandung boraks adalah mi sebanyak 14 sampel. Penggunaan formalin paling banyak ditemukan pada mi
yaitu 36 sampel dan paling sedikit pada bakso yaitu 5 sampel. Penggunaan Rhodamin B paling banyak pada kudapan makanan ringan sebanyak 36 sampel dan paling sedikit pada produk jelly
sebanyak 1 sampel. Pada tahun 2011 BPOM kembali melakukan sampling untuk produk pangan. Sebanyak
18000 lebih sampel makanan dinyatakan memenuhi syarat keamanan pangan dan ditemukan 2000 lebih sampel makanan yang tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Jenis temuan pada makanan
IRTP yang tidak memenuhi syarat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
. Hasil sampling BPOM tahun 2011 untuk produk pangan yang TMS No
Kandungan bahan pada produk yang TMS Jumlah
1 Formalin
151 2
Boraks 138
3 Rhodamin B
197 4
Metanil Yellow 3
5 Auramin
1 6
Cemaran Mikroba 1102
7 Pengawet Benzoat
205 8
Pemanis 416
Hasil sampling Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis temuan yang paling banyak pada produk pangan yang tidak memenuhi syarat adalah cemaran mikroba sebesar 1102 sampel. Total
20 sampel yang mengandung bahan berbahaya seperti formalin, boraks, Rhodamin B, metanil yellow,
dan auramin yaitu sebesar 490 sampel. Sedangkan total sampel yang menggunakan BTP berlebih seperti pengawet benzoat dan pemanis yaitu sebesar 621 sampel. Dengan demikian, sampel yang
mengandung BB masih dalam jumlah yang paling sedikit dibandingkan sampel yang mengandung cemaran mikroba atau sampel yang menggunakan BTP berlebih. Hal tersebut tetap perlu mendapat
perhatian serius. Menurut Cahyadi 2008, pangan yang mengandung BB umumnya tidak terlihat dampaknya karena pengaruhnya baru terlihat dalam waktu yang relatif panjang. Pengaruh yang
terjadi dapat berupa kerusakan ginjal, kelainan reproduksi, dan kanker. Jika hal ini sampai terabaikan maka mungkin suatu saat akan terjadi “booming” penyakit degeneratif akibat
mengkonsumsi pangan yang mengandung BB. 3.
Proses Pengolahan yang Salah Proses pengolahan juga dapat menimbulkan potensi bahaya. Salah satu contohnya adalah
proses pengolahan tepung. Peneliti di Badan Pengawas Makanan Nasional Swedia Swedish National Food Administration dan Stockhlom University, pada April 2002 melaporkan penemuan
akrilamida dalam berbagai makanan yang dipanggang atau digoreng, seperti keripik kentang, kentang goreng, pop corn, sereal, dan biskuit Felicia 2009. Menurut Stadler et al. 2002,
akrilamida terbentuk akibat pengolahan pada suhu tinggi terhadap asam amino tertentu seperti asparagin, terutama apabila dikombinasikan dengan gula pereduksi. Pada tahapan intermediet
reaksi Maillard, asam amino mengalami dekarboksilasi dan deaminasi untuk membentuk senyawa aldehid yang selanjutnya akan membentuk senyawa akrilamida Zyzak et al. 2003.
Menurut Oktafrina 2009, akrilamida terbentuk dari reaksi antara gula dan asam amino asparagin dengan melibatkan panas. Senyawa ini dapat direduksi dengan cara mengolah makanan
di bawah suhu 120
o
C. Menurut hasil penelitiannya, semakin tinggi suhu dan lama waktu penggorengan pada pengolahan keripik pisang maka jumlah akrilamida yang terbentuk akan
semakin tinggi. Maka dari itu, upaya mereduksi akrilamida saat pengolahan biasanya dilakukan dengan memodifikasi kondisi proses pengolahan. Parameter yang dimodifikasi berupa suhu dan
waktu pengolahan Zhang dan Zhang 2007. Pengolahan makanan dengan modifikasi proses pengolahan dapat dilakukan dengan penggorengan vakum. Hasil penelitian Granda et al. 2004
menunjukkan bahwa penggorengan vakum mampu mengurangi pembentukan akrilamida dalam keripik kentang sampai sekitar 94 dibandingkan dengan penggorengan tradisional kondisi
atmosfer. Akrilamida juga dapat dicegah atau dikurangi dengan menurunkan ataupun menghilangkan
kandungan asparagin di dalam bahan baku sebelum diolah. Kandungan asparagin dapat diturunkan dengan cara enzimatik maupun mikrobiologi fermentasi. Enzim yang dapat digunakan adalah
enzim asparaginase. Asparaginase dapat mencegah pembentukkan akrilamida dengan mengkonversi prekursornya menjadi bentuk asam amino lain aspartat. Asparaginase dapat
diproduksi dari mikroba seperti kapang Aspergillus oryzae. Asparaginase terbukti dapat menurunkan 40 sampai 95 kandungan akrilamida di dalam produk roti baked products tanpa
pengaruh negatif pada penampilan atau karakteristik produk yang dihasilkan Aisyah 2012. Selain itu, Fredriksson et al. 2004 menyatakan bahwa proses fermentasi adonan dengan yeast dapat
menurunkan kandungan asparagin bebas di dalam adonan. Semakin lama proses fermentasi maka roti yang dihasilkan mengandung akrilamida yang semakin rendah. Pada fermentasi
pengembangan adonan dalam waktu yang lama, yaitu 180 menit pada suhu 33
o
C dan 180 menit pada suhu 39
o
C, dapat menurunkan kandungan akrilamida di dalam roti sebesar 87.
21 Harahap 2006 menyatakan bahwa akrilamida bersifat iritan dan toksik. Uji klinis
menunjukkan bahwa paparan akrilamida dosis tinggi akan memicu gangguan saraf pusat, sedangkan paparan akrilamida dalam jangka waktu yang lama dengan dosis yang lebih kecil dapat
memicu gangguan pada sistem saraf tepi. Ada 5 jenis proses pengolahan yang digunakan oleh IRTP di Jawa Barat. Proses
pengolahan tersebut adalah penggorengan, pemanggangan, pencampuran, perebusan dan pengeringan. Data menunjukkan bahwa proses pengolahan pangan untuk menghasilkan produk
IRTP yang paling berkembang di Jawa Barat adalah proses penggorengan yaitu sebesar 48. Persentase proses pengolahan produk IRTP di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 . Persentase produk IRTP berbasis tepung berdasarkan teknologi yang digunakan
Dalam proses penggorengan, minyak umumnya menjadi penyebab utama timbulnya bahaya. Penggorengan merupakan fenomena transfer panas yang terjadi secara simultan yaitu
transfer panas, transfer massa air dan transfer minyak. Panas ditransfer dari minyak ke bahan, massa air diuapkan dari bahan, dan minyak diserap oleh bahan Sahin et al. 1999. Menurut
Muchtadi 2008, minyak goreng sebagai media pemindah panas akan mengalami degradasi, perubahan warna, aroma dan viskositas akibat proses penggorengan. Selama proses penggorengan
minyak bereaksi dengan oksigen membentuk hiperklorida yang nantinya akan membentuk radikal bebas atau terhidrasi menjadi senyawa keton. Hasil degradasi minyak ini bersifat toksik dan
kemungkinan mutagenik yang dapat memberikan resiko negatif terhadap kesehatan. Winarrno 2004 menyatakan bahwa penggorengan pada suhu tinggi sekitar 196
o
C yang menggunakan minyak bekas penggorengan berkali-kali dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi, polimerisasi
dan perubahan konfigurasi minyak sehingga menghasilkan asam lemak trans. Kualitas minyak jelantah menurun dari minyak goreng baru.
4. Pengemasan dan Pelabelan yang Salah
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang CPPB-IRT, produk industri rumah tangga P-IRT
adalah pangan olahan hasil produksi industri rumah tangga yang diedarkan dalam kemasan eceran dan berlabel. Kemasan plastik adalah jenis kemasan yang paling banyak digunakan oleh industri
pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan, transparan, kuat, mudah dibentuk, warna dan bentuk relatif disukai konsumen Buckle et al. 2007. Winarno 2004 memberikan beberapa
contoh penggunaan plastik sesuai kebutuhan produknya. Roti tawar sangat memerlukan 48
35 10
5 2 Penggorengan
Pemanggangan Pencampuran
Perebusan Pengeringan
22 perlindungan terhadap kelembaban sehingga memerlukan kemasan yang memiliki barrier
terhadap uap seperti LDPE. Keripik memerlukan kemasan yang memiliki barrier terhadap oksigen, uap air, serta tahan lemak. Kemasan yang tepat untuk keripik adalah PVDC
polyvinyllidene chloride yang dilapisi selofan, dilaminasi aluminium atau PVDC-glassin. Proses pengemasan sebagai tahap akhir proses pengolahan merupakan tahap paling kritis.
karena kemasan hanya dapat menahan kontaminasi dari luar. Disamping itu, zat-zat dalam bahan kemasan juga berpotensi mengkontaminasi produk pangan yang ada di dalamnya. Menurut Miguel
et al. 1997 selama proses pengemasan dan penyimpanan makanan, kemungkinan terjadi migrasi pemindahan bahan plastik pengemas dari bungkus ke makanan yang dikemas. Bahan yang
berpindah dapat berupa residu polimer monomer, katalis maupun aditif lain seperti filler, stabilizer, plasticizer, flalameretardant, serta pewarna. Aditif ini pada umumnya bersifat racun,
terikat secara kimia atau fisika pada polimer dalam bentuk asli atau modifikasi. Cara pengemasan yang salah juga bisa berpotensi menimbulkan bahaya. Produk yang
langsung dikemas dalam kondisi masih panas dengan pengemas yang tidak tahan panas akan menyebabkan terjadinya migrasi. Menurut Castle 2000, semakin tinggi suhu makanan maka
semakin banyak zat plastik yang mengalami migrasi ke dalam makanan. Pencantuman tanggal kedaluwarsa sangat penting dalam pelabelan. Pada umumnya masih
banyak dijumpai praktek pelabelan P-IRT yang belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Berdasarkan hasil survei monitoring dan verifikasi
IRTP dalam rangka peningkatan keamanan PJAS yang dilakukan oleh BPOM tahun 2009, diperoleh data hanya 32 IRTP yang memiliki pemahaman baik hingga baik sekali tentang
pelabelan pangan, dan 68 IRTP yang memiliki pemahaman kurang hingga kurang sekali. Selain itu ditemukan sebanyak 82,05 produk pangan IRTP diberi label, 17,60 tidak diberi label dan
0,35 tidak diketahui. Dari produk-produk yang berlabel, sebanyak 95,25 label produk pangan IRTP tidak sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dan 4,75 sudah sesuai dengan persyaratan
label pangan. Hal ini dikarenakan masih kurangnya pemahaman pemilik IRTP terhadap pelabelan produk pangan.
Berdasarkan hasil survei tersebut, sebanyak 85 penanggungjawab pemilik IRTP tidak dapat menyebutkan informasi yang yang wajib dicantumkan di label secara lengkap dan 15
dapat menyebutkan informasi yang yang wajib dicantumkan di label secara lengkap. Keterangan wajib yang paling banyak dicantumkan pada label produk pangan IRTP yang tidak memenuhi
persyaratan pelabelan berturut-turut adalah nama produk 79, nomor pendaftaran 67, nama dan alamat produsen 58, komposisi 51, berat bersih 36, tanggal kedaluwarsa 33 dan
tanggal kode produksi 8. Selain temuan tersebut, ada juga P-IRT yang mencantumkan klaim tanpa BTP dan klaim kesehatan pada label dengan persentase masing-masing di bawah 5.
Ketidaksesuaian lain yang ditemukan adalah penggunaan label yang mudah lepas 13, dan label mudah luntur dan rusak 12. Data ini menunjukkan bahwa pelabelan dalam IRTP masih belum
baik. Meskipun sudah banyak IRTP yang menggunakan label pada produknya, namun hanya sedikit yang sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam PP No. 69 tahun 1999.
Potensi bahaya yang ditimbulkan akibat pelabelan salah satunya adalah bahaya mengkonsumsi produk yang sudah rusak kedaluwarsa. Produk kedaluwarsa bisa mengakibatkan
keracunan apabila dikonsumsi. Potensi bahaya lainnya adalah pada produk yang tidak mencantumkan BTP yang digunakan secara jelas. Contohnya pada penggunaan aspartam yang
sering dicantumkan sebagai pemanis. Padahal pemanis sangat beragam jenisnya. Hal ini dapat membahayakan bagi penderita fenilketonuria. Contoh lainnya adalah sulfit bagi penderita asma
23 yang pada label hanya tercantum sebagai pengawet atau bahkan tidak dicantumkan dalam label
pangan Wijaya dan Mulyono 2009. 5.
Penyimpanan Produk Pangan yang Salah Produk berbasis tepung yang dihasilkan oleh IRTP pada umumnya kering sehingga tidak
mudah mengalami kerusakan, seperti mi, kerupuk, keripik, bakpia, bihun, dan dodol. Meskipun dodol tidak memiliki penampakan kering, namun dodol memiliki a
w
yang rendah sehingga produk ini awet dalam waktu lama. Menurut Haliza 1992 dodol mempunyai sifat-sifat umum yaitu
plastis, padat, mempunyai a
w
0.6-0.9, dan kadar air 10-40. Menurut Muchtadi 2008 keadaan ini tidak efektif untuk pertumbuhan bakteri karena bakteri tumbuh pada a
w
diatas 0.9. Meskipun produk tepung tidak mudah rusak, kesalahan dalam penyimpanan dapat menjadi
salah satu penyebab produk menjadi cepat rusak dan kedaluwarsa. Contohnya pada produk roti yang disimpan pada ruang penyimpanan yang terlalu hangat atau lembab akan mengakibatkan
pertumbuhan mikroba pada produk. Jika jumlah cemaran mikroba sudah melebihi batas aman, maka produk tersebut berpotensi menimbulkan bahaya. Menurut Sulchan dan Nur 2007, produk
roti tawar membutuhkan perlindungan terhadap kelembaban. Pada proses produksinya, roti yang matang harus melewati proses pendinginan terlebih dahulu sebelum dikemas. Proses pendinginan
bertujuan agar uap air yang terdapat pada roti dapat keluar secara optimal. Apabila roti dikemas dalam kondisi panas akan menyebabkan roti mudah berjamur. Pada roti akan terjadi perubahan
warna, bau, dan rasa yang disebabkan oleh perubahan senyawa kimia hasil aktivitas enzim. Ruang penyimpanan harus dapat mencegah kontaminasi. Pangan harus disimpan jauh dari
ruang pencucian pengumpulan sampah dan tidak disimpan pada suhu “danger zone” 5
o
C-60
o
C. Beberapa hal yang harus diterapkan dalam ruang penyimpanan antara lain 1 menggunakan sistem
FIFO first in first out; 2 melakukan pencatatan tanggal kedaluwarsa, tanggal penerimaan atau tanggal penyimpanan setelah pengolahan; 3 menjaga ruang penyimpanan tetap dingin, kering, dan
berventilasi baik; 4 suhu ruang penyimpanan 10
o
-20
o
C dan kelembaban 50-60; 5 mengatur jarak minimal penyimpanan pangan dari lantai 20cm dan menghindari sinar matahari langsung
Rahayu 2011.
C. Penyimpangan Produk IRTP di Jawa Barat